"Kemarilah! Aku akan membawamu agar dihukum." Jemari gadis bertubuh ramping menggenggam erat lengan gadis yang tengah luka di bagian lutut.
"Lepaskan aku, Kak!" titah gadis itu mengusap peluh di kening. Ia merasakan lukanya sangat perih, bersama dengan matanya memanas menahan air mata.
"Kau tak tahu diri, Vivian!" hardik wanita ramping tadi menghentikan langkah. Ia menatap tajam Vivian yang bergetar menahan sakit.
Vivian menarik lengannya dengan keras. Sementara wanita ramping berambut panjang terikat terus menahan pegangan.
"Aku lelah, Kakak! Aku sangat lelah. Aku tak bisa bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan kalian. Biarkan aku hidup sendiri ..." ungkap Vivian pada saudari sepupunya yang tak peduli.
Tangan kanan wanita kurus melayang ke wajah Vivian dengan keras hingga mengeluarkan suara. Perih di pipi kiri Vivian membuat air matanya tumpah. "Kau sungguh tak tahu diri. Ayah dan Ibuku sudah membesarkanmu, tetapi kau ingin lari begitu saja tanpa membalas jasa mereka."
Vivian memegangi pipi. Ia mengangkat wajah dan menyipitkan mata. "Aku dibesarkan dengan jerih payah sendiri. Aku bekerja di kebun, bahkan pernah menjadi budak untuk kalian!" Gadis berambut pendek tertutupi kain itu meninggikan suara.
Satu kibasan tangan mendarat di pipi Vivian lagi. Mukanya memerah menatap tajam Clara di hadapan. Ia mengangkat tangan dan mengepal keras lalu ditancapkan ke wajah Clara hingga terhempas. Lengan Vivian terlepas, Clara tampak menyentuh sudut bibir yang berdarah.
Seketika Vivian melemas. Ia mengerling telapak tangan yang telah menghajar saudari sepupunya. Ia menyesal, ia melangkah mundur menjauhi Clara.
Vivian membalikkan tubuh, berlari meninggalkan Clara yang masih duduk mengusap darah.
"Kau akan lebih menderita, Vivian," gumam Clara mencoba berdiri.
Vivian berlari dengan napas terengah-engah. Darah di lututnya menetes. Ia mengabaikan perih dilanda oleh ketakutan akan Clara.
Tiba ia di depan jurang dengan beberapa pohon kecil tumbuh liar. Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada Clara atau orang lain. Ia memejamkan mata, berpikir untuk kemana lagi.
"Jika aku mati ..." gumamnya melirik ke bawah. "Tidak! Aku masih ingin hidup. Aku belum menemukan siapa orangtuaku atau makamnya jika mereka telah tiada," imbuhnya berbisik pada diri sendiri.
Vivian menaruh satu kaki di sisi jurang, ia menurunkan tubuh perlahan sembari memegangi pohon kecil di dekatnya. Penuh kehati-hatian, ia merosot sedikit demi sedikit. Kulit tangannya sesekali tergores duri-duri dari rumput menjalar.
Ia meringis, ada banyak tambahan luka. Kakinya mulai lelah menahan beban tubuhnya, ia menempelkan badan ke tanah jurang itu.
Ketika Vivian tersisa beberapa meter, ia melepaskan pegangan dan menggelinding hingga ke bawah. Ia mendarat menerpa batu di bawahnya, tepat di bagian tulang belakang. Ia menangis karena merasakan sakit berdenyut.
Ingin meminta tolong. Namun, tak ada siapa-siapa. Ia mengingatkan diri bahwa ia dalam pelarian hingga harus meninggalkan tempat itu lebih jauh.
Vivian berusaha bangkit, melewati lembah dengan berjalan menghampiri bukit di hadapannya.
"Oh tidak! Aku tak sanggup mendaki ..." lirihnya bersandar di salah satu pohon.
Ia mengatur napas, menelan saliva. Terasa kering tenggorokangnya.
"Air ... aku butuh air," katanya sembari menahan sakit dan perih di sekujur tubuh. Bibir kian mengering sedikit pecah digigit berulang kali.
Suara napas terdengar oleh Vivian yang memejamkan mata. Ia menoleh dengan pelupuk sayu, mencoba mengamati sekeliling. Tampak hewan berbulu coklat bak kucing dengan kaki jenjang menatap Vivian.
"Aglo?" Vivian menjulurkan jemari seolah-olah sedang menengadah.
Hewan coklat berekor panjang itu mendekat, menaruh wajah di jemari Vivian. Ia mengeluarkan cairan bening di sudut mata.
"Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanya Vivian lagi tersenyum layu.
Aglo hewan liar yang hanya jinak pada Vivian karena Vivian menemukannya saat masih bayi. Saat Aglo terpisah oleh induk di hutan timur akibat pemburu. Vivian selalu menyempatkan diri menemui Aglo di sebuah pohon berduri dan beracun, pohon yang dihindari banyak pemburu.
Aglo semakin mendekat dan menaruh tangan di kepala Vivian, isyarat kasih sayangnya. Tubuh Aglo bak singa jantan, tetapi bulunya seperti kucing anggora. Ia termasuk hewan langka hingga sangat terancam jika manusia lain melihat.
Vivian diangkat dengan tangan Aglo. Ia berdiri seperti gorila, juga tangannya. Wajah Aglo persis kera dengan mata berwarna toska. Vivian berpegangan di pundak Aglo, ia merehatkan diri dan tersenyum lega.
"Terima kasih banyak, Aglo!" ucap Vivian mengeratkan pegangan seperti anak kecil digendong ayahnya.
Aglo meraih ranting pohon usai meletakkan Vivian agar berbaring sejenak. Ia berlari sesekali melompat menuju sebuah rawa-rawa di bawah bukit itu. Sesaat Aglo mengamati sekeliling dan mengisi daun berbentuk kelopak bunga tulip. Lalu, kembali menemui Vivian.
Aglo memperlihatkan air di wadah daun itu pada Vivian sembari mengangguk.
"Kau juga minum!" pinta Vivian pada Aglo setelah meneguk setengah air.
Aglo pun meminum sisa Vivian.
"Aglo ... apakah kau tahu apa yang terjadi?" tanya Vivian.
Aglo menjawab dengan anggukan.
"Kau tak melakukan apa-apa, bukan?" Vivian khawatir, Aglo menyaksikan perkelahiannya dengan Clara.
Aglo hanya menaruh tangan di kepala Vivian. Ia memberi isyarata agar Vivian menenangkan diri. Lalu, Aglo melempar tatapan ke segala arah, ia mengendus kasar.
Vivian merasa, Aglo telah menyaksikan semuanya dan menahan amarah.
"Jangan perlihatkan dirimu pada manusia lain." Vivian memeluk lengan Aglo dengan bulu lembutnya. "Aku tak ingin kehilanganmu," imbuh Vivian menenggelamkan wajah ke bahu Aglo.
Jemari Aglo mengusap muka Vivian. Ia meletakkan kepala Vivian di pangkuannya. Vivian merasa nyaman oleh bulu halus dan lebat di tubuh Aglo.
***
Telapak Vivian menyentuh perut yang terus berbunyi. Ia memejamkan mata saat terasa melilit. Aglo rebah di dekat Vivian, tepat di bawah pohon dengan akar ranting bergelantungan.
"Bagaimana aku bisa mendapatkan makanan di tengah malam begini," batin Vivian cemas. Ia terus menegadah mencari cahaya dari langit. Bintang-bintang terhalangi lebatnya rimbunan pepohonan.
Ia meraih akar ranting berukuran jari kelingking. Kemudian menggigit lapisan terdalam. Ada rasa sedikit asam dan sejuk, berair.
"Cukup untuk menjanggal perutku," gumamnya lega.
Aglo yang mendengar suara tarikkan akar ranting di atasnya, seketika terbangun. Mata Aglo dapat melihat jelas di malam hari, tetapi ia tak dapat pergi meninggalkan Vivian begitu saja. Hewan berbulu itu tak pandai berbicara layaknya manusia, tetapi cerdas memahami ucapan Vivian, manusia penjinaknya.
"Maafkan aku telah membangunkanmu, Aglo!" Vivian mengelus bahu Aglo dengan akar ranting masih di dalam mulut.
Aglo memegangi lengan Vivian. Namun, menghirup aroma aneh hingga memeluk erat Vivian dan menutup wajah.
Tindakan Aglo membuat Vivian merasa takut. Ia menutup bibir, membayangkan ada orang suruhan Clara atau para penjaga hutan terlarang.
Aglo menaruh kedua tangan Vivian di lehernya sementara satu tangan Aglo menahan tubuh Vivian dan memanjat pohon seperti kera.
"Apakah kita sudah aman?" tanya Vivian berbisik. Ia duduk di pangkuan Aglo dengan jantung berdetak kencang.
Aglo menggeleng, ia hanya menguatkan pegangan di salah satu ranting. Sementara Vivian berusaha mencari apa yang Aglo amati.
Vivian memandangi bintang di atas kepala Aglo, setelah lelah tak dapat melihat apa-apa di bawah sana. Ia bersandar nyaman di dada Aglo hingga menguap.
"Aku tak akan bisa bebas dari Clara," gumam Vivian memejamkan mata.
Aglo merajut tiap akar ranting agar dapat dijadikan tempat tidur. Ia meletakkan Vivian yang terlelap dengan hati-hati.
Rajutan akar hingga dedaunan dihamparkan ke tubuh Vivian agar tak kedinginan. Kemudian Aglo pergi dengan berlari kencang menggunakan kaki seolah mengendap.
Mentari menyentuh pelupuk mata Vivian hingga terbangun. Ia bersandar di batang pohon, melihat sekelilingnya tampak seperti sarang."Aglo memang pandai membuat tempat nyaman," gumam Vivian.Ia menoleh ke kiri dan kanan. Mengintip dari atas, tak ada Aglo di bawah pohon itu. Vivian hendak turun dari puncak pohon, tetapi ia mengingat ancaman akan Clara.Vivian menelan saliva, ia menyambar akar ranting pohon untuk mendapatkan sedikit cairan."Harusnya kau tak pergi, Aglo," lirih Vivian melempar akar yang dihisap tadi. Ia khawatir jika Aglo ceroboh hingga manusia melihatnya lalu-lalang. Pohon tempat tinggal Aglo sangatlah jauh dari tempat Vivian berada.Vivian memejamkan mata sejenak. Ia mengolah perasaan agar lebih tenang. Luka di sekujur tubuhnya masih sangat terasa.Tak lama, pohon itu bergerak. Vivian melirik ke bawah, Aglo tampak menaiki pohon tergesa-gesa.Vivian lega melihat Aglo. Namun, melihat bercak merah pekat d
"Dari mana kau dapatkan anjing ini?" Clara terperangah melihat anjing pelacak yang hanya dimiliki orang-orang di istana.Pria bertubuh besar itu memperlihatkan jejeran gigi. "Aku sudah memberi tahu semuanya pada Pangeran. Sekarang, kita harus mengambil kain di lengan hewan payah itu.""Untuk apa kita mengambilnya,?" tanya Clara mengikuti langkah Bobby menuju kandang Aglo.Bobby tak menjawab, ia meraih kain di bahu Aglo hingga membuatnya meraung. Ada beberapa penjaga di sisi kandang hingga Aglo tak dapat berbuat apapun."Siapa yang mau ikut bersama kami mencari Vivian!" Suara Bobby lantang menawarkan pada penduduk desa yang haus akan hadiah dari Pangeran."Aku!" ujar salah satu pria berkepala tiga segera berdiri."Aku juga akan ikut," imbuh pria di sisi kanan kandang Aglo."Cukup tiga orang saja," tegas Bobby agar penjagaan Aglo tetap ketat.Api di ujung tongkat dipegangi mereka masing-masing. Perasaan Clara am
Dari kejauhan, Vivian melihat kebun penduduk. Ia kembali mengingat masa kecil hingga dewasa. Harapan untuk mengubah hidup lebih bebas, kini semakin sirna. Ia mengerti apa yang akan dialaminya setelah menikah dengan Pangeran."Dimana binatangku?" tanya Vivian berulang kali pada Bobby. Ia tak sabar melihat keadaan Aglo."Bisakah kau diam? Sampai kita tiba di istana. Aku lelah," tegur Bobby dengan raut kesal. Perutnya mulai sangat terasa lapar usai perjalanan jauh.Vivian melihat sekeliling bergoyang, kakinya mulai tak terasa berpijak. Ia pun terhempas dengan mata terpejam."Kau yang angkat gadis itu!" suruh Bobby pada Clara."Aku tak sudi menyentuhnya," bantah Clara memandangi Vivian tampak jijik."Kupastikan kau tak mendapat apapun jika tak mengurusi calon pengantin Pangeran." Bobby terdengar lantang di telinga Clara yang mengernyit melihat Bobby tiba-tiba berubah tegas seperti itu.Clara berdecak. Ia terpaksa membawa Vivia
Kala mentari telah terbit, Vivian masih terbaring mengamati sekeliling ruangan. Ia memasang pendengaran lebih tajam. Suara-suara di sekitar istana cukup riuh.Pintu terbuka, tempak Pangeran menyeringai sembari mendekati Vivian dengan melebarkan mata. Sontak Vivian bangkit dan berusaha berdiri, tetapi ia tak kuat."Tetaplah berbaring di tempatmu!" Pangeran memegangi kedua pundak Vivian.Vivian terus menunduk. Ia tak sudi menatap mata pria tua itu. Sementara perawat di dekat pintu hanya berdiam menunggu perintah."Bagaimana keadaan calon pengantinku?" tanya Pangeran tersenyum ke arah perawat."Sudah membaik, Yang Mulia," jawab perawat menunduk. Ia tahu, pertanyaan pangeran hanyalah sekedar basa-basi.Tangan pangeran mengelus rambut Vivian tanpa kain penutup. Vivian menggeliat, ia menggeser tubuh cukup jauh dari pangeran.Pangeran tertawa. "Ini yang kusuka darimu!" Ia menarik lengan Vivian sangat kuat. "Kau masih ingat
Kala mentari telah terbit, Vivian masih terbaring mengamati sekeliling ruangan. Ia memasang pendengaran lebih tajam. Suara-suara di sekitar istana cukup riuh.Pintu terbuka, tempak Pangeran menyeringai sembari mendekati Vivian dengan melebarkan mata. Sontak Vivian bangkit dan berusaha berdiri, tetapi ia tak kuat."Tetaplah berbaring di tempatmu!" Pangeran memegangi kedua pundak Vivian.Vivian terus menunduk. Ia tak sudi menatap mata pria tua itu. Sementara perawat di dekat pintu hanya berdiam menunggu perintah."Bagaimana keadaan calon pengantinku?" tanya Pangeran tersenyum ke arah perawat."Sudah membaik, Yang Mulia," jawab perawat menunduk. Ia tahu, pertanyaan pangeran hanyalah sekedar basa-basi.Tangan pangeran mengelus rambut Vivian tanpa kain penutup. Vivian menggeliat, ia menggeser tubuh cukup jauh dari pangeran.Pangeran tertawa. "Ini yang kusuka darimu!" Ia menarik lengan Vivian sangat kuat. "Kau masih ingat
Dari kejauhan, Vivian melihat kebun penduduk. Ia kembali mengingat masa kecil hingga dewasa. Harapan untuk mengubah hidup lebih bebas, kini semakin sirna. Ia mengerti apa yang akan dialaminya setelah menikah dengan Pangeran."Dimana binatangku?" tanya Vivian berulang kali pada Bobby. Ia tak sabar melihat keadaan Aglo."Bisakah kau diam? Sampai kita tiba di istana. Aku lelah," tegur Bobby dengan raut kesal. Perutnya mulai sangat terasa lapar usai perjalanan jauh.Vivian melihat sekeliling bergoyang, kakinya mulai tak terasa berpijak. Ia pun terhempas dengan mata terpejam."Kau yang angkat gadis itu!" suruh Bobby pada Clara."Aku tak sudi menyentuhnya," bantah Clara memandangi Vivian tampak jijik."Kupastikan kau tak mendapat apapun jika tak mengurusi calon pengantin Pangeran." Bobby terdengar lantang di telinga Clara yang mengernyit melihat Bobby tiba-tiba berubah tegas seperti itu.Clara berdecak. Ia terpaksa membawa Vivia
