Bab 23*Angga pulang sekolah lebih awal karena hari ini tidak ada jadwal latihan basket. Ia memarkirkan motornya, membuka helm dan masuk ke dalam rumah. Di rumah terlihat sepi, padahal biasanya riuh suara Inaya dan Khanza mendominasi saat ia pulang sekolah. Ia ingin naik ke kamar dan mencari keberadaan adiknya. Namun, saat ia melewati ruang keluarga, ia melihat mamanya terbaring tak berdaya di sofa.“Ma!” panggil Angga. Ia mendekat dan memeriksa kondisi Nindita yang terbaring di sana dengan kunci mobil di tangannya.Angga panik saat tangannya menyentuh dahi Nindita. Suhunya panas dan perempuan itu terlihat pucat. Nindita terlihat sangat lemah dengan mata yang terpejam, tapi masih sadar dan cukup lega saat menyadari Angga kini berada di dekatnya.“Ma, kita ke rumah sakit sekarang!”Nindita mengangguk lemah, ia bersyukur Angga pulang tepat waktu.Angga mengangkat Nindita dari sofa dan berjalan melewati pintu. Saat ia sampai di teras, ia melihat Mbok Wati, tukang cuci gosok di rumahnya
Bab 24*Khanza dan Inaya meminta ikut ke rumah sakit setelah tahu mamanya sedang dirawat. Keduanya mengganti baju sekolah dan meminta Angga untuk mengantar ke sana. Angga menuruti, karena ia tahu kedua adiknya juga sangat menyayangi sang mama, sama seperti dirinya yang tak ingin Nindita terluka.“Khanza ... Inaya!” panggil Angga saat dua adiknya akan masuk ke mobil.Dua gadis cantik itu menoleh, bersiap untuk mendengarkan apa yang dikatakan oleh kakaknya.“Jangan bilang dulu ke mama kalau kalian diganggu orang gi la ya. Kak Angga takut mama makin drop karena ngerasa bersalah. Kalian tau kan mama gimana? Tadi tuh mama mau jemput kalian, tapi tiba-tiba jatuh karena pusing.”Angga seolah sedang mengajak dua adiknya untuk bekerja sama. Ia tak yakin dengan Inaya yang masih terlalu kecil, tapi melihat raut wajah Khanza, Angga yakin seandainya pun ia tahu papanya menikah lagi, dan Angga meminta untuk tak memberitahu mamanya sementara, Khanza terlihat bisa bekerja sama. Melindungi sebuah hat
Bab 25*“Mbak ....” Angga memanggil karena melihat Ellia yang sedari tadi hanya menatap kosong pada dinding lift yang sedang mereka naiki.“Mbak El!” Gadis itu masih termenung, hingga Angga membuat gerakan tangan di depan wajahnya.“Hah, iya? Apa, Ga?” sahut Ellia tak fokus.“Gue WhatsApp kok nggak dibales?” tanya Angga.“Ada ya? Sorry gue nggak liat hape.” Ellia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Mengecek pesan dari Angga yang tak ia balas sejak tadi.“Udahlah. Udah nyampe sini juga.”Pintu lift terbuka. Angga dan Ellia berada di lantai empat, di mana apartemen Selly berada.Angga mempercepat langkahnya hingga Ellia tertinggal beberapa langkah karena tak bisa mengejar langkah jenjang lelaki itu. Saat sampai di depan pintu apartemen, Angga menekan bel berkali-kali, tapi tak ada sambutan dari dalam sana. Tak ada tanda-tanda akan ada yang membuka pintu. Ah, pikiran Angga menjadi benar-benar tak karuan. Mungkin Bima dan Selly sedang bersenang-senang di dalam sana dan tak ingin ada y
Bab 26*Kondisi Nindita sudah jauh lebih baik. Demamnya berangsur turun, dan ia sudah lebih bertenaga dari pada sebelumnya. Hal itu membuat ibu tiga anak itu ingin segera pulang ke rumah. Apalagi melihat Angga yang sangat sibuk mengantar jemput adik-adiknya juga mengurusi dirinya.“Kapan boleh pulang, Dok?” Nindita bertanya pada dokter yang baru saja memeriksanya.“Tensinya udah kembali normal, panasnya juga turun. Nanti ibu minum obat ini dulu, kita lihat perkembangannya lagi. Masih pusing?” tanya dokter yang memakai kaca mata itu.“Pas bangun aja pusingnya, Dok. Tapi, nanti normal lagi.”“Oke, sore ini ibu boleh pulang. Tapi, tetap rutin minum obat dan istirahat yang cukup.”Nindita mengangguk, ia menatap Angga yang juga terlihat bahagia dengan pernyataan dokter tadi. Bersama dengan perawat, dokter berusia empat puluhan tahun itu keluar dari ruang rawat.“Senang banget bisa pulang hari ini, mama kangen banget sama rumah, Ga.” Nindita membelai tangan putra sulungnya yang tengah dudu
Bab 27*“Welcome home, Sayang!” seru Bima dari dalam rumah begitu Nindita melewati pintu. Tangan Bima direntangkan seolah siap memberi pelukan hangat pada Nindita yang baru saja kembali ke rumah.Angga menatap dingin pada Bima seraya menahan amarah dan tangan yang mulai terkepal. Ia berusaha keras untuk mengontrol diri. Sementara Nindita terhenti. Ia menatap Bima dengan wajah sedikit masam, sama sekali tak terpikirkan bahwa Bima benar-benar tak menghubunginya selama ia sakit.Bima yang ditatap seperti itu sedikit terpaku. Untuk pertama kali Nindita menatapnya seolah sedang mengintimidasi. Ia diam di tempat dengan wajah yang sedikit pias. Senyum yang semula terukir kini perlahan redup karena melihat wajah Nindita. Ia ingin memeluk, tapi Nindita sama sekali tak merespon. Membuat Bima bertanya-tanya dengan resah, mungkin saja istrinya sudah tahu rahasia besarnya selama ini.“Aku kecewa sama kamu, Mas!” ucap Nindita begitu dingin.Angga menatap mama yang masih berdiri di sampingnya. Ia m
Bab 28.“Wakatobi?” Angga berkata sinis seraya meletakkan ponselnya secara kasar di atas meja.Bima yang tengah duduk sambil menikmati secangkir teh sore itu menoleh, ia melihat Angga dengan amarah yang terpendam di wajahnya.Lelaki dewasa itu menatap ponsel yang masih menyala. Terlihat sebuah video keindahan laut dan pulau Wakatobi. Gabungan keindahan alam yang dikagumi banyak orang. Video itu berasal dari akun Instagram Selly. Ia mengunggah pemandangan alam tempat mereka berwisata beberapa hari lalu, kali ini dengan pose dua pasang kaki yang menginjak pasir dan air lautan yang biru.Video itu membuat Angga semakin memupuk kebencian untuk Bima dan Selly. Ia merasa wanita itu seperti tengah memancing kemarahannya. Selly dengan rasa percaya dirinya menganggap Bima akan selalu berada di pihaknya, atau bahkan miliknya seutuhnya. Tak peduli ada seorang anak yang kehilangan rasa hormat pada papanya sendiri karena ulahnya.Keduanya mungkin berpikir semua butuh waktu untuk Angga menerima. N
Bab 29.“Aku bisa pulang lebih awal hari ini, ayo keluar jalan-jalan.”Bima masih di kantor saat ia menelepon Selly untuk mengajaknya keluar jalan-jalan. Sejak kepulangannya dari Wakatobi, ia belum pernah menginap di apartemen istri mudanya. Bima belum bisa mencari alasan yang tepat untuk menghabiskan waktu bersama Selly. Bima hanya datang ke apartemen saat pulang kerja, atau saat ia meminta izin pada Nindita untuk keluar mencari udara di malam hari.Ia juga memberi alasan lembur kerja agar bisa singgah dan menemui Selly yang setiap kali ia rindukan.“Males,” jawab Selly singkat di seberang sana. Ia merajuk karena suasana dan waktu semakin tak terkendali untuk bisa terus menerus menempel dengan suaminya.“Ngambek ya?” tanya Bima sedikit tertawa. Ia mengerti istri mudanya tak bisa terima dengan keadaannya saat ini. Namun, mau bagaimana lagi, ia harus bisa membagi waktu agar tak ketahuan Nindita.Selly diam. Seperti wanita lainnya, saat ia merajuk, ia ingin ada yang mengerti dan dibuju
Bab 30.“Semoga kalian bertengkar!” Angga tersenyum sinis di depan pintu cafe. Ia melanjutkan langkahnya menuju parkiran dan mengambil motor yang sedari tadi diparkirkan di sana.Angga sudah terlalu lama berada di cafe itu, duduk di suatu sudut dengan masker terpasang rapi di wajahnya. Ia sibuk berpura-pura membaca buku, demi melihat adegan memuakkan dari papa dan mama baru yang tak pernah ingin diakuinya. Ia mengamati bagaimana Selly mengadu dan menangis entah karena apa, karena suasana ramai dan riuh pengunjung sangat tidak mendukung untuk menguping pembicaraan mereka. Ditambah alunan musik pop yang semakin membuat Angga menggelengkan kepala.Sebuah ide gi la terpikirkan oleh Angga, seperti bola lampu kuning yang muncul di atas kepalanya, layaknya di sebuah film-film kartun yang sering ditonton Inaya. Ia keluar dari cafe dan membeli satu buket bunga di toko yang terletak tepat di sebelah cafe. Lagi-lagi Angga tersenyum sinis saat ide itu semakin menjadi-jadi. Ia menuliskan sebuah s
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya
Bab 57."Ambil gitar," perintah Angga pada Sam yang masih menatapnya bingung. Namun, ia tetap mengikuti perintah Angga, mengambil gitar dan memasukkan ke dalam tas khususnya.Sam mengeluh bosan di rumah setelah menyelesaikan aktivitas belajar mereka di malam hari. Beberapa hari lalu Angga dan Sam sering mengisi kebosanan itu dengan bermain gitar dan bernyanyi di kamar Sam. Entah sudah berapa lama mereka tak bernyanyi bersama."Mau ke mana?" tanya Sam masih bingung. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, jika papa ada di rumah, ia pasti akan melarang mereka keluar lagi."Udah tenang aja, jangan banyak tanya. Sini gitarnya." Angga mengambil alih gitar di tangan Sam dan menaruh di bagian belakangnya. Ia menyambar jaket hitam yang tadi dipakainya, lalu mereka berdua keluar dari kamar itu.Angga pernah mencoba untuk betah di rumah, tapi lagi-lagi ia dihadapkan oleh situasi yang begitu jenuh. Papa dan Selly masih kerap membahas persolan Andre yang datang tiba-tiba ke dalam kehidupan me
Bab 56."Lepaskan, Mas!" Selly menarik tangan seorang lelaki agar terlepas dari lengan Enzy. Sementara gadis kecil itu terus menjerit meminta tolong pada mamanya."Ini anakku, Sel. Aku juga berhak atas dia. Kenapa kamu seolah ingin memisahkan kami?" Andre, mantan suami Selly terus menarik Enzy.Andre berjalan dan membuka pintu mobil, ia ingin Enzy masuk ke dalam sana. Namun, gadis kecil itu terus meronta diikuti Selly yang mendekat dengan langkah tertatih sebab perutnya semakin besar. Enzy melawan, ia ingin berlari dan pergi dari sana. Entah kenapa mamanya tiba-tiba membawanya ke taman di sisi kota sore ini.Suasana taman sedikit sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Namun, mereka enggan mendekat karena mendmegar keributan itu tentang keluarga. Jadi, mereka malas untuk ikut campur masalah rumah tangga orang lain."Tenang Zi, ini papa. Kamu akan aman sama papa," ucap Andre mencoba membuat Enzy tenang. Namun, tetap saja Enzy menangis. Ia baru pertama kali melihat wajah it
Bab 55.Angga kembali ke Jakarta setelah libur usai. Meskipun sebenarnya ia belum ingin pergi dari sana, karena mama masih berduka. Terlihat sekali Nindita sering menangis sendirian saat termenung. Kehilangan seorang ibu masih terus membekas rasa duka di hatinya. Namun, Nindita tetap harus bisa menunjukkan kesan baik-baik saja di depan Angga, karena ia harus kembali sekolah untuk menggapai mimpi yang telah disusunnya."Kesedihan yang wajar, Ga. Nanti juga perlahan memudar. Mama nangis bukan berarti nggak ikhlas. Kamu harus sekolah ya, pulang."Angga pulang dengan rasa yang semakin muak berada di keluarga itu. Rencana untuk tetap tinggal bersama papa, rasanya perlahan semakin tak bisa ia lakukan. Namun, betah atau tidak, ia tetap harus di sana.Sam melihat rasa marah masih bertahan dalam diri Angga. Kini bukan lagi acuh tak acuh, tapi Angga bahkan jarang pulang ke rumah. Sebab itu ia sering menginap di rumah Sam.Surya yang kini lebih sering di rumah, malah merasa senang Angga lebih b