Tubuh Gita bagai tersengat ribuan lebah saat Yasa tiba-tiba mendekapnya kuat. Sontak, ia hampir saja berteriak jika saja Yasa tidak mencegahnya dan mengatakan akan mencelakai Ananta jika Gita berani macam-macam. "Pak Yasa. Apa mau anda?" kata Gita dengan suara bergetar. Bahkan napasnya bagai terhenti. "Kan sudah kukatakan sejak awal sebelum kamu menjawab lamaranku kemarin. Aku bukanlabukanlah tipikal orang yang suka ditolak. Semua yang kuinginkan akan aku dapatkan cepat atau lambat." Yasa melepaskan ikatan tangannya hingga membuat Gita kembali bernapas lega. Pria itu lalu bangkit dan kembali duduk di depan Gita. "Cepat tuliskan apa saja yang kamu inginkan untuk pernikahan kita." Yasa mengeluarkan ponsel dan meminta Gita menuliskannya di bagian catatan. Gita yang masih ketakutan terpaksa meraih ponsel itu. Namun, pikirannya yang buntu tidak mampu menuliskan satu huruf pun. "Lebih cepat! Saya harus segera kembali ke kantor!"Akhirnya Gita menuliskan bahwa ia menginginkan mahar berup
"Yasa?" ujar Danan seraya menautkan alisnya. Perasaannya mulai mengatakan kalau telah terjadi sesuatu pada Gita."Hai, Bro," ucap Yasa santai dengan senyum lebar. "Kenapa? Kaget?""Kok, lo yang angkat? Ini nomornya Gita, kan? Apa yang udah lo lakuin sama dia?" cecar Danan. Namun, Yasa malah tertawa."Memangnya apa yang salah kalau calon suami ngangkat ponsel calon istrinya?"Sontak, Danan mengepal kuat tangannya hingga ujung-ujung kukunya memutih. Darahnya mendadak mengalir cepat dan wajahnya bagai ditarik dari segala arah. Terlebih saat Yasa begitu pongahnya menyebut Gita sebagai calon istri."Mana Gita? Gue mau ngomong sama dia!" Emosi Danan mendadak naik. Mengetahui kalau Gita membatalkan janji pertemuan dengannya dan Ananta karena Yasa, sungguh membuat emosinya meroket."Wess, sabar, Bro. Selow. Gita lagi milih-milih kebaya pernikahan kami. Lo ntar dateng, ya?""MANA GITA!"Yasa lekas menjauhkan ponsel dari telinganya lalu berjalan mendekati Gita. Ia lalu berbisik di telinga Gita
Ferdi semakin memangkas jarak. Kepanikan mendadak menyinggahi pria 40 tahunan itu. "Mak-sud Tuan?"Danan yang sedang mengelapi cangkir-cangkir aneka bentuk menghentikan aktivitasnya. Ia lalu memutar kepala ke arah Ferdi. "Fer, sadar nggak kalau rekaman CCTV di rumah kakek ada yang aneh? CCTV yang biasa diletakkan di ruang makan kok bisa tiba-tiba mati? Dan yang lebih anehnya, CCTV yang di ruangan lain juga mati di jam 7-8 aja?"Ferdi menautkan alisnya. Ia memandang tajam Danan sambil berpikir, "Kapan pemuda di depannya itu memeriksa CCTV rumah Tuan Salim?""Kemarin waktu aku ke rumah Kakek," ucap Danan seolah mengerti apa yang Ferdi pikirkan. "Aku iseng meriksa rekaman CCTV yang masih dipegang pihak security. Mereka sengaja kuminta membuat duplikatnya sebelum diserahkan ke polisi. Dan setelah dicek, di rekaman yang hilang itu ada Tante Miranda dan Yasa di sana.""Yang be-nar, Tuan? Kalau begitu, anda bisa serahin bukti itu ke polisi biar Nyonya Miranda bisa segera diperiksa.""Udah.
Ananta berjalan riang menuju kediaman Salim Heryawan. Sambil menggandeng tangan kanan Danan, ia berjalan seraya sesekali melompat "Pa, kelihatannya ada acara, ya? Banyak mobil yang parkir di sana," ujar Ananta sembari menunjuk halaman rumah dengan dagu. "Iya, mau ada pembacaan surat wasiat kakekku. Oh, ya, karena nanti anak kecil nggak boleh masuk, kamu tunggu di taman pinggir kolam renang aja, ya. Kalau mau berenang juga boleh. Bawa baju renang, kan?"Ananta mengangguk. Sebelum berangkat tadi, Danan memang sudah menyuruhnya membawa baju renang agar Ananta tidak bosan mengikuti acara orang dewasa. "Ya sudah, saya masuk dulu, ya. Kamu bisa langsung ke kolam. Hati-hati.""Oke, Pa. Nanta tunggu di sana."Danan menarik napas dalam sebelum membawa langkahnya lagi menuju ruang keluarga kediaman sang kakek. Tempat surat wasiat akan dibacakan. Kepalanya sontak memutar ke arah kanan saat ekor matanya menangkap bayangan mobil SUV merah milik Yasa. Itu artinya nama Yasatama juga tercantum d
Tak berbeda dengan Gita, wajah Danan pun langsung menegang. Ia tidak ingin jika apa yang dikatakan oleh Pambudi barusan menjadi kenyataan. Danan tidak akan bisa hidup terpisah lagi dari Ananta. "Bagaimana Tuan Danan? Tolong hadirkan Ananta sekarang."Danan masih diam. "Ah, kelamaan. Sudah saya saja yang menghadirkan anak itu," tukas Miranda memotong sikap Danan. Ia lalu merogoh tas tangannya lalu menghubungi seseorang. "Bawa masuk anak itu sekarang."Bola mata Danan seketika membesar. "Apa-apaan si, Tante? Jangan macam-macam sama Ananta!" Namun, kalimat Danan tidak Miranda hiraukan, dan sekejap kemudian, seseorang berpakaian hitam-hitam sudah hadir ke ruangan tempat semua orang berada. Di sebelahnya berjalan Ananta. "Ananta," ucap Gita dan Danan bersamaan. Gita langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan. Wajahnya pun sudah basah. Rasa rindunya pada Ananta mendobrak perasaannya yang tengah hancur. Ingin sekali rasanya Gita berlari memeluk putrinya itu. Namun, Gita masih duduk di p
"Pembunuh? Apa maksud lo?" Yasa menautkan kedua alis hitamnya. Debar jantungnya perlahan meningkat saat Danan tadi menyebutnya sebagai pembunuh Salim. "Berapa kali gue bilang, nggak usah pura-pura bodoh! Lo dan nyokap lo kan yang udah ngebunuh Kakek?""Jangan sembarangan nuduh, lo, Nan! Lo bisa gue tuntut!""Gue nggak sembarangan. Ada buktinya, kok. Sekitar 3 jam sebelum Kakek pingsan, lo dateng ke rumahnya. Waktu yang pas untuk memberikan Arsenik. Itu semua ada di Rekaman CCTV yang sengaja dihapus! Pasti lo nyuruh Bik Asti atau Bik Nar buat ngeracunin Kakek kan?""Stop! Gue bilang gue nggak ngebunuh Kakek! Dengerin, gue sama nyokap emang sempet ke rumah Kakek pagi-pagi banget. Kami memang mau menemui Kakek. Tapi kami pulang lagi karena Kakek lagi jalan-jalan ke luar sama Ferdi. Nggak ada ya soal gue nyuruh Bik Asti atau Bik Nar buat ngeracun Kakek!"Danan hening sesaat. Ia menatap tajam ke kedalaman telaga milik Yasa dan di sana ia menemukan kejujuran. "Tapi kalau bukan lo dan Tante
"Sebaiknya nanti saja, Tuan. Kalau situasi sudah aman. Saya khawatir, kalau sasaran selanjutnya dari si pelaku adalah Anda," ucap Ferdi seraya memandang Danan dengan penuh kecemasan. "Kok, kamu kayak yakin gitu ngomongnya?" Danan memutar kepalanya ke arah Ferdi, "Apa jangan-jangan kamu tahu ya siapa si pelaku yang sebenarnya?" kata Danan seraya memicing. "Eh, enggak, Tuan. Saya cuma mengkhawatirkan keselamatan Anda. Anda tahu kan alasan Tuan Salim mengeluarkan anda dari Prisma grup dan dari lingkungan rumah? Karena dia nggak mau terjadi sesuatu yang buruk pada anda.""Aku tahu, Fer. Kakek tidak mau aku terluka.""Nah, betul itu. Jadi tolong jaga baik-baik diri anda."Danan menghela napas dalam dan membuangnya perlahan. "Tapi kalau tidak tinggal di sana, mana bisa aku menemukan jejak pembunuh Kakek?""Serahkan aja semuanya sama polisi. Saya yakin mereka pasti bisa menemukan pelakunya. Cepat atau lambat." "Ya sudahlah, aku tunggu beberapa minggu lagi. Semoga saja benar apa yang kamu b
Gita masih membeku di posisinya meski Yasa sudah melangkah masuk ke kafe. Warna wajahnya pun sudah berubah seperti tomat matang. "Perasaan aku tidak habis berlari, kenapa jantungku jadi cepat gini?" ucapnya seraya meletakkan tangan kanan di dada. Kabar kalau Danan juga mencintainya sungguh sangat mengejutkannya. Betapa tidak, bertahun-tahun Gita harus menahan kecewa karena mencintai Danan seorang diri tanpa berbalas. Saat tahu kalau Danan ingin melamarnya tentu saja Gita bagai mendapat hujan emas. "Git, ayo!""Iya, Pak eh Mas." Di tengah degup jantungnya yang masih belum normal, Gita terpaksa mengikuti Yasa. Ia pun hanya pasrah saat Yasa tiba-tiba merangkul bahunya sambil memandanginya dengan wajah cerah. "Bro, rame juga tempatnya," sapa Yasa pada Danan. "Yah, lumayan. Dateng juga lo?" ujar Danan yang langsung menekuk wajah saat melihat Yasa merangkul Gita. Mata sedihnya langsung menghujani wajah Gita. Sedangkan Gita terus mengalihkan wajahnya ke arah lain seraya berharap agar Dana
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku