Bab 13 * “Sel, kamu udah nikah lagi ya?” tanya salah satu teman Selly. Hari ini Selly dan teman-temannya sedang berkumpul di sebuah cafe. Ia berkumpul bersama teman-teman satu SMA dulu. “Iya, aku juga liat postingannya rame banget yang ngucapin selamat.” Yang lain ikut menimpali. Hanya ada lima teman Selly yang datang. Ada Widya, Santi, Nana, Ratna, dan Keke, yang lainnya tidak bisa datang karena kesibukan masing-masing. Setiap beberapa lama, mereka memang mengadakan acara ngumpul-ngumpul bersama teman-teman alumni sekelas. “Btw, sama siapa? Kok wajahnya ngga keliatan sih?” tanya Keke. Selly menyeruput es jeruk yang ia pesan. Butuh sedikit sensasi dingin untuk menjawab semua pertanyaan itu. Apalagi tenggorokannya seolah tercekat, begitu berat menjawab pertanyaan demi pertanyaan. “Iyalah, zaman sekarang itu suami nggak boleh dipamerin di sosial media. Pelakor di mana-mana euy!” ucap Widya yang mengenakan baju berwarna lilac. Hampir saja Selly tersedak minuman yang sedang ia nik
Bab 14*Hari itu, Bima menjemput Inaya di sekolah. Hanya Inaya sendiri, Khanza sedang tidak sekolah karena sedang demam tinggi.Saat tengah mengemudi, tiba-tiba Bima terpaksa menghentikan mobilnya saat Inaya menunjuk ke arah depan.“Pa, itu teman Naya!” teriak Inaya pada papanya.Bima melihat ke jalanan di depan sana, terlihat seorang perempuan tengah berdiri di pinggir jalan dengan bagian depan mobil yang terbuka. Perempuan itu mendekat pada kap mobil dan memeriksa apa yang salah, tapi ia tetap terlihat bingung.Bima menepi tepat di dekat mobil itu. Sepertinya mobil salah satu orangtua dari teman anaknya itu sedang mogok.“Iya, Pa. Itu Enzy, teman sekelas Naya.” Inaya memberitahu. Saat itu ia belum terlalu dekat dengan Enzy, hanya teman sekelasnya, belum duduk satu meja dengan dengan Enzy. Mereka masih kelas satu SD.“Yuk turun, kita lihat!” ajak Bima pada anaknya. Ia ingin mengajarkan cara berempati pada orang lain di depan Inaya.Bima dan Inaya turun dari mobil. Enzy melihat kedua
Bab 15*“Sah?”“Sah!” ucap para saksi dalam pernikahan Selly dan Bima.Selly dan Bima menikah di Jogja, di rumah paman satu-satunya dari pihak ayah. Selly meminta pamannya untuk menjadi wali nikahnya. Ia hanya menikah secara siri, hanya sah menurut agama. Bima tak bisa menikahinya secara legal hukum negara, karena ia tak mendapat izin dari Nindita. Ah, bukan tak mendapat izin, tapi memang nikah secara sembunyi-sembunyi di belakang Nindita.Selly setuju dengan itu semua. Ia sama sekali tak mempermasalahkan, asalkan sah menurut agama. Ia sama sekali tak berpikir efek jika terjadi sesuatu ke depannya. Buta. Benar-benar dibutakan oleh cinta semu.Setelah berjuang meyakinkan ibunya, akhirnya Selly bisa menikah dengan akad nikah yang dirayakan secara sederhana. Hanya ada keluarganya, saksi, dan keluarga pamannya sebagai pemilik rumah.“Kalau ibu dan Om Arya nggak setuju, aku akan mengakui diri sebagai anak zina dan meminta wali hakim untuk menikahkan kami.” Selly mengancam ibunya karena me
Bab 16*Angga sudah tiba di sekolah di pagi yang begitu cerah. Ia memarkirkan motornya di parkiran khusus siswa. Sejenak lelaki bertubuh atletis itu merapikan rambutnya yang sedikit rusak tatanannya karena memakai helm. Setelah dirasa rapi, ia berjalan menuju kelasnya. Sempat ia lihat beberapa siswi yang berjalan dari gerbang masuk, memperhatikannya dan berbisik pada teman di sampingnya. Sudah biasa. Angga sudah terbiasa mendapatkan perhatian seperti itu. Biasanya dari siswi-siswi yang diam-diam menyukainya.Di rumah dan di sekolah, Angga sama-sama sudah tak nyaman. Jika sedang di sekolah ia teringat mamanya di rumah. Angga khawatir jika mamanya tiba-tiba mengetahui rahasia itu semua, dan ia akan menangis terluka, sedangkan Angga tidak ada di rumah. Saat di rumah, Angga lebih lagi merasa jenuh. Jenuh melihat wajah menyebalkan itu. Ia harus terus-menerus menghindar dengan mendekam diri di kamar dan beralasan belajar. Padahal ia hanya menghindari papanya dan pertanyaan sang mama tentan
Bab 17*Angga sama sekali tak menghiraukan panggilan dua temannya itu. Ia tetap berjalan lurus menuju satu tempat yang memungkinkan untuk menemukan sosok yang ia cari.Bara Dewangga. Ia pernah bertarung dengan Angga untuk memenangkan menjadi kapten tim basket di sekolah. Namun, Angga yang dipilih untuk menjadi kapten, dan Bara pun mundur bahkan untuk menjadi anggota tim. Ia tak ingin satu tim dengan Angga, karena ia merasa banyak orang akan berputar di dunia Angga. Sementara ia hanya akan menjadi orang yang tak terlihat, meskipun kemampuan yang ia rasa sama dengan Angga.Angga berdiri di depan pintu kelas IPS, di mana anak-anak di kelas itu sedang becanda satu sama lain dengan kaki yang dinaikkan ke atas meja. Sebagiannya sedang menulis entah apa. Mereka menoleh saat melihat sosok Angga berdiri di depan pintu dengan wajah merah padam.“Ada yang lihat Bara?” tanya Angga dingin pada siapa pun yang berada di sana.Tak ada yang menjawab. Mereka hanya mengendikkan bahu karena memang tidak
Bab 18.Bu Airin akhirnya menghubungi orangtua dari dua siswa bandel yang ada di depannya. Angga dan Bara tak ada yang mau menghubungi orangtuanya karena takut, juga tahu diri sedang berbuat salah.Bu Airin langsung menelepon Bima yang saat itu sedang sibuk di kantor. Bima menghubungi istrinya dan mengabarkan itu, seperti terhantam palu di hati Nindita saat mendengar itu. Bima meninggalkan pekerjaan di kantor, dan langsung bergegas ke sekolah. Napasnya memburu menahan amarah, Angga sudah keterlaluan sekarang. Sejak TK Bima menyekolahkannya, baru hari ini anak itu bertengkar hebat dengan teman-temannya. Hari ini juga untuk pertama kali Bima datang ke sekolah karena Angga bermasalah.Bima tiba di sekolah, ia langsung masuk ke ruang BK, di mana kepala sekolah sudah menunggu.“Selamat pagi, Pak!” sapa Bima begitu masuk ke ruang BK.Semua yang berada di dalam tersenyum ramah menyambut kedatangannya. Bima menjabat tangan kepala sekolah dan menangkupkan tangannya di depan Bu Airin, karena w
Bab 19*Pulang sekolah, guru-guru mengarahkan siswanya untuk ke aula. Kepala sekolah akan memberikan pengumuman tentang kasus yang baru saja terjadi di sekolah itu. Ia mengumpulkan siswa-siswi untuk menyuruh mereka menghapus semua foto yang sempat disebarkan oleh Bara.Angga tak tahu harus meletakkan mukanya di mana saat kepala sekolah menegaskan itu. Ia bingung harus senang atau sedih, yang pastinya dikatakan atau tidak, itu sama-sama memalukan. Ia dipermalukan oleh papanya sendiri.Kepala sekolah dengan tegas mengingatkan siswa-siswinya, jika kedapatan masih ada yang menyebarkan, maka akan diskors atau bahkan dikeluarkan dari sekolah. Ini tidak menyangkut tentang urusan sekolah, tapi mengenai privasi orang lain yang tak perlu disebarluaskan dan terjadi di sekolah.Lelaki yang berdiri di depan dan memegang mikrofon itu juga menegaskan bagaimana hukumnya memfitnah seseorang, dan kabar yang beredar tanpa kejelasan seperti yang terjadi hari ini, itu tergolong fitnah. Pak Ariyanto juga
Bab 20.“Angga, buka pintunya!” teriak Nindita dari luar kamar. Ia terus menerus menekan handel pintu kamar Angga yang dikunci dari dalam.Nindita menunggu Angga pulang sekolah. Ia khawatir dengan keadaan anak sulungnya itu. Perempuan itu juga merasa ada hal yang tidak ia ketahui, yang disembunyikan Angga. Pasalnya, Angga berubah drastis sejak beberapa waktu lalu. Nindita tak tahu sebab apa.Mesin motor Angga terdengar, hingga membuat Nindita bangun dari kursi di teras. Ia berdiri dan ingin menyambut Angga. Lebih tepatnya bertanya banyak hal karena desakan rasa penasaran dan khawatir yang menguasainya.Angga mematikan mesin motornya, sejenak ia diam di atas motor, terlihat urung ingin melepaskan helm. Melihat mamanya yang berdiri menunggunya, membuat ia merasa kembali kecewa pada diri sendiri. Entahlah, hati Angga terasa campur aduk. Kecewa, marah, merasa malu pada teman-temannya. Lengkap sudah.Nindita terus menatap putranya, menunggu Angga mendekat. Dari jarak beberapa meter ia mel
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya
Bab 57."Ambil gitar," perintah Angga pada Sam yang masih menatapnya bingung. Namun, ia tetap mengikuti perintah Angga, mengambil gitar dan memasukkan ke dalam tas khususnya.Sam mengeluh bosan di rumah setelah menyelesaikan aktivitas belajar mereka di malam hari. Beberapa hari lalu Angga dan Sam sering mengisi kebosanan itu dengan bermain gitar dan bernyanyi di kamar Sam. Entah sudah berapa lama mereka tak bernyanyi bersama."Mau ke mana?" tanya Sam masih bingung. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, jika papa ada di rumah, ia pasti akan melarang mereka keluar lagi."Udah tenang aja, jangan banyak tanya. Sini gitarnya." Angga mengambil alih gitar di tangan Sam dan menaruh di bagian belakangnya. Ia menyambar jaket hitam yang tadi dipakainya, lalu mereka berdua keluar dari kamar itu.Angga pernah mencoba untuk betah di rumah, tapi lagi-lagi ia dihadapkan oleh situasi yang begitu jenuh. Papa dan Selly masih kerap membahas persolan Andre yang datang tiba-tiba ke dalam kehidupan me
Bab 56."Lepaskan, Mas!" Selly menarik tangan seorang lelaki agar terlepas dari lengan Enzy. Sementara gadis kecil itu terus menjerit meminta tolong pada mamanya."Ini anakku, Sel. Aku juga berhak atas dia. Kenapa kamu seolah ingin memisahkan kami?" Andre, mantan suami Selly terus menarik Enzy.Andre berjalan dan membuka pintu mobil, ia ingin Enzy masuk ke dalam sana. Namun, gadis kecil itu terus meronta diikuti Selly yang mendekat dengan langkah tertatih sebab perutnya semakin besar. Enzy melawan, ia ingin berlari dan pergi dari sana. Entah kenapa mamanya tiba-tiba membawanya ke taman di sisi kota sore ini.Suasana taman sedikit sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Namun, mereka enggan mendekat karena mendmegar keributan itu tentang keluarga. Jadi, mereka malas untuk ikut campur masalah rumah tangga orang lain."Tenang Zi, ini papa. Kamu akan aman sama papa," ucap Andre mencoba membuat Enzy tenang. Namun, tetap saja Enzy menangis. Ia baru pertama kali melihat wajah it
Bab 55.Angga kembali ke Jakarta setelah libur usai. Meskipun sebenarnya ia belum ingin pergi dari sana, karena mama masih berduka. Terlihat sekali Nindita sering menangis sendirian saat termenung. Kehilangan seorang ibu masih terus membekas rasa duka di hatinya. Namun, Nindita tetap harus bisa menunjukkan kesan baik-baik saja di depan Angga, karena ia harus kembali sekolah untuk menggapai mimpi yang telah disusunnya."Kesedihan yang wajar, Ga. Nanti juga perlahan memudar. Mama nangis bukan berarti nggak ikhlas. Kamu harus sekolah ya, pulang."Angga pulang dengan rasa yang semakin muak berada di keluarga itu. Rencana untuk tetap tinggal bersama papa, rasanya perlahan semakin tak bisa ia lakukan. Namun, betah atau tidak, ia tetap harus di sana.Sam melihat rasa marah masih bertahan dalam diri Angga. Kini bukan lagi acuh tak acuh, tapi Angga bahkan jarang pulang ke rumah. Sebab itu ia sering menginap di rumah Sam.Surya yang kini lebih sering di rumah, malah merasa senang Angga lebih b