“Mau ke mana?”
Retno baru saja membuka pintu kamarnya, ketika melihat Lintang berjalan menuju tangga. Hari masih pagi, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dengan kemeja dan celana jeans. Tidak lupa, ada sebuah tas ransel yang menggantung di balik punggung.Sungguh tidak mencerminkan keanggunan seorang wanita sama sekali. Bagaimana bisa Retno mengatakan setuju, ketika Ario mengusulkan untuk mengganti calon menantu mereka kala itu.Lintang mendesah tidak ketara. Ia segera memutar tubuh, lalu menghampiri Retno yang baru menutup pintu. “Saya izin mau pulang ke rumah dulu.”“Tapi kamu belum sarapan.” Retno menatap Safir yang juga baru keluar dari kamarnya.“Saya bisa sarapan di rumah nanti.” Lintang hanya melirik pada Safir yang terus berjalan menuju tangga, lalu kembali menatap ibu mertuanya.Retno mengangguk dan tidak mungkin juga ia melarang Lintang untuk pulang ke rumahnya sendiri. “Pamit sama Raga dulu.”“Iya, Bu.” Lintang mengangguk, lalu meraih tangan kanan Retno dengan cepat dan mencium punggung tangannya. “Saya pergi dulu, makasih.”Lintang bergegas menuruni tangga, dan mendapati Rama tengah makan ditemani seorang wanita muda berseragam biru. Lintang menebak, wanita itulah yang bernama suster Eni yang bertugas untuk merawat Rama.“Tante mau ke mana?” Rama yang tadinya duduk sambil bermain mobil remote controlnya, segera beranjak menghampiri Lintang.“Tante mau pulang.” Lintang berjongkok, lalu mengusap sudut bibir Rama yang sedikit belepotan. Kemudian tatapan Lintang mengarah pada Eni, lalu memberi wanita itu anggukan ramah. “Tos dulu.”Rama diam. Tidak menyambut telapak tangan Lintang yang sudah berada di depan wajahnya. “Nanti ke sini lagi?”“Iya, nanti siang ke sini lagi,” jawab Lintang meraih tangan kanan Rama lalu menepukkan telapak mungil itu ke tangannya. “Daah, Rama.”“Mari, Sus!” seru Lintang kembali tersenyum lalu berlari menuju ruang perpustakaan. Lintang segera melangkan ke ruang kerja Raga yang pintunya tidak tertutup rapat.Sebelum memasuki ruangan tersebut, Lintang mengetuk pintunya terlebih dahulu.“Masuk!”Begitu mendengar suara Raga, Lintang segera masuk dan melihat Safir sudah duduk di sofa panjang dengan menyilang kaki. Lintang hanya melirik sekilas, dan terus melangkah melangkah untuk menghampiri Raga yang berada di meja kerjanya.Lintang berdiri tepat bersebrangan dengan Raga, lalu berkata, “Mas, saya mau pulang ke rumah dulu.”“Ya.” Sama seperti tadi, Raga menjawab tanpa menatap Lintang sama sekali. Fokusnya hanya pada berkas yang berada di meja.“Lo, kalau mau pulang, ya, pulang aja kali,” sahut Safir dengan entengnya. “Nggak usah caper sama mas Raga.”“Safir!” Raga mengangkat wajah dengan seruan keras menatap sang adik. “Dia, kakak iparmu.”“Kita semua juga sudah tahu kenapa dia bisa jadi anggota keluarga di sini,” balas Safir kesal, karena Raga lebih membela Lintang. Sakit hatinya pada Biya saja belum usai, kini Raga pun ikut membela Lintang.“Ehm.” Lintang berdehem untuk menyela dan tidak berniat menanggapi Safir. “Saya juga sekalian mau ke kantor, ajuin resign.”Raga menatap Lintang. Jika diingat lagi, baru kali ini Raga benar-benar menatap wajah Lintang dari dekat. Bila diperhatikan lagi, paras Lintang sebenarnya manis. Gadis itu hanya kurang merawat diri, itu saja. “Oke, tapi kirimi aku nomor rekeningmu sekarang.”