Rengga pusing tujuh keliling, memikirkan ancaman Dean, pengusaha multi nasional yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Dia mengancam akan menjegal usaha Rengga kalau Rengga tidak mau membatalkan pertunangannya dengan Mirela dan menikahi adik Dean yang bernama Dina.
Ancaman itu datang tepat di pagi hari saat Rengga bersiap akan ke tempat acara pertunangannya.
Tepat di hari pertunangannya, pada hari yang sama, hati dan pikiran Rengga dipaksa untuk memilih perkara yang sangat sulit.
Rengga sangat mencintai Mirela, kekasihnya. Namun, dia juga mencintai usahanya dan tidak ingin usahanya itu jatuh bangkrut karena ancaman Dean yang tidak main-main.
"Bagaimana keputusanmu? Silakan putuskan sekarang, Pak Dean saat ini sedang menunggu di mobil," kata tangan kanan Dean itu datar tanpa tersenyum.
"Apa lagi yang harus Aku putuskan? Bukankah bos Kamu itu sudah memutuskannya untukku?" tanya Rengga sinis.
"Jaga cara bicaramu, Bosku bukan lawan yang bisa Kamu hadapi!" ingat tangan kanan Dean penuh kebanggaan.
" ... " Rengga terdiam tidak berkutik.
Akhirnya Rengga memilih untuk menghindar dari Mirela dan memutuskan pertunangan mereka secara sepihak.
Tangan kanan Dean keluar dari rumah Rengga dan masuk ke dalam mobil tempat bosnya menunggu.
"Bagaimana?" tanya Dean sambil bersandar malas di kursi belakang.
"Sukses bos, Dia tidak akan datang ke acara pertunangan itu," jawab tangan kanannya bangga, karena berhasil melaksanakan tugas yang diberikan oleh bosnya.
"Bagus!" puji Dean sambil tersenyum malas.
" ... " tangan kanannya hanya tersipu merasa bahagia mendengar pujian dari bosnya.
"Jalan!" perintah Dean kepada sopir pribadinya.
Mobil mewah keluaran terbaru itu pun meluncur pergi meninggalkan kekaguman dari orang-orang yang melihat dan lalu lalang di sekitarnya.
Mirela terus bersabar menunggu walaupun dia sendiri tidak tahu kapan Rengga akan datang, para tamu satu persatu mulai pamit dan hanya tinggal beberapa orang saja yang masih bertahan, di antaranya adalah teman sekantor Mirela.
Mereka ingin melihat sendiri bagaimana akhir dari acara pertunangan yang tadinya akan digelar secara besar-besaran itu.
'Ting'
Mirela mendengar suara pesan masuk di ponselnya, dengan cepat dia membukanya dan berharap itu dari Rengga namun, dia harus kembali menelan kekecewaan karena yang mengirim pesan tersebut ternyata bukan tunangannya melainkan sahabatnya, Veny.
Veny:
"Bagaimana acara pertunanganmu? Aku masih dalam perjalanan ke sana!"
Mirela:
"Belum mulai."
Veny:
"What? Gila, udah jam berapa ini?"
Mirela:
"Rengga belum datang (emot sedih)"
Veny:
"Kemana Dia?"
Mirela:
"Entah."
Veny:
"Sialan tuh orang! Keluarga Kamu gimana?"
Mirela:
"Malu (emot nangis)"
Veny:
"Jangan sedih, Kamu haris kuat, air matamu terlalu berharga untuk menangisi laki-laki berengsek seperti si Rengga."
Mirela tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa membaca chat dari sahabatnya yang penuh dengan kemarahan dan kata-kata makian kepada tunangannya.
Mirela:
"Oke. Apa yang harus Aku lakukan?"
Veny:
"Apalagi? Usir semua tamu, mau sampai kapan Kamu akan membiarkan mereka menunggu dan bergosip ria?"
" ... " Mirela terperangah membaca kata usir tamu di pesan chat dari sahabatnya itu.
Veny:
"Aku sebentar lagi sampai, Kamu keluar saja, jangan diam terus di dalam kamar itu tidak akan menyelesaikan masalah malah bikin tamu bertanya-tanya dan berspekulasi."
Mirela:
"Oke."
Gadis itu pun menguatkan dirinya untuk keluar dan menemui tamu undangan yang masih tersisa.
Mirela naik ke atas panggung dan mendengar
para tamu yang hadir mulai berbisik-bisik.
Ada yang menatapnya kasihan ada juga yang mencibir sinis karena menganggap Mirela terlalu percaya diri untuk bisa menggaet bosnya sendiri.
Mirela menghela napas panjang berusaha untuk menghilangkan kegugupannya. Dia telah mencoba untuk percaya kepada Rengga namun, ternyata dirinya harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa laki-laki yang akan menjadi tunangannya itu tidak akan pernah datang ke acara pesta pertunangan mereka.
"Ehm ...," Mirela berdehem untuk meredakan kasak kusuk yang semakin terdengar kencang.
" ... " semua tamu undangan memalingkan wajah menatap Mirela yang saat ini ada di atas panggung.
"Mirela ...," sang Mama hampir naik ke atas panggung untuk menemani putrinya.
"Biarkan Dia menyelesaikan masalahnya sendiri, berikan kepercayaan padanya," bisik Papa Mirela kepada sang istri sambil terus memegang tangan wanita yang sudah berusia setengah baya namun, tetap masih cantik tersebut, mencegahnya agar tidak sampai ikut naik ke atas panggung.
" ... " Pras yang sedari tadi berdiri di dekat kedua orangtuanya, menatap adik perempuannya dengan tatapan khawatir.
Pemuda berusia 27 tahun itu terus menatap adik perempuannya cemas.
Wajah tampannya yang berbentuk oval, dihiasi sepasang mata besar dan bulu mata lentik seperti Mirela tampak terlihat tegang.
Kulitnya yang sudah putih menjadi semakin pucat seketika saat melihat adiknya naik ke atas panggung.
"Terimakasih atas kesedian para tamu undangan untuk menghadiri undangan ini dan menunggu hingga sekarang ... dengan berat hati pesta pertunangan ini kami batalkan karena satu dan lain hal," kata Mirela dengan suara bergetar menahan tangis.
" ... " hening, tidak ada satu pun yang berani bersuara, seolah semua bisa merasakan kesedihan yang telah dirasakan oleh Mirela.
"Terimakasih," kata Mirela lagi sambil membungkukkan badannya di hadapan semua tamu undangan.
'Plok. Plok. Plok.'
Terdengar suara tepuk tangan kencang dari arah pintu masuk. Semua orang menoleh ke arah suara itu dan mendapati seorang gadis berwajah cantik berambut sebahu tersenyum dan berjalan menghampiri panggung.
"Bravo!" katanya sambil mengacungkan kedua jempol tangannya ke arah Mirela yang saat ini ada di atas panggung.
Pras tersenyum terhibur melihat gadis yang ditaksirnya datang dengan gebrakan seperti itu.
Ini memang gayanya.
Sementara itu Mirela di atas panggung tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa melihat tingkah sahabatnya saat ini.
Veny naik ke atas panggung dan merangkul bahu Mirela sambil mengambil alih mic dari tangannya dan menyerahkan mic tersebut kepada pembawa acara.
Lalu Veny membawa Mirela turun dari atas panggung.
Mirela tersenyum kepada sahabat baik yang juga sudah dia anggap seperti saudaranya itu. Dia membawa sahabatnya itu ke gazebo yang tertutup tanaman pucuk merah.
"Cih! Tidak tahu malu, sudah berhalusinasi jadi istri bos dan ditolak, masih berani naik ke atas panggung," kata sebuah suara dari balik pohon pucuk merah yang kebetulan merupakan tempat parkir mobil untuk tamu undangan.
"Iya muka tembok banget," sahut suara yang lain mengiyakan.
"Siapa yang muka tembok?" tanya Mirela sambil keluar dari pagar tanaman pucuk merah dan menghampiri mereka.
Ternyata yang berbicara mengatainya itu tidak lain merupakan teman kerjanya di kantor, yang sudah lama naksir Rengga.
"Siapa yang berhalusinasi?" tanya Mirela lagi sementara Veny menatap kedua wanita yang tidak dikenalnya itu dengan tatapan sinis.
" ... " keduanya terdiam shock dengan keadaan yang tidak pernah disangka-sangka itu.
Siapa yang mengira kalau Mirela akan mendengar secara langsung cibiran mereka di saat mereka merasa aman membicarakan Mirela di belakang punggungnya.
"Kenapa diam? Apakah Aku berhalusinasi? Kalian sendiri tahu bagaimana hubunganku dengan Rengga, tudingan kalian itu lebih pantas diarahkan kepada diri kalian sendiri!" cetus Mirela
" ... "
"Kalian naksir ke orang yang sama sekali tidak menaruh perhatian kepada kalian, itu sebabnya kalian merasa iri kepadaku karena menjalin kasih dengan orang yang kalian taksir, sekalipun Dia tidak datang hari ini, tapi posisiku masih jauh lebih baik dari kalian yang hanya bisa menatapnya dari kejauhan tanpa bisa menyentuhnya!" kata Mirela lagi. "Phff ... ternyata mereka hanyalah ayam yang merindukan burung merak," sahut Veny sinis. "Pergi! Tidak ada tempat untuk pecundang seperti kalian di rumah ini!" usir Mirela. "Siapa juga yang ingin berlama-lama di sini! Cih!" sahut salah satunya sambil masuk ke dalam mobil diikuti temannya dan berlalu. Setelah mereka pergi Mirela mulai tidak dapat lagi membendung air mata yang sejak tadi ditahannya. "Sabar," kata Veny sambil memeluk dan menepuk punggung sahabatnya itu berusaha meredakan kesedihannya. Pras yang menyaksikan semua kejadian tersebut merasa geram kepada Rengga yang membatalkan pertunangan dengan adiknya, Mirela secara sepihak te
Sesampainya di dalam rumah .... Mereka duduk berhadap-hadapan di meja kopi, Pras melonggarkan ikatan dasinya lalu menghela napas. "Kak?!" "Apa?!" "Apa maksud Kakak mengatakan kalau Rengga itu terpaksa dan dipaksa?" "Kakak akan cerita tapi janji Kamu harus tetap tenang dan jangan bermimpi untuk balikan lagi dengan Dia." " ... " "Ingat Mirela, Dia telah meninggalkan Kamu. Apapun alasannya yang pergi biarkan pergi dan jangan mengharapkannya untuk kembali!" "Baik." Pras kemudian menceritakan semua yang dia dengar dari Rengga, termasuk persoalan perjodohan antara Rengga dengan adiknya Dean. Akhirnya Mirela mengerti mengapa Rengga memutuskan pertunangan mereka, walau kecewa Mirela bisa memaklumi keputusan Rengga, bagaimana pun kalau diukur dengan timbangan di dalam hati Rengga, jelas kedudukan perusahaan dan karyawannya itu jauh lebih berat dibandingkan dengan dirinya. 'Ya iya lah, memangnya siapa Aku bisa membuat Dia melepaskan semua yang ada dalam genggamannya asalkan bisa teta
'Aneh, bukankah wanita biasanya paling sibuk kalau ingin menikah? Untuk pemilihan baju, gedung dan lain-lain saja bisa memakan waktu berbulan-bulan ... bagaimana mungkin Dina bisa bersikap ceroboh dan masa bodoh seperti itu?' Rengga merasa tidak habis pikir. "Bagaimana? Kapan Kamu akan menyebarkan undangan?" tanya Dean meminta kepastian dari seberang telepon. "Baiklah, secepatnya Aku akan mengurus semuanya." "Bagus, Aku tutup dulu teleponnya, Aku terlalu sibuk untuk bermain game seperti Kamu!" kata Dean sambil menutup teleponnya. Rengga terhenyak kaget mendengar perkataan Dean. "Sial! Dari mana Dia tahu kalau Aku tadi sedang bermain game?" gumam Rengga sambil mengamati sekeliling ruang kantornya. pemuda itu mengerutkan kening. 'Apakah selama ini Dean selalu memata-matai Aku?' pikirnya sambil terus mengawasi seluruh ruangan. Tiba-tiba saja Rengga jadi merasa tidak aman ketika berada di kantornya sendiri. Dia terus mencari keberadaan cctv atau alat serupa yang dipasang oleh Dean di
