Nekat. Hal itulah yang dilakukan Lintang siang hari itu. Raga sudah melarangnya untuk makan siang di luar bersama seorang pria, tapi Lintang tidak mematuhinya. Ia tetap pergi dari kediaman Sailendra, dan bertemu dengan Fajar di sebuah kafe di dekat kantor lamanya. Bagi Lintang, menata masa depannya mulai dari sekarang lebih penting, daripada menuruti Raga yang notabene hanya suami di atas kertas. Mereka menikah tanpa cinta, untuk menyelamatkan muka kedua keluarga di depan para tamu undangan. Setelah bercerai nanti, Lintang tidak ingin hanya berpangku tangan dan tidak memiliki satu pegangan sama sekali. Terlebih, usianya juga tidak lagi muda, dan perusahaan pasti akan mempertimbangkan hal tersebut ketika ia hendak mencari kerja nantinya. Akan tetapi, siang ini Fajar ternyata tidak sendiri. Pria itu membawa seorang wanita cantik, yang sudah duduk manis di samping Fajar. “Sorry, Mas, antrean pom bensin panjang banget.” Tidak perlu sapaan formal, karena mereka bukan lagi atasan dan ba
Napas Lintang memburu. Dadanya naik turun, penuh rasa benci melihat Raga. Karena dengan sengaja menabrak Raga di depan gedung perusahaan, Lintang akhirnya berakhir di dalam ruangan pria itu. Berdiri di tengah ruang, seperti seorang terdakwa yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa karena bukti sudah berada di depan mata. Entah apa yang terjadi dengan kaki pria itu, setelah Raga terjatuh akibat Lintang menabraknya. Yang semakin membuat Lintang tergerus amarah ialah, Raga meminta satpam yang bertugas, untuk menyeretnya masuk tanpa rasa manusiawi sedikit pun. Sedangkan Fayra, kini sibuk mencari perhatian dengan memijat kaki pria itu. “Dasar preman,” umpat Fayra dengan wajah khawatir melihat pergelangan kaki Raga yang tampak memar. “Kamu sudah gila? Berani-beraninya nabrak Raga—” “Ya! aku sudah gila!” sahut Lintang memotong ucapan Fayra dengan hardikan. “Dan Mas Raga sudah nikah sama orang gila! Jadi, kami sudah sama-sama gila. Itu yang mau kamu dengar, ha!” “Lintang!” hardik Raga sembar
“Sus, tolong panggilkan Lintang,” titah Raga yang baru saja masuk ke dalam ruang keluarga dengan menggunakan tongkat. Pergelangan kakinya harus dibungkus perban, untuk membatasi pergerakan agar tidak semakin parah.Sejak Lintang pergi dari ruangannya siang tadi, gadis itu ternyata melarikan diri dari pantauan satpam kantor. Lintang membiarkan motornya di parkiran, dan pergi menggunakan angkutan umum. Untuk itulah, Raga akhirnya pergi ke rumah sakit terlebih dahulu, kemudian pulang ke rumah untuk beristirahat.“Habis itu, tolong panggilkan bu Idha.”Eni yang baru sampai di pertengahan tangga seketika berhenti melangkah. Sedikit bingung, tapi Eni segera menjawab permintaan Raga. “Bu Lintang belum pulang, Pak.”“Belum pulang?” Raga terus melangkah menuju sofa, lalu merebahkan tubuhnya dengan geraman tertahan. Jika dihitung, Lintang sudah pergi selama dua jam lamanya dari kantor Raga. Jadi, tidak mungkin rasanya bila gadis itu belum sampai di rumah. “Coba periksa kamarnya, siapa tahu ada
Dari suara pagar rumah yang bergeser, ditambah dengan suara kunci pintu dari ruang tamu, Lintang sudah tahu siapa yang saat ini datang ke rumah yang saat ini ia datangi. Sebuah rumah sederhana, tempat mendiang sang ibu tinggal dahulu kala. “Sudah malam, kenapa masih di sini?” Lintang yang sedari tadi hanya meringkuk di sofa panjang depan televisi akhirnya bangkit. Ia duduk, menyandarkan tubuh pada punggung sofabed, dengan kedua kaki terjulur lurus ke lantai. Lintang menoleh pada Anwar yang masuk ke ruang tengah, kemudian duduk pada satu-satunya sofa single yang ada di sana. “Raga nyariin kamu,” sambung Anwar menjelaskan. “Apa Biya belum ketemu?” tanya Lintang mengabaikan ucapan Anwar, karena ada rasa sakit tersendiri ketika mengingat Raga. Terlebih dengan kejadian siang tadi di kantor pria itu. “Lintang—” “Apa anak kesayangan Bapak itu belum ketemu?” Lintang kembali mengulang pertanyaannya dengan sindiran pada Anwar. “Bapak nggak mungkin nggak tahu Biya ada di mana sekarang. Biya