“Nomor rekening?” Tanpa ingin bertanya alasannya, Lintang buru-buru melepas satu sisi tas ranselnya untuk mengambil ponsel. Tidak ingin menunda-nunda, Lintang juga langsung mengirimkan Raga nomor rekening pada pria itu. “Sudah, Mas.”“Oke, pergilah.” Raga kembali menunduk untuk melanjutkan membaca dokumen yang berada di mejanya. “Sebentar lagi aku transfer uang bulananmu.”“Oh.” Walau sempat terkejut dan bengong sejenak, tapi Lintang tidak akan menolak pemberian Raga. Bukankah, memberi nafkah lahir merupakan kewajiban pria itu sebagai seorang suami?“Makas—”“Pagiii …”Sebuah sapaan merdu dari arah pintu membuat semua orang melarikan matanya menuju asal suara.“Pagi, Fay!”Satu balasan kompak itu terlontar dari mulut Raga dan Safir. Sedangkan Lintang, hanya menggumamkan balasan tersebut dan tidak menyuarakannya.“Kapan datang?” tanya Safir sambil menepuk sisi kosong yang ada di sampingnya.Wanita cantik, bernama Fayra itu segera menghampiri Safir dan duduk di sebelahnya. Menatap bingung sejenak, pada gadis yang berdiri di depan meja kerja Raga.“Tadi malam!” Fayra berseru sambil menepuk paha Safir. “Aku langsung cari tiket waktu papa bilang mas Raga yang nikah kemarin! Bukannya kamu! Jadi, gimana ceritanya?”Safir berdecih. “Begitu dengar Raga yang nikah, langsung buru-buru cari tiket pulang. Gue yang sudah ngasih undangan dari seminggu lalu, malah bilang nggak bisa datang.”Fayra terdiam karena tidak bisa langsung memberi jawaban pada Safir. Namun, ia cepat-cepat mengalihkan topik obrolan. “Aku sempat dikirimin foto nikahan mas Raga sama papa. Tadinya, aku kira ceweknya cantik, makanya mas Raga mau-mau aja dinikahkan sama dia. Tapi, ah! Jauh banget bedanya sama almarhumah.”Safir menatap Lintang dengan tawa. Cenderung mengejek sebenarnya, dan Safir tidak akan menutupi hal tersebut. “Orangnya ada di depan, lo, Fay!” telunjuk Safir mengarah pada Lintang. “Namanya Lintang! Saudara tirinya Biya.”Fayra menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Menatap gadis yang bernama Lintang dengan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. “Sorry, aku kira kamu karyawannya mas Raga, atau kurir yang lagi ngantar dokumen penting. Terus, muka kamu sama yang difoto juga kayaknya beda jauh. Jadi, sorry banget, ya.”Tawa Safir semakin menggelegar puas mendengar ucapan Fayra.“Mas Raga serius mau jadiin dia ibu sambung keponakanku?” Fayra berganti menatap Raga. Bisa-bisanya Fayra yang cantik paripurna tanpa cela, ternyata kalah dengan Lintang yang sungguh tidak ada apa-apanya dengan dirinya. Apa yang dilihat Raga dari Lintang sehingga pria itu mau menikahi gadis itu. Padahal, kedua keluarga sempat menawarkan Raga untuk turun ranjang dan menikahi Fayra demi Rama, tapi pria itu menolak dengan tegas.“Lintang,” panggil Raga dan gadis itu pun menoleh seketika. “Pergilah.”Lintang mengangguk. Namun, ia tidak langsung pergi karena tatapannya berhenti sejenak pada Fayra. Dari ucapannya, Lintang menebak wanita itu adalah saudara dari mendiang istri Raga.“Kenapa disuruh pergi?” Fayra beranjak dari samping Safir untuk menghampiri Lintang. Ia mengulurkan tangan tanpa ragu dan memperkenalkan diri. “Fayrani Adnan. Aku biasa dipanggil Fay atau Fayra.”“Lintang,” balasnya sambil menyambut uluran tangan Fayra. Dari ucapan, ekspresi, serta gestur tubuh Fayra, Lintang sudah bisa mengambil kesimpulan, wanita itu tidak menyukainya sama sekali.