Bagai palu besar kembali menghantam hati ini. Sakit sekali. Setelah tadi sedikit lega jika mereka masih diambang batas dalam berselingkuh namun kembali harus aku telan pahitnya empedu untuk kedua kalinya.
Haruskan aku muntahkan? Aku memang tak akan mentolerir Mas Wisnu untuk perselingkuhan ini, kukira ini hanya ujian hidupku berumah tangga. Kata orang tua, setiap rumah tangga akan diuji, baik itu orang ketiga, ataupun masalah finansial, aku sadar itu.
Namun nyata sepertinya ini bukan ujian rumah tangga, diselisik dari realita, Mas Wisnu mungkin memang sengaja melakukan perselingkuhan ini. Serendah itu kah dia memandang sebuah pernikahan? Menodai janji suci yang ia ucapkan sendiri. Miris!
"Mama ...." Aira mendekat, aku tersentak dari lamunanku yang melayang jauh, merutuki manusia-manusia tak berperasaan.
"Aira, ada apa, Sayang? Apa kamu sudah sembuh?" tanyaku sambil langsung mencium pipi gembilnya.
"Udah, Mah. Papa kapan pulang, Mah? Aira kepengen main sama Papa, sudah lama Aira ngga pernah main sama papa!" aku tersentak kaget, selama ini aku baru menyadari jika Mas Wisnu sering pulang larut malam. Kupikir dia memang sibuk mencari costumer hingga kadang meminta izin untuk meninjau rumah makan yang ada dibeberapa kota. Apa waktu itu ia gunakan untuk berselingkuh?
Ya Allah ... Kenapa aku baru sadar, apa aku terlalu percaya pada suamiku itu. Bukankah sebuah hubungan akan makin kuat jika saling percaya? Kuanggap tiang kokoh sebuah keluarga adalah kepercayaan. Namun sepertinya tak cukup jika kepercayaan saja, mungkin tiang yang hanya memiliki satu tak akan sekokoh jika ada satu pasang. Kesetiaan! Ya selain kepercayaan dari pasangan juga harus ada kesetiaan sebagai pasangannya.
"Mah!"
"Eh ... Iya, Aira. Sabar ya, papa sedang sibuk. Nanti kalau sudah tak sibuk pasti main bareng Aira lagi." Aku berusaha menenangkan Aira, walau hati ini bergemuruh penuh keraguan, apakah Aira akan bisa bermain kembali dengan Mas Wisnu setelah kita berpisah.
"Aira cuma takut, Mah. Aira takut Papa seperti Papa Qila!"
"Memang kenapa Papa Qila?" tanyaku penasaran.
"Papa Qila jarang pulang kerumah ternyata Papanya punya istri baru."
Deg!
Ucapan bocah enam tahun itu mampu menamparku, menampar hatiku yang sedang pilu, bagaimana dia ... Ah! Sayang, kamu belum mengerti tentang ini.
"Kata siapa Aira tahu?"
"Qila yang cerita disekolah, Mah. Katanya Mama Qila sering nangis dikamar setelah Papah Qila pergi dan Qila bilang awal-awalnya dia seperti Papah, jarang pulang, jarang main sama Qila."
Bagai teriris sembilu, apa yang sedang diucapkan Aira itu sangat kembali membuat aku pusing, di sisi lain aku muak dengan Mas Wisnu tapi melihat Aira?
Kamu tenang saja Aira, Mama wanita kuat, tak akan menangis ketika Papa pergi meninggalkan kita, suatu saat kamu akan mengerti dan tahu alasan Mama memilih berpisah.
"Non, ada tamu!" kata Bik Uni menghampiriku.
"Siapa, Bik?"
"Ngga tahu, Non. Perempuan cantik."
Aku segera menurunkan Aira dari pangkuan, beranjak berdiri setelah meminta Aira untuk kembali kekamar dan belajar.
"Wina!" pekiku kaget melihat dia yang sudah duduk diruang tamu, matanya sembab.
"Ibu ... Maafin aku, Bu. Sumpah bukan aku yang memulai semua ini. Semua Pak Wisnu yang selalu merayuku dengan membelikan beberapa barang mewah. Tolong, Bu. Maafin saya!" ibanya dengan tangis tersedu.
Aku menghembuskan nafas berat, "tak akan ada tamu masuk kerumah orang tanpa izin sipemilik, jadi tak usah kamu merasa jadi korban. Aku sangat hafal wanita macam kamu!" cetusku.
"Sungguh, Bu! Sungguh ... Tadinya aku selalu menolak tentang apa yang diberikan Pak Wisnu, bahkan aku beberapa kali mengabaikan chat-chatnya, namun dia tak putus asa, Bu. Sampai akhirnya ia memberikan kalung berlian ini," dia menunjukan sebuah benda dalam kotak,"wanita mana yang menolak ketika diberi barang semewah ini."
Kuraih kotak itu dan membukanya, terkaget apa isi didalamnya,"kalung ini ... Ini kalung milikku!"
Aku tak mungkin salah, ini kalungku yang kubeli saat melahirkan Aira, saat usaha baru mulai berkembang. Mungkin karena memang aku sudah memiliki beberapa kalung jadi ngga tahu kalau ada yang di ambil. Sial! Mas Wisnu telah berbuat sebegitu jauh.
"Iya, Bu. Aku juga curiga karena Mas Wisnu tak mau memberikan kuitansi pembelian dari barang itu. Makanya aku curiga kalau barang itu bukan asli Mas Wisnu yang membeli."
"Selain ini, apa lagi yang Mas Wisnu telah kasih?"
"Untuk perhiasan hanya itu, Bu. Yang lainnya hanya berupa pakaian dan assesories yang memang belinya aku sendiri yang memilih."
"Itu artinya kamu pernah jalan bareng?" tatap tajam mataku langsung mengarah padanya.
"I-iya, Bu, tapi sungguh aku tak melakukan hal-hal yang di haramkan dalam agama, aku masih perawan, Bu. Tak mungkin aku serahkan mahkotaku begitu saja. Apalagi ... Di samping Mas Wisnu sudah beristri dia juga ...." Wina mengantung kata-katanya. Seolah ragu untuk mengatakannya.
"Apa ... Dia juga apa? Kamu tahu sesuatu?" Wina mengangguk, dia dengan takut-takut bercerita tentang wanita yang sempat ber VC dengan Mas Wisnu saat mereka berdua makan siang. Wina kira itu adalah istri Mas Wisnu, namun setelah ia bertemu denganku, kini Wina sadar bahwa itu bukan istrinya melainkan selingkuhan lainnya.
"Saat VC itu aku memilih mundur agar tak terlihat di kamera, Bu. Namun aku dapat dengan jelas melihat perempuan itu. Perempuan yang tengah mengendong seorang balita."
Duh! Apalagi ini. Apa mungkin dia .... Ah, tak akan aku maafkan dirimu, Mas. Berani menghianatiku sebegitu jauh, bahkan sampai memberi Aira adik dari Ibu yang lain! Kupastikan kamu keluar dari rumah, hari ini juga! Aku akan cari bukti siapa perempuan itu.
Setelah kepulangan Wina, aku masih berdiri mondar mandir diruang tamu, aku ingin segera Mas Wisnu pulang dan memberinya pelajaran.Teganya dia mengkhianatiku ya Allah ... Kurang apa diriku ini, kuberi ia kepercayaan penuh, bahkan aku tak pernah menuntut nafkah lahir, gaji dia yang tak seberapa tak pernah kutanyai, semua aku sarankan untuk diberikan kepada ibu. Selain anak tunggal, Ibu yang sekarang tinggal seorang diri juga sering sakit-sakitan hingga memerlukan biaya untuk berobat, bahkan tak jarang aku memberi lagi uangku sendiri dari hasil rumah makanku.Aku berfikir jika Mas Wisnu harus bertangung jawab penuh pada Ibu semata wayangnya. Dia tinggal sendiri, tak mau di ajak kesini karena merasa kalau sebuah rumah tangga akan tenang tanpa orang ketiga. Walau itu Ibunya sendiri.Aku salut pada Ibu Mertua, dia begitu paham akan hal keharmonisan rumah tangga. Sayang ... Justru anaknya lah yang tak tahu adab, dia meny
"I-ini kamu, Mas? Dengan siapa ini?" aku menunjukan HP kepada Mas Wisnu, masih berdering panggilan disana. Namun ketika akan aku geser tombol dial ternyata sudah lebih dulu mati, mungkin karena waktu tunggu habis."Sini!" Mas Wisnu merebut HP dengan kasar. Akupun sampai kaget dengan sikap Mas Wisnu yang tiba-tiba merebut HPnya."Jelaskan, Mas. Siapa dia? Siapa Nuri, nama yang tertera di sana?" selidikku dengan mata menatap penuh pada Mas Wisnu.Dia masih bergeming, wajahnya menampakan kecemasan."Katakan, Mas!" bentakku, sungguh aku merasa emosi sekali, lagi-lagi harus di permainkan oleh suamiku sendiri. Lelah ya Allah ...."Di-dia Nuri, dia itu keponakan jauh Ibu, Dek. Kami kecil bersama dulu, belum lama kita bertemu dan saat ketemu itulah aku gendong anaknya dan dia minta foto. Ya ... Mungkin untuk mengobati rindu dia ... dia ... Memasangnya untuk foto profilnya." Mas Wisnu pan
Aku harus tau sebenar-benarnya siapa mereka. Aku tak suka jika hanya praduga, pokoknya aku harus benar-benar tahu ada hubungan apa mereka dengan Mas Wisnu. Apa benar yang di katakan Mas Wisnu bahwa mereka itu saudara sepupu. Aku akan tanya pada Ibu Mertua, benarkah Mas Wisnu punya saudara jauh? Aku juga harus punya foto mereka, agar mudah menunjukan pada Ibu.[Win, aku minta kamu bisa dapatkan foto wanita itu!] kembali kukirim WA pada Wina.Dia pasti akan mencarinya, aku tak tahu bagaimana caranya. Namun nyatanya ia begitu cepat menemukan titik terang tentang wanita itu jadi aku tak ragukan kemampuannya untuk menjadi detektif. Masalah hubungannya dengan Mas Wisnu, aku tak peduli. Kiranya aku sudah memberi pelajaran yang akan ia ingat selamanya. Pasti akan perfikir dua kali untuk kembali berurusan dengan aku. Bisa-bisa ia tak akan bisa beli makanan untuk dirinya sendiri."Hufh ... Ainun di lawan, Aku tak akan bar-ba
Aroma minyak angin menyeruak, aku merasa kepalaku berat sekali, kubuka mata berlahan. Kulihat Dokter Luna, Bik Uni dan Bang Ridho berdiri tak jauh dari saat aku berbaring.Apa aku pingsan!"Syukurlah kamu sudah sadar, Nun." Bang Ridho berkata dengan tersenyum."Aku kenapa?" tanyaku pada mereka."Ibu hanya tertekan dan stres. Ibu ngga papa, sebaiknya kalau ada suatu masalah lebih baik diselesaikan jangan sampai seperti ini. Tak baik untuk kesehatan. Saya kasih resep vitamin. Nanti ditebus ya!"Aku mengangguk, dokter pamit dan diantar Bik Uni keluar. Aku berusaha duduk."Kamu kenapa si? Sebaiknya kalau memang kamu merasa sakit, menangislah! Menangis bukan berarti cengeng, namun itu lebih baik untuk mengurangi sakitmu. Jangan kamu tekan yang berefek pada kesehatan."Aku hanya tersenyum kecut,"mungkin aku hanya butuh refresing, Bang. Biar ota
"Ini beberapa foto dia, Bu." Wina menunjukan beberapa foto Lastri yang tampak sendiri.Tunggu!"Coba kamu zoom, perbesar gambarnya!" aku melihat dengan segsama, sebuah foto Lastri yang tengah duduk pada sebuah kursi dengan meja didepannya.Benar, ini tak salah lagi, dia berada di Rumah makanku. Rumah Makan Sari Rasa, cabang parahyangan. Walau aku lama tak kesana, namun tak pangkling dengan dekorasi tempatnya. Rumah makan bernuansa pedesaan dengan bambu sebagai ciri khas Rumah makanku itu.Rumah makan yang kurintis sejak tujuh tahun yang lalu, saat kami belum lama menikah, Mas Wisnu yang masih bekerja sebagai supir pribadi membuat aku yang notaben-nya sarjana. Memilih merintis usaha kuliner karena hobiku yang suka memasak dan berkuliner, di samping itu juga turunan dari orang tuaku yang senang berbisnis dari pada harus bekerja pada orang lain."Setinggi apapun jabatanmu di mana be
Siapkan air es disamping kamu untuk baca part ini, takutnya dari telinga keluar asap dan terjadi hal yang tak diinginkan ... Kabur, ah othornya.Selamat membacaPoV Wisnu.Sial! Gara-gara aku salah kirim WA untuk Wina terkirim ke Ainun. Sekarang berbuntut panjang. Ainun yang dulu percaya aku seratus persen kini mulai menaruh kecurigaan. Terlebih dia memergoki aku tengah makan dengan Wina.Gadis perawan yang bekerja sebagai sekretaris di Perusahaanku bekerja. Aku yang hanya staf marketing, berhasil membuatnya berbunga-bunga. Kemewahan tentunya yang membuatnya tahluk, namun sayang baru akan berjanji untuk menikahinya tahun depan. Hubungan kita sudah lebih dulu terkuak, bahkan sekarang dia di pecat. Kasian tentunya, tapi aku bersyukur karena posisiku aman. Aku masih punya Wina-Wina yang lain. Ada juga Lastri yang telah aku nikahi secara agama hampir empat tahun yang lalu.Beruntung
Dia pikir aku mudah tertipu, aku memang dulu sangat mempercayainya. Namun sekali ia berkhianat, aku tak akan percaya lagi. Terlebih ini sudah sangat mencurigakan. Ibu berkata sendiri kalau jatah bulanannya hanya tiga juta.Gila dia! Tega-teganya mengurangi jatah ibunya sendiri, sedangkan dia tahu bagaimana kondisi ibunya.Kulirik dia saat mengemudi mobil, ada raut kepanikan, setelah tadi aku paksa dia tanpa alasan. Yah ... Lucu saja! Pura-pura sakit perut saat akan di ajak kerumah ibu, sebelumnya baik-baik saja.Keringat sebesar jagung banyak berada di keningnya. Aneh!"Kenapa, Mas? Kok keringetan gitu?" tanyaku penasaran melihat ia yang begitu kegerahan. Bahkan sekali-kali menarik kerah bajunya."Ngga tau, Dek! Entah kenapa cuaca hari ini begitu panas. Bahkan Ace mobil saja kalah."Aku membelalakan mata, Ace yang begitu dingin dia bilang kalah.
"Sudah ya, Nduk. Semua sudah kelar, Wisnu sudah mengakui ke khilafannya jadi sekarang tak ada masalah yang serius," ibu tersenyum sambil mengusuk punggungku,"Ibu laper, yuk kita makan?"Aku beranjak berdiri, aku tak mampu berargumen dengan Ibu, terlebih aku belum mempunyai bukti yang kuat untuk membuktikan siapa Nuri sebenarnya."Baik, Bu. Aku siapkan dulu." aku melangkah menuju keruang makan, menyajikan apa yang telah kubeli sebelum kesini. Ayam rica-rica selalu kubawakan untuknya. Itu kesukaan Ibu. Saat menuang ayam rica-rica itu pada mangkuk, hatiku terongok sakit, tiba-tiba ingat Ibu Mertua yang tadi berbohong tentang Nuri. Sungguh aku tak menyangka, selama ini dia baik dan terbuka kenapa sekarang menutupi kelakuan anaknya yang salah?"Jangan macam-macam, kalau kamu tak ingin kenyamanan selama ini hilang." kata-kata Ibu Mertua yang dikhususkan untuk anaknya itu tak sengaja kudengar saat aku akan memanggil mereka untu
"Bertahan ya ... Sebentar lagi kita sampai!" ucapku menenangkan. Sebenarnya aku sendiri panik setengah mati. Bagaimana tidak, melihat kondisi Ning Ria yang sudah tak karuan. Tiba di lobi rumah sakit, aku segera turun, berlari memanggil perawat untuk segera membawa tandu. "Tolong! Gawat darurat!" Aku berlari, seketika dengan sigap beberapa perawat datang menuju mobil. "Kamu harus kuat ya, Neng!" ucapku sambil terus berjalan mengimbangi roda. Bude hanya bisa menangis, melihat kondisi Ning Ria yang sudah setengah sadar. Perawat dengan sigap memanggil dokter untuk segera melakukan pemeriksaan. Aku langsung memeluk Bude, saat Ning Ria sudah memasuki IGD. "Tenang, Bude. Pasti semua baik-baik saja." Kuelus punggung Bude dan membawanya untuk duduk. Fahri terlihat tergesa berjalan menuju tempat kami. "A, sudah hubungi Kyai Salim?" tanyaku begitu ia tiba. "Udah, Dek. Mereka sedang menuju kesini." Aku bernafas lega, setidaknya dalam kondisi seperti ini keluarga tahu. Aku terus berdo'a u
"Ada apa, Dok?" aku bertanya sedikit panik melihat raut wajah dokter yang seperti nya memiliki masalah.Beliau menghela nafas panjang, aku yakin dia berat untuk menyampaikan."Begini, Bu, Pak. Menurut hasil Lap yang saya terima, jika maaf Sperm* Pak Fahri kurang sehat."Deg! Aku langsung berpaling kepada Fahri yang berada di sebelahku, pasti ia terpukul dengan penuturan dokter Rafli. Raut wajah Fahri terlihat sendu."I-itu artinya kalau saya mandul, Dok?" Fahri bersuara dengan bergetar.Kami tidak memvonis Pak Fahri mandul, cuma jika Pak Fahri ingin memiliki momongan. Sebaiknya Pak Fahri sering konsultasi dan menjalani pola hidup sehat. Agar keinginan itu dapat terwujud.***Fahri keluar dengan lemas. Bahkan ketika aku pegang tangannya ia tak merespon sama sekali. Pandangannya kosong dan entah apa yang sedang ia pikirkan."A ...."Dia masih diam saja, berjalan dengan lambat."Aa ngga papa kan?" Kugoyangkan sedikit tubuhnya."Astaghfirullah ... Maaf, Dek. Aa hampir putus asa menerima
