Kedua bibir Bu Fania terbuka begitu mendengar perkataan Naya, tetapi wanita itu tidak mampu berkata-kata. Ia cukup terkejut mendengar perkataan dari kakak perempuan Prima itu.Wanita yang selama ini begitu angkuh itu pikir, Alya masih belum mendapatkan pengganti putranya. Ia pikir, akan sulit bagi Alya menemukan laki-laki yang mau menerimanya. Apalagi Alya janda dan berasal dari keluarga tidak punya. Namun, ternyata dugaan Bu Fania itu salah."Bisakah kita bicara di luar?" tanya Naya. Wanita dengan hijab biru laut itu tidak ingin Aleta mendengar pembicaraan mereka. Naya yang sudah mendengar semua dari Prima ingin berbicara langsung dengan Bu Fania dan juga Arfan.Sebelah alis Bu Fania terangkat. "Haruskah?""Ya, banyak hal yang ingin saya sampaikan," jawab Naya dengan lugas."O," sahut Bu Fania sembari memutar bola matanya kemudian mengangguk dengan angkuh. Ia tidak menyangka kalau di sini akan berhadapan dengan perempuan tegas seperti Naya. Wanita yang menenteng tas tangan berwarna m
"Aleta akan segera menjalani kemoterapi," jawab Alya tanpa menoleh ke arah Bu Fania."Kamu tega?" hardik Bu Fania."Aleta pasti kuat. Iya, kan, Sayang?" tanya Alya sembari mengelus kepala putrinya dengan menahan sesak di dada. Ibu mana yang tega anaknya menjalani proses pengobatan mengerikan itu. Akan tetapi, hanya itu pilihan yang ada saat ini. "Aleta pasti akan sembuh. Iya, kan, Sayang?"Aleta mengangguk. "Iya, Ma. Aleta kalau pulang dari sini mau ngenalin Papa ke teman-teman di sekolah. Biar mereka enggak ngata-ngatain Aleta enggak punya Papa lagi."Mendengar itu Alya tidak bisa berkata-kata lagi. Dadanya kembali dipenuhi perasaan bersalah. Dalam hati, Alya kembali menyalahkan dirinya sendiri. Karena lahir dari ibu sepertinya, Aleta harus mengalami itu. Seandainya dulu ia bertahan menjadi istri Arfan bagaimanapun kesakitan menderanya, tentu Aleta tidak akan mengalami bullian seperti itu."Tentu, Sayang," sahut Arfan. Laki-laki itu mengerti kalau Alya pasti sedih, sehingga langsung
Alya menoleh. Ia menatap mantan suaminya itu dengan mata berkaca-kaca dan bibir tersenyum miris. Rasa-rasanya ia ingin menertawakan pertanyaan itu sembari menangis."Pertanyaan macam apa itu?" batin Alya pedih. Akhirnya ia menanggapi pertanyaan Arfan dengan balas bertanya. "Apa menurutmu ... kamu dan Meira memungkinkan untuk bercerai?"Kontan Arfan tidak bisa menjawab pertanyaan Alya. Ia tidak menyangka kalau wanita berbibir ranum itu akan bertanya seperti itu.Arfan diam seribu bahasa. Ia menyadari bahwa menceraikan Meira memang bukan perkara yang mudah untuk saat ini. Ia juga tidak sampai hati meminta Alya untuk menjadi istri ke dua. Karena di mata Arfan, sosok wanita seperti Alya memang tidak pantas berada di posisi itu, betapapun ia menginginkannya.Akhirnya tak satu pun kata yang terucap dari keduanya. Alya yang mengetahui jawaban Arfan tanpa laki-laki itu menjawabnya secara langsung pun, akhirnya memilih beranjak dari kursi yang permukaan terasa begitu dingin itu. Persis seperti
Malam sudah cukup larut, tetapi Bu Fania masih belum bisa tertidur juga. Berkali-kali wanita berwajah glowing itu mengganti posisi tidurnya untuk mencari posisi ternyaman. Namun, tetap saja ia gelisah dan matanya belum bisa terpejam.Penyesalan terus bergelayut dalam pikirannya. Dulu, ia pikir dengan memisahkan Arfan dengan Alya, hidup mereka akan lebih berkelas karena Arfan menikahi wanita yang selevel dengan mereka. Namun, kenyataan yang ada tidaklah demikian.Terlebih kini cucu Bu Fania satu-satunya sedang membutuhkan bantuan dari adik kandungnya. Memuncaklah penyesalan yang dirasakan wanita dengan usia lebih dari setengah abad itu.Bu Fania menghela napas berat. Dalam hati ia berandai-andai. Seandainya dulu dirinya mau menerima Alya dengan segala yang ada pada wanita itu, tentu saat ini mereka bisa hidup dengan bahagia. Arfan bahagia bersama istri yang dicintainya dan Bu Fania dengan cucu-cucunya. Namun, karena ingin terlihat sempurna justru yang terjadi ia telah menghancurkan seg
Meira membuka amplop cokelat yang berisi surat persetujuan Arfan untuk bisa menikah lagi. Wanita yang masih mengenakan piyama abu tua itu masih ingat betul bagaimana wajah ibu mertuanya kemarin saat memberikan itu kepadanya. Ketus dan sama sekali tak memedulikan perasaannya lagi.Meira menghela napas panjang. Terkadang, di saat seperti ini ia ingin menyerah saja. Bagaimanapun ia juga manusia biasa. Lelah rasanya terus menerus berjuang sendiri. Dan lelaki yang ia perjuangkan sama sekali tidak pernah mau menoleh kepadanya."Apa aku harus lepasin kamu, Fan?" lirih Meira seolah-olah suaminya itu ada di depannya."Aku capek .... Apa enggak ada sedikit aja tempat di hati kamu buat aku ...?" Satu persatu buliran bening terjatuh dari pelupuk mata Meira. Tetes demi tetes membasahi map cokelat yang berada di pangkuannya. Meira tidak pernah menyangka kalau pernikahannya dengan Arfan akan seperti ini. Ia pikir, Arfan yang sejak dulu selalu bersikap baik dan sangat menyayanginya itu akan bisa men
"Ada apa sama aku dan Arfan, Ma?" Meira menatap khawatir pada kedua orang tuanya.Mama dan papa Meira tak langsung menjawab. Pasangan suami istri itu saling menatap beberapa saat sebelum kemudian Pak Darma menjawab pertanyaan itu."Tadi kedua orang tua Arfan ke rumah.""Ngapain?" kejar Meira. Pikirannya langsung tak karuan. Satu hal yang pasti, jika sampai kedua orang tua Arfan membahas tentang Arfan dan Alya pada orang tuanya, Meira bertekad akan memberi pelajaran pada mertuanya itu."Kenapa kamu enggak pernah cerita sama kami?""Cerita apa, Ma? Mei sama Arfan baik-baik aja.""Mertuamu udah cerita semua sama Mama Papa, Mei. Mereka bahkan minta Mama sama Papa buat bujuk kamu agar setuju Arfan menikah lagi dengan Alya." Pak Darma menghela napas berat, menjeda ucapannya. "Demi kesembuhan anak Arfan katanya."Dada Meira terasa sesak mendengar itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau orang tua Arfan akan bertindak sejauh itu. Permintaan mereka kemarin saja masih membuat Meira begitu terl
"Ngaco kamu, Fan!""Ngaco gimana, Al? Aku seorang ayah. Aku cuma ingin bisa memenuhi keinginan putriku. Dimana salahnya?" Arfan menatap Alya dengan lekat."Keinginan Aleta itu sangat sederhana, Al. Dia cuma ingin bisa bersama kedua orang tuanya layaknya anak-anak lainnya. Dia cuma ingin hal sekecil itu. Gimana mungkin, aku sebagai papanya enggak mau menuruti keinginan sederhananya itu?" lanjut Arfan."Keinginan Aleta memang sederhana. Hanya saja kondisinya yang membuat itu menjadi enggak lagi sederhana, enggak lagi mudah. Keinginanmu juga enggak salah. Wajar. Kamu seorang ayah. Hanya saja ... kita tau kondisinya sekarang seperti apa." Alya menjeda ucapannya. Dadanya terlalu sesak setiap memikirkan Aleta."Akulah di sini yang salah. Aku yang enggak bisa memenuhi keinginan sederhananya itu. Aku juga yang membuat semua jadi serumit ini," lanjut Alya. "Seandainya Aleta enggak terlahir dari ibu sepertiku, dia pasti enggak akan merasakan semua ini."Tanpa menunggu respon Arfan, Alya langsun
"Aleta udah tidur?" tanya Arfan sembari berdiri di ambang pintu kamar Aleta begitu tiba di rumah orang tua Alya.Alya yang tidak tahu kehadiran Arfan pun menoleh. "Sudah.""Kita bicara di luar, ya!"Alya pun beranjak dari tempat tidur. Ia sudah bisa menebak kalau Arfan telah mengetahui apa yang sedang ibunya lakukan. Meski sebenarnya ia tak ingin Arfan mengetahui hal itu, tetapi tadi hanya mengantar payung untuk ibunya yang terlintas di kepala Alya untuk menghindari permintaan Aleta."Kenapa kamu enggak bilang?" tanya Arfan begitu Alya duduk di sofa ruang tamu."Bilang apa?""Kamu pasti tau, kan, kalau Ibu ... di rumah itu, lagi ngapain?" Arfan menatap Alya tak percaya.Alya tak menjawab. Ia memilih membuang muka."Al! Liat aku!"Alya akhirnya menoleh ke arah Arfan walaupun tidak menatap wajah lelaki itu. "Emang aku harus bilang apa sama kamu?""Kenapa Ibu sampai nyetrika di rumah orang? Kenapa, Al? Kenapa kamu biarin Ibu melakukan itu?""Bukannya dari awal kamu tahu? Keluargaku engga
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di