Bab 6 Dina memang tidak menghina Mirela namun, mantan teman teman kerja Mirela lah yang pada akhirnya mempermalukannya. "Cih! tidak tahu malu, masih berani datang setelah ditolak mentah-mentah sama pak Rengga," cetus salah satu rekan kerjanya itu. Mirela yakin walaupun dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang mengatakan hal tersebut, orang itu pasti salah satu teman sekantornya yang selama ini merasa iri dan tidak suka dengan hubungan antara dirinya dan Rengga. "Dikiranya dengan Dia datang ke pesta ini, pak Rengga akan berubah pikiran? Ha! Mimpi!" celoteh yang lain. Pras menatap berkeliling mencari sumber suara- suara yang melecehkan dan menghina adiknya. Dean mengepalkan telapak tangannya merasa marah mendengar kata-kata penghinaan diarahkan kepada gadis yang ditaksirnya. Dia menelepon keamanan dan ketika keamanan itu datang Dean menyuruh keamanan itu menciduk gadis-gadis yang telah melontarkan kata-kata pelecehan itu ke luar. "Stop! Apa-apaan ini?Apa yang Kamu lakukan?! Ka
Setelah puas mengambil foto, reporter itu beringsut menjauh, memeriksa foto-foto hasil jepretannya dan tertawa-tawa karena merasa puas. "Ini pasti akan menjadi berita heboh, sepertinya Aku akan mendapatkan keuntungan yang besar," kata reporter itu gembira sambil masuk ke dalam mobilnya dan berlalu. Keesokan paginya berita di berbagai media tentang Rengga yang menangis dan teriak-teriak di depan rumah Mirela saat malam pengantinnya mulai menjamur. Dean yang sedang membaca berita di ponselnya mengerutkan alis ketika melihatnya dan merasa kesal. "Dasar bedebah! Bisa-bisanya Dia cari sensasi di malam pernikahannya di depan rumah Mirela!" gerutu Dean sambil menggebrak mejanya. Dean mulai menelpon Dina dengan wajah merah karena marah, dia benar-benar merasa malu dengan berita yang tersiar soal adik iparnya itu. "Kak ...," sapa Dina dari seberang telepon dengan suara yang masih mengantuk. "Dimana Dia?!" tanya Dean to the point. "Dia Siapa?" tanya Dina heran. "Suami terkutuk Kamu itu!
Sementara itu di dalam sebuah kantor bergaya minimalis milik Rengga .... Pria tampan itu sedang menerima laporan dari anak buahnya tentang tugas yang telah ditugaskan kepadanya. "Sudah dibereskan, Bos!" lapor anak buah Rengga ketika diditanya soal perkembangan tugas yang telah di berikan kepadanya. "Bagus, bagaimana dengan fotografer usil itu?" tanya Rengga sambil bertopang dagu menatap bawahannya malas. "Ketika kami menutup media tempatnya pertama kali up foto dan video, Dia sudah kabur ke luar negeri," sahut bawahannya sambil mengelap keringat yang mulai timbul di dahinya. Dia tidak berani menatap Rengga yang saat ini sedang menatapnya, di dalam hati dia merutuk karena fotograper itu cepat sekali mengambil langkah seribu, sepertinya fotograper itu telah memprediksi kalau Rengga akan mengutus orang untuk menanganinya. "Ke luar negeri? Kemana tepatnya Dia kabur?" tanya Rengga sambil mengtuk pulpennya di meja. " ... " Anak buah Rengga terdiam. Dia juga tidak tahu kemana orang itu
"Awal sekali Aku melihat video itu adalah tadi pagi kemudian Aku merekamnya untuk diperlihatkan kepadamu. Namun, ketika siang tadi Aku cek video itu sudah tidak ada, dan ada kabar media pertama yang mendapatkan dan menyebarkan video dan foto Rengga itu telah menyatakan kebangkrutannya," jelas Veny sambil tersenyum merasa lucu dengan apa yang telah terjadi terhadap mantan tunangan sahabatnya tersebut. "Apakah itu benar-benar perbuatan Rengga?" tanya Mirela heran dan tidak percaya. Seingatnya Rengga adalah seorang yang selalu mempertimbangkan banyak hal dengan pikiran yang positif. Walaupun media tersebut telah memberitakan keburukannya tapi di media itu juga banyak pegawai yang tidak bersalah dan bekerja untuk menghidupi anak dan istrinya. Jadi Mirela tidak percaya kalau mantan tunangannya itu akan mengambil langkah kasar seperti itu. 'Itu seperti bukan Dia ... jangan-jangan itu hasil pekerjaan orang lain,' pikir Mirela sangsi. Veny memutar bola matanya merasa bosan melihat saha
Dean hanya tersenyum sinis menerima laporan dari adiknya itu, dalam pandangannya, Dina benar-benar seperti kerbau yang dicucuk hidungnya oleh Rengga. Adik perempuannya itu benar-benar dibutakan oleh rasa cintanya sendiri hingga tidak dapat membedakan antara sikap cekatan dengan ketakutan. Tanpa harus diberi tahu pun Dean dapat mengetahui mengapa Rengga terburu-buru membereskan masalah ini. Semua itu tidak lepas dari rasa takut Rengga terhadap ancaman Dean. Apalagi yang ditakutkan Rengga kalau bukan karena hal yang berkaitan dengan perusahaannya? "Dasar pecundang," gumam Dean sinis. " ... " semua staf yang sedang mengikuti rapat tampak saling pandang tidak mengerti siapa yang disebut pecundang oleh bos besar mereka. "Lanjutkan!" kata Dean memutuskan berbagai pikiran dan prasangka bawahannya terhadap sikap dan gumamnya tadi. Rapat pun berlanjut kembali hingga sore hari. Setelah semua bawahannya keluar dari ruangan, Dean tampak mengetuk mejanya seperti sedang memikirkan sesuatu.
Ini adalah sebuah kesengajaan! Sinta sengaja melukai anaknya agar Dean datang ke rumah ini menemui dirinya dan anaknya. Sejak Dean pindah dari rumah ini, dia tidak pernah datang atau menemuinya. Jika anak ini kangen pada papanya, Dean akan menyuruh kepala pelayan untuk membawa anaknya ke tempat yang dia tunjuk.Bagaimana dengan Sinta? Dia sama sekali tidak diizinkan untuk ikut dalam pertemuan antara Dean dan anaknya.Sinta ingin bertemu, tapi Dean tidak mau. Apapun cara yang Sinta lakukan sepertinya Dean tetap tidak bergeming! Pria itu benar-benar tidak mau lagi menemui Sinta.Sementara Sinta resah dengan kondisi anaknya yang dia buat sendiri, Dean masih memanjakan Mirela yang sakit akibat perbuatannya."Sepertinya aku sudah agak baikan," kata Mirela sambil duduk di tempat tidur. "Kamu sebaiknya menengok anak itu, bagaimanapun dia anak kandungmu!" kata Mirela sambil menghela napas panjang."Apakah kamu benar-benar tidak sakit lagi?""Setelah dioleskan obat oleh dokter aku sudah tidak
Mirela terdiam mendengar perkataan narsis suaminya. Memang benar suaminya itu memiliki tubuh yang bagus, tapi apakah harus menyanjung diri sendiri seperti itu?"Mengapa kamu diam? Apakah kamu tidak setuju dengan perkataan aku?" tanya Dean saat melihat istrinya itu hanya berdiam diri tidak merespon kata-katanya."Apakah kamu harus memuji diri sendiri?" tanya Mirela sambil tersenyum tidak berdaya."Tentu, bukankah air laut memang asin sendiri?" kata Dean balik bertanya.Mirela langsung terkekeh geli sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. Dulu dia berpikir Dean adalah orang yang dingin dan tidak banyak omong. Bukankah itu yang selalu dikatakan oleh sahabat dan kakaknya? Tapi ternyata setelah menikah dengannya, Mirela mendapati Dean tidak sedingin yang dipikirkan kebanyakan orang. Kadang dia juga bisa lucu dan polos seperti anak kecil yang menantikan pujian."Baiklah, suamiku memang memiliki tubuh yang bagus dan ideal," puji Mirela pada akhirnya.D
