Share

Bab 2

Penulis: Arya Bayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-12 16:10:51
Aku berusaha sekuat tenaga untuk berpegangan pada ambang jendela agar bisa melihat lebih jelas, tapi tanganku terpeleset. Aku terjatuh dan kakiku terkilir.

Aku mendesak Kak Lukita untuk segera pulang. Dia mengatakan bahwa sebentar lagi akan selesai, tapi dia keluar satu jam kemudian.

Saat Kak Lukita keluar, aku bersandar di sudut dan menggosok-gosok pergelangan kakiku.

"Maya, bantu aku." Kak Lukita terengah-engah seperti baru menyelam. Dia menyandarkan seluruh tubuhnya kepadaku.

Saat aku menyeret kaki Kak Lukita melintasi dinding, aku mendongak tanpa sengaja dan terkejut melihat kakakku tidak mengenakan celana dalam.

Aku bertanya pada Kak Lukita apa sebenarnya yang ada di dalam kuil leluhur itu. Kak Lukita tampak malu-malu dan tidak mau menjawab, hanya berkata, "Kamu masih tertawa sekarang. Tunggu saja nanti, kamu akan tahu sendiri."

Huh! Biarlah dia tidak mau bilang, aku bisa pergi sendiri.

Aku tidak kembali bersama kakakku dengan alasan sakit perut, lalu menyelinap kembali ke kuil.

Yang membuatku terkejut, Nenek ada di sana,. Dia mengarahkan sekelompok orang untuk memindahkan barang.

Benda itu adalah bungkusan kain tahan air tebal yang berbentuk panjang. Dua orang membawanya bersama-sama.

Salah seorang dari mereka terpeleset di tangga. Bungkusan itu pun terbentur dan sesuatu terjatuh di tangga.

Nenek panik dan pergi memeriksa dengan hati-hati, memerintahkan mereka untuk membungkusnya lapis demi lapis dengan kain tahan air.

Aku menutupi mulutku dan bersembunyi di balik dinding. Seluruh tubuhku menggigil.

Sesuatu yang jatuh dari bungkusan itu jelas-jelas adalah potongan tangan manusia yang pucat.

"Ini harus diproses secepat mungkin. Barang baru akan datang sebentar lagi."

Nenek tidak marah dan hanya memberi instruksi kepada para wanita di sana.

Sekelompok orang itu menarik gerobak ke arah pegunungan. Aku tersungkur lumpuh di tanah sangat lama sebelum akhirnya sadar kembali.

Setibanya di rumah, aku langsung demam tinggi dan tidak bisa menghadiri upacara kedewasaan selama beberapa hari berikutnya.

Kak Lukita pergi mengendap-endap melompati dinding dan pergi ke kuil setiap malam. Tidak ada yang memergokinya. Setelah pulang, dia akan langsung tertidur dengan wajah puas.

Nenek datang menemuiku, dan aku membuka mulut, ingin bertanya apakah mereka telah membunuh seseorang.

Baru membuka mulut saja, tangan kasar Nenek tiba-tiba menampar punggung tanganku, sakit sekali.

Setelah beberapa hari tidak bertemu, tangannya yang sudah keriput menjadi semakin kasar. Kulitnya sekering kulit mati yang hendak terkelupas.

Tanpa sadar, aku menelan kata-kataku kembali.

Aku berjalan keliling desa beberapa kali dan menemukan jumlah orang di desa tidak berkurang satu pun.

Jadi, siapa orang yang mereka bawa keluar dari kuil?

Setelah upacara kedewasaan, kondisi tubuh Nenek menurun drastis.

Dia biasanya sangat lincah, berjalan ke sana kemarin dengan tongkatnya.

Orang-orang mengatakan bahwa Nenek sedang sekarat. Beberapa dari mereka bersaing memperebutkan posisi pemimpin desa, berebutan melayani Nenek dan menangis di sisi tempat tidurnya.

"Cih! Dasar badut. Nenek sudah bilang, posisi pemimpin desa sudah jadi milikku." Kakakku menyeringai tertawa, seolah para wanita yang keluar masuk menunjukkan bakti kepada Nenek adalah sekumpulan badut.

Malam itu, tidur nyenyakku diganggu suara-suara berisik dari luar kamar.

Kak Lukita sedang menyisir rambut dan berdandan di tengah malam. Kukira dia mau pergi ke kuil lagi. Aku hendak menceritakan kejadian aneh yang kusaksikan malam itu.

