Menjelang waktu pulang sang suami, seperti biasa, Retno keluar dari kamar dan turun ke ruang tamu demi menyambut kedatangan Aji. Dia mengerutkan kening saat melihat mertua dan iparnya telah berada di ruang tamu.Sebenarnya itu bukan pemandangan aneh. Sesekali mereka memang bersantai di ruang tamu saat sore, tetapi tidak dalam kondisi seperti orang cemas. Namanya juga bersantai, misalnya lihat-lihat belanjaan di toko online, baca-baca katalog make up, tas, dan sejenisnya, atau bergosip sambil ketawa-ketiwi. Namun kali ini tampak lain. Benar, Mayang dan Mawar terlihat mondar-mandir sambil membicarakan hal yang sepertinya sangat serius.“Bagaimana ini, Ma?”“Mama tidak tahu. Kita tunggu saja kakakmu pulang. Mama telepon dari tadi tidak diangkat. Kamu juga WA nggak dibalas ‘kan?” Mawar mengangguk lesu. “Pokoknya kalau kakakmu sudah pulang, jangan bersikap berlebihan, kita tanyakan baik-baik mengapa dia sampai melaporkan Tante Santi ke kantor polisi.”‘Apa? Mas Aji melaporkan Tante Santi
Mayang menghela napas panjang, memikirkan tindakan putranya yang gegabah dan memancing perpecahan keluarga. “Kenapa, Ma?”“A-apa? Apanya yang kenapa, Nak?” Mayang kebingungan lagi. Sudah beberapa kali pertanyaan biasa dari Retno membuatnya tampak gugup merespons.“Tadi Mama menghela napas berat. Apa ada masalah, Ma? Mama bisa cerita ke aku.”Mawar memutar kedua bola matanya. Dia sangat kesal, marah, dan benci pada iparnya itu setengah mati. Dia sungguh muak mendengar Retno terus bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa.‘Memang ada masalah. Masalah yang sangat besar. Biang masalah. ya KAMU, Mbak! Sumber dari segala masalah!’ batin Mawar sambil mengepalkan tangan kuat-kuat. Jika bukan karena imbauan ibunya untuk menjaga ucapan dan tidak menyinggung Retno, sudah pasti dia akn melabrak Retno.“Tidak, Mama hanya ya ... menunggu Aji pulang. Kok belum sampai juga. Dia sudah terlambat lima belas menit.”Retno melihat jam kecil di tangannya. ‘Benar, Mas Aji telat pulang. Kenapa ya? Tidak biasanya
Retno telah siap, tetapi dia masih duduk di depan cermin. Perempuan itu terlihat tersenyum tipis saat menyadari bahwa bayangannya sekarang sangat berbeda dari dia biasanya. ‘Apa yang akan dikatakan suamiku jika melihatku sekarang?’ Retno manahan tawa membayangkan wajah lucu sang suami. Ting! Baru saja dia memikirkan Aji, sebuah pesan dari lelaki itu telah masuk. [Sayang, aku sudah di depan. Kamu langsung ke sini ya. Kalau Mama atau Mawar tanya, bilang aja kalau kamu ada janji makan malam. Baiknya, nggak usah bilang kalo sama aku ya, Sayang. Aku nggak mau nanti mereka ikut ke depan dan menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan. Cinta kamu.] Sebuah napas kabur dari mulut Retno. Dia sangat mengerti mengapa suaminya demikian. Melihat bagaimana mertua dan iparnya menunggu Aji saja sudah jelas, akan ada banyak pertanyaan yang sudah disiapkan. Sementara suaminya, mungkin sedang sangat malas untuk membicarakan perihal laporan yang telah diurus kepolisian. “Mama dan Mawar pasti akan sang
Aji berdiri di samping mobil, terus menatap ke arah gerbang yang memang sengaja tidak dihampiri agar tidak dibuka. Sesekali dia menengok jam tangan. Sejujurnya, Aji merasa sedikit gugup. Dia khawatir jika di restoran nanti terjadi perselisihan atau pertengkaran antara Retno dan Siska. Walau dia tahu istrinya bukanlah seorang yang suka ribut dan cenderung tenang, tidak ada jaminan sang istri akan tetap demikian, terlebih jika Siska sengaja memancing masalah. “Yang aku lakukan ini sangat berisiko. Semoga saja, Siska tidak mengatakan sesuatu yang memang seharusnya tidak diucapkan pada lelaki yang telah menikah.”Tepat setelah Aji berkata pada dirinya sendiri, gerbang terbuka sedikit dan seseorang yang sangat cantik, hingga kata cantik tidak cukup untuk mewakilinya, menyembul dari dalam.“Mas,” sapa perempuan itu dengan senyum lebar, kemudian berjalan mendekati sang suami.Sebagaimana Retno, Aji pun berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Bedanya, Aji tidak tersenyum. Mulut lelaki it
“Pak Mul!” teriak Mawar dari ambang pintu pos satpam, membuat Pak Mul yang sedang menonton televisi berjingkat dan langsung berdiri. “A-ada apa Non Mawar?” tanyanya sedikit membungkuk. “Pak Mul nonton bola aja! Nanti kalau ada maling gimana?” “Maaf Non, saya juga ngawasi monitor CCTV kok, jadi Non Mawar tenang saja.” Pak Mul tersenyum menunjukkan barisan giginya. “Emang dasar males.” “Sudahlah Mawar, kamu jangan marah-marah terus.” Mayang menghela napas. “Pak Mul, tadi lihat orang yang jemput Retno tidak?” “Tidak, Nyonya. Soalnya Bu Retno langsung minta saya untuk mengunci gerbang lagi setelah beliau di luar pagar. Jadi, saya tidak sempat melihat keluar.” Mawar mengepalkan tangan. “Emang dasar licik banget. Tampangnya aja kalem, nggak berdaya, tapi aslinya, aku pun kalah liciknya.” “Siapa Non yang licik?” “Ya janda sial*n itulah Pak Mul! Memang siapa lagi?” Pak Mul menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maaf Non, bukannya bermaksud apa-apa, tapi sebaiknya Nona menjaga ucapan Nona.
Setelah sampai di Paradise Restourant, Aji merasa perlu untuk memberikan pengertian pada sang istri. Itu penting guna mencegah segala keributan yang mungkin saja terjadi. “Sayang, aku minta maaf. Sebenarnya, bukan makan malam seperti ini yang aku inginkan. Ya, meski di sini tiodak ada berkas, target, dan sebagainya, tetap saja ini masih dalam suasana kerja, menjalin dan menjaring rekan, klien, dan ya semacamnya. Kamu tahu, ada banyak orang penting di sana. Tapi sejujurnya, saat ini aku hanya ingin makan malam romantis denganmu.”“Tidak masalah. Apa pun dan bagaimana pun, yang paling penting dari romantis adalah, kamu dan aku. Itu saja.”“Manis sekali.”“Terima kasih.” Retno meraih dan menggenggam tangan suaminya. “Jika kita selalu bergandengan erat, bahkan jika Siska datang menumpangi apa pun, tidak akan pernah bisa berdiri di antara kita berdua.”Aji tersenyum lega. Sejujurnya sejak tadi dia ingin menyinggung nama itu, tetapi dia khawatir sang istri akan sakit hati atau berpikir mac
Di dalam restoran tampak sangat ramai oleh orang-orang dengan penampilan memukau. Sangat wajar, malam ini restoran dipesan khusus untuk acara makan malam bersama orang-orang eliet, para CEO, pengusaha sukses, juga orang-orang dengan karier cemerlang. Sekurang-kurangnya, karyawan yang turut dalam acara adalah para manajer.Dari sekian banyak tamu undangan, terlihat seorang gadis duduk sendiri saja. Dengan kulitnya yang putih bersih, gaun merah yang dikenakan membuatnya terlihat lebih bersinar. Sesekali dia menengok ke arah pintu, seperti sedang menunggu sesuatu. Lantas, dia mengembuskan napas ketika yang dicari tidak juga terlihat.“Hei!” sapa seorang perempuan lain sambil menepuk pelan pundak gadis cantik yang kesepian.“Celine?! Ya ampun! kamu ngagetin aja!” Gadis cantik itu langsung berdiri dan memeluk orang yang mengejutkannya, juga tak lupa untuk melakukan cium pipi kanan dan kiri.Celine adalah teman sekelas Siska saat kuliah di luar negeri. Mereka tinggal di tempat yang sama sel
Sebagai teman, Celine ingin menguatkan dan menghibur Siska. Maka, dia pun berkata, “Sis, coba deh kamu pikirkan. Robert itu idola semua cewek di kelas kita. Tapi dia nakasir berat sama kamu. Udah diputusin juga masih ngejar kamu.”“Aku nggak peduli. Cinta itu buta Cel. And now, he make me blind (Dan sekarang dia bikin aku buta).”“Iya, aku ngerti. Maksudku, jika Robert saja seperti itu, artinya, kamu itu sangat sempurna. Kamu tahu nggak, sejak tadi ada banyak cowok merhatiin kamu. Tapi mereka kayaknya minder buat duduk di sini karena kamu tuh kelewat cantik.”“Beneran?”“Iyalah! Kalau mantanmu sekarang sayang sama istrinya, ya wajarlah. ‘Kan selama ini mereka udah bersama, istrinya hamil lagi. Tapi, waktu bisa mengubah apa pun.”“Maksudmu?”“Kamu tahu gimana istrinya mantanmu itu? Dia cantik, biasa, jelek, menarik, atau apalah.”Siska mengangguk. “Dia biasa banget. Ibu dan adiknya mantanku juga benci banget sama dia. Kalau adik mantanku bilangnya, dia itu kampungan, dan setelah aku ke
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san