"Pulang dari pelatihan, aku langsung ke dokter untuk periksa," jawab Aruna sambil bangkit dari duduknya. Namun tubuhnya terhuyung hampir jatuh dan langsung ditahan oleh Tristan. "Duduk dulu!" Dibimbingnya sang istri duduk di tepi pembaringan."Mungkin ini bukan tentang efek dari kamu kecelakaan waktu itu." Tristan harus jujur tentang pelepasan implan di lengan istrinya. Sebab sampai sekarang Aruna tetap tidak menyadarinya. Tristan yang justru merasa kalau Aruna sedang hamil sekarang. Melihat perubahan bentuk tubuh istrinya yang mulai berisi, mual, dan selera makannya yang menurun. "Nggak usah ke pelatihan dulu. Nanti kuantar periksa. Bukan ke dokter umum, tapi ke dokter kandungan."Aruna terkejut memandang suami yang duduk di sebelahnya. Jadi Tristan mengira dirinya hamil? Memang dia belum haid lagi semenjak puasa. Tapi bukankah siklus bulanannya memang tidak pernah teratur, terlebih setelah ia sering sekali mengalami stres semenjak mereka konsultasi ke konselor pernikahan."Aku ngg
Aruna memperhatikan dengan perasaan campur aduk. Mau tidak mau ia harus menerimanya. Dulu ia memilih kontrasepsi implan agar tidak ribet dan takut dirinya lupa. Sementara Tristan kalau ada maunya, sewaktu-waktu melakukannya. Dan mereka tidak pernah membicarakan anak lagi setelah kelahiran Giska.Namun kecelakaan itu, membuat implannya harus dilepas tanpa sepengetahuannya. Sekarang ia hamil dikala belum siap untuk memiliki anak kedua.Setelah dokter kandungan memberikan vitamin dan obat, Aruna melangkah pulang dengan naik taksi. Selama di perjalanan, dua kali Tristan menghubunginya. Dan mereka nyaris bersamaan ketika sampai di rumah."Kenapa nggak menungguku tadi?" protes Tristan saat keduanya masuk ke dalam rumah. Terus menaiki tangga menuju kamar mereka."Pas kebetulan ada taksi, jadi aku langsung naik.""Dokter bilang apa?"Keduanya masuk kamar. Aruna mengeluarkan amplop putih dari dalam tasnya dan memberikan pada sang suami.Membaca hasil tes dan melihat foto USG, membuat Tristan t
USAI KEPUTUSAN CERAI- Salah SangkaAuthor's POV "Kenapa belum pulang, Mbak?" Seorang kepala bagian perencanaan bertanya dan membuat Indira menoleh. Ternyata salah menduga dia. Bukan Bre tapi lelaki usia lima puluhan yang tengah melangkah hendak pulang."Eh, saya masih menunggu teman saya, Pak," jawab Indira gugup, kemudian buru-buru pergi dari sana dan menemui salah seorang temannya yang masih menyelesaikan pekerjaan. "Kenapa sih susah banget ketemu dia?" gumam Indira."Ada apa?" Temannya yang keheranan menoleh memandang Indira."Nggak ada apa-apa," jawab Indira gugup lalu segera membantu rekannya berkemas-kemas. Setelah itu mereka pulang berbarengan.Jarak kantor dan tempat kos hanya sekitar tiga ratus meteran saja. Bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebelum ke kosan, mereka mampir dulu beli bakso. Terpaksa menunggu karena antriannya panjang."Nggak terasa bentar lagi kita selesai magang, In," ujar rekannya yang berpakaian abu-abu. Hanya dijawab anggukan kepala oleh Indira. Begitu c
