Sontak, bola mata Danan bagai ingin keluar dari liangnya. "Diracun? Kamu yakin, Fer?" "Dokter sudah melakukan tes pada darah dan rambut Tuan. Hasilnya ditemukan kadar arsenik sebesar 3,0 miligram di 1 kilogram contoh rambutnya.""Ya Tuhan. Gimana kamu bisa ngebiarin Kakek diracun, Fer? Siapa pelakunya?" ucap Danan seraya mengepal kuat tangan kanannya. Ferdi mengempas napas kasar. "Saya mohon maaf atas kelalaian saya, Tuan. Tapi pihak berwajib sudah mengamankan dua orang ART yang bertugas memasak dan menyajikan makanan Tuan Salim tadi pagi. Meski mereka mengatakan tidak mengetahui apa pun.""Aku tidak mau tahu, temukan siapa pelakunya!" ucap Danan yang kemudian mencoba masuk ke ruang ICU. Betapa inginnya dia melihat kondisi sang kakek. Namun, langkahnya dihentikan oleh Ferdi. "Tuan Yasa dan Nyonya Miranda sedang ada di dalam, Tuan." Lagi-lagi bola mata Danan membola. "Ngapain mereka berdua tiba-tiba datang ke sini? Kamu yang kabari mereka?""Bukan, Tuan. Waktu saya dan Tuan Pambudi
Suasana duka kental menyelimuti ruangan berukuran 6x6 meter itu. Semua orang tertunduk lesu, tanpa air mata. Namun, jejak kesedihan tergambar jelas di wajah para insan yang hadir di sana. Di tengah-tengah ruangan yang sudah didekorasi dengan warna gelap, terbaring jasad Salim Heryawan. Ia terbaring di antara empat tiang utama yang menyangga rumah dua lantai itu. Tepat di depan gambar besar berwajah dirinya. Meski matanya terpejam, wajahnya memulas senyum. Penuh ketenangan. Tanpa terasa air mata Danan kembali mengalir, ada rasa nyeri di ulu hati dan sesak di dada pemuda itu. Salim adalah keluarga satu-satunya yang selalu memahami apa pun mengenai Danan. Meski hubungan mereka kakek dan cucu, tapi Danan tak ubahnya teman bagi Salim. Begitu pun sebaliknya. Seraya memandangi wajah pucat Salim, ingatan Danan terlempar ke saat Salim memaksanya untuk pulang dari Amerika. "Danan, kalau kamu nggak cepat pulang, jangan harap masih bisa ketemu Kakek," ujar Salim waktu itu. Siapa yang menyangka
"Kalau kenapa, Git?""Kalau gue hamil, Nan.""Apa? Hamil?" Danan melepaskan kedua tangannya dari bahu Gita. Sedangkan Gita mengangguk pelan. "Gue pernah baca di kontrak, kalau hamil, gue bakal dipecat. Mereka pasti nggak akan mau kalau penari kebanggaan Blackhole berlenggak-lenggok dengan perut yang buncit, kan?""Benar juga. Masalahnya lo nggak hamil, Git.""Ya buat gue hamil."Sontak, mata Danan langsung membesar. "Gimana caranya? Lo itu belum nikah!"Gita mengalihkan pandangannya ke arah gedung-gedung tinggi di depannya yang sudah mematikan lampu-lampunya. Ia pun memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke dalam paru-parunya. Menghirup udara malam seperti itu, membuatnya lebih rileks. "Gampanglah, gue tinggal cari orang yang mau nikahin gue secepatnya. Gue rasa banyak pengunjung di sini yang tergila-gila sama gue.""Gila!" Danan tidak habis pikir. "Bayar orang maksud lo? Melakukan pekerjaan begitu aja sudah bikin lo minus di mata gue, Ta. Apagi ditambah ide lo barusan. Setan mana lag
"APA? YASATAMA HERYAWAN?" ujar Danan dengan suara tinggi hingga Gita menjauhkan ponselnya dari telinga. "Ish, apaan sih? Nggak usah pake teriak-teriak segala kan bisa?""Git, pokoknya lo nggak boleh nikah sama Yasa!" Gita membelalak. Kalimat Danan itulah yang ia tunggu sejak tadi. Gita mengira jika Danan cemburu dan tidak boleh mengizinkannya menikah dengan siapa pun. Namun, ia harus tetap sedikit jual mahal. "Emangnya kenapa kalau gue nikah sama Yasatama itu? Orangnya baik, kok. Ganteng lagi. Nggak kalah ganteng dari lo." Gita menjeda kalimatnya. Mendadak ia teringat sesuatu. "Gue pikir-pikir, si Yasatama itu mirip lo, Nan.""Ya iyalah. Orang dia sepupu gue. Dia itu anaknya Tante Miranda. Pemilik tempat kerja lo. Dia dan mamanya yang udah bikin gue dipecat dari CEO Prisma grup. Tante Miranda juga udah mencatut nama Prisma grup yang notabene milik almarhum Kakek untuk membeli Blackhole. Padahal Kakek paling anti berinvestasi di hal-hal kotor macam bisnis yang Blackhole punya."Sont
