Helikopter menjauh entah mau ke mana mungkin mau mencari tanah lapang untuk lepas landas.“Mbak Fatki, ya, Allah!” Mas Fais histeris dia bingung mau melakukan tindakan apa padaku. Mbah Supeni mendekat, beliau langsung mengangkat Reni dibantu beberapa warga. Sedangkan para ibu-ibu yang ikut datang membantuku.Kami dibawa ke ruang tamu semua orang sibuk memberikan pertolongan pertama pada Reni. Hebatnya dia sama sekali tidak pingsan, tapi kutahu kondisinya sangat lemah.Mas Fais sibuk berbicara dengan seseorang melalui HT, dia tampak khawatir sekali padaku karena bolak-balik melirikkku.Reni justru menatapku terus, air matanya keluar, tapi dia tersenyum padaku. Aku saja yang melihatnya tidak tega.“Neng, di sini saja jangan banyak gerak sini lukanya teteh bantu kompres.” Aku terbaring. Seseorang bermaksud membuka mukena yang aku pakai, tapi aku menolak. Di sini banyak laki-laki sedang lukaku ada di dalam badanku masa aku mau buka baju? Aku malu.Di sini minim penerangan lampu karena
“Mbah, tidak tahu kalau orang-orang jahat itu bakalan datang lagi ke sini. Mbah kira mereka langsung pergi. Maaf ya, Neng.”“Mbah tidak perlu minta maaf begitu, ini bukan salah Mbah. Semoga saja mereka tertangkap.“Para warga sedang mengejar mereka dibantu bapak tadi yang bawa pesawat itu, Neng. Semoga saja tertangkap. Itu kan, lampunya terang banget sudah gitu anginnya juga kenceng jadi pasti itu hamparan rumput ilalang di bawang kebuka.”Aku tersenyum mendengar ucapan Mbah Supeni.“Jangan senyum gitu, Mbah jadi malu. Kan, Mbah ini orang udik kalau lihat pesawat dari dekat begitu senang sekali dan ini baru pertama kali dalam hidupnya Mbah. Paling banter Mbah ini naik mobil itu pun pas lebaran anak-anak Mbah mudik.”“Ternyata, Neng Fatki ini orang penting sampai dicari pakai pesawat segala pantas saja diculik. Mungkin itu penculiknya butuh uang banyak ya, Neng? Tega nyakitin orang demi uang.” Aku mengiyakan saja.Aku tak bisa menjawab ucapan Mbah Supeni karena kenyataannya bukan seper
Aku menahan sakit dan perih saat luka-luka di kakiku diobati.Mbah Supeni menghampiriku. Beliau meminta maaf karena pulangnya lama.“Hem, sudah tua juga masih jaim. Mas tahulah. Kamu itu dari bayi yang jaga, Mas. Luar dalamnya kamu, Mas tahu termasuk isi hatimu.”“Tapi, Mas. Aku ....”“Sudah jangan dipikirkan kalau berjodoh tidak akan ke mana yang penting kamu sembuh dulu.” Aku mengiyakan.Kulihat lagi ke samping di mana Mas Fais dibonceng warga.Mas Fais langsung menatap ke atas langit sambil garuk-garuk kepala saat pandangan kami bertemu entah apa yang dilihatnya dan mungkin saja tiba-tiba dia kutuan.“Mas, sudah kabari Ibu?”“Sudah, Mas tadi sudah SMS sudah terkirim nanti begitu ada signal pasti langsung ada balasan dari Susanti.”“Alhamdulillah ... Ibu gimana, Mas?”“Kaget, sedih, bahkan kata Susanti Ibu sampai pingsan dua kali.”“Ya, Allah Ibu ....”“Tenanglah Ibu pasti sekarang sudah lega karena kamu sudah ditemukan. Besok begitu kita sampai kita harus segera lapor polisi.” Aku
~k~u🌸🌸🌸Aku terbangun saat angin kencang masuk ke kamar kami. Dingin sekali sepertinya akan turun hujan. Tanganku menyentuh kepala yang bersandar di ranjangku. Kukira Mas Nanang ternyata Mas Fais. Dia tidur dengan posisi dudul dan menyandarkan kepalanya di ranjang. Aku beralih pada Reni, Dia tertidur nyenyak selimut masih rapi menutup tubuhnya di samping Reni ada Mbah Supeni.Sepi sekali, apa hanya aku yang terjaga? Di mana Mas Nanang, aku haus ingin ambil sendiri tidak bisa kakiku sangat sakit. Mencoba untuk tidur lagi pun tidak bisa. Masa iya, aku harus menahan haus sampai besok pagi? Padahal dingin, tapi tenggorokanku kering.“Mas ... Mas? Mas Fais?” panggilku pelan-pelan. Aku terpaksa membangunkannya.“Mas ... Mas Fais?” Kusenggol tangannya. Bukannya bangun malah kepalanya balik menghadapku. Ck, lucu sekali dia kalau sedang tidur begini seperti anak-anak. Mas Nanang ke mana, sih? Kok, malah Mas Fais yang di sini.“Biasa aja geh, lihatnya jangan sambil senyum-senyum gitu. Nant
POV Risa."Pecund*ng lu, Daf. Jadi laki tidak tegas. Mleyot-mleyot!”“Tutup mulut Lu, kalau tidak tahu apa-apa!”“Gue, tahu dalamnya lu, gimana! Maka dari itu gue bilng lu itu pecund*ng!”“Sekali lagi mulut lu ngatain gue pecund*ng gue gampar lu!”“Silakan, tinggal pilih saja mau yang mana? Pipi, perut, atau yang lain, gue sama sekali tidak takut sama lu!”“Arrghh!”“Beraninya Cuma ngancam dong!”“Pergi lu, dari sini! Jangan ikut campur urusan hidup gue!”“Ikut campur? Justru gue kesini mau kasih pelajaran ke lu, ingat Daf, orang selamanya tidak akan terus jaya seperti lu, sebaiknya lu manfaatin keadaan lu ini. Jangan mleyot! Lu, pasti tahu dan paham!”“Jangan sok, tahu? Lu, ngiri sama gue, hah! Lu, ngiri!”“Cih, ngiri kok sama lu? Enggak level!”“Lu, mau apa ke sini! Mau apa! Kalau bukan mau ikut campur urusan hidup gue?!”“Gue mau kasih tahu ke lu, pilih salah satu dari mereka, jangan sok! Jadi laki harus gantle! Akuilah kalau lu itu sudah kalah!”“Kalah?”“Iya, kalah. Bukankah lu s
POV Risa.Sial*n memang benar kata Robi, kamu itu mleyot tidak bisa tegas dalam menentukan pilihan hati. Sudah kesekian kali kamu menyakitiku, Mas, kali ini aku tidak akan biarkan lagi kamu menyakitiku. Janda gatel itu harus lenyap dari hidupmu.Kuurungkan niat untuk menemui Mas Dafa. Moodnya sedang tidak baik kalau aku paksakan bertemu dia justru nanti dia akan makin marah tidak jelas. Padahal masalahnya dengan sepupunya, tapi semua bisa terkena imbasnya.Lebih baik kukirim pesan saja padanya.[Mas, sudah sembuh? Mau makan apa aku ke sana, ya?] Terkirim dan langsung dibaca.[Sudah baikan. Tidak usah repot-repot ini Bibi sudah masak.]Ck, baikan katanya? Sakit pun tidak.[Mas, nanti malam aku ke rumahmu. Kita harus bahas masa depan kita. Minggu depan aku ketok palu. Sambil menunggu masa Iddah selesai kita harus siapkan semuanya untuk acara pernikahan kita. Kalau kamu sibuk biar aku yang atur semuanya bersama ibumu. Kamu tahu, Mas ini adalah mimpiku. Mimpi untuk hidup bahagia denganmu.
POV Risa.“Risa, ini sudah satu Minggu sejak kejadian di rumah mertuamu itu, tapi mereka sama sekali tidak mau datang ke sini. Cobalah kamu bujuk mereka untuk datang. Bapak butuh uang mau beli sawah di kampung. Kalau bukan uang dari Fais, Bapak tidak mau. Uangmu simpan saja untuk kamu dan adikmu. Kita harus manfaatkan dia.”“Ngomong apaan sih, Pak, butuh berapa biar aku transfer saja.”“Tidak, jangan. Sayang uangmu. Lebih baik kita manfaatkan Fais saja.”“Aku tidak mau, Pak. Aku tidak sudi. Apalagi kalau Bapak nyuruh aku balik lagi sama Mas Fais.”“Bu—kan, bukan itu. Manfaatkan peluang saja, Ris. Sebelum kalian ketuk palu.”“Akan aku pikirkan, Pak.”“Jangan banyak mikir. Sudah sana kamu ke rumah Fais!”“Tidak sekarang, Pak, aku lagi banyak kerjaan.”“Ya, sudah lusa saja ajak Sekar kalau kamu malu mau ke sana.”“Hem, ya, udah, Pak. Aku mau kerja!”“Jangan ham hem doang, Ris ....” Tut! Kumatikan telepon. Bapak ini selalu saja repot. Padahal sudah aku tegaskan kalau aku tidak mau. Bapak
POV Risa.“Tapi, aku tidak mau mencelakai dia. Satu lagi tutup mulutmu itu, Ris, stop mengatakan hal buruk tentang dia atau kutampar mulutmu itu. Kamu pun harus tahu bahwa ini bukan kesalahan dia. Kalau Dafa berpaling salahkan saja dia yang tidak bisa move on. Sudah benar dia bersamamu masih banyak gaya!”“Aku tidak menyuruhmu mencelakai dia. Aku hanya menyuruhmu untuk miliki dia. Dengan kamu ikuti rencanaku, kamu akan dapatkan dia seumur hidupmu. Ingat mana ada laki-laki yang mau bekasan orang. Jadi, kamu harus buat dia bertekuk lutut padamu.”“Akan aku pikirkan, Ris.”“Jangan kebanyakan mikir. Aku tidak mau Mas Dafa makin tergila-gila padanya.”Robi diam saja. Aku pastikan dia mau menuruti kemauanku.“Itu terlalu beresiko, Ris.”“Terserah kamu saja, Rob. Bertindak atau tidak akan dapatkan selamanya?” kataku memberikan pilihan yang sulit untuk Robi.Aku tahu betul karakter Robi, tidak mau tersaingi, jadi aku yakin dia akan setuju asal aku tidak terkesan memaksa saja. Aku sebenarnya l
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p