“HP-ku lowbat, Dan. Aku tadi tidak sempat mengisi baterainya,” jawabku. Hening, hanya terdengar suara hewan nocturnal. “Kalian ini ya, benar-benar tidak ada otak sudah dibilang suruh salat malah diam di tempat!” Entah kenapa justru sekarang aku menikmati omelan Susanti. “Aku belum mandi junub,” jawab Roy. “Apa! Gila kamu, junub sama siapa kamu? Om-om apa tante-tante? Kamu itu bukan hanya mandi junub, tapi juga mandi taubat, salat taubat. Ih, kesel banget aku ketemu sama mahkluk seperti kamu! Rasanya ingin kuenyahkan saja kamu dari muka bumi ini. Bawa si*l aja! Kalau kamu tadi enggak ke rumah Mas Fawas pasti si gendut sama anak buahnya itu tidak datang dan aku pasti sudah kembali ke rumahku. Resek emang kamu itu!” omel Susanti lagi. Roy diam saja. Dia pasti takut mau membalas omelan Susanti. “Ayo, Mas, kita pergi dari sini sebelum bahaya menghampiri kita. Kamu, gendong Mas Fawas!” “Aku gendong Mas Fawas?” “Iyalah, siapa lagi? Kamu kan, laki-laki. Sudah sana cepat!” titah Susanti
POV Fawas E, buset ini perempuan tidak ikhlas sekali menolongku. Aku tarik lagi ucapanku yang merasa terharu padanya. “Kamu tunggu di sini ya, Mas, jangan ke mana-mana itu ada pohon pisang di depan aku mau ke sana ambil batang pohon pisang yang busuk untuk mengurangi demam kamu. Roy, ayo, bantu aku!” “Aa, iya! Ya, ampun jangan sakiti aku gitu napa, kok, aku jadi berasa ikut emak tiri,” protes Roy. Aku yakin Susanti memukulnya lagi. “Cepat, enggak usah banyak omong!” bentak Susanti. Kudengar langkah kaki mereka yang menjauh, tapi masih terdengar suara mereka berdua. Itu artinya memang mereka tidak jauh dari sini. “Bagaimana caranya, aku takut ada hantu poci, buruan!” teriak Roy. Dasar tulang lunak! “Ambil kayu, itu cepat!” pinta Susanti. “Terus, iya digorok-gorok begitu, sampai putus!” ucap Susanti lagi. “Aa, capek aku! Tenagaku tidak kuat!” “Harus bisa! Kamu itu laki, mau kutonjok mukamu!” Ancam Susanti. Jangan pingsan, jangan drop, ayolah, aku pasti bisa! “Mas, Mas, kamu
🌸🌸🌸 POV Susanti. Aku kesal kenapa Mbak Fatki dan Mas Fais tidak mencariku. Apa aku tidak berharga bagi mereka? Padahal aku membayangkan penyelamatan seperti yang Mas Fais lakukan ke Mbak Fatki waktu diculik dulu. Diselamatkan pakai helikopter gitu. Ini Borobudur pakai helikopter, pakai sepeda motor saja pun tidak. Huh, dasar nasib jadi asisten ya, begini. Apa iya, tidak ada yang merasa kehilangan aku? Sudah lebih dari 24 jam aku diculik Mas Fawas, tapi tidak ada tanda-tanda penyelamatan sama sekali. Kukira kemarin itu terjadi baku tembak antara anak buah Mas Fais dan Mas Fawas, tidak tahunya gerombolan germo yang nyariin si tulang lunak Roy. Ish, sial banget hidupku! Si tulang lunak ngapain juga ke sini segala. Heran dia bisa tahu keberadaan Mas Fawas seperti ada magnetnya tersendiri datang ke sini tanpa diundang dan pas banget tempatnya tanpa meleset seinci pun. Padahal aku butuh waktu lama untuk baca g****e map bahkan bisa nyasar kok, ini si tulang lunak tepat sasaran. Hu
POV Susanti. Benar juga sih, kenapa juga ya, aku lari? Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat. Aku jadi yang disalahkan gara-gara ngajak mereka lari. “Santi! Cari jalan yang benar awas kamu kalau salah jalan lagi. Aku lelah dan perlu istirahat kalau tidak aku bisa drop!” bentak Mas Fawas. Oh, my God! Benar juga, Mas Fawas bisa drop. Dia kan, berbeda. Kenapa aku baru ingat sekarang? Kalau sampai terjadi sesuatu pada dia, aku bisa disalahkan. Bisa-bisa aku berakhir di penjara. Dia itu kan, sultan. Duh, apa yang dia mau pasti terkabul dan ini sangat tidak menguntungkan bagiku. “Kayaknya dia bisu, Mas, kesambet jin hutan ini. Masa dia jadi diam begitu enggak mau jawab pertanyaan kamu. Padahal tadi dia ngoceh terus!” ujar Roy lagi. Benar-benar ya, itu mulut sudah melebihi kapasitasnya alias lebih parah dari mulut perempuan. Perasaanku tadi aku hanya lari lurus tanpa belok-belok, tapi kenapa kembalinya susah sekali, ya? Malah nyasar begini. “Aku lelah, Mas, aku harus istirahat,
POV Susanti. Duh, gamis mahalku. Kamu terpaksa aku korbankan. Semoga saja aku bisa beli lagi yang lebih bagus. Aku tidak bisa mengandalkan Mas Fawas karena kuyakin dia akan koit. Eh, astaghfirullah! Mas Fawas melototiku, terserah saja aku tidak takut. Sekali sepak dia pasti k.o kan, masih sakit. “Mas, lemah banget sih, kamu jadi orang masa dikit-dikit sakit!” kataku lagi. “Kamu tidak paham sakitku makanya bilang seperti itu. Aku pun tidak mau punya kelainan bawaan seperti ini. Tuhan memang tidak adil pada hidupku,” jawabnya. Eh, malah curhat dia. “Bukan Tuhan yang tidak adil, Mas, tapi kamunya yang tidak pandai bersyukur. Kamu tahu di luar sana banyak orang lebih menderita dari kamu, tapi mereka kuat, tidak seperti kamu ini. Lemah!” kataku kesal. “Au, aw! Pelan-pelan, dong! Ini sakit! Kamu enggak ikhlas banget sih, bantu aku!” protesnya. “Enggak ikhlas gimana! Gamisku saja sampai aku sobek mana mahal begini!” jawabku tak kalah kesal. Lalu kulap lagi jidat dia, ketiak dia, dan ju
POV Susanti. “Mas, beneran kamu serasa tidak punya tulang?” tanyaku serius. Mas Fawas mengangguk lemah. “Coba lihat Mas, tanganmu gerakan begini,” pintaku seraya mempraktikkan gerakan tangan ke atas dan ke bawah. Mas Fawas menggeleng lemah. “Duuuh, Mas. Jangan buat aku panik dong, jangan innalilahi waInnailaihiroji’uun dulu,” kataku lagi. Aku segera memindahkan posisi Mas Fawas yang tadinya dia rebahan aku suruh sandaran di pohon entah apa ini di belakang kami agar Mas Fawas leluasa mengambil nafas. “Mas, sabar ya, bertahan ya, sampai kita pulang ke rumah kamu. Setelah itu terserah deh, kamu mau innalilahi kek, mau koma kek, tidak apa-apa yang penting jangan di sini,” kataku lagi. Kali ini Mas Fawas tersenyum simpul. Nah, kalau senyum gitu kan, enak dilihat jadi tidak seseram tadi. “Mas, apa ada permintaan terakhir? Nanti aku sampaikan ke keluargamu,” tanyaku lagi. “Ada,” jawabnya lemah. “Apa, Mas? Katakan saja aku akan sampaikan ke keluargamu.” “Membunuhmu! Kamu sudah bu
POV Susanti. “Jelaslah berisik dan hanya iblis yang bilang berisik kalau dinasihati.” “Kamu katakan aku iblis?” tanya Mas Fawas tak terima. “Situ merasa? Baguslah, jadi aku tidak perlu lagi menjelaskan!” jawabku telak. Mas Fawas mendengus kesal. “Nih, ya, Mas, meski aku hanya tukang jahit yang kerja sama orang, tapi aku tahu hukumnya orang berbelok itu seperti apa jadinya. Dosa dan kena azab. Kaum Nabi Luth saja dihujani batu, buminya dibalik sampai nimpa mereka dan mati di tempat kok, kamu mau mengulang sejarah kelam itu? Mikir, dong! Kamu itu punya anak, punya pewaris tahta kalau anak-anak kamu tahu kelakuan kamu belok arah, mereka pasti malu dan tidak mau lagi anggap kamu bapak. Kamu mau begitu? Dijauhi anak-anakmu? Terus kamu kena azab seperti umatnya Nabi Luth? Mau, Mas! Kalau mau lanjutkan saja!” “Kok, kamu bawel banget sih, sudah seperti emak-emak kompleks saja. Berisik! Kalau enggak mau diam juga aku pukul kepalamu pakai ini!” Mas Fawas menunjuk ke arah kakinya yang dibalu
Assalamualaikum selamat pagi semua ... 🌸🌸🌸 POV KAYLA. “Kay, kamu dari mana dan itu apa?” tanya kakak iparku, Siwi, istri Bang Romi anak nomor dua emak mertuaku. Rupanya dia teliti juga melihat map coklat yang aku bawa dan juga kepo. Untuk apa dia berdiam diri di rumah mertuaku? Biasanya ke sini hanya kalau weekend saja dan itu pun numpang makan doang. Ada ke dua anak-anaknya juga apa mereka berniat menginap di sini. Bisa gagal rencanaku kalau sampai mereka ada di sini. Aku tidak bisa menunggu terlalu lama untuk menjalankan misiku karena semakin lama menunggu akan semakin susah mengendalikannya. Ada koper juga di ujung ruang tamu, duh, ini orang ya, bisaan banget cari muka di sini. Dia sudah tahu emak mertuaku membaik makanya buru-buru ke sini biar dikata dia menantu berbakti dan sayang mertua. “Ini dokumen penting, Kak. Biasalah untuk keperluan klinik,” jawabku berbohong. Meski, kami sama-sama menantu di rumah ini, tapi aku tidak mau kalau dia tahu urusanku di sini. Kak Siwi t
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p