/ Fantasi / Vivian / Perjuangan Aglo Demi Vivian

공유

Perjuangan Aglo Demi Vivian

작가: As Jaz
last update 최신 업데이트: 2021-07-18 00:51:09

Mentari menyentuh pelupuk mata Vivian hingga terbangun. Ia bersandar di batang pohon, melihat sekelilingnya tampak seperti sarang. 

"Aglo memang pandai membuat tempat nyaman," gumam Vivian.

Ia menoleh ke kiri dan kanan. Mengintip dari atas, tak ada Aglo di bawah pohon itu. Vivian hendak turun dari puncak pohon, tetapi ia mengingat ancaman akan Clara.

Vivian menelan saliva, ia menyambar akar ranting pohon untuk mendapatkan sedikit cairan. 

"Harusnya kau tak pergi, Aglo," lirih Vivian melempar akar yang dihisap tadi. Ia khawatir jika Aglo ceroboh hingga manusia melihatnya lalu-lalang. Pohon tempat tinggal Aglo sangatlah jauh dari tempat Vivian berada.

Vivian memejamkan mata sejenak. Ia mengolah perasaan agar lebih tenang. Luka di sekujur tubuhnya masih sangat terasa. 

Tak lama, pohon itu bergerak. Vivian melirik ke bawah, Aglo tampak menaiki pohon tergesa-gesa.

Vivian lega melihat Aglo. Namun, melihat bercak merah pekat di bahu Aglo dan bulu yang rontok, Vivian sontak melebarkan mata.

"Aglo! Apa yang terjadi?"  Vivian menyentuh bagian bahu Aglo, di dekat lukanya. "Dari mana kau dapatkan luka ini?" cecar Vivian dengan mata memerah.

Aglo terus menggeleng dan menutupi luka bahu kanannya dengan tangan. Ia menjauh dari Vivian.

"Kemarilah! Aku akan membalutnya," pinta Vivian memohon, mengulurkan tangan.

Aglo tak bergeming. Vivian menarik dengan keras bahu Aglo hingga meraung kecil. "Apakah kau tahu perasaanku? Kau satu-satunya teman yang kumiliki. Bahkan, aku menganggap kau sebagai keluarga. Sebagai anak sendiri. Aku menemukanmu sejak bayi Aglo!" gerutu Vivian dengan air mata mengalir.

Vivian merobek ujung baju yang menutupi betis. Ia menarik benda berbentu pisau kecil, sepanjang ibu jarinya. Kemudian melilitkan kain itu ke luka Aglo dengan pelan.

"Kuharap darahnya tak menetes lagi." Vivian masih memandangi luka bahu yang telah dibalut. Sementara Aglo mengusap cairan bening di pipi Vivian. "Jangan pergi lagi ..." imbuh Vivian lirih memegangi jemari Aglo. 

Vivian rebah di pangkuan Aglo. Ia masih terisak. "Bagaimana jika manusia lain telah mengincarmu, Aglo," ujar Vivian masih dilanda ketakutan akan kehilangan binatang kesayangannya itu.

Aglo melepas Vivian dan menyandarkan di dahang pohon. Mata Vivian melebar, melihat Aglo turun dari pohon.

"Aglo ... jangan pergi lagi. Tetaplah di sini! Kumohon!" seru Vivian tak sengaja meninggikan suara. 

Aglo berlari tanpa memedulikan panggilan Vivian. Ia menghampiri semak-semak dan mencari sesuatu. Sesekali ia menoleh ke sekeliling untuk memastikan tak ada manusia lain yang melihatnya.

Tangan Aglo mengenggenggam bungkusan daun dengan erat dan kembali ke pohon menemui Vivian. Ia memeluk bungkusan daun itu sembari memanjat pohon. Sementara Vivian rebah dan menangis menutupi wajah dengan lengan.

Aglo menggoyang tubuh Vivian agar bangkit dari rebah. Ia memberi isyarat dan mengulurkan bungkusan daun tadi.

"Apa ini?" tanya Vivian mengusap wajah. Ia segera membuka bungkusan itu. "Dari mana kau mendapat buah dan sayuran ini, Aglo? Kau mencuri?" Vivian menaruh bungkusan tadi di hadapan Aglo. "Aku tak pernah menyuruhmu mencuri," imbuh Vivian kecewa pada tindakan Aglo.

Aglo menggeleng, ia terus memberi isyarat bahwa ia tak mencurinya. Ia memperlihatkan buah itu dan juga kain di gubuk kebun milik Vivian.

"Kain itu ...." Mata Vivian mengamati kain yang diperlihatkan Aglo. Kain yang biasa Vivian kenakan di kepalanya. "Kau mengambil ini dari kebunku? Tapi, Aglo, aku hanya menanam di sana. Kebun itu milik Paman dan Bibi. Bagaimana jika salah satu dari mereka melihatmu? Terlebih dengan Clara." Vivian memijit dahi, menggeleng. Ia tak sanggup memikirkan nasib Aglo jika mereka melihat Aglo.

Sayur berwarna kuning berjenis umbi, disodorkan Aglo ke mulut Vivian. Pikiran Vivian seketika berantakan. 

"Jangan pergi lagi, kau mengerti?" tanya Vivian memastikan. 

Aglo mengangguk, tangannya masih mengulurkan sayur ke wajah Vivian. 

"Kita makan bersama dan istirahat," ujar Vivian meraih sayur itu. "Andai saja kita mendapatkan tempat untuk membangun rumah kecil, Aglo. Aku pasti akan membuat kebun dan memasak untuk kita berdua," lirih Vivian dengan mulut tengah mengunyah.

***

Tubuh Vivian meringkuk, menahan dingin. Bibirnya terus bergetar. Ia merasa tulang-tulangnya retak. Matanya pun berat untuk dibuka.

Aglo gelisah dan hanya bisa menyelimuti Vivian dengan dedaunan. Namun, suara Vivian semakin terdengar jelas. Vivian tak sanggup menahan nyeri. 

Aglo pun rebah di atas sarang, dekat Vivian. Ia menempelkan tubuh Vivian ke dadanya hingga aliran panas dihantarkan. 

"Haus ..." racau Vivian setengah menangis. Ia tak dapat melihat apapun.

Aglo masih belum mengerti. Ia terdiam, mengamati wajah Vivian. Tak mampu menahan, Vivian melebarkan mata dengan paksa dan meraih akar kering. Kemudian ia menghisap. Tak ada air didalamnya.

Aglo mulai memahami bahwa Vivian ingin minum. Ia beranjak dari sarang. Lalu, berlari menuju telaga kecil dekat pohon besar yang rimbung. Ia berlari kencang tanpa peduli bagian tubuhnya tergores semak berduri.

Tiba di sarang, Aglo menyandarkan Vivian di tubuhnya dan menyodorkan daun berisi air itu di bibir Vivian. Suara tegukkan terdengar jelas hingga Vivian menghabiskan air tadi.

Kembali Aglo membaringkan Vivian. Sembari memegangi perut, Vivian meringis. Aglo mengamati sejenak wajah dan tangan Vivian yang mencengkram. Vivian tampak tak kuasa menahan lapar melilit.

***

Aglo terpaksa meninggalkan Vivian yang kedua kalinya. Saat itu, mentari masih berada di tengah kepala, tertutupi kabut dingin hingga tak menembus. Aglo mengendap-endap di gubuk perkebunan ketika ia merasa manusia lain sedang beristirahat atau makan siang. 

Buru-buru Aglo meraih kain yang tergantung di dinding gubuk untuk membungkus buah dan sayur. Namun, ada dua pria yang mengintip.

Pria itu saling menatap. Memberi isyarat agar terdiam. Tak lama, beberapa pria lain datang dan langsung diberitahu.

"Kami melihat binatang langka seperti yang diceritakan orang-orang," bisik salah pria dengan hati.

"Kita bisa dibayar mahal jika berhasil menangkapnya," sahut pria lain dengan raut tak sabar.

Mereka pun mengepung gubuk. Aglo merasakan aroma tubuh mereka. Ia langsung keluar dari gubuk membawa bungkusan. Namun, pria itu telah menggunakan alat kebun memukuli Aglo dan melemparkan tali hingga terjerat.

Aglo tak dapat bergerak leluasa dengan kumpulan tali yang berbentuk jala. Mereka melempari Aglo hingga meraung kesakitan. 

