Berdamai. Lintang mulai melakukan hal tersebut saat ia kembali ke kediaman Sailendra. Melakukan kegiatan seperti biasa, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Rama dan Eni jika berada di rumah. Akan tetapi, pikiran Lintang saat ini tengah bercabang memikirkan Fajar. Pria itu, pasti sudah salah paham dan menganggap Lintang sebagai seorang pembohong. Sudah seminggu sejak status pernikahan Lintang terbongkar, Fajar tidak pernah lagi mengangkat panggilan telepon dari Lintang. Fajar juga tidak membuka dan membaca semua chat yang Lintang kirimkan. Rencananya, satu atau dua hari ini Lintang akan pergi ke kantor lamanya untuk menemui pria itu dan menjelaskan semua hal. “Lintang!” Raga yang baru saja masuk ke ruang keluarga segera memanggil gadis itu saat melihatnya baru saja menuruni tangga. Tidak banyak yang berubah dari hubungan mereka, masih tetap kaku seperti dulu, tapi aura permusuhan itu sudah tidak tampak lagi. Lintan berbalik. Tidak melangkah ke mana pun karena melihat Raga me
“Ke mana Safir?” tanya Retno masih belum melihat putra bungsunya, ketika semua orang sudah berada di meja makan. Tidak mungkin Idha belum memanggil putranya itu, karena Lintang saja sudah duduk manis di samping Rama.Ada perubahan formasi tempat duduk di meja makan malam ini. Rama yang biasanya duduk di antara Retno dan Ario, kini meminta berada di samping Lintang, juga Raga. Apa saja yang telah dilakukan kedua orang itu di siang hari sehingga Rama bisa menempel seperti itu dengan Lintang. Bahkan, Eni yang sudah mengasuh Rama sejak tiga tahun terakhir, tidak lengket seperti itu.“Safir mendadak ke luar kota,” terang Raga. “Tadi sore sempat nelpon Mama, tapi hape Mama nggak aktif.”“Keluar kota lagi?” Retno berdecak ketika mengingat Safir kerap pergi ke luar kota belakangan ini. “Memang nggak ada karyawan lain yang bisa disuruh?”“Justru Safir perginya sama karyawan lain,” kata Raga menoleh pada Rama yang sibuk saling suap dengan Lintang. Kalau biasanya bocah itu sibuk dengan Ario di m
“SAFIR.”Tidak lama setelah seruan keras itu terdengar, tubuh Safir tertarik paksa, dan terlempar jauh dari sofa yang diduduki oleh Lintang. Safir terjengkang dengan bokong yang lebih dulu menyentuh karpet yang tergelar luas di depan televisi.“MAS!” Jelas saja Safir balas menghardik. Ia tidak terima diperlakukan dengan kasar, apalagi sampai terjatuh seperti sekarang. Tidak hanya Lintang yang melihatnya, tapi ada Eni serta Rama yang terpekur di ujung tangga lantai dua.“Jaga sopan santunmu di depan Lintang,” kata Raga sudah berdiri di depan gadis itu. “Dia istriku. Jadi otomatis dia itu jadi kakak iparmu.”Safir berdecih seraya bangkit dan berdiri tegak. Ini kali pertama, Raga bersikap kasar padanya. “Istri? Kakak ipar? Bullshit!”“Jaga bicaramu, Fir,” tekan Raga sekali lagi. Raga menghabiskan jarak dengan sang adik dengan tatapan tajam. Menahan kedua tangannya agar tidak melayangkan satu pukulan ke tubuh sang adik. “Aku dan Lintang sudah menikah. Jadi aku nggak perlu lagi menjelaskan
“Kenapa harus pindah?” Lintang menghampiri Raga yang sedari tadi duduk di sofa kamar Lintang, guna menjelaskan beberapa hal. Ia duduk di ujung sofa, untuk memberi jarak dengan Raga. “Apa karena Safir tadi sore?”“Ya.” Raga tidak akan menyembunyikan hal tersebut dari Lintang. Gadis itu harus tahu, kalau perbuatan Safir sore tadi tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, untuk menghindari pergesekan yang mungkin bisa memanas, Raga memutuskan untuk pindah dari rumah orang tuanya. “Aku nggak mau kejadian sore tadi terulang lagi ke depannya.”“Yaaa, aku nggak papa kalau memang mau pindah,” kata Lintang tapi masih merasa ragu. “Tapi … kita tinggal di mana?”“Di rumah lamaku.” Benar dugaan Raga, untuk satu hal ini Lintang tidak akan menolak usulannya. Yang Raga perhatikan, selama ini Lintang tidak pernah merasa nyaman dengan kehadiran Safir. Gadis itu selalu punya alasan untuk pergi, jika ada safir di ruangan yang sama.Mungkin, Lintang tahu jika Safir kerap mencuri pandang padanya dan gadis it
