Bab 18.Bu Airin akhirnya menghubungi orangtua dari dua siswa bandel yang ada di depannya. Angga dan Bara tak ada yang mau menghubungi orangtuanya karena takut, juga tahu diri sedang berbuat salah.Bu Airin langsung menelepon Bima yang saat itu sedang sibuk di kantor. Bima menghubungi istrinya dan mengabarkan itu, seperti terhantam palu di hati Nindita saat mendengar itu. Bima meninggalkan pekerjaan di kantor, dan langsung bergegas ke sekolah. Napasnya memburu menahan amarah, Angga sudah keterlaluan sekarang. Sejak TK Bima menyekolahkannya, baru hari ini anak itu bertengkar hebat dengan teman-temannya. Hari ini juga untuk pertama kali Bima datang ke sekolah karena Angga bermasalah.Bima tiba di sekolah, ia langsung masuk ke ruang BK, di mana kepala sekolah sudah menunggu.“Selamat pagi, Pak!” sapa Bima begitu masuk ke ruang BK.Semua yang berada di dalam tersenyum ramah menyambut kedatangannya. Bima menjabat tangan kepala sekolah dan menangkupkan tangannya di depan Bu Airin, karena w
Bab 19*Pulang sekolah, guru-guru mengarahkan siswanya untuk ke aula. Kepala sekolah akan memberikan pengumuman tentang kasus yang baru saja terjadi di sekolah itu. Ia mengumpulkan siswa-siswi untuk menyuruh mereka menghapus semua foto yang sempat disebarkan oleh Bara.Angga tak tahu harus meletakkan mukanya di mana saat kepala sekolah menegaskan itu. Ia bingung harus senang atau sedih, yang pastinya dikatakan atau tidak, itu sama-sama memalukan. Ia dipermalukan oleh papanya sendiri.Kepala sekolah dengan tegas mengingatkan siswa-siswinya, jika kedapatan masih ada yang menyebarkan, maka akan diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Ini tidak menyangkut tentang urusan sekolah, tapi mengenai privasi orang lain yang tak perlu disebarluaskan dan terjadi di sekolah.Lelaki yang berdiri di depan dan memegang mikrofon itu juga menegaskan bagaimana hukumnya memfitnah seseorang, dan kabar yang beredar tanpa kejelasan seperti yang terjadi hari ini, itu tergolong fitnah. Pak Ariyanto juga
Bab 20.“Angga, buka pintunya!” teriak Nindita dari luar kamar. Ia terus menerus menekan handel pintu kamar Angga yang dikunci dari dalam.Nindita menunggu Angga pulang sekolah. Ia khawatir dengan keadaan anak sulungnya itu. Perempuan itu juga merasa ada hal yang tidak ia ketahui, yang disembunyikan Angga. Pasalnya, Angga berubah drastis sejak beberapa waktu lalu. Nindita tak tahu sebab apa.Mesin motor Angga terdengar, hingga membuat Nindita bangun dari kursi di teras. Ia berdiri dan ingin menyambut Angga. Lebih tepatnya bertanya banyak hal karena desakan rasa penasaran dan khawatir yang menguasainya.Angga mematikan mesin motornya, sejenak ia diam di atas motor, terlihat urung ingin melepaskan helm. Melihat mamanya yang berdiri menunggunya, membuat ia merasa kembali kecewa pada diri sendiri. Entahlah, hati Angga terasa campur aduk. Kecewa, marah, merasa malu pada teman-temannya. Lengkap sudah.Nindita terus menatap putranya, menunggu Angga mendekat. Dari jarak beberapa meter ia mel
Bab 21.Angga datang lebih awal ke sekolah. Suasana masih lumayan sepi saat ia datang ke kantin dan memesan semangkuk bubur ayam juga segelas teh hangat. Pagi tadi saat Angga turun dari kamar dan menuju meja makan, ia melihat nasi lemak dan mie goreng yang menggugah selera. Sepertinya Nindita memang sengaja memasak menu sarapan kesukaan Angga, agar anak itu tahu bahwa mamanya begitu perhatian. Bahwa tak sepatutnya ia mencari perhatian dengan membuat kenakalan di luar sana.Namun, selera yang tadinya singgah seketika hilang. Angga kehilangan nafsu makan saat ia melihat Bima duduk di salah satu kursi, lalu Inaya dan Khanza duduk di sebelahnya. Angga terdiam sejenak, tak tahu harus bersikap bagaimana. Satu banding tiga. Ada tiga orang yang ia sayangi di sana, hanya satu orang yang sangat melukai hatinya, tapi satu orang itu yang memang. Sakit hati dan kecewanya lebih banyak mengambil alih suasana hatinya. Ia bahkan mengabaikan celoteh Inaya yang begitu semangat dengan menu sarapan pagi
Bab 22.“Ros, boleh tukar tempat duduk, nggak?” pinta Dinda pada salah satu teman sekelasnya.Sejenak Ros menatap bingung pada Dinda. Permintaan yang aneh, karena sejak dulu ia tak pernah ingin menukar posisi dari meja terdepan itu.Tak hanya Ros yang merasa tak paham dengan permintaan Dinda, tapi Angga tak sengaja mendengar, yang duduk di dekat dinding deretan ke tiga juga menatap Dinda dengan raut wajah penuh tanya.“Lo serius?” Ros bertanya ingin memastikan.Dinda mengangguk seraya tersenyum. Setelah itu, ia mengambil buku-bukunya dan pindah ke meja yang semulanya ditempati oleh Ros.Dinda mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum melihat Angga yang duduk di samping mejanya masih menatap tak percaya pada kelakuan gadis itu.“Balik, Din. Bisa-bisa nilai lu turun kayak gue. Atau bahkan lu ketularan gue yang nggak semangat belajar. Sana!” Angga bangun dari kursinya, ia memegang lengan Dinda dan menyuruhnya balik untuk duduk di tempat semula.“Eh, tenang deh! Gue tetap Dinda yang dulu
Bab 23*Angga pulang sekolah lebih awal karena hari ini tidak ada jadwal latihan basket. Ia memarkirkan motornya, membuka helm dan masuk ke dalam rumah. Di rumah terlihat sepi, padahal biasanya riuh suara Inaya dan Khanza mendominasi saat ia pulang sekolah. Ia ingin naik ke kamar dan mencari keberadaan adiknya. Namun, saat ia melewati ruang keluarga, ia melihat mamanya terbaring tak berdaya di sofa.“Ma!” panggil Angga. Ia mendekat dan memeriksa kondisi Nindita yang terbaring di sana dengan kunci mobil di tangannya.Angga panik saat tangannya menyentuh dahi Nindita. Suhunya panas dan perempuan itu terlihat pucat. Nindita terlihat sangat lemah dengan mata yang terpejam, tapi masih sadar dan cukup lega saat menyadari Angga kini berada di dekatnya.“Ma, kita ke rumah sakit sekarang!”Nindita mengangguk lemah, ia bersyukur Angga pulang tepat waktu.Angga mengangkat Nindita dari sofa dan berjalan melewati pintu. Saat ia sampai di teras, ia melihat Mbok Wati, tukang cuci gosok di rumahnya
Bab 24*Khanza dan Inaya meminta ikut ke rumah sakit setelah tahu mamanya sedang dirawat. Keduanya mengganti baju sekolah dan meminta Angga untuk mengantar ke sana. Angga menuruti, karena ia tahu kedua adiknya juga sangat menyayangi sang mama, sama seperti dirinya yang tak ingin Nindita terluka.“Khanza ... Inaya!” panggil Angga saat dua adiknya akan masuk ke mobil.Dua gadis cantik itu menoleh, bersiap untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh kakaknya.“Jangan bilang dulu ke mama kalau kalian diganggu orang gi la ya. Kak Angga takut mama makin drop karena ngerasa bersalah. Kalian tau kan mama gimana? Tadi tuh mama mau jemput kalian, tapi tiba-tiba jatuh karena pusing.”Angga seolah sedang mengajak dua adiknya untuk bekerja sama. Ia tak yakin dengan Inaya yang masih terlalu kecil, tapi melihat raut wajah Khanza, Angga yakin seandainya pun ia tahu papanya menikah lagi, dan Angga meminta untuk tak memberitahu mamanya sementara, Khanza terlihat bisa bekerja sama. Melindungi sebuah hat
Bab 25*“Mbak ....” Angga memanggil karena melihat Ellia yang sedari tadi hanya menatap kosong pada dinding lift yang sedang mereka naiki.“Mbak El!” Gadis itu masih termenung, hingga Angga membuat gerakan tangan di depan wajahnya.“Hah, iya? Apa, Ga?” sahut Ellia tak fokus.“Gue WhatsApp kok nggak dibales?” tanya Angga.“Ada ya? Sorry gue nggak liat hape.” Ellia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Mengecek pesan dari Angga yang tak ia balas sejak tadi.“Udahlah. Udah nyampe sini juga.”Pintu lift terbuka. Angga dan Ellia berada di lantai empat, di mana apartemen Selly berada.Angga mempercepat langkahnya hingga Ellia tertinggal beberapa langkah karena tak bisa mengejar langkah jenjang lelaki itu. Saat sampai di depan pintu apartemen, Angga menekan bel berkali-kali, tapi tak ada sambutan dari dalam sana. Tak ada tanda-tanda akan ada yang membuka pintu. Ah, pikiran Angga menjadi benar-benar tak karuan. Mungkin Bima dan Selly sedang bersenang-senang di dalam sana dan tak ingin ada y
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya
Bab 57."Ambil gitar," perintah Angga pada Sam yang masih menatapnya bingung. Namun, ia tetap mengikuti perintah Angga, mengambil gitar dan memasukkan ke dalam tas khususnya.Sam mengeluh bosan di rumah setelah menyelesaikan aktivitas belajar mereka di malam hari. Beberapa hari lalu Angga dan Sam sering mengisi kebosanan itu dengan bermain gitar dan bernyanyi di kamar Sam. Entah sudah berapa lama mereka tak bernyanyi bersama."Mau ke mana?" tanya Sam masih bingung. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, jika papa ada di rumah, ia pasti akan melarang mereka keluar lagi."Udah tenang aja, jangan banyak tanya. Sini gitarnya." Angga mengambil alih gitar di tangan Sam dan menaruh di bagian belakangnya. Ia menyambar jaket hitam yang tadi dipakainya, lalu mereka berdua keluar dari kamar itu.Angga pernah mencoba untuk betah di rumah, tapi lagi-lagi ia dihadapkan oleh situasi yang begitu jenuh. Papa dan Selly masih kerap membahas persolan Andre yang datang tiba-tiba ke dalam kehidupan me
Bab 56."Lepaskan, Mas!" Selly menarik tangan seorang lelaki agar terlepas dari lengan Enzy. Sementara gadis kecil itu terus menjerit meminta tolong pada mamanya."Ini anakku, Sel. Aku juga berhak atas dia. Kenapa kamu seolah ingin memisahkan kami?" Andre, mantan suami Selly terus menarik Enzy.Andre berjalan dan membuka pintu mobil, ia ingin Enzy masuk ke dalam sana. Namun, gadis kecil itu terus meronta diikuti Selly yang mendekat dengan langkah tertatih sebab perutnya semakin besar. Enzy melawan, ia ingin berlari dan pergi dari sana. Entah kenapa mamanya tiba-tiba membawanya ke taman di sisi kota sore ini.Suasana taman sedikit sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Namun, mereka enggan mendekat karena mendmegar keributan itu tentang keluarga. Jadi, mereka malas untuk ikut campur masalah rumah tangga orang lain."Tenang Zi, ini papa. Kamu akan aman sama papa," ucap Andre mencoba membuat Enzy tenang. Namun, tetap saja Enzy menangis. Ia baru pertama kali melihat wajah it
Bab 55.Angga kembali ke Jakarta setelah libur usai. Meskipun sebenarnya ia belum ingin pergi dari sana, karena mama masih berduka. Terlihat sekali Nindita sering menangis sendirian saat termenung. Kehilangan seorang ibu masih terus membekas rasa duka di hatinya. Namun, Nindita tetap harus bisa menunjukkan kesan baik-baik saja di depan Angga, karena ia harus kembali sekolah untuk menggapai mimpi yang telah disusunnya."Kesedihan yang wajar, Ga. Nanti juga perlahan memudar. Mama nangis bukan berarti nggak ikhlas. Kamu harus sekolah ya, pulang."Angga pulang dengan rasa yang semakin muak berada di keluarga itu. Rencana untuk tetap tinggal bersama papa, rasanya perlahan semakin tak bisa ia lakukan. Namun, betah atau tidak, ia tetap harus di sana.Sam melihat rasa marah masih bertahan dalam diri Angga. Kini bukan lagi acuh tak acuh, tapi Angga bahkan jarang pulang ke rumah. Sebab itu ia sering menginap di rumah Sam.Surya yang kini lebih sering di rumah, malah merasa senang Angga lebih b