“Sayang, ada yang mau ketemu.”
Indira menatap bingung kearah mamanya, Nuri. Menatap jam yang ada di dinding dengan tatapan tanda tanya, membuka ponselnya barangkali ada yang dilupakan, tapi tidak ada satupun pesan yang masuk bahkan termasuk Dio.“Memang siapa, ma?” tanya Indira akhirnya.“Melda, kekasihnya Fajar katanya. Memang Fajar punya pacar? Jangan bilang kalau kamu yang merusak hubungan mereka.” Nuri memberikan tatapan tajam.Indira menggelengkan kepalanya “Masa lalu Kak Fajar.”“Cewek yang Fajar bilang ke papa?” Indira menganggukkan kepalanya “Mau apa dia?” Indira mengangkat bahunya “Mama usir gimana?”“Gimana kalau mama rekam pembicaraan kita?” Indira menatap penuh harap pada Nuri, mamanya.“Boleh, gimana caranya? Memang yakin dia akan berhenti melakukan itu semua?” Nuri menatap penuh keraguan.“Kita belum tahu kalau tidak mencobanya, jadi mama mau?” Nuri langsung menganggukkan kepalanya.Indir“Benar ini lamaran? Padahal baru jadian udah dilamar aja.” Indira menatap kedua kakaknya dengan tatapan tidak enak, Fajar selalu mempunyai kejutan jika berhubungan dengan status mereka berdua. Melda membuat Fajar melakukan ini semua, harusnya Indira meminta untuk menyelesaikan terlebih dahulu, tapi sayangnya Fajar tidak mendengarkan kata-kata Indira.“Keluarga Fajar sudah datang.” Keluar dari kamar dengan melangkahkan kakinya ke ruang tamu dimana keluarga Fajar sudah berada disana, mereka hanya keluarga inti tidak ada yang lain dan semua itu keinginan Indira. Pembicaraan hanya sebatas masalah masa depan Indira yang masih kuliah dan terjadi perdebatan dalam antara Fajar dan papanya yang menginginkan membiayai Indira sampai lulus kuliah.“Biarkan papanya Indira yang melakukannya, sebagai bentuk terakhir membiayai putrinya.” Dian membuka suara membuat Fajar terdiam.“Jadi, maunya kapan ini?” tanya Nuri langsung.“Libur semester In
Setelah lamaran komunikasi mereka sedikit berkurang, Indira dengan kesibukannya dan Fajar tidak jauh berbeda. Indira bukan type yang harus memberikan kabar setiap jamnya, tapi setidaknya Fajar tidak lupa mengirim pesan atau menghabiskan waktu dengan berbicara melalui ponsel walaupun tidak selama biasanya.“Lemas banget.” Clara menatap bingung pada Indira “Ryan sama Dio kemana?”“Ryan masih ada kelas, Dio nggak tahu kemana.” Indira menjawab dengan nada malasnya.“Nia sekarang gimana sama kamu?” Clara langsung penasaran tentang masalah Nia dan Indira.“Entah, aku nggak peduli. Selama baik ya aku akan baik, kalau dia mikir jelek ya sudah biarin.” Indira menghembuskan nafas panjangnya seakan sangat lelah.“In, Mas Fajar sulit banget dihubungi.” Wahyu langsung berbicara tentang Fajar membuat Indira memutar bola matanya malas “Kalian nggak putus, kan?”Indira mengangkat kepalanya dan tanpa banyak bicara langsung memukul Wahyu “Bicara i
“Ujian selesai sudah, sekarang waktunya Bandung.” Indira hanya diam memandang Sinta yang sangat bersemangat, memilih diam ketika merasakan badannya tidak enak. Dapat terlihat dari kejauhan Ryan bersama dengan para pria menata barang-barang, tidak akan memberitahukan pada siapapun tentang kondisi dirinya. Bisa jadi badannya tidak enak karena tugas dan ujian yang bersamaan dan banyak, jam istirahat berkurang dan makan tidak teratur.“Lia mau ikut acara ini tapi begitu tahu kita ikut akhirnya nggak jadi,” ucap Sinta yang duduk disamping Indira “Ketemu Mas Fajar?” Indira hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat membuka suara.Fajar mengirim pesan panjang untuknya, beberapa kali Indira membacanya sampai bosan dan memilih menyetujui semua yang ditulis. Indira baru tahu apa yang dikatakan Fajar pada kedua orang tuanya, tapi dirinya tidak peduli terpenting adalah bisa ikut ke Bandung. Sejauh ini Indira belum melihat keberadaan Retno, dosen yang tidak menyukai
Fajar hanya diam menatap Indira yang tidur di ranjang, sepanjang perjalanan menuju Bandung jantungnya berdetak sangat kencang, tidak ada kabar tentang keberadaannya dimana terakhir saling bertukar pesan pada saat berangkat. Ryan, waktu dihubungi mengatakan Indira tidak ikut dengan mereka jalan-jalan, akhirnya membuat Fajar langsung menghubungi Sinta menanyakan keberadaan Indira.“Huh...adik itu keras kepala kalau sudah maunya.”Fajar mengambil ponsel menghubungi Jonathan agar tidak mencari Indira, tidak hanya itu juga bertanya tentang kegiatan mereka besok yang akan dimulai jam berapa. Matanya tidak lepas dari Indira yang tidur dengan damai, baru pertama kali melihat Indira tidur dalam waktu sedekat ini dan seketika membuat Fajar membayangkan tentang pernikahan mereka dimana akan menghabiskan waktu bersama dan setiap hari menatap wajahnya.Menatap jam yang ada di pergelangan tangannya, masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri dan bergabung bersama
“Udah tahu sakit masih aja berangkat, gitu pakai suruh Fajar rahasiain segala.”“Jangan salahin Kak Fajar, Ma. Aku yang minta buat nggak bilang sama mama, kalau mama tahu pastinya bakal marah.”“Mama nggak menyalahkan Fajar, tapi kamu...udah tahu badan tidak enak masih aja nggak bilang, main rahasia-rahasiaan. Fajar hubungi sampai minta maaf nggak bisa jagain kamu dengan benar, padahal kamunya aja yang nggak bisa membedakan. Niat kamu ke Bandung itu buat pendidikan atau hanya mau ketemu Fajar?”Indira memilih diam ketika mamanya mulai ceramah, sudah bisa menebak jika Fajar akan tetap memberi kabar pada mamanya tentang keadaan dia selama disana. Memejamkan matanya agar tidak mendengar suara mamanya yang masih tidak berhenti memarahi dirinya yang tidak jujur tentang keadaan.“Ke dokter sebelah rumah aja.” Indira membuka matanya menatap bingung “Dokter Eka?” Nuri menganggukkan kepalanya “Naik apa? Pak Diman ada?”“Sebelah rumah aja
“Dia nggak akan berhenti kalau dari kamunya menghindar.”Fajar memilih diam, permintaan Indira agar menyelesaikan masa lalunya terlebih dahulu sebelum menikah membuatnya berpikir dalam. Permintaannya memang tidak salah, bagaimanapun Melda pernah menjadi bagian dari hidupnya walaupun pada akhirnya luka yang dia berikan.Pembicaraannya dengan Indira membuat Fajar mendatangi kedua sahabatnya di biro, sebenarnya tidak hanya membicarakan tentang apa yang dikatakan Indira saja tapi juga membicarakan tentang masalah biro dan apa yang harus dilakukan untuk kemajuan biro.“Indira benar buat damai dengan masa lalu, cuman kamunya sendiri gimana? Kamu berdamai tapi sayangnya dia mana mau, keinginan dia adalah melihatmu menderita dan tidak suka jika kamu bahagia, buktinya dia datang waktu kamu sudah sukses begini.” Nathali menatap Fajar dalam.“Aku sendiri belum bisa berdamai sama dia.” Fajar mengakui apa yang dirasakannya “Permintaan Indira memang benar-benar
“Mbak, jangan jadi wanita yang mengemis pria deh. Mbak itu jadi wanita harus punya harga diri bukan begini.” Fajar terkejut dengan kata-kata Indira, menatap kearahnya yang tampak datar saat berbicara, tatapannya beralih pada Melda yang juga sama terkejutnya. Indira memutuskan membawa mereka berdua menjauh dari rumahnya, tidak memiliki tujuan membuat Fajar membawa mereka ke restoran cepat saji.“Kamu menuduh aku wanita murahan?” Melda mengatakan dengan nada tidak percaya.Indira mengangkat bahunya “Aku tidak mengatakan seperti itu, tapi semua yang mbak lakukan tidak jauh berbeda dengan mereka. Aku yakin mbak berasal dari keluarga terhormat, masa mau mengemis cinta sama lelaki yang harga dirinya sudah dijatuhkan? Memang mbak nggak bisa dapatin lelaki lain? Aku yakin banyak lelaki diluar sana yang bisa membuat mbak jatuh cinta dan mencintai mbak dengan tulus.”Melda mengangkat sudut bibirnya “Kamu berani juga berbicara begitu, jangan mentang-mentang
“Memang sudah diisi?” Fajar memastikan ketika Indira mengajak ke rumah yang dibelinya.“Sudah, semoga kakak suka sama pilihanku.” Fajar mengangkat alisnya mendengar perkataan Indira “Adik belanja sama siapa?”“Aku minta bantuan...Dimas sama ketiga sahabatku tapi belanjanya sama mama kadang ibu atau Fany dan Ryan.” Indira mengabsen mereka semua membuat Fajar tersenyum tipis “Kalau nggak suka atau kakak mau ubah nggak papa.”Mobil yang dikendarai Fajar berhenti tepat setelah Indira berkata seperti itu, menatap wajah Indira yang masih khawatir jika Fajar tidak suka dengan pilihannya. Mengambil tangan Indira untuk digenggamnya, menatap tepat di kedua matanya dengan memberikan belaian lembut di pipi.“Apa pernah nggak suka pilihan adik? Buktinya aku pakai semua yang adik pilih dan belikan,” ucap Fajar yang membuat Indira terdiam “Bekasnya nggak kelihatan sama sekali, lusa udah mulai masuk.”“Kakak kembali ya besok?” Fajar menggelengk
"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat
"Kakak dimana?" Indira menatap sekeliling diantara banyaknya orang yang ada."Sayang," panggil Fajar yang sudah berada di belakang Indira dan secara otomatis membalikkan badan dengan memeluknya erat."Ehm."Indira melepaskan pelukan dari Fajar saat mendengar suara dehaman yang sangat dihafal luar kepala dan langsung mendatangi kedua orang tuanya dengan memeluknya erat."Selamat ya sudah wisuda," ucap Rahayu setelah memberikan ciuman singkat di pipi Indira."Makasih, mama yang nggak pernah berhenti mengomel buat ngingetin aku." Indira kembali memeluk Rahayu erat.Fajar membawa Indira dan orang tuanya ke tempat foto-foto singkat, walaupun nanti setelah ini mereka juga ke studio foto tapi momen disini sangat langka. Ketika dirinya wisuda dulu juga foto disini selain studio, Fajar menyimpan foto mereka berdua di tempat yang strategis."Kita mau ke cafe buat makan-makan?" Ahmad membuka suara setelah selesai sesi foto.
"Wisnu datang dan minta maaf?" Rudi mengatakan dengan nada tidak percaya "Bagaimana bisa terjadi?""Kita juga nggak tahu, tapi Indira tiba-tiba kasih kata-kata mutiara 'orang nggak pernah sadar sama kelakuannya, lebih suka mencari kesalahan orang lain' macam begitu." Fajar mengatakan dengan tatapan yang tidak lepas dari Indira dimana sedang bersama sahabat-sahabatnya."Indira memang menarik," ucap Awang yang diangguki Fajar "Nggak nyangka kalau kamu bakal jatuh cinta sama dia, aku masih ingat tatapanmu pertama kali dulu."Kenangan itu masih diingat dengan sangat jelas, tatapan pertamanya saat melihat Indira pertama kali pada waktu berbaris, setelah itu tatapannya secara tiba-tiba teralih ketika Indira melamun yang tampak menggemaskan. Setiap mata mereka bertemu Fajar tahu jika Indira ini masih polos, jernih dan tulus. Sejak itu memutuskan memberikan hukuman yang tidak akan pernah disesalinya sama sekali sampai sekarang."Minggu depan wisuda?" Faja
"Apa memang harus melakukan ini?" tanya Indira memastikan "Apa nggak berlebihan?" "Kalau melihat mereka berdua kayaknya ya," jawab Rudi sedikit ragu."Bukannya Melda hamil sama pria tua? Kenapa sekarang jadinya begini? Aneh nggak sih?" Indira menatap kedua pria yang berada disekitarnya yang hanya diam "Kakak lupa sama yang Melda bilang waktu kita ketemu sama masnya itu." Indira mengalihkan tatapannya pada Fajar yang masih diam."Bisa jadi dengan pria tua, tapi mengambil barang-barang Fajar agar lebih mudah menuduhnya..." Rudi mengatakan dengan tidak yakin.Fajar menggelengkan kepalanya "Melda bukan pembohong, terlepas yang dia lakukan sama aku dan keluarga. Selama kita bersama dia nggak pernah berbohong, dia bicara sebenarnya tapi sepertinya di tengah kebingungannya mereka mengatakan jika bukan pria itu melainkan aku."Terkejut, mereka hanya diam setelah Fajar mengatakan hal yang diluar pikiran mereka semua. Helaan napas dikeluarkan Indi