Setibanya kami di rumah, Mas Aji langsung duduk dan bersandar di sofa ruang tamu. Dia memejamkan mata dengan senyum yang terukir di wajah."Capek, Mas? Aku pijitin ya," ujarku.""Tidak usah, Sayang. Kamu pasti capek juga."Aku berjalan ke belakang sofa. Tanpa mengindahkan larangan Mas Aji, aku langsung memijat kepalanya. "Enak?""Hem, kamu memang ... luar biasa." Senyum Mas Aji semakin lebar.Dari otot-otot di pelipisnya yang berdenyut kuat, aku tahu Mas Aji sedang pening. Pikirku, mungkin dia lelah memikirkan sikap ibu dan adiknya."Mau aku buatkan teh hangat, Mas?"Mas Aji menggeleng dan menarik kedua tanganku hingga kini aku terlihat seperti memeluknya dari belakang. "Jangan pergi."Dahiku mengernyit. "Apa?""Berjanjilah, apa pun yang terjadi, jangan pernah pergi dariku.""Jangan berlebihan Mas, aku hanya akan ke dapur sebentar lalu kembali lagi. Apa yang membuatmu berpikir aku bisa meninggalkanmu lebih lama?"Mas Aji mengecup pipiku lembut. "Pokoknya jangan pernah berpikir untuk p
"Tapi apa, Sayang?""Entahlah, aku merasa ... Mama dan Mawar sengaja ingin mempermalukanku. Aku meminta kesempatan untuk membeli kado, tetapi Mama tidak mengizinkan. Katanya, kado darinya akan diatasnamakan dariku juga. Memang benar, itu dilakukan Mama. Tapi setelah semua orang merendahkanku. Mama bahkan memberikan kado atas nama kamu, Mas. Mengapa tidak memberikan kado itu padaku saja sehingga aku bisa menyelamatkan harga diri dengan kado itu? Untung saja, aku telah menyiapkan kado sebelumnya.""Retno, kenapa kamu berbicara seperti itu?""Mama, asal Mama dan Mawar tahu, sebenarnya aku hanya pura-pura belum membeli kado untuk melihat apakah mereka sudah berubah sepenuhnya atau belum. Ah, sudahlah, kalau Mas Aji mendengar lebih banyak cerita versi kacamataku sebagai 'korban' bully, kamu akan makin marah nanti."Mertua dan iparku menggertakkan gigi mendengar penuturanku. Mereka mungkin mengira perkataanku akan meringankan tuduhan yang diberikan Mas Aji. Enak saja! Sejak aku melihat vid
22. Gelagat Mencurigakan Retno berjingkat mendengar alarm yang ada di meja dekat bantal tempatnya berbaring berbunyi. Kedua pupilnya membesar melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam."Gawat! Aku kesiangan." Dengan hati-hati dia melepaskan tangan sang suami yang selalu mendekapnya sepanjang tidur. Namun, ketika dia telah berhasil duduk di pinggir ranjang selagi menguncir rambut dengan buru-buru, tangan suaminya kembali menahannya untuk beranjak."Sayang, mau ke mana? Tidur sini di sampingku.""Tidak, Mas. Aku kesiangan. Mama bisa marah besar kalau saat bangun tidak ada hidangan di meja makan.""Gampang. Nanti pesan makanan jadi saja. Sudah, tidur lagi sini."Retno mendengkus kesal atas celoteh sang suami yang masih setengah sadar dengan mata terpejam. Dia yang gemas ingin sekali menggigit tangan suaminya biar kapok dan terbangun seketika. Namun, jelas itu tidak mungkin. Alih-alih menggigit atau mencubit, Retno justru mengelus-elus rambut Aji supaya suaminya itu terlelap nyenyak la
Sontak saja reaksi perempuan itu membuat Aji mematung. Dia tentu tidak merasa begitu tenar hingga dirinya dikenal banyak orang. Kemudian dia pun berkata dengan terbata, "M-mbak ta-tahu nama saya?"Dari matanya, terlihat si perempuan menyunggingkan senyum. Dia lantas melepas maskernya. "Ya, jelaslah. Aku 'kan mantan kamu!" "Siska?!" Aji semakin terkejut melihat wajah perempuan yang duduk di jok belakang mobilnya ternyata adalah orang yang dulu pernah mengisi ruang di hatinya."Iya, ini aku, Siska, mantan kamu." Perempuan itu terbahak. "Gila aku, malu banget. Gosipin kamu ke kamu. Ya ampun! Malu banget rasanya. Pertemuan pertama setelah lama nggak ketemu kok gini banget sih Ji!"Aji menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia sendiri tidak bisa membayangkan sebesar apa rasa malu yang menyerang mantannya itu. "Hehehe, dunia sempit ya, Sis. Kamu pulang sejak kapan?" "Banget. Aku pulang belum ada seminggu. Please kamu jangan ilfeel ya Ji. Duh, meski udah jalan ke mana-mana, mulutku ini seper
Aji menghela napas panjang sebelum tersenyum. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, Siska. Tapi, aku pikir, lebih bijak kalau aku bekerja di tempat lain saja.""Kenapa? Kamu maunya kerja di perusahaan yang udah gede ya? Kalau gitu, kerja di perusahaan papaku saja. Aku akan minta ke papa kalau kamu mau."Aji melambaikan tangannya sambil tersenyum kikuk. "Bukan, bukan, bukan seperti itu. Sebenarnya ...." Dia menggaruk kepalanya, bingung memilih kata-kata yang pas untuk menyampaikan isi hatinya."Sebenarnya?" Siska mencondongkan tubuhnya ke depan menanti kata berikutnya dari Aji. "Apa Aji? Kamu ngomong aja nggak usah sungkan," imbuhnya lantaran Aji tidak lekas bicara juga.Sebuah napas kabur dari mulut Aji, seolah hal yang hendak dia katakan memang sulit untuk disampaikan."Siska, sebelumnya aku minta maaf. Aku harap apa yang akan aku katakan ini tidak membuatmu tersinggung."Siska menelan ludah. Karena tidak memiliki gambaran tentang apa yang sebenarnya ingin dikatakan mantannya itu, di
Aku sedang duduk manis di depan laptop, menjalankan hobi yang telah menjadi pekerjaan menyenangkan, menulis novel. Sesekali aku menyeruput kopi hitam untuk melancarkan ide yang berkembang dan berjubel di kepalaku. Entahlah, tapi mencium aroma dari asap kopi saja bisa membuatku tersenyum."Selesai juga!" Aku tersenyum lebih lebar setelah mampu menyelesaikan bab yang kutulis sejak tadi. Kuregangkan punggung yang kaku sebelum meletakkannya dengan perlahan ke sandaran kursi. "Alhamdulillah ..." ucapku sambil memejamkan mata. Namun, baru sejenak mata ini tertutup, aku berjingkat bangkit dan duduk tegak kembali untuk melihat jam di layar laptop. "Udah jam setengah tiga aja! Pantes mataku perih. Ternyata udah berjam-jam melototin lepi. Keasyikan nulis sampe lupa WA Mas Aji."Dengan tangkas tanganku meraih ponsel yang berada tidak jauh dari laptop. Sejak pagi tadi aku belum mengirim pesan pada suamiku.Biasanya, aku selalu rajin menanyakan keadaan Mas Aji. Dan pertanyaan yang tidak pernah
Pukul setengah empat sore Mas Aji telah pulang. Wajahnya tampak cemas dan langsung menemui Mama di kamar. Sementara aku, aku berusaha keras menahan mulutku untuk tidak mengatakan segala sesuatu yang mengusik hati."Mama, kenapa bisa seperti ini?"Mertuaku menghela napas panjang. "Mama syok dengar kabar dari adikmu," jawab mertuaku yang masih terbaring di atas tempat tidur. Lima belas menit lalu dia baru siuman.Mas Aji melihat ke arahku, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Lantas dia kembali menatap ibunya. "Mawar di mana, Ma?" Mungkin Mas Aji bermaksud menanyakan apa yang dikatakan Mawar hingga membuat ibunya pingsan."Retno bilang dia keluar dari kamar Mama tadi setelah dokter pergi. Mungkin adikmu istirahat di kamarnya..""Istirahat? Bisa-bisanya.""Sudahlah Mas. Yang terpenting sekarang Mama sudah membaik.""Iya kamu benar. Alhamdulilah Mama sudah sadar. Sekarang Mama gimana rasanya? Ada yang sakit?"Mertuaku menggeleng. Matanya berkaca saat bertanya, "Aji, apa benar kamu sekarang
(POV Aji)Aku masih tidak mengerti, mengapa Siska datang ke rumah? Aku ingat betul bahwa dia mengiyakan permintaanku untuk menjauh. Hari bahkan belum berganti, mustahil Siska berkujung karena lupa pada apa yang telah kami sepakati.Sepanjang jalan menuju ruang tamu, jantungku berdetak sangat cepat. Masalahnya, Retno bahkan belum mengatakan jawabannya atas permohonanku tadi. Walau aku yakin dia akan memaafkanku dan tetap mau menjadi istriku, aku tidak yakin semua akan baik-baik saja setelah dia bertemu dengan Siska. Sebab aku tidak tahu, apa yang akan dikatakan Mama dan Mawar nanti.Jika mereka menyinggung soal masa lalu secara berlebihan, aku tidak yakin Retno mau aku peluk saat tidur nanti. Itu artinya, aku harus siap-siap begadang sampai tubuh menyerah dan tidur dengan sendirinya.Saat kaki telah menginjak lantai dasar, aku menoleh ke samping, melihat Retno yang berjalan di sisiku. Tapi, dia menatap lurus ke depan dengan wajah dingin. Padahal, biasanya dia akan tersenyum saat aku me
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san