“Apa di kamarmu nggak ada kaca?” Fayra tersenyum tipis. Mundur satu langkah, untuk menelisik penampilan Lintang dari ujung flat shoesnya yang tidak bermerek, sampai ujung rambut yang dikuncir kuda. Wajah Lintang pun tidak luput dari tatapan selidik Fayra. “Harusnya kamu bisa berpakaian lebih pantas karena sudah jadi menantu keluarga Sailendra.”“Saya mau pergi ke gudang, jadi nggak mungkin saya pake gaun atau rok kurang bahan seperti …” Dengan sengaja, Lintang menatap rok span, yang jatuh pada pertengahan paha kaki jenjang wanita itu. Sebenarnya, Lintang enggan mencari keributan, tapi karena ucapan Fayra sangat tidak mengenakkan, maka ia merasa harus membalasnya.“Itu!” Dengan entengnya, Lintang menunjuk paha Fayra tanpa senyuman.“Lintang,” tegur Raga dengan segera karena melihat aura panas di depan mata. Jika dibiarkan, perdebatan yang ada bisa menjadi semakin besar. “Pergilah dan jangan buat keributan di ruang kerjaku.”Tatapan Lintang tertuju datar pada Raga. Apa pria itu tidak dapat melihat dan mendengar semua yang baru saja terjadi di depan mata? Ucapan pria itu seolah mengatakan bahwa Lintanglah yang menjadi biang keributan yang terjadi.Namun, sudahlah. Kalau Lintang bisa bertahan hidup selama 24 tahun bersama keluarga Dewantara yang hampir menganggapnya tidak ada, maka ia juga pasti bisa bertahan dengan keluarga Sailendra.Sabar.Paling lama lima tahun. Setelah itu, Lintang akan keluar dari rumah tersebut dan bisa hidup dengan … bebas.“Lin!”Satu sapaan hangat itu, membuat Lintang membalik tubuhnya. Melebarkan mata, begitu pula dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Lintang menghampiri pria yang saat ini juga tengah berjalan ke arahnya. “Mas Fajar! Kapan datang?”Lintang mengulurkan tangan lebih dulu, dan pria itu segera menyambutnya dengan ramah.“Sejaman yang lalu.” Fajar menatap Lintang dari ujung rambut, hingga kaki. Tidak ada yang berubah. Tetap cuek, tapi tetap rapi sesuai dengan stylenya. “Kamu resign?”Lintang tersenyum kecil, dipaksakan. “Iya.”“Kenapa?” buru Fajar. “Aku dimutasi ke sini lagi mulai minggu depan, tapi kamu malah resign.”“Capek, Mas, nyales terus.” Lintang menunduk, karena kembali berbohong untuk kesekian kalinya ketika ada yang memberi pertanyaan, kenapa. Ia menatap ujung flat shoesnya seraya menggenggam erat tali ransel yang terulur di depan pundak. “Aku mau buka usaha sendiri. Buka toko buku kecil-kecilan.” Lintang mendongak dan kembali tersenyum. “Entar bantuin, ya! Siapa tahu bisa b
Setelah pertemuan terakhirnya dengan Raga sore itu, Lintang sudah memutuskan untuk tidak lagi peduli dengan suami di atas kertasnya. Yang terpenting, Lintang selalu bersikap sopan di depan Ario dan Ratna. Selebihnya, Lintang sudah tidak mau merepotkan diri dengan orang yang ada di dalam rumah. Kecuali Rama, bocah tampan ramah yang selalu saja menegur Lintang jika mereka bertemu. Lintang menduga, sifat bocah berusia lima tahun tersebut merupakan turunan dari mendiang mamanya. Tidak mungkin sifat tersebut menurun dari Raga. “Tante mau pergi?” tanya Rama yang kembali menegur Lintang ketika hendak pergi menuruni tangga. “Iya.” Lintang tersenyum seraya menghampiri Rama yang sedang bermain mobil-mobilan dengan Eni. Ia berjongkok di samping Rama kemudian berkata, “Senang tadi di sekolah?” “Aku nggak suka sekolah.” Rama menjawab tanpa melihat Lintang sama sekali. Ia sibuk bermain dengan remote controlnya dan memperhatikan ke mana mobilnya berjalan. Tatapan Lintang reflek tertuju pada Eni.