Subuh kala itu, Lintang membuka mata dengan malas. Rasa kantuk yang masih menjerat akibat begadang, terasa sulit untuk dikalahkan. Jika bukan karena ada Raga yang menuntut untuk tidur di kamarnya, mungkin Lintang sudah bisa memejamkan mata seperti malam-malam sebelumnya.Namun, ada satu hal yang membuat Lintang mengerutkan dahi. Ia ingat benar, setelah Rama tertidur lelap saat hampir tengah malam, Lintang segera berpindah tidur di sofa sesuai titah Raga. Akan tetapi, mengapa pagi ini Lintang kembali terbangun di tempat tidur?Lintang pun menoleh, menatap Rama dengan posisi tidur yang sudah tidak menentu. Kedua kaki Rama kini melintang di paha Lintang, dan kepala bocah itu ada di sisi tempat tidur yang berbeda. Namun, Lintang tidak melihat Raga ada di tempat tidurnya seperti malam tadi.Kepala Lintang menoleh cepat pada sofa, tapi tidak juga menemukan pria itu di sana.Lantas, apakah Raga sudah bangun lebih dulu daripada Lintang?Atau, setelah memindahkan tubuh Lintang ke tempat tidur,
“Beberapa hari ke depan, akan ada tukang yang ngecat ulang rumah ini.” Raga yang baru keluar dari mobil, menjelaskan kondisi rumahnya pada Lintang. Rumah penuh kenangan indah dengan mendiang sang istri, dan tidak akan mungkin Raga lupakan. “Air, Listrik, semua sudah dicek dan lancar,” sambung Raga terus berjalan melewati Lintang yang hanya bengong di tengah carport. “Besok, aku pasang wifi biar kamu nggak bosan ada di rumah.” Raga membuka pintu rumah dan masuk tanpa menunggu Lintang. Sederhana, tapi terlihat mewah. Rumah pribadi Raga memang tidak sebesar milik Ario maupun Anwar, tapi sangat terasa nyaman. Lintang akhirnya melangkah menyusul Raga ke dalam begitu. Begitu masuk, ia sudah disuguhkan dengan bagian dalam rumah dengan mengusung open concept design. Ruang tamu yang jadi satu dengan ruang makan, dengan pemandangan taman dan kolam renang di luar sana. Benar-benar terlihat segar dan membawa ketenangan tersendiri. Lintang saja sampai sudah membayangkan sarapan pagi sambil men
Perasaan Raga mulai tidak enak ketika mobilnya berhenti di parkiran sebuah gedung tiga lantai. Dari papan nama yang tertera besar di sisi luar gedung, Raga akhirnya tahu ke mana tujuan Lintang siang ini.“Ini kantormu, kan?” Pertanyaan tersebut hanya untuk basa basi.Lintang tersenyum tipis sambil membuka sabuk pengamannya. Namun, sorot matanya tidak ia tujukan pada Raga. Sejak pria itu mengajaknya melihat rumah yang saat ini sudah ditempati mereka, Lintang memang menjaga jarak dan lebih banyak diam.“Ayo keluar, Mas.” Lintang keluar lebih dulu, dan meninggalkan Raga yang tampaknya masih tercenung di dalam mobilnya. Lintang menyapa satpam dengan ramah, pun dengan resepsionis yang bertugas siang ini. “Panggilin Mas Fajar dong, Mbak. Bilangin ada tamu, tapi jangan bilang tamunya aku.”Senyum Lintang terlukis lebar, tapi tidak dengan hatinya. Resepsionis itu pun segera menghubungi Fajar yang dan mengatakan semua yang disampaikan Lintang barusan.“Lintang,” panggil Raga sudah berada di be
"Selama ini aku minder dengan statusku, Mas." Ucapan Lintang tersebut, dan seterusnya, selalu terngiang di kepala Raga selama perjalanan pulang dari kantor Fajar. Tidak hanya itu, pernyataan bahwa Lintang menyukai Fajar, juga membuat Raga diam selama perjalan dan memikirkan banyak hal. “Kamu, mau makan apa?” celetuk Raga tiba-tiba ketika mereka hampir sampai ke kantornya tepat di jam makan siang. Sedari tadi, tidak ada interaksi apa pun di antara mereka. Keduanya hanya tenggelam dengan pikiran masing-masing. “Aku mau makan di rumah,” jawab Lintang tidak ingin berlama-lama bersama Raga. Bukankah pria itu sudah menetapkan jarang di antara mereka, jadi Lintang harus tahu diri. “Bu Mena bikin ikan bakar, sayang kalau nggak dimakan.” “Ikan bakarnya bisa dimakan sore,” ujar Raga masih menatap lurus dengan kemudinya. “Ini mumpung kita—” “Nggak usah, Mas,” tolak Lintang tapi dengan ucapan yang tidak keras. “Aku mau pulang aja, dan nggak mau ngerepotin Mas Raga.” “Kamu nggak ngerepotin,”
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida