Nisa terkejut, ia tidak menyangka jika akulah laki-laki yang ada di hadapannya.
"Nga-ngapain kamu disini, Mas?" tanya Nisa terbata. Ia mundur beberapa langkah ke belakang dengan wajah yang tampak panik.
Aku menoleh ke arah Imron, memberi kode agar dia segera meninggalkan ruangan ini membiarkan aku dan Nisa berbicara empat mata.
Imron mengangguk, walau dengan berat hati ia pun meninggalkan kami berdua dengan wajah sedikit kecewa. Bagaimana tidak, momen langka seperti ini pasti banyak di idamkan oleh para pria. Menikmati pemandangan indah di depan mata, tubuh sexy bak gitar spanyol milik Nisa yang tentunya sangat menggoda.
Kini kami hanya berdua di dalam kamar ini. Aku segera men
Dengan isak tangis Nisa mulai memasang bajunya satu per satu. Ia begitu terpukul, berulang kali Nisa melemparkan pertanyaan yang sama padaku. Sepertinya ia masih tidak percaya dengan kenyataan ini."Apa benar Emak meninggal? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Emak, Mas? Kamu jangan mempermainkan ku, jika kamu hanya ingin aku pulang, tidak dengan cara seperti ini Mas! Kamu tidak perlu mengarang cerita jika Emak sudah meninggal!""Kamu lihat ini, Nis! Itu adalah makam Emak, kamu lihat sendiri' kan di atas nisan itu tertulis nama Emak!" ucapku menyodorkan ponsel ke hadapan Nisa.Tangisan Nisa semakin menjadi, ia tak mampu berkata apa-apa saat melihat foto makam Emak yang masih merah. Foto yang aku ambil saat prosesi pemakaman kemarin.
Fadlan dan Aqila kembali masuk kedalam kamar, mereka sama sekali tidak mau mendengar penjelasan sang Kakak. Nisa hendak menyusul mereka. Namun, Lilis segera mencegahnya. "Tidak usah, Nis! Biarkan mereka berdua tenang dulu. Adik-adikmu sangat kehilangan Emak, mereka tentu sedih dan kecewa karena kamu tidak ada disaat mereka membutuhkan. Lebih baik sekarang kamu sabar dulu, tunggu kondisi mereka tenang. Aku yakin, lambat laun mereka akan mengerti dan kembali menerima kehadiranmu. Bagaimanapun juga, kamu adalah keluarga mereka satu-satunya!" "Betul kata Mbak Lilis, kamu harus sabar menghadapi mereka. Beri mereka waktu untuk menenangkan diri!" timpalku. Nisa pun mengangguk, ia kembali ke ruang tengah. Wajahnya tampak murung dan sedih.  
"Ya Allah, Nis' kamu kenapa? Kenapa bisa terjatuh seperti ini?" ucapku menghampiri Nisa yang sudah tergeletak di lantai kamar dengan baju yang belum terpasang sempurna.Aku pun segera membantunya untuk bangkit."Kepalaku pusing, Mas!" ucap Nisa memijat keningnya."Mungkin kamu masuk angin, Nis! Badan kamu juga demam! Sebaiknya kamu segera istirahat!" Wajahnya terlihat pucat, tubuhnya menggigil kedinginan."Cepat pasang bajunya! Biar nggak kedinginan! Itu juga rambutnya' kenapa nggak segera dikeringkan pakai handuk?""Nisa nggak kuat berdiri, Mas! Lututku lemas! Kepalaku juga kunang-kunang," jawabnya sambil memasang baju yang belum sempurna.
Hari mulai siang, semua ibu-ibu sibuk memasak dan menyiapkan jajan untuk acara tahlilan nanti sore. Karena cuaca di malam hari selalu hujan maka untuk tahlilan hari ini akan diadakan lebih awal yaitu selepas salat asar."Lho, Nis, kamu' ko udah bangun?" ucap Lilis saat melihat Nisa keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiri Ia yang sedang sibuk di dapur."Iya Lis, aku mau bantu kamu dan ibu-ibu yang lain. Lagipula aku jenuh lama-lama di kamar," jawab Nisa, tangannya mengambil pisau yang tergeletak di samping Lilis."Nggak apa-apa, Nis' kamu istirahat aja! Kamu kan masih sakit. Tuh lihat wajah kamu pucat banget! Mending kamu kembali ke kamar, jangan maksain!""Aku udah mendingan, ko' Lis! Badanku udah baikan
"Maafkan aku, Lis! Gara-gara aku mereka jadi pergi sebelum pekerjaannya selesai," ucap Nisa merasa bersalah. "Sudahlah, Nis. Tidak apa-apa! Ini bukan salah kamu. Mereka nya aja yang sentimen, kamu tidak perlu mendengarkan omongan mereka, Nis! Jangan kamu ambil hati ucapan mereka yang barusan," "Santai aja Lis, aku sudah terbiasa dengan cemoohan dan sindiran dari mereka. Telingaku sudah kebal!" sahut Nisa berusaha tetap tersenyum kepada sahabatnya itu. "Syukurlah kalau begitu, aku jadi lega mendengarnya. Lebih baik sekarang kita lanjutkan masak nya, sebelum keburu sore! Aku akan telpon si Irma untuk bantuin kita agar cepat selesai," ujar Lilis mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. •• Hari mulai sore, mereka sudah menyelesaikan tugasnya. Aku di bantu Pak RT memasang karpet dan menata tempat untuk acara tahlilan yang akan segera dimulai. "Mas, kamu nggak mandi dulu?" ucap Nisa menghampiri ku. Ia terlihat lebih segar dari sebelumnya.
"Fantasi sex yang gila?? Apa maksudnya dia berbicara seperti itu?""Aneh tuh orang, ngomong asal nyablak aja! Dasar cewek bar-bar,"Mobil sport berwarna kuning itu melaju kencang meninggalkan area kantor. Seorang pria yang berada di kursi kemudi tampak begitu akrab dengan si nenek lampir. Melihat penampilan pria itu, sepertinya dia bukan pria baik-baik.'Ah, sudahlah! Percuma juga aku mengkhawatirkannya. Dia bahkan tidak peduli dengan ucapanku'Gegasku berjalan menuju parkiran. Aku harus segera pulang, Ayah pasti sudah menungguku.•"Anton? Akhirnya kamu pulang
"Kenapa Ayah bilang ada noda lipstik di wajahku? Yang benar saja?" Gegasku masuk ke kamar lalu berjalan menuju cermin. Dan benar saja, sebuah noda lipstik berwarna merah menempel jelas di pipiku.'Astaga, apa-apaan ini? Kenapa ada noda bekas kecupan di pipiku? Pantas saja Ayah marah besar, mungkin salah satunya karena noda ini,"Aku berusaha menghapus noda berwarna merah terang ini dengan tisu.Ini pasti karena ciuman Nisa saat aku akan pulang tadi. Aku ingat betul, dia memang memakai lipstik dengan warna merah menyala seperti ini. Kenapa aku tidak sadar jika lipstik nya menempel di pipiku?Argh, bodoh! Jika sampai Ayah menceritakan hal ini pada Ibu, Ibu pasti akan sangat murka. Apalagi jika Ibu ta
🍀🍀 POV AUTHOR (POV 3) 'Gila yah, tuh cowok bener-bener nyebelin banget. Gue semaleman nggak bisa tidur gara-gara khawatir mikirin dia. Eh' dia dengan santainya datang ke kantor dengan wajah polos tanpa dosa. Mana ada noda lipstik lagi di pipinya. Argh!!! Nyebelin banget' sih! Tuh cowok cupu bener-bener bikin gue gila,' gumam Adel dalam hati. "Del, lo kenapa' sih bengong mulu?" suara Gea seketika membangunkan lamunannya. "Iya nih, nggak asik banget lo, Del! Kita disini tuh mau party, bukan mau ngelamun! Turun yok, kita dance! Mumpung musiknya enak nih!" Ajak Gerald. Ia memaksa mengajak Adel untuk turun ke dance floor. Alunan musik semakin kencang, semua orang asik menggoyangkan tubuhnya. Gea beg
Hallo semuanya 🥰🥰 Akhirnya setelah penantian dan proses yang cukup lama. Novel Vonis mandul ditengah kehamilan istriku atau disingkat menjadi (VMDKI) Ending juga 🥳🥳🥳Pertama-tama Saya mengucapkan terimakasih pada Tuhan Yang Maha Esa dan juga kepada Keluarga besar saya yang telah mendukung saya menjadi seorang Penulis. Dan yang paling spesial adalah terimakasih saya kepada seluruh pembaca setia novel VMDKI yang mengikuti novel ini dari awal terbit sampai tamat. 200 bab bukanlah jumlah yang sedikit, dan tentunya banyak diantara kalian semua yang sudah menghabiskan dana untuk membaca novel ini. Saya mohon maaf telah membuat kalian menghabiskan uang jajan atau bahkan uang dapur kalian untuk cerita ini. Semoga kalian bisa mendapat ganti yang berlipat ganda, semoga selalu di beri kesehatan, dan di lancarkan rezekinya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan dan Typo di dalam Novel ini. Jika berkenan yuk, baca juga novel ottor yang lainnya. *Yang suka dr
***Setelah pertemuan itu mereka tidak lagi bertemu sampai acara pernikahan tiba. Anton dan Adelia hanya berkomunikasi lewat telepon dan watsap. Hari terus berganti, kedua keluarga semakin sibuk mempersiapkan acara sakral itu. Mereka ingin acara itu menjadi pernikahan termewah di Jakarta. Malam ini kedua keluarga mengadakan pertemuan tertutup. Dua pasangan paruh baya itu mengadakan jamuan di sebuah restoran VVIP untuk membahas persiapan pesta yang akan digelar besok. Mereka ingin memastikan jika semua persiapan sudah seratus persen. "Syukurlah jika semuanya sudah siap, saya sangat lega mendengarnya! Ini adalah momen spesial untuk kami," ucap Tuan Romy lega. "Iya, Pak. Kami pun begitu, rasanya tidak sabar untuk menunggu hari esok," jawab Pak Tio. "Kalau begitu, kita akhiri saja pertemuan ini, sepertinya sudah malam juga, sudah waktunya kita istirahat agar besok pagi tidak terlambat," ucapnya. Mereka p
***Dengan wajah memerah, Anton keluar dari minimarket membawa bungkusan berwarna merah muda itu. "Sial! Gara-gara Adel, aku jadi di ketawain anak-anak ABG tadi, mana jadi bahan olok-olokkan mereka lagi," cetus Anton menutup pintu mobilnya dengan kesal."Lagian, ngapain juga tuh kasir banyak tanya, pake acara nawarin merek lain segala lagi, memang dia pikir' saya ngerti apa dengan merek-merek pembalut? Aneh-aneh aja tuh orang," Anton menyalakan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan minimarket berlogo merah kuning itu.Sesampainya di rumah Adel, Anton pun langsung masuk ke dalam rumah yang tidak di kunci itu sesuai perintah Adel saat ia menelpon."Adel! Kamu dimana?""Gue di kamar! Lo sini aja! Gue nggak bisa turun nih," teriak Adel menyahut dari kejauhan."Jangan bercanda dong, Del! Di rumah kamu nggak ada siapa-siapa, ntar kalau tiba-tiba Papa dan Mama kamu datang dan melihat saya ada di k
🍀🍀🍀"Ibu langsung istirahat saja! Ibu pasti capek, kan? Barang-barangnya biar si Mbok dan Sulis yang urus!" ucap Anton saat mereka tiba di rumah sang Ayah. Wanita paruh baya itu pun mengangguk dan menuruti seruan anaknya. Sedangkan Anton segera masuk ke dalam kamarnya, ia pun merasa lelah setelah membantu memindahkan barang-barang ibunya.Kring! Kring! Ponsel Anton berdering, dengan cepat ia mengangkat panggilan masuk dari Lilis. "Halo, assalamualaikum' Mbak,""Waalaikumsalam, Mas. Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih atas paket yang dikirim mas Anton. Anak-anak senang sekali, Mas,""Syukurlah kalau paketnya sudah sampai, Mbak. Semoga Fadlan dan Aqila menyukainya," ucap Anton lega. Tiga hari lalu Anton mengirim perlengkapan sekolah untuk kedua adik iparnya itu. Mulai dari baju seragam, sepatu, tas dan perlengkapan lainnya. "Suka banget, Mas. Dari tadi mereka nggak sabar ingin bilang terima
🍀🍀🍀Satu minggu sebelum pernikahan Anton di gelar, Tuan Romy dan Bu Minah pun melangsungkan acara pernikahan mereka di kediaman Tuan Romy, acaranya berlangsung khidmat dan sederhana sesuai permintaan Bu Aminah. Hanya kerabat dan orang-orang terdekat mereka yang menghadiri acara tersebut. Bu Aminah tampak begitu cantik dengan balutan kebaya Jawa, begitupun dengan Tuan Romy, pria lima puluh dua tahun itu tampak gagah dengan busana adat dan juga blangkon khas Jawa yang ia kenakanan. Pasangan paruh baya itu pun duduk di depan penghulu. "Bagaimana Pak Romy, sudah siap?" tanya penghulu itu memastikan. Tuan Romy pun langsung mengangguk yakin. Anton dan kekasihnya duduk di sebelah mereka, menyaksikan betapa sakralnya ijab kabul yang diucapkan sang Ayah. Suasana hening sejenak saat Tuan Romy dengan lugas dan lancar mengucapkan ijab kabul dengan satu tarikan nafas."Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu memastikan."Sah!"
***Satu minggu setelah perdebatan itu, suasana kembali mencair. Bu Minah berusaha untuk menghilangkan kebenciannya kepada Jannah. Bagaimanapun anak itu memang tidak berdosa. Tidak mungkin ia harus menanggung beban atas perbuatan keji yang dilakukan kedua orang tuanya. Bu Minah berusaha meyakinkan dirinya, meski itu tidak semudah yang dipikirkan. Tapi ia yakin, lambat laun rasa sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kring! Kring! Dering ponselnya berbunyi. Nama Tuan Romy terpampang di layar. Dengan antusias Bu Minah segera menggeser tombol hijau dan berbicara dengan pria yang kini kembali mengisi kekosongan hatinya. "Halo, Mas. Sudah berangkat?" tanya Bu Minah saat seseorang memanggil namanya. "Sudah, Minah. Ini Mas sudah di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu sudah siap' kan?" "Sudah, Mas. Saya tunggu di luar ya, biar kita langsung berangkat," Sahutnya sebelum memutus panggilan. Hari
Sore menjelang malam, mereka pun tiba di Jakarta. Setelah mengantar Adel sampai ke rumahnya, Anton pun bergegas pulang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Minah ada di rumah sang Ayah dan menyambut dirinya dengan wajah tak bersahabat."Ibu? Sejak kapan ibu disini?" tanya Anton meraih tangan ibunya dan menciumnya takzim."Kamu dari mana saja Anton? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?" tanya Bu Minah menatap tajam Anak sulungnya itu. Melihat raut wajah ibunya yang kesal, Anton pun bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam saja Anton? Kamu tidak dengar apa yang ibu tanyakan?! Kamu dari mana saja? Kenapa pergi tidak pamit sama ibu?""Maaf kan Anton, Bu. Anton … Anton ada urusan,""Urusan? Urusan apa? Mengurus wanita jalang itu maksudmu?! Jawab Anton! Benarkan apa yang ibu katakan?" Mendengar cercaran pertanyaan dari ibunya, Anton pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tidak mungkin berdebat dengan sang ibu d
Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pulang, Anton dan Adel mengantar Lilis terlebih dahulu sebelum mereka berdua kembali ke Jakarta. "Terimakasih, ya' Mas Anton, maaf sudah terlalu banyak merepotkan," ucap Lilis saat mereka tiba di rumahnya. "Tidak apa, Mbak. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Kalau begitu saya pamit dulu' ya, Mbak. Salam pada anak-anak," "Baik, Mas. Nanti saya sampaikan salam dari Mas Anton pada Qila dan Fadlan jika mereka sudah pulang dari sekolah. Mas Anton dan Mbak Adel hati-hati di jalan," sahut Lilis dan segera di anggukan oleh Anton maupun Adel. Dua sejoli itu pun akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman Nisa.Tidak bisa dipungkiri, di kampung ini Anton sempat menjadi bagian dari keluarga besar Abah dan Emak. Kenangan masa lalu yang indah sempat terukir, walau hanya sesaat."Anton? Lo kenapa' sih? Ko malah ngelamun? Ayo jalan!" ucap Adel menegur kekasihnya yang masih dudu
"E-elo … nggak sedang bohongin gue kan?" tanya Adel terbata. Seketika ada perasaan bersalah karena telah menuduhnya yang tidak-tidak. "Untuk apa saya bohongin kamu, Del? Apa untungnya buat saya?" sahut Anton membuang nafas kasar. Ia tidak menyangka jika gadisnya itu bisa berpikiran buruk terhadapnya. "Lebih baik' sekarang kamu balik ke Jakarta! Kamu kesini diantar Pak Amin' kan? Biar saya bilang sama Pak Amin untuk bawa kamu pulang ke Jakarta," ucap Anton. Ia pun berjalan menuju mobil hendak menghampiri sang supir. Namun, seketika tangan Adel menghadangnya. "Gue nggak mau balik! Gue mau disini nemenin lo!" ujar Adel yakin."Tapi, Del! Disini saya repot dengan urusan Nisa. Saya tidak mungkin bisa jagain kamu! Dari pada nantinya kamu kesal, lebih baik kamu pulang. Jika urusan disini selesai, saya akan segera menyusul kamu ke Jakarta!" "Pokoknya gue nggak mau balik! Gue tidak akan kembali ke Jakarta tanpa lo! Gue mau nemenin lo sampai semua urusan