Sebelum kalimat itu terucap, Kak Lukita mendorongku masuk ke dalam kamar sambil menempelkan jari telunjuk di tengah bibirnya. "Ssst, Nenek mau memberi tahu aku rahasia turun-temurun desa. Dia bilang jangan sampai ada yang tahu."

"Tidurlah dan pura-pura nggak terjadi apa-apa malam ini."

Kak Lukita keluar dengan langkah gembira.

Tak disangka, esok hari datang membawa kabar bahwa Kak Lukita telah tiada.

Aku bergegas menuju kuil dan hanya melihat jenazah Kak Lukita yang ditutupi kain putih, diistirahatkan di halaman kuil.

"Lukita! Kerasukan apa dia? Mau apa dia naik gunung malam-malam? Dia jadi seperti ini diserang binatang buas."

"Bukan, itu pasti bukan Kak Lukita."

Aku mengangkat kain putih itu dengan tangan gemetar untuk memastikannya, tapi Nenek menghentikanku. "Maya, kakakmu mati mengenaskan. Jangan lihat."

Aku memelototi Nenek. Bagaimana mungkin Kak Lukita mati di belakang gunung? Dia jelas-jelas pergi menemuinya tadi malam.

Aku menepis tangan nenek dan mengangkat kain putih itu.

Sesaat kemudian, aku berlari ke sudut dan muntah-muntah.

Bab terkait

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 3

    Tubuh yang tergeletak di atas meja itu berlumuran darah. Seluruh kulitnya terkoyak, bahkan rupanya tidak terlihat sama sekali.Jika bukan karena dua gigi taringnya, mustahil aku dapat mengenali bahwa itu benar-benar Kak Lukita.Mereka mengatakan bahwa kakakku mati diserang binatang buas, tapi aku tidak percaya.Binatang buas hanya bisa mencabik-cabik, tapi tidak ada satu pun luka semacam itu di tubuh kakakku."Siapa yang bilang Kak Lukita mati diserang binatang buas?! Dia ..."Mataku terbelalak saat aku melihat nenekku dengan jelas.Kulitnya terlihat jauh lebih bersinar.Ada tahi lalat kecil berwarna hitam di ujung hidungnya. Meski warnanya sangat kabur dan hampir menyatu dengan bintik-bintik penuaan di wajahnya, aku masih bisa mengenalinya dalam sekilas.Kak Lukita juga punya tahi lalat di posisi yang sama, hanya sedikit lebih kecil dan berwarna lebih gelap dari ini.Pada saat yang sama, Nenek juga menatapku. Dia hanya menatapku dengan ringan, tapi aku sangat takut sampai tidak berani

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 4

    Itu adalah suara ibuku."Kenapa kamu bingung? Aku sudah memberi tahu hal ini padamu sejak lama. Jangan-jangan, kamu ingin berubah pikiran sekarang?"Suara Nenek tenang dan penuh ketegasan. Ibuku ketakutan hingga dia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.Apa yang akan mereka lakukan pada Kak Lukita?Menyadari bahwa mereka akan memasuki ruang duka, aku cepat-cepat sembunyi di bawah peti mati.Nenek melihat sekeliling dan bertanya pada ibuku, "Suara apa itu?"Ibuku memeluk lengan nenek dengan takut-takut dan berkata dengan suara gemetar, "S-suara ... Lukita?""Suara orang yang mati tak bersalah ..."Sebelum Ibu sempat menyelesaikan kalimatnya, Nenek menamparnya. "Apa-apaan kamu ini? Berkontribusi untuk desa adalah keberuntungan bagi Lukita.""Tapi Lukita tetapi anakku." Ibuku menangis meratap sambil memegangi wajahnya yang merah dan bengkak.Nenek terdiam sejenak, dengan raut wajah agak sedih. "Kamu pikir aku nggak sedih Lukita meninggal?""Sudah, ayo cepat kita lakukan selagi nggak

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 5

    Kak Kirana tidak terlalu lama bersenang-senang karena Nenek masuk ke dalam kuil."Kirana, sedang apa kamu!"Nenek berjalan dengan sigap dan menarik Kak Kirana dari orang itu.Rambutnya dijambak dalam genggaman tangan Nenek, membuat Kak Kirana terpaksa mengangkat kepala dan menghadap Nenek.Wajahnya merah dan dia melawan tanpa ragu-ragu. Dia meraih wajah Nenek dan hampir merobek kulitnya.Nenek menjerit kesakitan."Hahahaha, Nenek, bukannya kamu bilang kamu sayang kepada cucu-cucumu?""Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau di kuil ada laki-laki? Kamu ingin menikmatinya sendirian!"Nenek sangat marah dan tampak sangat ingin memukul Kak Kirana.Kak Kirana tidak cemas dan tidak berusaha melepaskan diri. Dia mengeluarkan sebuah pisau dengan tenang dan menempelkannya di leher pria itu. Dengan sebuah tekanan pelan, darah mulai mengucur dari leher pria itu."Berhenti!" Nenek ketakutan melihat darah pria itu menetes ke lantai, tapi dia tidak berani mendekat.Kak Kirana mengancam Nenek dan menyu

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 6

    Tempat Ini lebih seperti istana daripada sebuah gua. Dengan tangga permata yang berdentang merdu di setiap langkah. Dinding gua bertaburan permata malam yang bersinar terang.Aku merobek pakaianku dan membungkus kaki dengan potongan kain itu. Menjejakkan setiap langkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara apa pun.Di ujung tangga batu permata, ada ruang terbuka dengan kolam besar di tengahnya. Cairan berwarna merah cerah mengalir di dalamnya, mengeluarkan bau amis menjijikkan.Bau darah yang kuat.Apakah yang ada di dalam kolam itu darah manusia?Ada sesosok mayat yang terendam di tengah kolam darah itu. Jika bukan karena warnanya, aku hampir tidak menyadari bahwa itu bentuk manusia.Aku bersembunyi di balik pilar batu permata dan menyaksikan Nenek mengeluarkan tubuh itu dari genangan darah dan melemparkannya ke tanah.Ternyata itu Kak Lukita! Matanya yang kosong menatapku seolah sedang memelototiku.Aku menutup mulutku agar tidak memekik. Akal sehatku berteriak kepadaku agar

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 7

    "Maya, ayo pakai krim wajahnya."Nenek membelai pipiku dari belakang, mengambil Krim Wajah Permata dari wadahnya, dan mengoleskannya ke wajahku."Nenek tahu kamu pintar, tapi kepintaran itu bisa membuatmu terbunuh, jangan tiru kedua kakakmu."Aku tidak berani bergerak. Aku menelan ludahku dan melihat tangannya yang dipenuhi bintik-bintik membusuk menyentuh wajahku.Bau anyir menyerbu hidungku.Tidak tahan lagi, aku pun muntah.Aku memuntahkannya kepada nenekku dan dia menamparku, lalu mendorongku sampai aku terbentur sudut meja.Darah membasahi mata kananku. Nenek mengerutkan kening dan menangkup pipiku, meniup dengan lembut, tapi kata-kata yang diucapkannya membuatku merinding."Jaga baik-baik kulitmu, jangan sampai rusak.""Kamu melihatnya malam itu! Aku bisa mencium aroma tubuhmu. Ataukah kamu ingin kubunuh seperti Kirana?"Nenek menggerakkan ibu jarinya ke atas, lalu meluncur ke tenggorokanku. Aku yakin dia bisa mematahkan leherku kapan saja jika dia mau.Saat dia membunuh Kak Kira

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 1

    Desa kami terletak jauh di pegunungan dan memiliki urat mineral batu permata darah.Konon katanya, tidur di atas tempat tidur yang terbuat dari batu permata darah bisa membantu awet muda selamanya.Batu permata darah sulit ditemukan dan lebih sulit lagi untuk ditambang. Karena itu, desa kami sangat kaya.Hanya saja, seluruh penduduk desa kami adalah perempuan. Tidak ada satu pun laki-laki.Aku punya dua kakak perempuan. Seharusnya aku juga punya tiga orang kakak laki-laki, tapi mereka ditenggelamkan segera setelah lahir.Aku pernah melihat eksekusi bayi laki-laki di desa. Mulut bayi baru lahir itu dibungkam, tidak dibiarkan menangis satu jeritan pun."Laki-laki itu buruk dan tercela. Kalau dewa gunung marah mendengar tangisannya, seluruh desa akan binasa!"Sesampainya di kolam yang dalam di balik gunung, bayi laki-laki itu langsung dilempar. Tanpa sayap yang bisa dikepakkan, dia jatuh dan tenggelam setelah mengeluarkan gelembung napas beberapa kali.Aku mengikuti di belakang dan meliha

Bab terbaru

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 7

    "Maya, ayo pakai krim wajahnya."Nenek membelai pipiku dari belakang, mengambil Krim Wajah Permata dari wadahnya, dan mengoleskannya ke wajahku."Nenek tahu kamu pintar, tapi kepintaran itu bisa membuatmu terbunuh, jangan tiru kedua kakakmu."Aku tidak berani bergerak. Aku menelan ludahku dan melihat tangannya yang dipenuhi bintik-bintik membusuk menyentuh wajahku.Bau anyir menyerbu hidungku.Tidak tahan lagi, aku pun muntah.Aku memuntahkannya kepada nenekku dan dia menamparku, lalu mendorongku sampai aku terbentur sudut meja.Darah membasahi mata kananku. Nenek mengerutkan kening dan menangkup pipiku, meniup dengan lembut, tapi kata-kata yang diucapkannya membuatku merinding."Jaga baik-baik kulitmu, jangan sampai rusak.""Kamu melihatnya malam itu! Aku bisa mencium aroma tubuhmu. Ataukah kamu ingin kubunuh seperti Kirana?"Nenek menggerakkan ibu jarinya ke atas, lalu meluncur ke tenggorokanku. Aku yakin dia bisa mematahkan leherku kapan saja jika dia mau.Saat dia membunuh Kak Kira

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 6

    Tempat Ini lebih seperti istana daripada sebuah gua. Dengan tangga permata yang berdentang merdu di setiap langkah. Dinding gua bertaburan permata malam yang bersinar terang.Aku merobek pakaianku dan membungkus kaki dengan potongan kain itu. Menjejakkan setiap langkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara apa pun.Di ujung tangga batu permata, ada ruang terbuka dengan kolam besar di tengahnya. Cairan berwarna merah cerah mengalir di dalamnya, mengeluarkan bau amis menjijikkan.Bau darah yang kuat.Apakah yang ada di dalam kolam itu darah manusia?Ada sesosok mayat yang terendam di tengah kolam darah itu. Jika bukan karena warnanya, aku hampir tidak menyadari bahwa itu bentuk manusia.Aku bersembunyi di balik pilar batu permata dan menyaksikan Nenek mengeluarkan tubuh itu dari genangan darah dan melemparkannya ke tanah.Ternyata itu Kak Lukita! Matanya yang kosong menatapku seolah sedang memelototiku.Aku menutup mulutku agar tidak memekik. Akal sehatku berteriak kepadaku agar

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 5

    Kak Kirana tidak terlalu lama bersenang-senang karena Nenek masuk ke dalam kuil."Kirana, sedang apa kamu!"Nenek berjalan dengan sigap dan menarik Kak Kirana dari orang itu.Rambutnya dijambak dalam genggaman tangan Nenek, membuat Kak Kirana terpaksa mengangkat kepala dan menghadap Nenek.Wajahnya merah dan dia melawan tanpa ragu-ragu. Dia meraih wajah Nenek dan hampir merobek kulitnya.Nenek menjerit kesakitan."Hahahaha, Nenek, bukannya kamu bilang kamu sayang kepada cucu-cucumu?""Kenapa kamu nggak bilang-bilang kalau di kuil ada laki-laki? Kamu ingin menikmatinya sendirian!"Nenek sangat marah dan tampak sangat ingin memukul Kak Kirana.Kak Kirana tidak cemas dan tidak berusaha melepaskan diri. Dia mengeluarkan sebuah pisau dengan tenang dan menempelkannya di leher pria itu. Dengan sebuah tekanan pelan, darah mulai mengucur dari leher pria itu."Berhenti!" Nenek ketakutan melihat darah pria itu menetes ke lantai, tapi dia tidak berani mendekat.Kak Kirana mengancam Nenek dan menyu

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 4

    Itu adalah suara ibuku."Kenapa kamu bingung? Aku sudah memberi tahu hal ini padamu sejak lama. Jangan-jangan, kamu ingin berubah pikiran sekarang?"Suara Nenek tenang dan penuh ketegasan. Ibuku ketakutan hingga dia tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.Apa yang akan mereka lakukan pada Kak Lukita?Menyadari bahwa mereka akan memasuki ruang duka, aku cepat-cepat sembunyi di bawah peti mati.Nenek melihat sekeliling dan bertanya pada ibuku, "Suara apa itu?"Ibuku memeluk lengan nenek dengan takut-takut dan berkata dengan suara gemetar, "S-suara ... Lukita?""Suara orang yang mati tak bersalah ..."Sebelum Ibu sempat menyelesaikan kalimatnya, Nenek menamparnya. "Apa-apaan kamu ini? Berkontribusi untuk desa adalah keberuntungan bagi Lukita.""Tapi Lukita tetapi anakku." Ibuku menangis meratap sambil memegangi wajahnya yang merah dan bengkak.Nenek terdiam sejenak, dengan raut wajah agak sedih. "Kamu pikir aku nggak sedih Lukita meninggal?""Sudah, ayo cepat kita lakukan selagi nggak

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 3

    Tubuh yang tergeletak di atas meja itu berlumuran darah. Seluruh kulitnya terkoyak, bahkan rupanya tidak terlihat sama sekali.Jika bukan karena dua gigi taringnya, mustahil aku dapat mengenali bahwa itu benar-benar Kak Lukita.Mereka mengatakan bahwa kakakku mati diserang binatang buas, tapi aku tidak percaya.Binatang buas hanya bisa mencabik-cabik, tapi tidak ada satu pun luka semacam itu di tubuh kakakku."Siapa yang bilang Kak Lukita mati diserang binatang buas?! Dia ..."Mataku terbelalak saat aku melihat nenekku dengan jelas.Kulitnya terlihat jauh lebih bersinar.Ada tahi lalat kecil berwarna hitam di ujung hidungnya. Meski warnanya sangat kabur dan hampir menyatu dengan bintik-bintik penuaan di wajahnya, aku masih bisa mengenalinya dalam sekilas.Kak Lukita juga punya tahi lalat di posisi yang sama, hanya sedikit lebih kecil dan berwarna lebih gelap dari ini.Pada saat yang sama, Nenek juga menatapku. Dia hanya menatapku dengan ringan, tapi aku sangat takut sampai tidak berani

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 2

    Aku berusaha sekuat tenaga untuk berpegangan pada ambang jendela agar bisa melihat lebih jelas, tapi tanganku terpeleset. Aku terjatuh dan kakiku terkilir.Aku mendesak Kak Lukita untuk segera pulang. Dia mengatakan bahwa sebentar lagi akan selesai, tapi dia keluar satu jam kemudian.Saat Kak Lukita keluar, aku bersandar di sudut dan menggosok-gosok pergelangan kakiku."Maya, bantu aku." Kak Lukita terengah-engah seperti baru menyelam. Dia menyandarkan seluruh tubuhnya kepadaku.Saat aku menyeret kaki Kak Lukita melintasi dinding, aku mendongak tanpa sengaja dan terkejut melihat kakakku tidak mengenakan celana dalam.Aku bertanya pada Kak Lukita apa sebenarnya yang ada di dalam kuil leluhur itu. Kak Lukita tampak malu-malu dan tidak mau menjawab, hanya berkata, "Kamu masih tertawa sekarang. Tunggu saja nanti, kamu akan tahu sendiri."Huh! Biarlah dia tidak mau bilang, aku bisa pergi sendiri.Aku tidak kembali bersama kakakku dengan alasan sakit perut, lalu menyelinap kembali ke kuil.Y

  • Upacara Kedewasaan Berdarah   Bab 1

    Desa kami terletak jauh di pegunungan dan memiliki urat mineral batu permata darah.Konon katanya, tidur di atas tempat tidur yang terbuat dari batu permata darah bisa membantu awet muda selamanya.Batu permata darah sulit ditemukan dan lebih sulit lagi untuk ditambang. Karena itu, desa kami sangat kaya.Hanya saja, seluruh penduduk desa kami adalah perempuan. Tidak ada satu pun laki-laki.Aku punya dua kakak perempuan. Seharusnya aku juga punya tiga orang kakak laki-laki, tapi mereka ditenggelamkan segera setelah lahir.Aku pernah melihat eksekusi bayi laki-laki di desa. Mulut bayi baru lahir itu dibungkam, tidak dibiarkan menangis satu jeritan pun."Laki-laki itu buruk dan tercela. Kalau dewa gunung marah mendengar tangisannya, seluruh desa akan binasa!"Sesampainya di kolam yang dalam di balik gunung, bayi laki-laki itu langsung dilempar. Tanpa sayap yang bisa dikepakkan, dia jatuh dan tenggelam setelah mengeluarkan gelembung napas beberapa kali.Aku mengikuti di belakang dan meliha

DMCA.com Protection Status