"Dari mana kau dapatkan anjing ini?" Clara terperangah melihat anjing pelacak yang hanya dimiliki orang-orang di istana.Pria bertubuh besar itu memperlihatkan jejeran gigi. "Aku sudah memberi tahu semuanya pada Pangeran. Sekarang, kita harus mengambil kain di lengan hewan payah itu.""Untuk apa kita mengambilnya,?" tanya Clara mengikuti langkah Bobby menuju kandang Aglo.Bobby tak menjawab, ia meraih kain di bahu Aglo hingga membuatnya meraung. Ada beberapa penjaga di sisi kandang hingga Aglo tak dapat berbuat apapun."Siapa yang mau ikut bersama kami mencari Vivian!" Suara Bobby lantang menawarkan pada penduduk desa yang haus akan hadiah dari Pangeran."Aku!" ujar salah satu pria berkepala tiga segera berdiri."Aku juga akan ikut," imbuh pria di sisi kanan kandang Aglo."Cukup tiga orang saja," tegas Bobby agar penjagaan Aglo tetap ketat.Api di ujung tongkat dipegangi mereka masing-masing. Perasaan Clara am
Mentari menyentuh pelupuk mata Vivian hingga terbangun. Ia bersandar di batang pohon, melihat sekelilingnya tampak seperti sarang."Aglo memang pandai membuat tempat nyaman," gumam Vivian.Ia menoleh ke kiri dan kanan. Mengintip dari atas, tak ada Aglo di bawah pohon itu. Vivian hendak turun dari puncak pohon, tetapi ia mengingat ancaman akan Clara.Vivian menelan saliva, ia menyambar akar ranting pohon untuk mendapatkan sedikit cairan."Harusnya kau tak pergi, Aglo," lirih Vivian melempar akar yang dihisap tadi. Ia khawatir jika Aglo ceroboh hingga manusia melihatnya lalu-lalang. Pohon tempat tinggal Aglo sangatlah jauh dari tempat Vivian berada.Vivian memejamkan mata sejenak. Ia mengolah perasaan agar lebih tenang. Luka di sekujur tubuhnya masih sangat terasa.Tak lama, pohon itu bergerak. Vivian melirik ke bawah, Aglo tampak menaiki pohon tergesa-gesa.Vivian lega melihat Aglo. Namun, melihat bercak merah pekat d
"Kemarilah! Aku akan membawamu agar dihukum." Jemari gadis bertubuh ramping menggenggam erat lengan gadis yang tengah luka di bagian lutut. "Lepaskan aku, Kak!" titah gadis itu mengusap peluh di kening. Ia merasakan lukanya sangat perih, bersama dengan matanya memanas menahan air mata. "Kau tak tahu diri, Vivian!" hardik wanita ramping tadi menghentikan langkah. Ia menatap tajam Vivian yang bergetar menahan sakit. Vivian menarik lengannya dengan keras. Sementara wanita ramping berambut panjang terikat terus menahan pegangan. "Aku lelah, Kakak! Aku sangat lelah. Aku tak bisa bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan kalian. Biarkan aku hidup sendiri ..." ungkap Vivian pada saudari sepupunya yang tak peduli. Tangan kanan wanita kurus melayang ke wajah Vivian dengan keras hingga mengeluarkan suara. Perih di pipi kiri Vivian membuat air matanya tumpah. "Kau sungguh tak tahu diri. Ayah dan Ibuku sudah membesarkanmu, tetapi kau ingin lari be