"Apa, Bude. Alhamdulilah ... Ya Allah, rahasia Allah memang tak terduga ya. Selamat ya, Bude. Semoga debay dan ibunya sehat sampai lahiran." Aku turut bahagia mendengar kabar tentang kehamilan Ning Ria. Pasti kini dia tengah bahagia, setelah merasa terpuruk atas meninggalnya Bang Ridho."Iya, Nun. Bude bersyukur banget, bude dapat penghibur untuk hidup Bude. Cuma kata dokter Ria kandungannya lemah dan harus di jaga sebaik mungkin. Kamu mau kan ikut menjaga?"Aku melonggo, tak maksud dengan apa yang di sampaikan oleh Bude Sri. Aku, ikut menjaga?"Maksud, Bude?""Maksud Bude, ingin agar kamu menemani dia saat cek up dan sebisa mungkin sering main kesini. Hibur dia agar tak terus merasa sedih."Ucapan Bude ada benarnya, memang jika kandungan lemah akan sangat rentan jika stres. Aku harus membantu Bude untuk merawat Ria sampai melahirkan, aku harus pastikan Bang Ridho junior lahir kedua ini dengan selamat. Aku berjanji padamu, Bang! "Baik, Bude. Nanti aku usahakan waktu yang banyak untuk
PoV Wisnu"Kamu kerja baru setengah bulan udah izin empat hari! Kamu pikir ini usaha milik nenek moyangmu?!" gentak Pak Suid pemilik cucian motor dimana tempatku bekerja. Ya ... Sejak setengah bulan yang lalu, aku bekerja sebagai buruh cuci motor. Terpaksa untuk menyambung hidup."Maaf, Pak. Saya sakit, ngga bisa di paksa kalau lagi kambuh," ucapku pelan berharap dia mengerti."Memangnya kamu sakit apa? Sakit maag!""Bu-bukan, Pak. Sa-saya sakit gonore,"jawabku pelan."Apa kamu kena gonore, kencing nanah, raja singa, aids." Dia menyebutkan macam-macam penyakit, padahal semua itu berbeda. Ah! Dia itu lebay sekali.Aku tertunduk, tak mau berdebat pada orang yang minim ilmu, yang mengira antara gonore dengan raja singa bahkan Aids itu sama."Mulai hari ini saya kamu pecat! Saya tak mau punya karyawan memiliki penyakit kelamin. Bisa-bisa nular lagi." Kata tajam pemilik usaha itu membuat nyeri ulu hati."Tapi, Pak! Penyakitmu tak menular jika hanya bersentuhan." Belaku berharap ia lebih ta
PoV RiaMenjadi istri seorang bernama Ridho Herlambang. Ternyata begitu bahagia, walau telat karena keegoisanku. Kini aku sadari jika menjadi istri Mas Ridho, itu sebuah keberuntungan. Selain dia baik, pengertian, juga sangat penyayang. Aku merasa bak jadi seorang putri raja saat bersamanya, dia memanjakanku lebih dari Abah.Andai saja, aku sejak pertama tak menolaknya, berlaku menjadi istri sepenuhnya, mungkin aku tak akan merasa sebersalah ini. Bagaimana tidak, saat aku terpuruk dan di vonis menderita kista ovarium, dia yang belum menyentuh ku sama sekali masih saja menerima ku apa adanya. Bahkan jika aku tak dapat memiliki anak."Kan masih ada solusi, Dek. Hidup berumah tangga bukan melulu soal keturunan. Buktinya yang anaknya banyak saja bisa mereka bercerai. Aku tak memusingkan hal itu, kita bisa adopsi anak kan?" ucapnya kala aku masih ragu untuk kembali padanya."Tapi, Mas. Kamu anak satu-satunya. Pasti ibumu menginginkan penerus untuk usahamu dan pasti harus anak kandung. Buka
"Astaghfirullah, Pak. Kita kesana, ini yang kecelakaan mobilnya Bang Ridho." Aku panik ketika yakin jika mobil itu milik Bang Ridho, semoga saja bukan Bang Ridho yang bawa. Melihat dari kondisi mobilnya yang rusak parah pasti pengemudi nya juga tak kalah parah."Kita putar balik ya, Pak!""Iya, Bu. Sebentar di depan kan over boden jadi kita harus memutar agak jauh.""Iya, Pak. Tapi cepat ya!"Ya Allah, lindungilah orang-orang yang aku sayangi, keluargaku juga teman-temanku. Aku masih panik dan harap-harap cemas. Ya Allah .... Aku terus menyebut nama-nya.Ketika tiba di sana, ambulan sudah datang, masih banyak orang yang berkerumun. Aku langsung turun ketika Pak Sopir sudah memarkirkan mobilnya. Segera berlari menuju TKP. Tak kuhiraukan panggilan Pak Sopir yang mungkin khawatir karena aku lari."Pak! Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada salah satu orang lewat yang sepertinya sudah melihat."Yang mobil pribadi, meninggal ditempat, Mbak. Karena tercepit setir dan kepalanya pecah."Astaghf