Anwar terkejut melihat kondisi Raga yang memakai tongkat ketika menyambutnya di teras rumah. Saat tatapannya tertuju ke bawah, pergelangan kaki kanan pria itu ternyata berbalut perban. “Kakimu kenapa, Ga?” tanya Anwar lalu mengajak Raga masuk ke dalam rumah, agar tidak terlalu lama berdiri di luar. Sesampainya di ruang tamu, Anwar segera meminta Raga untuk duduk agar pria itu bisa mengistirahatkan kakinya. “Kecelakaan.” Tatapan Raga berpindah pada Lintang yang baru memasuki ruang tamu dengan sweater hitam, dan ripped jeans dengan sobekan di banyak tempat. Benar-benar mencerminkan jati diri Lintang yang santai, dan bebas. Namun, meskipun seperti itu, Lintang termasuk gadis yang masih bisa diatur dan menuruti perintah Raga. “Kecelakaan?” Pasti hanya kecelakaan kecil, pikir Anwar. Karena jika kecelakaan yang terjadi pada Raga cukup besar, sudah pasti beritanya akan tersebar di berbagai media. “Ya, Pak. Di depan kantor siang tadi,” kata Raga masih menatap Lintang yang berjalan pela
Lintang mendesah kesal, saat membaca pesan yang dikirimkan oleh pengacara perceraiannya dengan Raga. Pengacara yang sudah ditunjuk Anwar untuk mendampingi Lintang, lagi-lagi mengatakan bahwa Raga bersikukuh untuk mempertahankan pernikahan mereka. Paling tidak, sampai Ario benar-benar sudah mendapatkan kursi di dalam pemerintahan setelah pemilihan legislatif selesai. Sudah sebulan berlalu, tapi semua stagnan dan tidak ada perkembangan berarti dalam proses perceraian mereka. Lintang yakin, semua ini karena ada uang yang kembali berkuasa. Sementara Lintang sendiri, tidak mungkin akan meminta uang lebih pada Anwar untuk mengurus perceraiannya dengan Raga. Karena itulah, Lintang sudah pasrah dan tinggal menunggu saja ke mana takdir membawanya. Lintang juga sudah mengganti nomor ponsel, hingga Raga tidak bisa “menerornya” sama sekali. Untuk sementara waktu, hanya ada tiga orang yang mengetahui nomor baru Lintang, yakni Anwar, Fajar, dan Yadi, pengacara yang saat ini menangani kasus percera
Lintang memejam erat, ketika mendengar suara yang sudah sebulan ini tidak mengganggunya. Ia mengumpat dalam hati, karena sudah tidak bisa pergi ke sudut mana pun. Sementara Rama yang kini ada di depannya, tetap berdiri di tempat tanpa berniat berlari menghampiri sang papa.“Lintang?”Geraman pelan seketika keluar dari mulut Lintang. Ia mendongak menatap Fajar yang sudah berdiri, dan tampak sedikit bingung.“Tante, ada papa,” kata Rama berbicara pelan, dan kembali mengalungkan satu tangannya di leher Lintang yang masih berjongkok.“Lintang.”Suara tersebut terdengar semakin dekat. Dengan terpaksa, Lintang melepas tangan Rama dari lehernya kemudian berdiri. Tidak ada senyum yang Lintang lempar ketika melihat Raga. Ia hanya menatap datar, seraya mengusap puncak kepala Rama yang berdiri di depannya hingga berulang-ulang.“Lintang,” panggil Raga sekali lagi dan kali ini lebih tegas. Tatapan Raga tertuju pada pria yang berdiri di samping gadis itu. “Jadi, karena ini kamu pergi dari rumah? M
“Mas Raga jahat, dan aku benci!” Saat Lintang tidak bisa menuruni eskalator karena Raga menghalanginya, dengan cepat ia mencari jalan lain. Lintang berbalik, tapi kakinya justru tidak bisa melangkah pergi ke mana pun. Di hadapannya kini, sudah ada Ario maupun Retno yang memandangnya dengan tatapan tidak terbaca. Lintang tahu ia salah, karena pergi tanpa berpamitan. Namun, tindakan yang sudah dilakukan Raga padanya juga tidak bisa dibenarkan. “Pa-pak Ario … Bu, Retno.” Kaki Lintang mundur satu langkah lalu punggungnya menabrak tubuh Raga, yang langsung menangkup kedua bahunya dari belakang. Hari ini, semua jadwalnya sudah berantakan, begitu pun dengan perasaan Lintang. “Bawa Lintang ke restoran, Ga,” titah Ario lalu beranjak pergi lebih dulu meninggalkan keduanya. Ada beberapa hal, yang memang harus dibicarakan dengan Lintang dan juga diselesaikan. Karena mereka akhirnya bertemu, maka sekaranglah waktu yang tepat untuk membahas semuanya. “Ayo!” Raga meraih pergelangan tangan Lintan
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida