Kutelepon balik nomor ibu. Malah tidak diangkat. Aku Telepon ke nomor Mas Arman pun tidak dijawab padahal aktif. Terserah saja lah, aku lelah lebih baik tidur saja.Baru saja mau mengunci pintu ada ambulance masuk halaman rumah. Sirinenya memekakan telinga. Mengundang para tetangga.Aku kaget siapa yang sakit? Apa bapak atau Intan?Kubuka pintu lebar-lebar. Petugas menurunkan kursi roda ternyata Mas Arman. Astaghfirullah ... berarti tadi Mas Arman kecelakaan.“Ooii sudah pulang juga kamu mantu geblek! Kurang aj*r ya, kamu! Ditelepon enggak diangkat! Habis dari ngelont* kamu!” teriak ibu tanpa malu. Aku jadi pusat perhatian orang-orang. Mas Arman tampak melambai-lambaikan tangannya meminta ibu untuk tidak marah-marah padaku.Malu? Tentu saja tidak! Aku sudah biasa dipermalukan begini. Biar Tuhan saja yang balas. Aku tidak mau capek-capek membalas dan mengotori linsanku.“Bu, ini Masnya mau diantar sampai dalam atau tidak? Kami masih ada kerjaan lagi,” ujar petugas ambulance.“Iya, sini
Setelah Reni pergi kulongok ke ruang tengah, Mas Arman tengah ngobrol dengan Ika. Entah apa yang diobrolin, tapi mereka terlihat akrab sekali. Mungkin karena sebelumnya juga mereka pernah dekat bahkan ....Kalau saja Reni dan ibu tahu pastilah bakalan terjadi keributan lagi.Ah, terserah sajalah. Aku ngantuk sekali. Mas Arman dan Ika juga kurasa tidak akan ngapa-ngapain. Mereka kan, sekarang statusnya Ibu dan anak. Ya, meski usia Ika lebih muda dari Mas Arman.“Heh, kamu jangan tidur di situ, ya! Awas kamu! Sana kamu ke sofa ruang tamu!” Itu pasti ibu sedang membentak Ika.“Tidak, mau, aku takut. Aku tidur di kamar, Mbak saja, ya?” jawab Ika. Ha ha berani juga dia menjawab ibu.“Mbak, Mbak! Aku ini bukan kakakmu, panggil aku Nyonya. Kamu bekas pembantu, kan?” jawab ibu jumawa.“Tidak mau, kamu bukan majikanku!” bantah Ika lagi.“Sudahlah, Bu, kasihan Ika. Nanti juga dia bakal tidur di sofa. Ibu temani aja aku tidur di sini,” sahut Mas Arman.Tidak ada obrolan lagi. Hanya terdengar sua
Cemburu sih, tapi dikit. Ya, gimana juga aku istri pertama Mas Arman.“Aku juga berangkat, ya?” teriak Intan.Kami terbelalak kaget melihat penampilannya yang Masya Allah beda dari hari biasanya. Intan menjelma menjadi ukhti-ukhti.Bahkan ibu dan Mas Arman sampai melongo.Dengan buru-buru dia menghampiri ibu untuk salaman. Ih, tumben sekali? Apa benar Intan mau berubah demi mendapatkan sang dosen alim?“Ka—mu, kesambet jin mana, Tan?” tanya ibu tergagap. Aku sampai keselek sereal yang kuminum.“Kesambet jin alim, Bu. Doakan ya, aku dapat jodoh dosen ganteng dan Soleh,” jawab Intan lemah lembut sekali sungguh berbeda dari biasanya.Mas Arman tertawa terbahak-bahak sedang ibu hanya mengangguk dengan wajah datarnya.“Apaan sih, Mas, kok malah ketawa begitu. Enggak baik tahu ....” sahut Intan. Biasanya dia akan memukul kakaknya itu yang ada sekarang dia malah memasang senyum manis.“Sudahlah sana berangkat. Ibu lama-lama bisa mati berdiri lihat kamu tiba-tiba berubah begini!” Usir ibu.“A
POV RENI.Masa kelam Reni 9 tahun silam.Rate 18+🌸🌸🌸“Tolong jangan begitu, Pak! Aku tidak mau!” Kudorong sekuat tenaga bapak tiriku saat tubuh gemuknya menindihku.Malam ini ibu sedang pulang ke rumah nenek yang hanya berjarak lima rumah, tapi di kampungku sangat sepi dan jarak rumah satu dengan yang lainnya cukup jauh. Nenek sedang sakit, jadi ibu pulang ke sana.Saat seperti inilah yang paling aku takutkan.Pintu kamar sudah aku kunci entah bagaimana caranya laki-laki laknat itu bisa masuk kamarku.Kali ini aku harus melawan terserah apa pun yang terjadi. Aku tidak peduli lagi. Mau mati atau hidup itu hanya hasil akhir.Dengan mata merah nyalang bapak siap menerkamku. Tanganku sudah memegang paku kayu yang ukurannya paling besar, tadi aku menyambarnya dari bawah bantal. Aku memang sengaja menyimpannya di sana. Paku ini pun sengaja aku beli tadi sewaktu pulang sekolah.“Kamu harus mau, Ren. Bapak sudah tidak tahan. Ibumu itu sudah tidak enak lagi, jadi sebagai penggantinya ka
Kutatap sekali lagi rumah peninggalan ayah satu-satunya. Rumah yang dulunya punya kenangan manis sewaktu ayah masih hidup.Lalu menjelma menjadi neraka jahanam bagiku setelah kedatangan laki-laki yang berkedok sebagai bapak dan berpura-pura mencintaiku di depan ibuku.Kuseka air mata. Entah aku menangis karena apa yang jelas hatiku lega sekali.Aku tahu membunuh itu dosa, tapi jika aku lakukan untuk menjaga kehormatanku, maka itu sah-sah saja.Selamat tinggal kehidupan kelam. Selamat tinggal kenangan kelam. Selamat tinggal ibu. Selamat tinggal ayah.Kupacu motor perlahan membelah jalanan malam yang gerimis.Sunyi, senyap. Hanya terdengar deru mesin motorku saja.Kuabaikan rasa takut dan khawatir di dadaku. Jikalau terjadi sesuatu padaku maka aku sudah sangat siap.Melewati jalan makam aku jadi teringat ayah. Kuberanikan diri untuk pergi ke makam. Aku akan mengunjungi makam ayah untuk yang terakhir kalinya.Dengan hati-hati kuparkir motor dan kupastikan tidak ada siapa pun yang meliha
Bukan hanya aku. Ibu dan ke dua Adik kembarku pun pasti akan terkena imbasnya. Kalau itu benar-benar terjadi mereka akan sangat kasihan. Apalagi hukum adat di kampungku masih kental sekali. Bergidik ngeri membayangkannya.Entah sudah berapa lama aku jalan tanpa arah. Hingga aku menemukan pasar. Kulihat jam di HP-ku sudah jam 5 subuh itu artinya aku sudah berjalan kurang lebih 2 jam.Aku memutuskan istirahat sejenak dan membaca situasi. Ternyata aku sudah berada di beda kabupaten. Tujuanku sekarang adalah kota besar. Kata Dwi temanku yang bekerja di kota di sana kita akan gampang mendapatkan pekerjaan.Aku putuskan untuk istirahat di Masjid pasar. Setelah azan subuh berkumandang aku siap-siap ikut salat setelah ini aku akan cari sarapan dan melanjutkan perjalanan.Saat aku sedang sarapan berita kematian bapak tiriku cepat sekali menyebar. Ini berarti sudah ada orang datang ke rumah.Tidak heran juga karena profesinya sebagai sopir truk tentu saja banyak orang yang kenal padanya.Seger
🌸🌸🌸“Permisi? Apa benar ini rumah Mbak Fatki?” tanya seseorang pada ibu mertuaku yang sedang menjemur baju. Aku sudah di ruang jahit jadi aku bisa dengan jelas mendengar.Kulihat ibu memperhatikan orang itu dari atas sampai bawah. Aku pun begitu. Siapa, ya? Berpakaian rapi, sepatu mengkilap, rambut klimis, dan naiknya mobil. Tumben sekali ada yang nyari aku sekeren ini. Biasanya yang nyari kan, emak-emak yang mau jahit.“Ganteng ya, Mbak. Weeh, kenal di mana, Mbak?” celetuk Susanti.“Enggak tahu, Mbak enggak ingat, San. Aku juga lagi mikir itu siapa dan ada keperluan apa?”“Bu—kan, kenapa emang, Mas?” jawab ibu berbohong.“Em, ini Bu, tadi Mbak Fatki share lokasi ke sini. Saya mau tanya- harga tanah,” jawab orang itu.Seketika aku langsung buka pintu dan melambaikan tangan padanya. Ah, biarin saja dibilang sok akrab. Nyatanya aku butuh pembeli.“Mas! Mas, Nanang, ya? Saya Fatki. Mari masuk!” teriaku.Ekspresi tidak suka langsung tergambar di wajah ibu.“Enggak usah ganjen gitu, Fat
”Oooh, ini otak makanya sekolah Fatki! Jadi, bisa mikir dengan benar!” Lagi ibu menoyor kepalaku hingga terjeduk tembok.“Justru karena aku sekolah, Bu, jadi aku paham ““Kamu paham apa? Kamu mau jual rumah yang kamu tempati itu yang dibilang paham?”“Bu, tanah ini milikku. Sertifikatnya pun masih aman padaku belum berubah sedikit pun sampai saat ini. Karena bangunan Ibu berdiri di atas tanahku ya, itu udah resikonya Ibu kalau rumah ini ikut kejual.”.”Tidak! Ibu tidak akan mau pergi dari sini.” Ibu kekeh tidak mau menjual rumahnya.“Kalau begitu Ibu yang bayarin tanah ini saja. Jadi, Ibu tidak akan pindah ke mana-mana.”“Gendeng! Otakmu payah diajak ngobrol Fatki. Minta diruqyah!” bentak ibu lagi.Apa tidak kebalik ya? Harusnya ibu yang diruqyah, bukan aku.“Picik sekali otakmu itu, Fatki. Rumah masih ditempati kok, mau dijual.”“Sebab otakku waras makanya mau aku jual, Bu. Aku mau pindah dari sini.”“Ya, kalau mau pindah, sok atuh, silakan pindah! Enggak perlu kan, jual-jual segal