“Ke mana Lintang?”Sejak Raga memulai makan malamnya, hingga nasi yang ada di piringnya hampir tersisa separo, Lintang belum juga terlihat bergabung di meja makan.“Tante Lintang bobo!” celetuk Rama sambil terus berusaha mengumpulkan nasi serta lauk di piring, ke dalam sendok makannya.Raga menatap tanya pada Retno. Apa yang terjadi selama dirinya pergi keluar kota? Apakah Lintang jatuh sakit, sehingga tidak ikut makan malam saat ini?“Belakangan ini Lintang tidurnya memang cepat,” ujar Retno tidak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Dia lagi ada kerjaan sama temannya di luar.”“Kerjaan? Aku sudah suruh dia resign.” Raga meletakkan sendoknya di piring. Sudah tidak lagi berminat untuk melanjutkan makan malam, karena Lintang ternyata tidak mengikuti kemauannya. Apa jumlah uang bulanan yang diberi oleh Raga saat itu ternyata kurang?“Resign?” Rama kembali berceletuk saat mendengar satu kata yang tidak dimengertinya. “Apa itu resign, Opa?” tanyanya pada Ario yang duduk bersebelahan.
“Mau ke mana kamu?”Raga menahan napas, berikut dengan rasa kesal yang mendadak menyelinap saat melihat Lintang hendak menuruni tangga dengan sebuah ransel di punggung. Belum ada satu jam Raga menitahkan agar Lintang tidak lagi pergi bekerja, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dan hendak pergi.Lintang berhenti di ujung tangga, lalu memutar tubuh dengan helaan. Ia tertunduk, dan menatap kaki Raga yang terus berjalan ke arahnya lalu berhenti dengan jarak tidak sampai satu meter.“Aku sudah bilang—”“Saya mau nemeni Rama outing di kebun binatang,” ujar Lintang seraya mengangkat wajah merengutnya dengan perlahan untuk menatap Raga. “Kasihan, papanya sibuk sendiri sama kerjaan sampe nggak sempat ngurusin anaknya.”“Maksudmu?”Lintang mengangkat kedua bahunya untuk beberapa saat. Tanpa berminat meneruskan obrolan dengan Raga, ia pun segera melanjutkan langkahnya yang tertunda. Menuruni tangga, untuk menghampiri Rama yang sudah siap dengan pakaian olahraga bersama Eni.“Tante, ayoo!” sapa Ra
“Bu …” Eni mencolek lengan Lintang yang tengah berdiri di sebelahnya. Selama kegiatan edukasi berlangsung, para orangtua atau pengasuh yang mendampingi para murid, bisa melakukan hal apa pun dengan bebas. Tepat ketika kegiatan selesai, barulah mereka bisa mendampingi para murid dan melakukan kegiatan bebas. “Apa saya nggak salah lihat?” Telunjuk Eni tertuju pada ujung jalan yang mengarah ke tempat mereka. Lintang menoleh. Ia pun sempat mengerjap beberapa kali ketika melihat seorang pria dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana bahan berwarna krem. Pria itu berjalan pelan, seolah tengah menelisik sesuatu di sekitarnya. “Sus!” Lintang mencengkram tangan Eni tanpa sengaja. Hal tersebut hanya pergerakan reflek, karena masih tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. “Setan bukan, sih?” “Kakinya napak, Bu,” sahut Eni sempat menelan ludah ketika melihat majikannya dari kejauhan. “Lagian, mana ada setan siang-siang begini.” “Tapi ngapain mas Raga ke sini?” Lintang memutar tubuh,
“Tante, gendong.” Lintang spontan menatap Raga dengan mulut ternganga. Bila ingin jujur, permintaan Rama barusan sungguh memberatkannya. Kaki Lintang sudah terlampau lelah berjalan, tapi Rama justru meminta gendong padanya. Mengapa bukan pada Raga saja? “Papa, kan, sudah nawari naik kereta dari tadi.” Melihat tatapan memohon, serta wajah lelah Lintang, Raga akhirnya berjongkok di samping Rama yang tengah mengulurkan tangan pada gadis itu. “Tapi kamu malah minta jalan kaki.” “Aku ngantuk, Pa,” kata Rama menoleh sebentar pada Raga, tapi posisi tubuhnya tetap mengarah pada Lintang. Pun dengan tangan yang sudah memegang sisi pinggang gadis itu. “Sama Papa aja.” Detik berikutnya, tubuh kecil Rama sudah berada di gendongan Raga. Tidak ada satu menit Raga dan Lintang kembali melangkah dalam diam, kepala Rama yang terjatuh di pundak itu, akhirnya tertidur lelap. “Saya tahu rasanya jadi Rama.” Akhirnya, Lintang membuka suara untuk berbicara pada Raga. Sepanjang perjalanan menyusuri kebun
Safir tidak melangkahkan kaki ke mana pun setelah menutup pintu mobilnya. Ia berdiam diri, menatap mobil Raga yang baru memasuki pekarangan rumah mereka. Semakin mobil Raga mendekat, Safir semakin mengerutkan dahinya. Jika ingin menajamkan pandangan, maka yang duduk pada kursi penumpang di samping Raga adalah Lintang. Apa Safir tidak salah lihat? Atau, itu semua hanya halusinasi semata? Sayangnya, tidak. Ketika mobil Raga telah terparkir tidak jauh dari tempat Safir berdiri, ia melihat Lintang keluar dan tatapan mereka sempat bersirobok untuk beberapa saat. Mulut Safir sempat terbuka, ketika melihat tatapan datar gadis yang tampak sedikit berbeda. Hanya berselang hitungan detik, Raga pun juga keluarga dan menatap Safir yang berjalan ke arahnya. “Biya ketemu?” Pertanyaan Raga tersebut sontak membuat Lintang tidak jadi meneruskan langkah. Apa itu berarti, Safir pergi keluar kota bukan karena urusan pekerjaan seperti Raga, melainkan mencari keberadaan Biya? Safir menggeleng, sambil
Nekat. Hal itulah yang dilakukan Lintang siang hari itu. Raga sudah melarangnya untuk makan siang di luar bersama seorang pria, tapi Lintang tidak mematuhinya. Ia tetap pergi dari kediaman Sailendra, dan bertemu dengan Fajar di sebuah kafe di dekat kantor lamanya. Bagi Lintang, menata masa depannya mulai dari sekarang lebih penting, daripada menuruti Raga yang notabene hanya suami di atas kertas. Mereka menikah tanpa cinta, untuk menyelamatkan muka kedua keluarga di depan para tamu undangan. Setelah bercerai nanti, Lintang tidak ingin hanya berpangku tangan dan tidak memiliki satu pegangan sama sekali. Terlebih, usianya juga tidak lagi muda, dan perusahaan pasti akan mempertimbangkan hal tersebut ketika ia hendak mencari kerja nantinya. Akan tetapi, siang ini Fajar ternyata tidak sendiri. Pria itu membawa seorang wanita cantik, yang sudah duduk manis di samping Fajar. “Sorry, Mas, antrean pom bensin panjang banget.” Tidak perlu sapaan formal, karena mereka bukan lagi atasan dan ba
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida