Yuk, bantu follow akunku. Wajib like dan juga komentar yaaa.Happy reading ❤️🌸🌸🌸“Bro, anteng aja lu, udah buka WA dariku belum?” tanya Fais. Saat ini kami baru saja selesai membicarakan bisnis keluarga yang berkembang sangat pesat.“Belum, Is, belum sempat,” jawabku singkat.“Segeralah buka atau kamu akan menyesal.”Aku heran dengan Fais dia selalu saja terlalu posesif padaku padahal aku ini abang, harusnya aku yang peduli padanya ini malah kebalikannya.Setelah Fais pergi naik ke atas bermain bersama Biru dan Jingga aku segera mengaktifkan ponselku.Ada banyak sekali pesan masuk salah satunya dari Fais, tapi aku lebih tertarik membuka pesan dari Sintia. Perempuan itu benar-benar sudah membuatku tergila-gila.[Sayang, bagus, enggak?] Sintia mengirim foto dirinya sedang fitting baju pengantin. Sungguh cantik.[Bagus, Sin, tapi kurang tertutup. Ibu bisa marah padamu.] Jawabku jujur. Lagi pula mana bisa keindahan tubuhnya dipamerkan begitu. Aku tidak rela.[Ah, ibumu kudet banget si
Tunggu dulu, apa jangan-jangan Fais beli mawar untuk dia? Bukankah Mbak itu juga punya suami? Ah, enggak benar ini Fais.Tapi, waktu kami bertemu juga dia sendiri sama temannya yang lucu itu. Cantik si, cantik banget malah. Fais tidak boleh ceroboh aku harus kasih tahu dia kalau cewek itu bininya orang.Awalnya pun aku kaget kalau dia sudah punya suami, vibesnya masih gadis. Pandangan pertama dia datang ke sini aku terpesona, tapi setelah tahu bini orang aku buang jauh-jauh apalagi ada Sintia di sisiku.Ah, Fais kamu jangan gegabah!“Jingga, jangan bohong loh, sama Papah?”“Enggak, Jingga enggak bohong, kan kalau bohong dosa, Pah,” jawabnya sungguh menggemaskan.Biasanya memang anak kecil tidak pernah berbohong. Sial! Aku rasa lelah dan kantukku kenapa sirna seketika!Oh, jadi Fais sedang kasmaran pada perempuan itu?Siap-siap saja ambulance untuk bawa korban perkelahian antara Fais dan suami perempuan itu.~K~u🌸🌸🌸“Mas, temenin ke ruko yuk, mau jahit baju!” ajak Wulan.“Entar sore
~k~u🌸🌸🌸“Mawar lagi?” tanyaku pada Fais yang sedang tertegun memandangi setangkai mawar di tangannya.“Kepo aja, lu!”“Ini untuk perempuan yang tempo hari ke rumah ya, Is? Jangan Is, itu bini orang!”“Sok, tahu, lu!” jawab Fais seraya berlalu kembali pulang pasti dia akan mengirimkan mawar itu diam-diam.“Mas, ada Sintia, tuh!” ucap Lintang.“Biarin lah, Dik. Betewe aku enggak liat Wulan, ke mana dia?”“Lagi ke rumah Bulek, Mas, mereka mau ambil baju untuk acara kamu besok. Di ruko itu.”“Kenapa Mas, kok, ngalamun gitu? Jangan bilang kamu terpesona juga sama Mbak Fatki? Cantik sih, makanya pada suka. Ingat sudah ada Mbak Sintia. Itu juga cimciman Fais. Jangan sampai kalian berantem lagi,” ucap Lintang seraya mengacak rambutku. Jadi, namanya Fatki, tapi kan, dia bini orang? Kok Fias nekat sekali.“Sayang!” panggil Sintia.“Iya, Mbak Fatki. Eh, Sintia!” Duh, salah ngomong lagi, gara-gara obrolan dengan Lintang jadi salah sebut nama.“Kok, Fatki! Siapa dia?” tanya Sintia kesal.“Buka
🌸🌸🌸🌸“Mbak Fatki, ada Mas Fais di bawah!” teriak Susanti dari pintu masuk. Padahal ngomong biasa aja aku pun dengar. Ck, dasar anak ini selalu saja mengganggu konsentrasiku menjahit.“Lanjutin dulu, nih, tolong, ya?”“Ck, aku mau siap-siap. Besok lagi aja Mbak, jahitnya. Nanti Mas Fais nunggunya kelamaan,” ucap Susanti dia mengambil handuknya dan hendak masuk kamar mandi.“Lah, memang ada apa? Kok, Mas Fais nunggu kamu segala?”tanyaku tak paham. “Perasaan umur belum tua, loh! Kok, pelupa sih, Mbak?” jawab Susanti dia terlihat kesal.“Beneran, San, Mbak lodingnya lama, nih. Banyak jahitan jadi spaneng nih, otak,” jawabku jujur.“Bulek, dulu nyidam apa sih, pas hamil Mbak Fatki. Kok, keluarnya begini? Selain cantiknya diborong sendiri, stupidnya juga. Ha ha ha ....” ejek Susanti.“Enggak ngidam apa pun, San. Bulek hanya pingin makan sambal bunga kecombrang waktu itu,” jawab ibuku serius menanggapi pertanyaan Susanti yang bikin emosi.“Oo ... pantas saja,” sahut Susanti. Aku menarik
“Mbak, Fatki, ini Mamah telepon, jadi aku permisi pulang dulu, nanti selepas isya jemput lagi ke sini,” ucap Mas Fais.Alhamdulillah ... akhirnya dia pergi juga.“Jangan rindukan aku ya, Mbak Fatki, hanya sebentar, kok!” ucapnya lagi dan itu benar-benar membuatku mengelus dada. Ibu pun sampai tersenyum malu. Aneh, kok, malah ibu yang malu sendiri.“Aaahh ... so sweet! Mau juga dong, digombalin begitu!” teriak Susanti dari anak tangga. Ampun dah anak itu suka muncul tiba-tiba! Kini Mas Fais yang gantian terlihat malu.“Permisi ya, Mbak Fatki.” Kami mengangguk.Mas Fais sudah menghilang di balik pintu lalu kembali lagi muncul di pintu.“Mbak Fatki, aku permisi!” serunya lagi.“Iya, Mas!” sahutku.Lucu si, Susanti aja sampai tertawa tertawa terbahak-bahak.“Hus! Mau Maghrib ketawanya jangan begitu. Nanti kesambet Mbak Kunti,” tegur ibu menakut-nakuti Susanti.“Ah, Bulek! Jangan gitu, deh! Takut tahu!” teriak Susanti seraya berlari menghampiri kami.“Kamu mandi apa bertapa, San, lama bu
~k~u🌸🌸🌸Sejujurnya aku lelah menghadapi Mas Arman dan keluarganya, tapi aku pun tidak boleh menyerah.Jika aku lakukan itu, maka yang ada Mas Arman dan keluarganya akan senang sudah berhasil membuatku terpatahkan.Aku heran kenapa makin ke sini kelakuan kotor dan jahat mereka makin terlihat? Apa itu sifat mereka sebenarnya? Kata pepatah kan, untuk tahu sifat asli seseorang itu lihat pada saat berurusan uang dengannya atau saat dia tidak punya uang.Dulu mereka memang zholim padaku, tapi tidak ditunjukkan secara langsung begitu bahkan sama sekali tidak pernah memaki di hadapanku hanya sering kali meminta uang untuk ini dan itu.Memang benar tidak ada rumah tangga yang berjalan lurus mulus tanpa hambatan apa pun dan kita wajib bersabar menjalaninya dan katanya harus bersabar bagaimana pun keadaannya.Aku sudah bersabar dengan sifat mereka yang absurd, tapi justru mereka tidak paham dan menganggapku bodoh. Lantas jika aku memilih jalan pisah dan menyerah pada rumah tanggaku apa itu j
“Mbak, kita mau ke mana ini?” tanya Susanti. Aku pun bingung mau ke mana.“Kita cari tempat yang nyaman saja, San,” jawabku sekenanya seraya terus berjalan keluar.Biasanya setiap perumahan itu pasti ada tamannya. Aku harus cari taman untuk kami duduk kalau jauh ya, cari masjid saja.“Mbak, itu taman!” seru Susanti.Benar juga, ternyata tamannya tidak jauh dari rumah Mbak Sintia.Bergegas kami ke sana. Aku sudah pegal menggendong Biru, tubuhnya lumayan gempal, jadi berat apalagi bagiku yang punya badan langsing.“Waduh, capek sekali,” keluh Susanti. Kami duduk di bangku taman.“Biru makannya apa sih, kok, berat badannya mantap sekali,” tanyaku. Biru malah tertawa memperlihatkan gigi depannya yang ompong.“Ya, makan nasi sama sayur lah, Tan. Enak loh digendong kalau di rumah jarang digendong pada enggak mau,” jawabnya.“Iya, lah, kan, kamu sudah gede, Nak” sahutku.“Jingga, kenapa sayang, kok, diam saja?”“Jingga takut gelap, Tan. Makanya begitu,” sahut Biru. Jingga mengangguk lalu me
“Jadi ingat video pernikahan Mas Arman yang dishare di story WA-nya Mbak Sulis. Bedanya Mbak waktu itu tidak ada di tempat, tapi sama-sama sebuah pengkhianatan,” kataku seraya memejamkan mata. Sakit hati lagi kalau ingat itu.“Herannya kenapa ya, Mbak orang-orang itu dengan gampangnya berkhianat pada pasangannya?”“Tidak punya iman, San. Cuma itu jawabannya. Miris sih, tapi inilah panggung dunia.”“Fatki!” “Biru!“Fatki!”Samar aku mendengar teriakan orang yang memangil-manggil namaku.“Mas, di sini!” jawab Susanti seraya melambaikan tangannya.Benar saja Mas Fais tampak sedikit berlari menghampiri kami.“Ayah!” teriak Biru dan Jingga bersamaan, mereka berlari menghampiri Mas Fais dan langsung memeluk.Lagi-lagi aku bingung, kok, manggilnya ayah? Bukankah mereka anak Mas Fawas?Mas Fais menggendong dua anak itu di kanan dan kiri tangannya.“Duh, berat semua anak Ayah, ayo, turun!” ujar Mas Fais setelah beberapa menit menggendong mereka.Mas Fais mengalihkan pandangannya pada Susanti
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p