Orang-orang di sana mulai berdatangan mendengar suara Aglo. Mereka menyeret Aglo tanpa belas kasih.

Clara turut menyaksikan hewan langka itu diikat paksa dan dipertontonkan. Ia mengamati kain di bahu Aglo.

"Tunggu ..." kata Clara mendekati Aglo. Ia berbalik ke pria yang menambah ikatan di tiang. "Siapa yang mengikat bahunya menggunakan kain itu?" tanya Clara menyipitkan mata.

Pria itu memandangi bahu Aglo. "Sepertinya, itu sudah ada sebelum kami menangkapnya."

"Aku mengenali kain itu ... persis dengan kain baju Vivian," imbuh Clara semakin mendekat. Sementara Aglo tak berdaya penuh luka.

"Vivian? Gadis yang ingin dinikahi oleh Pangeran?" Salah satu pria lain terperangah. 

Clara mengangguk. "Vivian kabur karna tak ingin dinikahkan oleh Pangeran."

Pria bertubuh besar mendekati Clara. "Apakah kau menyadari keuntungan besar di hadapan kita?" Pria itu adalah teman Clara yang selalu menemaninya. Ia pandai dalam hal mendapatkan cara untuk koin emas atau makan gratis.

"Hewan langka dan istri Pangeran, bukan?" Clara tersenyum tipis. Mereka tampak kompak dan mulai membuat strategi untuk tujuannya.  

관련 챕터

  • Vivian   Binatang Pelacak

    "Dari mana kau dapatkan anjing ini?" Clara terperangah melihat anjing pelacak yang hanya dimiliki orang-orang di istana.Pria bertubuh besar itu memperlihatkan jejeran gigi. "Aku sudah memberi tahu semuanya pada Pangeran. Sekarang, kita harus mengambil kain di lengan hewan payah itu.""Untuk apa kita mengambilnya,?" tanya Clara mengikuti langkah Bobby menuju kandang Aglo.Bobby tak menjawab, ia meraih kain di bahu Aglo hingga membuatnya meraung. Ada beberapa penjaga di sisi kandang hingga Aglo tak dapat berbuat apapun."Siapa yang mau ikut bersama kami mencari Vivian!" Suara Bobby lantang menawarkan pada penduduk desa yang haus akan hadiah dari Pangeran."Aku!" ujar salah satu pria berkepala tiga segera berdiri."Aku juga akan ikut," imbuh pria di sisi kanan kandang Aglo."Cukup tiga orang saja," tegas Bobby agar penjagaan Aglo tetap ketat.Api di ujung tongkat dipegangi mereka masing-masing. Perasaan Clara am

    최신 업데이트 : 2021-07-18
  • Vivian   Tak Berdaya

    Dari kejauhan, Vivian melihat kebun penduduk. Ia kembali mengingat masa kecil hingga dewasa. Harapan untuk mengubah hidup lebih bebas, kini semakin sirna. Ia mengerti apa yang akan dialaminya setelah menikah dengan Pangeran."Dimana binatangku?" tanya Vivian berulang kali pada Bobby. Ia tak sabar melihat keadaan Aglo."Bisakah kau diam? Sampai kita tiba di istana. Aku lelah," tegur Bobby dengan raut kesal. Perutnya mulai sangat terasa lapar usai perjalanan jauh.Vivian melihat sekeliling bergoyang, kakinya mulai tak terasa berpijak. Ia pun terhempas dengan mata terpejam."Kau yang angkat gadis itu!" suruh Bobby pada Clara."Aku tak sudi menyentuhnya," bantah Clara memandangi Vivian tampak jijik."Kupastikan kau tak mendapat apapun jika tak mengurusi calon pengantin Pangeran." Bobby terdengar lantang di telinga Clara yang mengernyit melihat Bobby tiba-tiba berubah tegas seperti itu.Clara berdecak. Ia terpaksa membawa Vivia

    최신 업데이트 : 2021-07-18
  • Vivian   Persiapan Pernikahan

    Kala mentari telah terbit, Vivian masih terbaring mengamati sekeliling ruangan. Ia memasang pendengaran lebih tajam. Suara-suara di sekitar istana cukup riuh.Pintu terbuka, tempak Pangeran menyeringai sembari mendekati Vivian dengan melebarkan mata. Sontak Vivian bangkit dan berusaha berdiri, tetapi ia tak kuat."Tetaplah berbaring di tempatmu!" Pangeran memegangi kedua pundak Vivian.Vivian terus menunduk. Ia tak sudi menatap mata pria tua itu. Sementara perawat di dekat pintu hanya berdiam menunggu perintah."Bagaimana keadaan calon pengantinku?" tanya Pangeran tersenyum ke arah perawat."Sudah membaik, Yang Mulia," jawab perawat menunduk. Ia tahu, pertanyaan pangeran hanyalah sekedar basa-basi.Tangan pangeran mengelus rambut Vivian tanpa kain penutup. Vivian menggeliat, ia menggeser tubuh cukup jauh dari pangeran.Pangeran tertawa. "Ini yang kusuka darimu!" Ia menarik lengan Vivian sangat kuat. "Kau masih ingat

    최신 업데이트 : 2021-07-18
  • Vivian   Pelarian Dan Hutan Terlarang

    "Kemarilah! Aku akan membawamu agar dihukum." Jemari gadis bertubuh ramping menggenggam erat lengan gadis yang tengah luka di bagian lutut. "Lepaskan aku, Kak!" titah gadis itu mengusap peluh di kening. Ia merasakan lukanya sangat perih, bersama dengan matanya memanas menahan air mata. "Kau tak tahu diri, Vivian!" hardik wanita ramping tadi menghentikan langkah. Ia menatap tajam Vivian yang bergetar menahan sakit. Vivian menarik lengannya dengan keras. Sementara wanita ramping berambut panjang terikat terus menahan pegangan. "Aku lelah, Kakak! Aku sangat lelah. Aku tak bisa bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan kalian. Biarkan aku hidup sendiri ..." ungkap Vivian pada saudari sepupunya yang tak peduli. Tangan kanan wanita kurus melayang ke wajah Vivian dengan keras hingga mengeluarkan suara. Perih di pipi kiri Vivian membuat air matanya tumpah. "Kau sungguh tak tahu diri. Ayah dan Ibuku sudah membesarkanmu, tetapi kau ingin lari be

    최신 업데이트 : 2021-07-18

최신 챕터

  • Vivian   Persiapan Pernikahan

    Kala mentari telah terbit, Vivian masih terbaring mengamati sekeliling ruangan. Ia memasang pendengaran lebih tajam. Suara-suara di sekitar istana cukup riuh.Pintu terbuka, tempak Pangeran menyeringai sembari mendekati Vivian dengan melebarkan mata. Sontak Vivian bangkit dan berusaha berdiri, tetapi ia tak kuat."Tetaplah berbaring di tempatmu!" Pangeran memegangi kedua pundak Vivian.Vivian terus menunduk. Ia tak sudi menatap mata pria tua itu. Sementara perawat di dekat pintu hanya berdiam menunggu perintah."Bagaimana keadaan calon pengantinku?" tanya Pangeran tersenyum ke arah perawat."Sudah membaik, Yang Mulia," jawab perawat menunduk. Ia tahu, pertanyaan pangeran hanyalah sekedar basa-basi.Tangan pangeran mengelus rambut Vivian tanpa kain penutup. Vivian menggeliat, ia menggeser tubuh cukup jauh dari pangeran.Pangeran tertawa. "Ini yang kusuka darimu!" Ia menarik lengan Vivian sangat kuat. "Kau masih ingat

  • Vivian   Tak Berdaya

    Dari kejauhan, Vivian melihat kebun penduduk. Ia kembali mengingat masa kecil hingga dewasa. Harapan untuk mengubah hidup lebih bebas, kini semakin sirna. Ia mengerti apa yang akan dialaminya setelah menikah dengan Pangeran."Dimana binatangku?" tanya Vivian berulang kali pada Bobby. Ia tak sabar melihat keadaan Aglo."Bisakah kau diam? Sampai kita tiba di istana. Aku lelah," tegur Bobby dengan raut kesal. Perutnya mulai sangat terasa lapar usai perjalanan jauh.Vivian melihat sekeliling bergoyang, kakinya mulai tak terasa berpijak. Ia pun terhempas dengan mata terpejam."Kau yang angkat gadis itu!" suruh Bobby pada Clara."Aku tak sudi menyentuhnya," bantah Clara memandangi Vivian tampak jijik."Kupastikan kau tak mendapat apapun jika tak mengurusi calon pengantin Pangeran." Bobby terdengar lantang di telinga Clara yang mengernyit melihat Bobby tiba-tiba berubah tegas seperti itu.Clara berdecak. Ia terpaksa membawa Vivia

  • Vivian   Binatang Pelacak

    "Dari mana kau dapatkan anjing ini?" Clara terperangah melihat anjing pelacak yang hanya dimiliki orang-orang di istana.Pria bertubuh besar itu memperlihatkan jejeran gigi. "Aku sudah memberi tahu semuanya pada Pangeran. Sekarang, kita harus mengambil kain di lengan hewan payah itu.""Untuk apa kita mengambilnya,?" tanya Clara mengikuti langkah Bobby menuju kandang Aglo.Bobby tak menjawab, ia meraih kain di bahu Aglo hingga membuatnya meraung. Ada beberapa penjaga di sisi kandang hingga Aglo tak dapat berbuat apapun."Siapa yang mau ikut bersama kami mencari Vivian!" Suara Bobby lantang menawarkan pada penduduk desa yang haus akan hadiah dari Pangeran."Aku!" ujar salah satu pria berkepala tiga segera berdiri."Aku juga akan ikut," imbuh pria di sisi kanan kandang Aglo."Cukup tiga orang saja," tegas Bobby agar penjagaan Aglo tetap ketat.Api di ujung tongkat dipegangi mereka masing-masing. Perasaan Clara am

  • Vivian   Perjuangan Aglo Demi Vivian

    Mentari menyentuh pelupuk mata Vivian hingga terbangun. Ia bersandar di batang pohon, melihat sekelilingnya tampak seperti sarang."Aglo memang pandai membuat tempat nyaman," gumam Vivian.Ia menoleh ke kiri dan kanan. Mengintip dari atas, tak ada Aglo di bawah pohon itu. Vivian hendak turun dari puncak pohon, tetapi ia mengingat ancaman akan Clara.Vivian menelan saliva, ia menyambar akar ranting pohon untuk mendapatkan sedikit cairan."Harusnya kau tak pergi, Aglo," lirih Vivian melempar akar yang dihisap tadi. Ia khawatir jika Aglo ceroboh hingga manusia melihatnya lalu-lalang. Pohon tempat tinggal Aglo sangatlah jauh dari tempat Vivian berada.Vivian memejamkan mata sejenak. Ia mengolah perasaan agar lebih tenang. Luka di sekujur tubuhnya masih sangat terasa.Tak lama, pohon itu bergerak. Vivian melirik ke bawah, Aglo tampak menaiki pohon tergesa-gesa.Vivian lega melihat Aglo. Namun, melihat bercak merah pekat d

  • Vivian   Pelarian Dan Hutan Terlarang

    "Kemarilah! Aku akan membawamu agar dihukum." Jemari gadis bertubuh ramping menggenggam erat lengan gadis yang tengah luka di bagian lutut. "Lepaskan aku, Kak!" titah gadis itu mengusap peluh di kening. Ia merasakan lukanya sangat perih, bersama dengan matanya memanas menahan air mata. "Kau tak tahu diri, Vivian!" hardik wanita ramping tadi menghentikan langkah. Ia menatap tajam Vivian yang bergetar menahan sakit. Vivian menarik lengannya dengan keras. Sementara wanita ramping berambut panjang terikat terus menahan pegangan. "Aku lelah, Kakak! Aku sangat lelah. Aku tak bisa bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan kalian. Biarkan aku hidup sendiri ..." ungkap Vivian pada saudari sepupunya yang tak peduli. Tangan kanan wanita kurus melayang ke wajah Vivian dengan keras hingga mengeluarkan suara. Perih di pipi kiri Vivian membuat air matanya tumpah. "Kau sungguh tak tahu diri. Ayah dan Ibuku sudah membesarkanmu, tetapi kau ingin lari be

DMCA.com Protection Status