“Emh ... Weemmh ....” Ibu menggelengkan kepalanya. Itu berarti ibu memang tidak berniat memberi uang itu untuk Intan dan Mas Arman.“Ibu jahat! Aku benci sama Ibu! Aku menyesal sudah dilahirkan oleh Ibu yang miskin dan pelit!” pekik Intan seraya nangis bombai.Ya Allah ini anak kenapa, sih? Kalau tidak dikasih ya, sudah. Mungkin saat ini ibu sedang tidak enak hati dan kesal atas perlakuan mereka berdua. Nanti kalau ibu bolong juga pasti dikasih. Karena yang namanya seorang ibu pasti tidak tega kalau membiarkan anak-anaknya menderita sekalipun itu anak durhaka.Mereka juga tidak bisa bersikap sopan dan sayang pada ibu. Sudah tahu ibu berhati batu ditambah kelakuan mereka yang tidak waras. Aku pun kalau jadi ibu tidak sudi memberi uang pada anak macam mereka.Intan ngambek dia masuk kamar. Mas Arman menyusul Intan. Terserah saja palingan juga mereka bakalan menyusun rencana untuk bisa dapatkan uang itu.“Astaghfirullahaladzim ... hari ini Paman menahan emosi yang luar bisa, meski kelep
~k~u🌸🌸🌸Mobil travel yang akan membawa ibu dan paman pulang kampung sudah datang semua bawaan ibu sudah dimasukkan ke dalam mobil.Berkali-kali ibu melihat ke arah kamar Intan. Pasti beliau berharap anak dan menantunya keluar mengantarnya pulang.Paman pun tidak mau lagi menegur Intan dan Mas Arman pasti beliau sudah terlanjur sakit hatu atas ucapan ke dua kakak beradik itu. Mereka berdua memang sungguh tidak punya sopan santun.Aku rela menunggu ibu seharian di sini padahal di rumah jahitanku menumpuk sudah begitu aku juga belum makan siang sampai sore begini. Semua aku lakukan demi ibu.“Sudahlah, Bu. Biarkan saja mereka. Nanti juga kalau mereka butuh Ibu datang menyusul ke sana,” kataku menguatkan hati ini.Mata ibu berkaca-kaca, tapi sepertinya beliau pasrah saja.Mas Juna dan Citra ikut datang membantu sekaligus membawakan koper orang tuanya.“Sudah siap, Mbak? Ayo, kita berangkat! Bismillah semua berjalan dengan lancar. Mbak di kampung, jadi lebih sehat lagi,” ucap paman. Ibu
Assalamualaikum bantu follow akunku yaaa. Terima kasih 🙏.🌸🌸🌸🌸🌸🌸“Pulang, yuk, San!” ajakku pada Susanti. Susanti mengangguk, dia bahkan ke luar rumah terlebih dahulu.“Citra, Mbak pulang dulu, ya?” Meski, Citra terlihat bingung, tapi dia mengiyakan.“Tunggu, Dik!” panggil Mas Arman seraya menarik lenganku yang sudah naik di boncengan motor Susanti.“Apa, Mas?” tanyaku kesal. Mas Arman ini seperti bayi saja apa-apa merengek tidak jelas.“Em, Mas, pinjam duit buruan, Dik! Enggak usah banyak-banyak 5 juta rupiah saja. Kan, itu si Intan mau Mas nikahin sama orang itu, nanti uang seserahan sama Mas kawin bisa untuk bayar kamu. Mas, mau minta 100 juta. Dia banyak duit pasti dikasih. Ayo, buruan! Ini biar semua cepat selesai,” cerocos Mas Arman.Dia ini sungguh menyebalkan. Tahu adiknya ketakutan kok, dia malah nekat mau nikahin Intan sama orang itu. Otak Mas Arman benar-benar sudah konslet dan perlu diruqyah.“Apa aku enggak salah dengar, Mas? Kamu punya otak enggak sih, itu Int
“Alhamdulillah Ibu baik, tapi kalau kami tadi tidak ke sana mungkin sekarang kita sudah dapat kabar innalilahi waInnailaihiroji’uun dari beliau.”“Hust! Sembarang saja. Allah yang menentukan makhluknya mati atau hidup bukan, kamu dan Susanti.”“Iya, tahu, Bu, Maksudnya kalau kami tidak ke sana ya, gitu deh!"“Benar, Bulek, Tadi pas kami sampai sana itu ibunya Mas Arman masih di jemur kayak ikan asin. Beeh, kasihan banget,” sahut Susanti seraya mengunyah makanannya.“Astaghfirullah ... kok, bisa begitu? Arman dan yang lainnya ke mana?” Sudah kuduga pasti ibu akan kaget.“Ada, Bu, di dalam tidur sambil nonton TV sama Reni. Pokoknya nasib ibunya Mas Arman kasihan sekali, Bu. Makanya, kami tadi lama di sana.” Lalu kuceritakan dari A sampai Z kejadian demi kejadian yang terjadi di rumah Mas Arman.“Astaghfrullah ... kasihan sekali mantan ibu mertuamu, Nak. Syukurlah kalau dia sudah dibawa pulang kampung. Semoga nanti di sana bisa mendapatkan perawatan dan perilakuan yang lebih baik dari p
Aku tidak mau terpancing emosinya. Dari siang aku sudah lelah menghadapi manusia seperti dia. Mas Arman, Reni, Intan, ini ditambah lagi satu adik iparnya Mas Fais.“Sudah deh, enggak usah pura-pura bego. Kamu kan, yang sudah menghasut Mas Fais untuk mau diceraikan kakakku?” ujarnya lagi.“Aku? Sepertinya memang kamu salah paham. Kalau Mas Fais menyetujui cerai dengan istrinya ya, tanya saja sama orangnya bukan tanya sama aku. Percuma karena kamu tidak akan mendapatkan jawabannya,” jawabku santai.“Tapi, kalau tidak karena kamu pasti Mas Fais masih mau dengan kakakku. Kamu itu perempuan culas yang mau hartanya Mas Fais saja, kan? Apalagi kamu hanya penjahit rendahan seperti ini.”Bugk!Kupukul lengannya yang sedari tadi menunjuk-nunjuk wajahku. Dia mengaduh kesakitan, tapi aku tidak peduli.“Hati-hati dengan ucapanmu atau kamu akan menyesal!” ucapku penuh penekanan.“Azan-azan. Salat dulu! Biar setan yang nempel di badanmu itu kabur semua!” seru Susanti seraya melempar lipatan mukena k
“Sekar, apa yang Wulan katakan itu benar adanya. Jangan kamu ulangi kelakuan kamu ini kalau tidak ya, kamu paham sendiri kan, bagaimana kuatnya Wulan. Jangankan kamu, preman saja kalah sama dia,” jawab Mas Fais.Tanpa bicara apa-apa lagi, adik iparnya Mas Fais masuk mobil dan tancap gas.“Ah, aman dunia,” ucapku.“Aman karena ada aku di sini, kan?” sahut Mas Fais yang membuatku mati kutu.“Ish, apaan sih, Is, ayo, masuk! Pegel-pegel badanku!” ajak Mbak Wulan seraya menarik lengan baju Mas Fais.“Mbak Susanti, minta tolong buatin es teh sih, aku haus dan lelah sekali. Maaf nih, kalau enggak sopan,” pinta Mbak Wulan.“Biar aku saja yang buat. Kamu temani mereka ya, San.”“Dengan senang hati,” jawab Susanti.“Mbak, gulanya enggak usah banyak-banyak bila perlu tawar saja karena yang buat sudah manis,” ucap Mas Fais.“Yeee ... ngogombal aja. Enggak usah dengerin Mbak. Fais ini lagi ketempelan jin bucin jadi agak-agak,” sahut Mbak Wulan. Aku mengangguk saja.“Mbak kalau haus kenapa enggak b
POV Fais.Happy reading everyone 💕Di ruangan ini yang dingin dan sejuk karena AC tiba-tiba terasa panas dan gerah. Kami seperti orang pesakitan yang sedang disidang hakim karena kasus yang sangat berat.Papah sejak tadi terus saja mengawasi orang tua Risa. beliau sudah seperti elang yang hendak menerkam musuhnya.Sedang Mamah mulutnya sejak tadi tidak berhenti berzikir. Subhanallah mamahku tiada duanya. Wanita tersegalanya bagiku.Zahra? Ah, dia seperti sedang berhadapan dengan musuh bebuyutannya. Bibirnya berakali-kali mencebik karena tidak suka.“Fais, tolong ya, kasih kesempatan pada Risa sekali lagi. Ibu mohon. Ibu yakin jauh di dasar hatimu masih menyimpan rasa cinta untuk anak Ibu. Oleh sebab itu tolong kasihani Risa. Beri dia kesempatan sekali lagi " ucap ibunya Risa. Mereka ini gigih sekali mempertahankan rumah tangga kami.“Bu, laki-laki yang dipegang adalah ucapannya. Aku sudah menjatuhkan talak pada Risa. Aku pun sudah menyetujui gugatan cerai yang dilay
“Pulang kamu! Tidak sepatutnya kamu begitu. Bapak tunggu sekarang juga!” bentak beliau lalu mematikan telepon.“Em, maaf ya, Nak Fais. Itu si Risa lagi di kampung temannya mungkin ada tugas di sana,” ucap ibunya Risa.“Teman apa pacar?” sahut Zahra. Ibunya Risa langsung terkejut. Aku tersenyum saja melihat ekspresi mereka. Aku sudah tahu lama dan itu pun dari Risa sendiri yang mengakui kalau dia mencintai laki-laki lain, jadi sekarang aku tidak begitu terkejut. Sudah biasa dan aku yakin orang tua Risa pun sebenarnya sudah tahu. Mereka hanya pura-pura saja.“Te—man, Nak Zahra. Teman di rumah sakit. Ibu kenal Risa, Ibu juga yang melahirkan Risa, jadi tahu banget bagaimana keseharian dia. Risa anak baik dan penurut mana mungkin dia akan berbuat yang tidak-tidak dan keluar dari norma agama,” jawab beliau meyakinkan. Kalau dulu aku akan sangat percaya kali ini tidak sama sekali.“Oh, gitu. Aku sih, enggak percaya ya, Tan. Soalnya Mbak Risa bilang sendiri kok, kalau dia mencintai ora
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p