Tak berbeda dengan Gita, wajah Danan pun langsung menegang. Ia tidak ingin jika apa yang dikatakan oleh Pambudi barusan menjadi kenyataan. Danan tidak akan bisa hidup terpisah lagi dari Ananta. "Bagaimana Tuan Danan? Tolong hadirkan Ananta sekarang."Danan masih diam. "Ah, kelamaan. Sudah saya saja yang menghadirkan anak itu," tukas Miranda memotong sikap Danan. Ia lalu merogoh tas tangannya lalu menghubungi seseorang. "Bawa masuk anak itu sekarang."Bola mata Danan seketika membesar. "Apa-apaan si, Tante? Jangan macam-macam sama Ananta!" Namun, kalimat Danan tidak Miranda hiraukan, dan sekejap kemudian, seseorang berpakaian hitam-hitam sudah hadir ke ruangan tempat semua orang berada. Di sebelahnya berjalan Ananta. "Ananta," ucap Gita dan Danan bersamaan. Gita langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan. Wajahnya pun sudah basah. Rasa rindunya pada Ananta mendobrak perasaannya yang tengah hancur. Ingin sekali rasanya Gita berlari memeluk putrinya itu. Namun, Gita masih duduk di p
"Pembunuh? Apa maksud lo?" Yasa menautkan kedua alis hitamnya. Debar jantungnya perlahan meningkat saat Danan tadi menyebutnya sebagai pembunuh Salim. "Berapa kali gue bilang, nggak usah pura-pura bodoh! Lo dan nyokap lo kan yang udah ngebunuh Kakek?""Jangan sembarangan nuduh, lo, Nan! Lo bisa gue tuntut!""Gue nggak sembarangan. Ada buktinya, kok. Sekitar 3 jam sebelum Kakek pingsan, lo dateng ke rumahnya. Waktu yang pas untuk memberikan Arsenik. Itu semua ada di Rekaman CCTV yang sengaja dihapus! Pasti lo nyuruh Bik Asti atau Bik Nar buat ngeracunin Kakek kan?""Stop! Gue bilang gue nggak ngebunuh Kakek! Dengerin, gue sama nyokap emang sempet ke rumah Kakek pagi-pagi banget. Kami memang mau menemui Kakek. Tapi kami pulang lagi karena Kakek lagi jalan-jalan ke luar sama Ferdi. Nggak ada ya soal gue nyuruh Bik Asti atau Bik Nar buat ngeracun Kakek!"Danan hening sesaat. Ia menatap tajam ke kedalaman telaga milik Yasa dan di sana ia menemukan kejujuran. "Tapi kalau bukan lo dan Tante
"Sebaiknya nanti saja, Tuan. Kalau situasi sudah aman. Saya khawatir, kalau sasaran selanjutnya dari si pelaku adalah Anda," ucap Ferdi seraya memandang Danan dengan penuh kecemasan. "Kok, kamu kayak yakin gitu ngomongnya?" Danan memutar kepalanya ke arah Ferdi, "Apa jangan-jangan kamu tahu ya siapa si pelaku yang sebenarnya?" kata Danan seraya memicing. "Eh, enggak, Tuan. Saya cuma mengkhawatirkan keselamatan Anda. Anda tahu kan alasan Tuan Salim mengeluarkan anda dari Prisma grup dan dari lingkungan rumah? Karena dia nggak mau terjadi sesuatu yang buruk pada anda.""Aku tahu, Fer. Kakek tidak mau aku terluka.""Nah, betul itu. Jadi tolong jaga baik-baik diri anda."Danan menghela napas dalam dan membuangnya perlahan. "Tapi kalau tidak tinggal di sana, mana bisa aku menemukan jejak pembunuh Kakek?""Serahkan aja semuanya sama polisi. Saya yakin mereka pasti bisa menemukan pelakunya. Cepat atau lambat." "Ya sudahlah, aku tunggu beberapa minggu lagi. Semoga saja benar apa yang kamu b
Gita masih membeku di posisinya meski Yasa sudah melangkah masuk ke kafe. Warna wajahnya pun sudah berubah seperti tomat matang. "Perasaan aku tidak habis berlari, kenapa jantungku jadi cepat gini?" ucapnya seraya meletakkan tangan kanan di dada. Kabar kalau Danan juga mencintainya sungguh sangat mengejutkannya. Betapa tidak, bertahun-tahun Gita harus menahan kecewa karena mencintai Danan seorang diri tanpa berbalas. Saat tahu kalau Danan ingin melamarnya tentu saja Gita bagai mendapat hujan emas. "Git, ayo!""Iya, Pak eh Mas." Di tengah degup jantungnya yang masih belum normal, Gita terpaksa mengikuti Yasa. Ia pun hanya pasrah saat Yasa tiba-tiba merangkul bahunya sambil memandanginya dengan wajah cerah. "Bro, rame juga tempatnya," sapa Yasa pada Danan. "Yah, lumayan. Dateng juga lo?" ujar Danan yang langsung menekuk wajah saat melihat Yasa merangkul Gita. Mata sedihnya langsung menghujani wajah Gita. Sedangkan Gita terus mengalihkan wajahnya ke arah lain seraya berharap agar Dana
"Kamu mau bicara apa sama Danan? Awas kalau ngomong macam-macam!" Ia pun mendadak disergap cemburu. "Enggak, Mas. Aku cuma mau minta izin buat ajak Ananta jalan-jalan. Setelah dia pulang sekolah besok.""Oh, OK," ucap Yasa yang kembali tersenyum sambil mengajak Gita menghampiri Danan. Setibanya di meja bar, ia pun langsung menyapa Audi. "Hai, Di. Kapan balik dari Singapur? Makin cantik aja." "Hei, Yas. Kemarin. Lo juga makin ganteng." Audi memutar tubuhnya lalu mencium pipi kanan Yasa. Namun, sekejap kemudian alis hitamnya sontak merapat. "Siapa ni, Yas?" ucap Audi sambil memandang Gita yang berdiri di belakang Yasa dengan mata mengecil. "Calon istri gue.""Hah, nggak salah, lo?" Sekali lagi Audi mencibir hingga membuat Gita melebarkan mata. "Ternyata selera lo udah banyak berubah, ya.""Maksud anda apa ya? Memangnya saya kenapa?" ujar Gita tak terima. Ia memang tidak secantik Audi, tapi harga dirinya terusik saat tadi Audi merendahkannya. "Nggak pa-pa. Sensi banget. Yas, cewe
Sudah sekitar lima menit Yasa mondar-mandir di ruangannya. Ia tengah memikirkan bagaimana cara untuk merebut Ananta dari tangan Danan. Gita memang ibu kandungnya, tapi sialnya pengajuan adopsi Ananta sudah disetujui pengadilan. Danan melakukannya saat Gita masih belum bisa menemui Ananta. Tak lama kemudian pintu ruangan Yasa diketuk. "Masuk," ucap Yasa sambil cepat-cepat kembali ke kursinya. "Permisi, Pak Yasa.""Oh, Pak Dirga. Ada apa, Pak? Mari silakan duduk." Dirga lekas mendekat lalu duduk di hadapan Yasa. "Begini, Pak Yasa. Kondisi Prisma grup beberapa bulan belakangan ini sedang tidak baik. Saham kita terus turun di pasaran. Transaksi dalam dan luar negeri juga sedang sepi."Yasa menarik napas dalam lalu membuangnya kasar. Kabar mengenai kondisi keuangan Prisma grup yang sedang kritis memang sudah sampai di telinganya. "Kalau terus-terusan begini, kondisi Prisma grup akan semakin terpuruk, Pak. Dan kemungkinan yang paling buruk akan banyak karyawan yang terpaksa kita rumahk
Miranda tersenyum miring. "Justru kalau aku menyerah dan Yasa sampai tahu, anakku itu akan hancur, Fer." Ia lalu menyambungnya dengan tawa hambar. "Di mata Yasa aku adalah sosok ibu yang sempurna tanpa cela. Nggak mungkin aku tega membunuh orang lain.""Itu hanya pikiranmu, Mir. Yang utama, sekarang kau harus mengaku. Sisanya biar jadi urusanku. Aku beri waktu satu minggu untuk berpikir. Jika kau masih menolak, video itu akan aku serahkan ke polisi. Dan Yasa pasti akan lebih syok," ucap Ferdi lalu bangkit dari kursinya. "Aku pamit, Mir."Sepeninggal Ferdi, Miranda kembali tercenung. Dia mengambil sebatang cerutu dari dalam laci mejanya lalu menyalakannya dengan korek gas. "Fer, sejak dulu kau masih tidak berubah, sejak dulu kau selalu berada di pihakku. Sayangnya posisimu tidak cukup bagus untuk membuatku menurutimu." Sambil menghisap cerutunya dalam-dalam, mata Miranda sudah berembun. ***"Nan, nanti sepulang sekolah saya nggak bisa jemput, ya," ucap Danan saat ia menepikan sepeda
Bunyi bel pulang sekolah berpadu dengan suara bising para murid yang saling berebut keluar, menguar di udara. Danan masih tetap berada di tempatnya semula tanpa bermaksud untuk mendekat. Ia malah berniat untuk pulang dan tidak jadi ikut jalan-jalan bersama dengan Gita dan Ananta. Toh, sudah ada Yasa yang menemani. Tak lama kemudian, terlihat Ananta yang berjalan keluar. Gadis kecil itu terlihat riang sambil berlari menuju gerbang. "Mamaaa!" ucapnya menghambur ke pelukan Gita yang sudah menunggu sambil berdiri tepat di depan gerbang. "Hai, Sayang. Gimana tadi sekolahnya?" ucap Gita seraya mengendurkan pelukan dan menuntun putri semata wayangnya. "Baik, kok, Ma. Kita jadi jalan-jalan, kan?""Jadi dong, Sayang. Yuk, kita jalan sekarang." "Asyiiik," ucap Ananta sambil menggandeng erat tangan Gita. Namun, ia segera melepasnya lagi saat Gita mengajaknya masuk ke mobil merah. Wajah mungilnya yang semula cerah, berubah muram saat Yasa menurunkan kaca jendela dan menyapanya. "Hai, Anant
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku