Bab 34."Mama!""Za!""Naya!""Ma ... Mama!"Sore hari Angga pulang dari latihan basket di sekolah. Ia memanggil mama dan dua adiknya karena rumah terlihat seperti tak berpenghuni. Bahkan ruangan yang mulai sedikit gelap, belum mendapat penerangan seperti biasanya. Mbok Wati di jam seperti itu akan pulang sebentar ke rumahnya, dan balik saat hari akan magrib.Angga naik ke kamar adiknya, karena di bawah sana ia lihat mobil mama terparkir dengan rapi. Namun, tak ada tanda-tanda Nindita berada di rumah. Angga membuka pintu kamar Khanza, lalu mendekat pada gadis itu yang terlihat sedang tertidur. Ia menggoyangkan tubuh adiknya untuk membangunkan. Seketika Khanza terbangun dan melihat Angga di dekatnya. Inaya pun ikut terbangun."Mama mana, Za?" tanya Angga, meskipun terlihat Khanza masih menguap."Hah, mama?" Khanza baru saja mengumpulkan kesadarannya."Tadi mama tidur sama kita," ucap Khanza. Kemudian ia menatap Angga cukup lama hingga membuat lelaki itu mengerutkan keningnya.Melihat
Bab 35."Mba, maaf ya, saya terpaksa batalin rencana kerjasama kita. Di luar sana masih banyak jasa endorse yang mungkin lebih baik, dan saya lebih nyaman." Seorang perempuan menerangkan maksud ia meminta bertemu dengan Selly.Produk skincare yang baru launching, berniat bekerja sama dengan Selly untuk mempromosikan barangnya. Selly hanya bisa menatap terpaku mendengar pemutusan sebelah pihak. Sudah terlalu banyak orang yang tiba-tiba menelepon dan melakukan hal serupa seperti yang wanita itu lakukan pada Selly."Produk yang udah saya kirim, ambil aja." Wanita itu tersenyum hambar, sementara Selly tetap diam, karena ia sudah mengerti alasannya ditolak di mana-mana."Saya memang nggak tau persis masalah mbaknya, tapi saya pernah ada di posisi istri pertama. Perasaan itu yang saya tau persis gimana rasanya. Mbak nggak tau, kan, rasanya nangis sesenggukan tanpa ingin ketahuan. Mbak pasti nggak tau rasanya nyuri waktu buat nangis biar anak-anak nggak tau kalau kita lagi terluka parah."
Bab 36.Suasana rumah benar-benar kaku dan beku, bukan karena tak lagi terawat, tapi karena penghuninya tak lagi saling menyapa. Tidak ada Nindita di rumah itu benar-benar membuat rumah terasa gelap dan mati.Semua orang terlalu sibuk dengan aktivitas masing-masing. Sibuk mengabaikan satu sama lain. Mereka bertemu, tapi saling diam dan berlalu pergi. Sebuah keadaan yang tak pernah terbayang sebelumnya. Dulu, selalu ada kerinduan saat sehari saja tak bertemu. Namun, sekarang mereka mengelak untuk saling menatap muka.Bahkan, Inaya yang dulunya sangat manja dengan Bima, kini hanya diam ketika bertemu. Ia tak membenci begitu kentara, tapi juga tak bisa sehangat dulu. "Kita makan di restoran ya, Naya sama Kak Khanza bisa pesan apa aja yang kalian suka." Setelah beberapa waktu menjalani kehidupan yang dingin, Bima mencoba membujuk dua anak gadisnya. Hanya mereka harapan Bima, karena Angga sungguh tak terbujuk.Khanza dan Inaya saling menatap, lalu bersamaan menggeleng. Ajakan itu memang
Bab 37.Angga pikir berkelahi dengan Bara akan membuat mama datang padanya. Saat melihat Bara terus menatapnya dengan Dinda, Angga merasa ingin melakukan sesuatu agar orangtuanya dipanggil. Namun, ia tersulut emosi hingga hampir membuatnya hilang kendali."Saya pengen kedua orangtua saya dipanggil, Pak! Saya mau mama dan papa ke sini," pinta Angga pada kepala sekolah. Ia terlihat putus asa untuk membuat mamanya kembali ke rumah.Ariyanto, sang kepala sekolah menatap Angga seraya menggeleng, ia bisa membaca lewat gerak tubuhnya bahwa Angga ingin mengembalikan hubungan kedua orangtuanya. Ia ingin keduanya hadir di sini. Namun, cara yang ia lakukan sangat tidak dibenarkan. "Kamu ingin dua orangtuamu di sini dan melihat kamu babak belur seperti ini? Bayangkan dulu bagaimana perasaannya, akan senang atau sedih?"Sementara itu, Bu Arini selaku guru BK sudah menghubungi orangtua Angga dan Bara. Ia dan kepala sekolah akan memberitahukan bahwa anak-anak ini dihukum karena membuat kesalahan l
Bab 38."Ma, sehari lagi ya. Janji besok pulang dan sekolah." Inaya mengangkat dua jarinya untuk dilihat oleh Nindita. Gadis itu meminta untuk tinggal sehari lagi bersamanya. Jika boleh, Inaya ingin tetap tinggal di rumah nenek selama ada mamanya di sana."Iya, Ma. Boleh ya," Khanza duduk lebih dekat dengan Nindita, ia merengek sama seperti Inaya yang tak ingin pisah."Nggak boleh ingkar janji, kan kalian harus sekolah."Dengan berat hati Nindita harus berkata seperti itu. Meskipun sebenarnya ia masih rindu."Kemarin belum janji, Ma. Nah, hari ini baru deh janji. Mama minta izin sama Bu guru ya, sehari lagi aja. Bilang aja pulang kampung jenguk nenek." Khanza memohon pada mamanya."Udah pintar kalian ya. Sejak kapan kamu malas sekolah, Za?" Nindita protes, tapi sambil tersenyum menatap anaknya satu persatu.Khanza dan Inaya saling melirik, lalu cekikikan. Mereka bukan malas sekolah, hanya saja masih rindu dan tak ingin jauh dari mamanya."Siapa yang ajarin?" tanya Nindita."Kak Angga
Bab 39.Seminggu kemudian.Langit jingga tampak indah di atas sana, tapi sama sekali tak ingin dinikmati Nindita. Ia menatap rumah dua tingkat dengan cat berwarna putih gading itu. Rumah yang sejak Angga kecil telah ditinggalinya bersama keluarga. Dulu, Nindita yang mengatur bunga-bunga di taman kecil itu. Ia yang menyiramnya setiap hari. Ia juga yang menutup pintu pagar ketika Bima sudah keluar bekerja. Nindita yang merapikan seluruh isi rumah itu, ia begitu akrab dengan setiap sudutnya. Keindahan-keindahan serta kenangan manis selalu ia lewatkan di sana. Hingga akhirnya di dalam rumah itu juga, ia menyesap rasa pahit yang melukai jiwa raganya.Dengan langkah pasti, ia membuka pintu pagar rumah itu. Nindita masuk dengan tenang. Sudah cukup ia menangis untuk semua yang terjadi. Sekarang waktunya untuk kembali, Nindita rindu akan kehidupannya yang dulu meski tak lagi sama. Ia tak bisa terus menerus terpuruk dengan keberadaan Selly sebagai orang ketiga.Ada hal yang lebih mengambil po
Bab 40."Aku akan gugat cerai di pengadilan. Ayo bercerai, Mas!"Mendengar itu, Bima menatap Nindita begitu lama. Ada yang terasa merintih perih di hatinya, entah karena masih tersisa rasa cinta, atau karena merasa bersalah. Atau memang karena rasa tamak ingin tetap memiliki keduanya.Namun, ia tetap diam. Ia tahu persis bahwa Nindita bukan tipe wanita yang tak berpikir panjang. Setiap keputusan sudah ia pikirkan baik buruknya, dan tak ada yang bisa mempengaruhinya dengan cara apa pun."Nin ... apa harus bercerai? Tolong jangan seperti ini, Sayang!" Bima tak tahan, ia akhirnya bicara. Lelaki itu ingin mendekat, tapi Nindita menahannya seraya meletakkan jarinya di bibir, mengisyaratkan Bima untuk diam dan tetap di tempat."Jangan panggil aku seperti itu lagi, Mas. Aku sudah bilang itu menjijikkan.""Sudah tak ada yang tersisa untuk kupertahankan," tegas Nindita."Nin ... aku ingin kamu tetap di sini, jadi ibu untuk anak-anak kita."Bima tampak memohon. Entah apa yang ada di pikirannya
Bab 41."Kamu nggak usah datang ke pengadilan, Mas. Biar urusannya cepat kelar." Nindita berkata pada Bima waktu itu.Setelah menjalani berbagai proses, akhirnya Nindita dan Bima menandatangani surat perceraian. Mereka akhirnya bercerai yang menyisakan tangis di mata anak-anak."Ma ... apa itu artinya Naya bukan anak papa lagi?" tanya Inaya pada mamanya saat malam itu mereka tidur bersama.Mendengar pernyataan itu seketika mambuat mata Nindita kembali basah. Ia tahu tak ada anak yang akan siap dengan perceraian kedua orangtuanya. Namun, diantara tiga anaknya, Inaya lah yang benar-benar terlihat menyedihkan. Nindita tahu, ada luka dan kecemburuan yang bersarang dalam dadanya. Luka saat melihat papanya begitu hangat dengan anak lain, Enzy. Gadis kecil itu cemburu pada hak yang seharusnya tetap menjadi miliknya.Nindita mengusap puncak kepala Inaya, perih di dadanya semakin menjadi kala Inaya juga menangis di pelukannya. Rasanya Nindita lebih rela semua kesakitan itu beralih, dan hanya
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya
Bab 57."Ambil gitar," perintah Angga pada Sam yang masih menatapnya bingung. Namun, ia tetap mengikuti perintah Angga, mengambil gitar dan memasukkan ke dalam tas khususnya.Sam mengeluh bosan di rumah setelah menyelesaikan aktivitas belajar mereka di malam hari. Beberapa hari lalu Angga dan Sam sering mengisi kebosanan itu dengan bermain gitar dan bernyanyi di kamar Sam. Entah sudah berapa lama mereka tak bernyanyi bersama."Mau ke mana?" tanya Sam masih bingung. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, jika papa ada di rumah, ia pasti akan melarang mereka keluar lagi."Udah tenang aja, jangan banyak tanya. Sini gitarnya." Angga mengambil alih gitar di tangan Sam dan menaruh di bagian belakangnya. Ia menyambar jaket hitam yang tadi dipakainya, lalu mereka berdua keluar dari kamar itu.Angga pernah mencoba untuk betah di rumah, tapi lagi-lagi ia dihadapkan oleh situasi yang begitu jenuh. Papa dan Selly masih kerap membahas persolan Andre yang datang tiba-tiba ke dalam kehidupan me
Bab 56."Lepaskan, Mas!" Selly menarik tangan seorang lelaki agar terlepas dari lengan Enzy. Sementara gadis kecil itu terus menjerit meminta tolong pada mamanya."Ini anakku, Sel. Aku juga berhak atas dia. Kenapa kamu seolah ingin memisahkan kami?" Andre, mantan suami Selly terus menarik Enzy.Andre berjalan dan membuka pintu mobil, ia ingin Enzy masuk ke dalam sana. Namun, gadis kecil itu terus meronta diikuti Selly yang mendekat dengan langkah tertatih sebab perutnya semakin besar. Enzy melawan, ia ingin berlari dan pergi dari sana. Entah kenapa mamanya tiba-tiba membawanya ke taman di sisi kota sore ini.Suasana taman sedikit sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Namun, mereka enggan mendekat karena mendmegar keributan itu tentang keluarga. Jadi, mereka malas untuk ikut campur masalah rumah tangga orang lain."Tenang Zi, ini papa. Kamu akan aman sama papa," ucap Andre mencoba membuat Enzy tenang. Namun, tetap saja Enzy menangis. Ia baru pertama kali melihat wajah it
Bab 55.Angga kembali ke Jakarta setelah libur usai. Meskipun sebenarnya ia belum ingin pergi dari sana, karena mama masih berduka. Terlihat sekali Nindita sering menangis sendirian saat termenung. Kehilangan seorang ibu masih terus membekas rasa duka di hatinya. Namun, Nindita tetap harus bisa menunjukkan kesan baik-baik saja di depan Angga, karena ia harus kembali sekolah untuk menggapai mimpi yang telah disusunnya."Kesedihan yang wajar, Ga. Nanti juga perlahan memudar. Mama nangis bukan berarti nggak ikhlas. Kamu harus sekolah ya, pulang."Angga pulang dengan rasa yang semakin muak berada di keluarga itu. Rencana untuk tetap tinggal bersama papa, rasanya perlahan semakin tak bisa ia lakukan. Namun, betah atau tidak, ia tetap harus di sana.Sam melihat rasa marah masih bertahan dalam diri Angga. Kini bukan lagi acuh tak acuh, tapi Angga bahkan jarang pulang ke rumah. Sebab itu ia sering menginap di rumah Sam.Surya yang kini lebih sering di rumah, malah merasa senang Angga lebih b