"Assalamualaikum, Dek." "Waalaikumsalam," jawabku dengan datar, namun tetap aku meraih tanganya untuk Salim takzim.Fahri menjatuhkan diri di sofa, sebenarnya aku ingin langsung berkata, tapi melihat raut wajahnya yang seolah lelah, aku urung melakukan. Takut membawa setan. Biarkan ia tenang terlebih dahulu.Aku mengambil segelas air putih untuknya."Minum, A."Ia meraih gelas yang kubawa dan meneguknya sampai habis. Tak lama kemudian ia bangkit dan mengatakan jika ia ingin mandi.Setelah isya lewat, baru Fahri kembali dari masjid Pesantren, aku yang siap untuk mengikuti semua dramanya sudah tak sabar menunggu."Uni, biasa ya!" Dari depan pintu kamar ia sedikit mengeraskan suara. "Apa, A? Mau ngopi ya. Biar aku bikinin, Uni sedang beres-beres di dapur Pesantren.""Tak usah, Dek! Nanti nunggu Uni saja!" Dia menghentikan langkahku yang akan menuju dapur."A ... Apa bedanya sih buatanku dengan Uni, apa buatanku kurang manis? Atau kemanisan. Katakan saja biar aku bisa introspeksi diri."
"Dek!" Aku menghela nafas berlahan, agar embun di mataku segera sirna. Kubalikan badan setelah yakin jika aku kuat tanpa harus menangis."Terserah, Aa saja! Intinya aku tak mentolerir jika terbukti suamiku berkhianat!" Kuputuskan untuk melangkah pergi, tak kupedulikan Fahri yang masih memanggilku. Sungguh, aku merasa tak berdaya kali ini. Aku tak punya bukti perselingkuhan mereka, dengan siapa aku harus meminta tolong."Bang Ridho." Seketika aku terlintas ingat akan dia, dulu aku selalu membagi suka dukaku padanya, namun sekarang? Ah! Aku segan jika harus bercerita padanya. Sementara dia juga punya masalah yang kadarnya hampir sama.Ponselku berdering, nama Bang Ridho terpampang. Dia panjang umur, baru saja kuingat langsung menelfon."Assalamualaikum, Hallo, Bang.""Waalaikumsalam, ngapain, Nun? Kamu sibuk nggak?""Sibuk apaan, Bang. Biasa aja cuma jalan-jalan keliling pesantren tiap hari.""Hahaha ... Iya, ya. Sekarang kan anakmu ratusan, harus sering-sering bertemu agar hafal nama
PoV RidhoAku masih sangat berharap jika Ria tetap menjadi istriku. Tak peduli jika Ria tak mudah hamil, bukankah ada solusi lain! Hidup bukan hanya soal keturunan."Kamu itu, Dho! Masih saja mengharapkan perempuan yang kemungkinan susah hamil. Kaya kaga ada perempuan lain saja!" Cetus Mama yang tak pernah lelah mengomel hal yang sama.Aku memaklumi dan tak menjawab apapun. Karena bagiku itu sama saja akan menjadi Boomerang bagiku. Jadi aku memilih diam.Tiap pagi aku selalu chat Ria, sekedar menanyakan keadaannya. Sungguh, sebenarnya aku rindu, rindu senyumnya, rindu manjanya bahkan rindu saat ia selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang lebih banyak di kerjakan perempuan, walau itu tugas seorang suami.Aku rindu! Pekikku sendiri."Mas, sudah makan?" Dari sebrang sana terdengar suara lembut istriku. Aku tergugup, ini kali pertama ia menanyakan hal yang sepele."Be-belum, Dek. Nanti saja!" Gagapku, tak menyangka jika Ria menelfon hanya sekedar untuk menanyakan itu."Makanlah, jangan sa