Perkiraan Mirela memang tepat, setelah melakukan hubungan intim dengan Dean, dia benar-benar tidak bisa bangun hingga Dean bergegas mencari dokter wanita untuk mengobati Mirela yang mengeluh sangat sakit di bagian intinya.Dokter itu hanya berdecak saat melihat apa yang terjadi pada daerah intim Mirela yang bengkak. Dia melirik Dean, ada semacam rasa kesal terlintas di wajah dokter itu. Laki-laki ini benar-benar buas, pikir dokter wanita itu sambil mengolesi salep pada bagian intim Mirela.Mirela merasakan sejuk dan nyaman di bagian intimnya saat sang dokter mengoleskan sesuatu di sana. Sedangkan Dean hanya diam menerima pandangan kesal sang dokter yang bolak balik ditujukan padanya. Apakah itu sangat parah? Tanya Dean dalan hati. Dia benar-benar tidak dapat mengendalikan diri saat berhubungan intim dengan Mirela. Itu benar-benar sangat enak hingga Dean merasa enggan untuk berhenti. "Bagaimana?" tanya Dean kepada dokter wanita itu tanpa dapat menyembunyikan rasa ingin tahunya."Ini b
Melihat bagaimana lembutnya Dean memperlakukan Mirela, petugas hotel wanita itu terpaku tidak bergerak di tempatnya. Dia membayangkan kalau saja yang mendapatkan perlakuan itu adalah dirinya sendiri, betapa bahagianya.Dia baru tersadar setelah mendengar bentakan Dean yang mempertanyakan untuk apa dia masih berada di sini."Maaf tuan, apakah ada hal lain yang tuan perlukan?" tanya petugas wanita itu sopan, tapi tidak meninggalkan kesan genit dari nada suara dan gerak geriknya.Mirela yg berada dalam gendongan suaminya mengangkat wajahnya dan heran melihat sikap genit petugas hotel yang ada di hadapannya saat ini. Mirela mengerutkan kening, biasanya petugas-petugas hotel ini baik yang pria maupun wanita, selalu menampilkan kesan ramah dan sopan, tapi tidak ada nada genit sama sekali dalam suaranya.Dia menatap wajah suaminya ingin tahu apakah suaminya sedang melihat kegenitan petugas itu. Di luar dugaan Mirela, saat ini Dean malah sedang menatap wajah Mirela penuh kelembutan. Sedikitpu
Mirela dan Dean melalui malam pertama mereka dengan penuh gairah. Dean benar-benar merasa puas bisa bersatu dengan wanita yang sudah lama dia kejar dan dambakan. Pagi harinya Dean bangun dengan enerjik sementara Mirela merasakan tubuhnya seperti habis tertabrak. Dia merasakan sakit dan pegal-pegal di seluruh tubuhnya. Itu semua dikarenakan aksi suaminya menjarah dan menggiling dirinya bolak balik. Mirela tidak menyangka kalau suaminya, Dean akan sangat antusias sekali melakukan penyatuan mereka tersebut berulang-ulang.Dean merasa kasihan melihat istrinya terkapar tidak berdaya akibat keganasannya semalam. Dia pun berinisiatif untuk membantu istrinya membersihkan diri di kamar mandi. Dean membopong tubuh Mirela ke kamar mandi dan mulai memandikan istrinya terlebih dahulu.Mirela mulai merasa nyaman dan pegal-pegal nya hilang ketika merasakan siraman air hangat dan pijatan lembut Dean di tubuhnya. Hal ini berbeda dengan Dean yang mati-matian menahan hasratnya agar tidak memakan istrin
Dean menghela napas mendengar pertanyaan Mirela, apakah istrinya ini akan marah jika dia mengatakan terus terang kalau rumah yang sebelumnya Dean tempati saat ini dihuni oleh Sinta dan anaknya."Dia menginginkan tinggal di rumahku untuk menemani anak itu," kata Dean hati-hati sambil menatap wajah istrinya ingin melihat apakah ada perubahan setelah mendengar apa yang dia katakan.Mirela mengerutkan kening mendengar Sinta ikut tinggal di rumah Dean. Apa maksudnya? Sekalipun Dean tidak berniat menikahi Sinta, Mirela akan tetap merasa tidak nyaman jika tinggal satu atap dengan wanita yang pernah melahirkan anak suaminya tersebut."Apakah kamu akan menikahinya?" tanya Mirela ingin tahu.Kalau jawabannya iya maka Mirela tidak akan ragu untuk menggugat cerai suami yang baru dinikahinya ini."Tidak.""Aku tidak bisa tinggal bersama dia ...""Jangan khawatir, kamu dan aku akan pindah dari sana dan menempati rumah kita sendiri," potong Dean semangat."Lalu bagaimana dengan anak itu?""Biarkan d
"B-bagus bos," kata manajer hotel pada akhirnya."Tentu saja orang tampan sepertiku akan tetap tampan walau memakai apapun," kata Dean bangga." ... "Manajer hotel hanya menelan ludah, tidak tahu apakah harus menangis atau tertawa mendengar kata-kata narsis bosnya itu. Bosnya memang tampan, justru karena tampan itu dia benar-benar tidak cocok memakai baju petugas hotel."Siapkan troli untuk mengangkut makanan!" perintah Dean sambil memperbaiki dasinya."Baik."Manajer hotel langsung menghubungi bagian dapur untuk menyiapkan apa yang dipesan oleh bosnya dan membawanya langsung ke kantornya.Tidak lama sepasang petugas hotel mengantarkan pesanan manajer ke kantornya dan merasa heran melihat pria tampan memakai seragam pegawai hotel."Ehm ...ini bos kita, beliau akan memberikan kejutan untuk istrinya," jelas manajer agar anak buahnya tidak bersikap kurang ajar kepada Dean.Keduanya hanya mengangguk dan berlalu dari kantor manajer setelah memberikan hormat kepada Dean.Dean menanggapi ke
Mirela yang sedang menikmati hari-hari indah dan tenangnya di hotel tempat dia menginap selama beberapa hari ini, mulai merasa heran dengan semua fasilitas yang diberikan oleh hotel tersebut. Dia melihat pengunjung hotel lain sama sekali tidak memiliki keistimewaan yang sama. Dia mulai mencari tahu dengan bertanya kepada pegawai hotel yang membereskan kamarnya. Namun, pegawai itu hanya mengatakan kalau Mirela telah memenangkan undian yang diam-diam dilakukan oleh pihak hotel untuk memilih satu pengunjung yang beruntung untuk mendapatkan pelayanan terbaik. Mirela hanya mengangguk memahami apa yang dikatakan oleh petugas hotel tersebut. Bagaimanapun masuk akal kalau hotel sebesar ini mengadakan undian seperti ini. Cuma yang agak aneh mengapa itu dilakukan secara diam-diam? Apakah itu untuk mencegah timbulnya rasa iri di hati para pengunjungnya? Apapun itu Mirela tidak merasa keberatan untuk mendapatkan pelayanan terbaik. Bukankah itu menguntungkan dirinya sendiri? Mengapa harus dit
Sinta tersenyum sinis mendengar perkataan Dean. Dia sangat percaya kalau Dean bisa melakukan apa saja pada orang-orang yang berusaha menghalangi jalannya untuk memiliki Mirela. Apa yang terjadi pada Rengga juga telah di dengar oleh Sinta. Namun, Sinta mengetahui titik lemah Dean, selama Mirela sendiri yang menyetujui Sinta menjadi istri ke dua Dean, Sinta yakin Dean pasti tidak akan menolak lagi untuk menikahi dirinya."Jika kamu ingin anak itu aku yang mengurus aku akan mengurusnya, tapi aku tidak akan mengikuti keinginanmu untuk menikah denganku atau menjadi istri keduaku!" kata Dean tegas.Sedikitpun Dean tidak ingin membuat kesalahan dalam membangun mahligai rumah tangganya bersama Mirela. Dean mendapatkan Mirela dengan susah payah setelah sekian lama mengincarnya, jadi wajar kalau Dean tidak ingin diganggu oleh siapapun atau apapun yang dapat merusak hubungannya dengan Mirela."Bagaimana kalau Mirela menyetujui?" tanya Sinta penuh harap."Sekalipun dia menyetujui, aku tetap tida