"Wa'alaikumussalam. Hilya, ini Bapak." Suara di ujung sana terdengar pelan. "Bapak minta maaf, nggak bisa langsung bicara waktu itu. Tapi sekarang Bapak mau kasih tahu soal Indira atau kami memanggilnya dengan sebutan Nurul."Hilya diam mendengarkan. Lelaki di seberang bicara dengan nada gemetar. Antara malu dan merasa bersalah pada Hilya. Pertemuan mereka bukan membawa bahagia, tapi kembali membawa petaka. "Kamu jangan khawatir, besok bapak akan sampai di Malang. Bapak yang akan menegur si Nurul.""Kalau dia udah mulai mengusik keluargaku. Aku nggak akan diam, Pak. Aku nggak kenal Nurul juga nggak masalah." Hilya geram.Tiba-tiba terdengar suara perempuan di ujung sana, melengking tinggi. "Pa, kamu ngomong sama siapa? Malam-malam begini masih teleponan? Nomer baru, ya."Suara Pak Umar mendadak tergagap. Wanita di seberang bertambah murka ketika Pak Umar menyebut nama Hilya dan sambungan mendadak terputus.Hilya meletakkan ponsel di nakas sambil mendesah. "Bapak ternyata tipe suami ta
"Bapak, istirahat dulu di kamar. Sambil menunggu Mas Bre pulang," saran Hilya. Namun Pak Umar lebih memilih menemani Rifky bermain. Hingga Bre pulang setengah jam kemudian."Malam ini, saya merencakan makan malam di luar. Kita bertemu berempat, Pak." Bre memandang mertuanya. Pak Umar mengangguk. Memang tidak perlu ditunda lagi. Lebih cepat lebih baik. Kalau perlu, setelah pertemuan malam ini dia ingin membawa Nurul pulang ke Bali. Tidak peduli masa magangnya sudah selesai apa belum."Saya mandi dulu, Pak!" Bre bangkit dari duduknya lalu menaiki tangga menuju ke kamar. Di dalam, Hilya baru selesai salat asar. Bre juga memberitahu sang istri tentang rencana makan malam mereka. "Kita selesaikan malam ini. Sebab besok Arham mau ke sini untuk menemui Rifky."Sejenak Hilya terkejut. "Aku khawatir istrinya ikut dan membuat kekacauan lagi, Mas.""Mereka sudah bercerai."Hilya menatap suaminya. "Dari mana Mas tahu kalau mereka sudah bercerai?""Arham yang bilang.""Oh." Hilya lantas melipat
USAI KEPUTUSAN CERAI- Susah Diatur Author's POV Indira turun dari kendaraan yang menjemputnya. Di pintu masuk rumah makan mewah, dia disambut oleh seorang pramusaji dengan ramah. "Maaf, apa dengan Mbak Indira?""Ya. Saya Indira," jawab Indira dengan penuh percaya diri."Mari saya antar! Mbak, sudah ditunggu." Pramusaji mendahului melangkah di depan Indira. Langsung naik ke lantai dua. Sebuah ruang VVIP yang dipesan oleh Bre.Gadis itu tersenyum senang. Tidak terbesit kecurigaan sedikitpun di hatinya. Dia sudah tahu, orang kaya atau bos besar selalu menggunakan trik seperti itu. Agar tidak ketahuan pasangannya. Apalagi untuk ukuran seorang pengusaha sekelas Bre. Tentu dia harus menjaga nama baiknya meski selingkuh.Senyum licik terbit di bibirnya yang merona. Kakak yang dibanggakan oleh papanya, akan menangis darah setelah ini. Setelah tahu suami yang dicintai, ternyata tergoda dengan adik tirinya.Pramusaji mengetuk pintu dua kali, lalu memutar handle. "Silakan masuk Mbak Indira."
"Kamu tahu apa tentang kehidupan kami di Bali." Indira menentang tatapan Hilya. Hilya memandang bapaknya. Lelaki yang tidak memiliki power di hadapan keluarga. Kasihan sebenarnya. "Pulang dari sini, segera kemasi pakaianmu. Besok pagi kamu ikut papa pulang ke Bali." Pak Umar memandang Indira. Namun gadis itu tersenyum sinis. "Nggak segampang itu, Pa. Masih satu setengah bulan lagi aku magang di sini.""Kamu kembali saja. Aku nggak butuh anak magang yang tidak tahu etika dan menghormati orang tua. Mulai besok masa magangmu sudah selesai di Hutama Jaya kecuali keempat temanmu yang benar-benar datang untuk magang di sini. Bukan dengan tujuan lain. Maaf, HJ sudah tidak bisa menerimamu." Ucapan tegas Bre membuat Indira mati kutu. Tubuhnya sampai gemetar dan tidak bisa berkata apa-apa."Bu Sri akan mengurus semuanya besok jam kerja," lanjut Bre.Spontan gadis itu bangkit dari duduknya dan melangkah ke luar ruangan. Pak Umar mengejar hingga ke halaman restoran."Untuk apa Papa mengejarku. P
"Nggak, Mas. Bapak waktu di pernikahan Mbak Asmi sudah bilang kalau akan tetap tinggal di Bali. Bapak nggak ingin merepotkan anak-anaknya di sini."Lagian Bapak masih memiliki tanggungjawab istri dan anaknya. Biar dia membimbing anak perempuannya yang liar itu menjadi wanita bermartabat. Nggak mengikuti jejak mamanya yang suka mengganggu suami orang. Bahaya gadis itu kalau dibiarkan."Bre menghela nafas panjang. Lalu membimbing istrinya untuk berbaring. Dia tidak ingin membahas Indira lebih jauh. Baginya gadis itu hanya anak kemarin sore yang tidak ada artinya apa-apa. Dia sudah pernah digoda juga oleh anak kuliahan ketika masih menduda. Namun Bre bergeming.Seperti biasa, sebelum tidur. Mereka berdua menyempatkan pillow talk. Setelah kegagalan di masa lalu, bagi Bre komunikasi dalam hubungan suami istri begitu penting.🖤LS🖤Jam enam pagi Pak Umar pamitan pada anak, menantu, dan cucunya. Seorang sopir kantor akan mengantarkannya dan Indira ke Bandara. Hilya mengantar sang bapak sam
Mbak Asmi juga diam. Tak ada air mata yang jatuh. Justru luka yang dulu menganga terasa kembali. Ia telah memaafkan Heru, tapi luka pengkhianatan dan penelantaran itu tidak pernah benar-benar hilang. Bertahun-tahun pula ia berusaha sekuat tenaga menjadi ibu dan sekaligus ayah bagi Yazid. Begitu sulitnya waktu itu."Mas Heru, sekarang tinggal di mana?" tanya Ustadz Izam."Saya sekarang tinggal di Lamongan, Mas. Sudah dua bulan ini." Namun Heru tidak menceritakan kehancuran pernikahan keduanya. Dia hanya bilang kalau sudah menduda. Dulu setelah bercerai dari Mbak Asmi, Heru tinggal di Jakarta bersama selingkuhannya. Lamongan adalah kota asal lelaki itu."Maaf, Ibu di mana. Saya ingin bertemu dan meminta maaf." Heru bicara sambil memandang ke dalam."Ibu sudah meninggal empat tahun yang lalu," jawab Mbak Asmi dengan raut wajah sedih."Innalilahi wa inna ilaihi raji'un." Heru kaget juga. Padahal dia ingin bertemu mantan mertuanya dan memohon maaf. Tapi rupanya sudah terlambat. "Apa kabar
Lelaki itu mengangguk. Dia melangkah ke depan sambil membawa beberapa paper bag di tangannya. Memilih duduk di bangku kayu samping toko. Sedangkan Mbak Asmi masuk ke dalam dan menutup pintu. Ia menidurkan bayinya di bouncer.Dadanya berdegup kencang. Tidak mengira pada akhirnya lelaki itu mencari anaknya. Setelah bercerai, tak pernah memberi nafkah anak. Jangankan mengirim uang untuk kebutuhan anak, bertanya kabar pun tidak pernah. Dia lenyap bersama selingkuhannya seolah hilang ditelan bumi."Ayah sudah di telepon, Kak?" tanya Mbak Asmi pada Yazid yang memegang ponsel milik bundanya."Sudah, Bun. Tapi nggak diangkat. Mungkin ayah sedang diperjalanan.""Iya. Kamu jagain adek dulu ya. Bunda mau nyoba telepon ayah."Yazid mengangguk. Lalu duduk di sebelah sang adik yang tertidur pulas. Mbak Asmi membawa ponsel ke belakang untuk menelepon suaminya. Tadi Ustadz Izam pamit hendak ke rumah sepupunya sebentar. Rumahnya tidak jauh, makanya hanya naik motor.Sementara di luar rumah, Heru, ayah
USAI KEPUTUSAN CERAI- Setelah Tujuh Tahun Author's POV Sinar keemasan mentari pagi memantul di permukaan lantai ruang santai di rumah Tristan. Aruna tengah duduk bersila di atas matras yoga. Usia kandungannya sudah delapan bulan, dan tubuhnya tampak lebih berisi sekarang. Nafasnya teratur saat mengikuti gerakan senam hamil yang rutin ia lakukan melalui panduan video di layar televisi. Sementara itu Tristan mengawasi dari sofa sambil memegang tablet, sesekali memperhatikan ke arah sang istri. Aruna terlihat lebih ceria sekarang, meski tetap jarang bicara kalau tidak benar-benar perlu. Dia masih memasang tirai tipis di antara mereka."Istirahat dulu, Runa. Sudah lama kamu senam pagi ini," seloroh Tristan.Aruna menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada gerakan stretching yang dirancang untuk memperbaiki posisi janin. Bayinya memang sungsang. Untuk menghindari lahiran secara caesar, Aruna rajin melakukan senam agar bisa melahirkan secara normal."Kalau nanti pun harus caesar, nggak a
Matahari di Minggu pagi bersinar lembut di atas pekarangan rumah rumah Bre. Langit sedikit berawan dan embun masih menetes di dedaunan yang tumbuh rapi di sekeliling taman. Di kursi kayu berlapis bantal putih, Bre duduk dengan santai memangku baby Rafka yang baru berusia dua minggu. Si kecil mengenakan topi rajut biru muda, memakai kacamata bundar untuk melindunginya dari silaunya sinar matahari.Di sebelahnya, Rifky duduk di kursi kecil berwarna hijau. Kakinya mengayun-ayun sembari menggenggam botol susu yang sudah setengah kosong. Matanya sesekali melirik adiknya, lalu menatap sang papa dan mereka bercerita."Papa, boleh Rifky cium adek?""Boleh. Pelan-pelan, ya."Rifky bangkit berdiri dan menempelkan pipinya ke pipi adiknya. Rafka bergerak lembut merespon sang kakak. Bre tersenyum melihat tingkah mereka. Dua bayi bagaikan magnet yang membuatnya ingin segera pulang ke rumah setelah urusan pekerjaan selesai.Walaupun malamnya kurang tidur kalau Rafka mengajak begadang, tapi Bre meni
"Semua sudah selesai, Run. Aku sudah memaafkan," jawab Zara sambil merangkul adik sepupunya."Terima kasih."Setelah itu Aruna hanya diam. Sama sekali tidak lagi memperhatikan entah bagaimana Tristan dan Zara berinteraksi dalam pertemuan itu. Ia sudah tidak peduli.Giska yang didampingi orang tua Tristan, hanya sebentar mendekat dan memeluk mamanya. Lalu Bu Fadlan merangkul sang cucu untuk duduk di depan.Tristan mencoba bicara saat malam tiba. Mereka duduk di kamar, Aruna mengelus perutnya pelan. Lelah dan mengantuk setelah sehari semalam nyaris tidak tidur. Perutnya juga terasa menegang beberapa kali."Runa, aku minta maaf. Seharusnya aku peduli saat kamu bilang mengkhawatirkan papa pagi kemarin. Aku tahu permintaan maaf nggak bisa mengembalikan apa pun. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menyesal.""Nggak apa-apa," jawab Aruna datar. Tristan memandang istrinya. Perempuan itu tak marah. Tapi nada bicaranya datar dan yang terlihat hanya kelelahan dan luka. Dia tahu Aruna kecewa dan menyes
USAI KEPUTUSAN CERAI- Satu Hari di Kota Malang Author's POV Tristan menghela nafas panjang. Dia harus memberitahu istrinya daripada Aruna bakalan kaget nantinya. "Runa, kita tunggu papa di rumah. Papa akan dibawa pulang."Perasaan Aruna sudah tidak karuan. Namun masih berusaha menepis ketakutannya. Papanya masih ada. Papanya bisa tertolong dan akan pulang dalam keadaan baik-baik saja. Meski hati kecilnya merasakan pesimis.Ketika mobil memasuki halaman rumah, Aruna lemas saat melihat suasana begitu terang benderang dan beberapa kerabat sudah berkumpul di sana. Di teras dan ruang tamu duduk para saudara dan tetangga."Runa ....""Aku sudah tahu," potong Aruna cepat dengan air mata sudah membanjiri pipinya. Ketakutannya menjadi kenyataan. Ia yakin, papanya sudah tiada.Tristan turun dari mobil dan membuka pintu untuk istrinya. Aruna yang sempoyongan berusaha berjalan sendiri masuk ke rumah lewat pintu samping. Dia tidak peduli dengan Tristan yang begitu khawatir di sampingnya.Aruna
Malang ....Hawa dingin terasa begitu menusuk ke tulang. Gerimis di luar belum berhenti. Tristan membawakan segelas teh hangat dan di letakkan di meja depan Aruna. Lelaki itu juga menangkupkan selimut ke tubuh sang istri yang tengah duduk menikmati pemandangan di luar, dari balik jendela kaca."Mau kupesankan roti bakar?" tanya Tristan sambil duduk merapat pada istrinya. Lengannya merangkul bahu Aruna yang ringkih."Nggak usah. Aku masih kenyang."Keduanya memandang jauh keluar. Sebenarnya Aruna kepikiran tentang papanya. Kesehatannya makin menurun dari hari ke hari. Namun Aruna tidak pernah membahas hal itu dengan Tristan.Sejak awal, Tristan memang tidak cocok dengan papa mertuanya. Untuk itu Aruna pun tidak ingin membicarakan tentang sang papa dengan suaminya. Ia sadar kesalahan papanya waktu itu sangat menyakitkan bagi Tristan. Meski mereka sudah bisa saling menerima dan memaafkan. Aruna sekarang benar-benar menjaga diri dan berhati-hati."Kamu nggak ngantuk?" Tristan mengecup ke
Tristan duduk menunggu di sisi tempat tidur. Memperhatikan perut Aruna yang membuncit. Karena kehamilannya, Aruna mengurangi banyak kegiatan di luar. Termasuk melanjutkan ikut pelatihan. Trimester pertama waktu itu membuatnya harus banyak bed rest karena tubuhnya terasa sangat lemah. Sempat opname tiga hari karena kondisinya yang ngedrop.Ada perasaan lega, tapi juga getir di dada Tristan. Ia tahu Aruna berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, meski hatinya telah remuk oleh kondisi mereka saat itu. Namun Aruna sekarang terlihat lebih baik daripada beberapa bulan yang lalu.Tristan sendiri membuktikan untuk berubah. Memperbaiki diri dan banyak belajar dari kesalahannya. Memprioritaskan istri dan anak-anaknya."Yuk, kita berangkat sekarang!" Tristan bangkit dari duduk lalu mengangkat koper kecil keluar kamar. Aruna mengikuti sambil menutup pintu kamar. Pria itu meraih tangan sang istri dan mereka menuruni tangga bersama-sama."Aku sebenarnya khawatir dengan kondisi papa,"
USAI KEPUTUSAN CERAI- Kehilangan Author's POV "Kamu nggak nyoba telepon Bre dulu, Ham?" Bu Rida yang menenteng kado mengingatkan putranya."Sudah kukirim pesan, Ma. Dijawab agar kita langsung ke sini."Sebenarnya Arham tidak sengaja datang di waktu Hilya lahiran. Dia sudah janjian dengan Bre tiga hari yang lalu, kalau akan ke Malang bersama mamanya untuk bertemu Rifky. Kebetulan Bu Rida juga baru sembuh dari sakit dan dia ingin sekali bertemu cucunya.Tadi pas datang ke rumah mereka, ART di sana memberitahu kalau Hilya melahirkan. Bre juga membalas pesannya agar Arham mengajak sang mama langsung ke klinik saja. Bu Rida tadi sempat meminta mampir ke toko untuk membeli kado.Ketika mereka tengah melangkah di lorong, ponsel Arham berdering. Bre yang menelepon. "Halo, Mas. Saya dan mama sudah sampai di klinik.""Kami tunggu, Mas. Saya di depan kamar perawatan. Paviliun 302.""Iya." Arham menyimpan kembali ponselnya dan mengajak sang mama melangkah mencari paviliun yang dimaksud oleh B