Tubuh Gita bagai tersengat ribuan lebah saat Yasa tiba-tiba mendekapnya kuat. Sontak, ia hampir saja berteriak jika saja Yasa tidak mencegahnya dan mengatakan akan mencelakai Ananta jika Gita berani macam-macam. "Pak Yasa. Apa mau anda?" kata Gita dengan suara bergetar. Bahkan napasnya bagai terhenti. "Kan sudah kukatakan sejak awal sebelum kamu menjawab lamaranku kemarin. Aku bukanlabukanlah tipikal orang yang suka ditolak. Semua yang kuinginkan akan aku dapatkan cepat atau lambat." Yasa melepaskan ikatan tangannya hingga membuat Gita kembali bernapas lega. Pria itu lalu bangkit dan kembali duduk di depan Gita. "Cepat tuliskan apa saja yang kamu inginkan untuk pernikahan kita." Yasa mengeluarkan ponsel dan meminta Gita menuliskannya di bagian catatan. Gita yang masih ketakutan terpaksa meraih ponsel itu. Namun, pikirannya yang buntu tidak mampu menuliskan satu huruf pun. "Lebih cepat! Saya harus segera kembali ke kantor!"Akhirnya Gita menuliskan bahwa ia menginginkan mahar berup
"Yasa?" ujar Danan seraya menautkan alisnya. Perasaannya mulai mengatakan kalau telah terjadi sesuatu pada Gita."Hai, Bro," ucap Yasa santai dengan senyum lebar. "Kenapa? Kaget?""Kok, lo yang angkat? Ini nomornya Gita, kan? Apa yang udah lo lakuin sama dia?" cecar Danan. Namun, Yasa malah tertawa."Memangnya apa yang salah kalau calon suami ngangkat ponsel calon istrinya?"Sontak, Danan mengepal kuat tangannya hingga ujung-ujung kukunya memutih. Darahnya mendadak mengalir cepat dan wajahnya bagai ditarik dari segala arah. Terlebih saat Yasa begitu pongahnya menyebut Gita sebagai calon istri."Mana Gita? Gue mau ngomong sama dia!" Emosi Danan mendadak naik. Mengetahui kalau Gita membatalkan janji pertemuan dengannya dan Ananta karena Yasa, sungguh membuat emosinya meroket."Wess, sabar, Bro. Selow. Gita lagi milih-milih kebaya pernikahan kami. Lo ntar dateng, ya?""MANA GITA!"Yasa lekas menjauhkan ponsel dari telinganya lalu berjalan mendekati Gita. Ia lalu berbisik di telinga Gita
Ferdi semakin memangkas jarak. Kepanikan mendadak menyinggahi pria 40 tahunan itu. "Mak-sud Tuan?"Danan yang sedang mengelapi cangkir-cangkir aneka bentuk menghentikan aktivitasnya. Ia lalu memutar kepala ke arah Ferdi. "Fer, sadar nggak kalau rekaman CCTV di rumah kakek ada yang aneh? CCTV yang biasa diletakkan di ruang makan kok bisa tiba-tiba mati? Dan yang lebih anehnya, CCTV yang di ruangan lain juga mati di jam 7-8 aja?"Ferdi menautkan alisnya. Ia memandang tajam Danan sambil berpikir, "Kapan pemuda di depannya itu memeriksa CCTV rumah Tuan Salim?""Kemarin waktu aku ke rumah Kakek," ucap Danan seolah mengerti apa yang Ferdi pikirkan. "Aku iseng meriksa rekaman CCTV yang masih dipegang pihak security. Mereka sengaja kuminta membuat duplikatnya sebelum diserahkan ke polisi. Dan setelah dicek, di rekaman yang hilang itu ada Tante Miranda dan Yasa di sana.""Yang be-nar, Tuan? Kalau begitu, anda bisa serahin bukti itu ke polisi biar Nyonya Miranda bisa segera diperiksa.""Udah.
Ananta berjalan riang menuju kediaman Salim Heryawan. Sambil menggandeng tangan kanan Danan, ia berjalan seraya sesekali melompat "Pa, kelihatannya ada acara, ya? Banyak mobil yang parkir di sana," ujar Ananta sembari menunjuk halaman rumah dengan dagu. "Iya, mau ada pembacaan surat wasiat kakekku. Oh, ya, karena nanti anak kecil nggak boleh masuk, kamu tunggu di taman pinggir kolam renang aja, ya. Kalau mau berenang juga boleh. Bawa baju renang, kan?"Ananta mengangguk. Sebelum berangkat tadi, Danan memang sudah menyuruhnya membawa baju renang agar Ananta tidak bosan mengikuti acara orang dewasa. "Ya sudah, saya masuk dulu, ya. Kamu bisa langsung ke kolam. Hati-hati.""Oke, Pa. Nanta tunggu di sana."Danan menarik napas dalam sebelum membawa langkahnya lagi menuju ruang keluarga kediaman sang kakek. Tempat surat wasiat akan dibacakan. Kepalanya sontak memutar ke arah kanan saat ekor matanya menangkap bayangan mobil SUV merah milik Yasa. Itu artinya nama Yasatama juga tercantum d
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku