Mata Marvin terbeliak. Pertanyaan itu mengejutkannya karena terbilang tak sopan juga. Itu sebabnya ia mendelik kaget.
"Maaf ... saya tahu pertanyaan ini mungkin nggak sopan. Saya hanya penasaran saja," kata ibu katering dengan senyum kecut.
Marvin mencoba tersenyum. Ia berusaha mengusir rasa tak nyaman yang timbul.
"Dia punya sakit maag akut. Ini lagi kambuh," terang Marvin.
"Oohh ... syukurlah. Soalnya ciri-ciri mbaknya tadi mirip keponakan saya sih."
Marvin mengerutkan keningnya. Ia menatap ibu itu dengan sorot mata tajam.
"Oh ya?" sahut Marvin heran.
"Iya. Ngeluh pusing, mual. Terus, enggak bisa mencium aroma masakan. Tiap kali ibunya masak, dia muntah-muntah di kamarnya. Ngaku ke ortunya sih lagi kambuh maagnya. Trus dibawa deh sama ortunya ke dokter. Eh, nggak tahunya hamil."
Mata Marvin membesar kaget. Ekspresi mukanya mengisyaratkan rasa tak percaya. Ia terkejut mendengar ibu itu begitu terbuka menceritakan tentang keponakannya.
"Yaaahh ... gitulah Mas. Anak zaman sekarang. Pacarannya suka kebablasan. Masih SMA padahal. Beberapa bulan lagi ujian kelulusan. Kan sayang banget."
Marvin meresponnya dengan manggut-manggut. Mendadak pikiran buruk berkelebat di otaknya. Apa Ibel hamil juga ya?
"Ah, tidak ... Ibel anak baik-baik," katanya dalam hati untuk menyingkirkan pikiran buruk yang timbul tiba-tiba itu.
"Nggak semua orang yang mual dan muntah itu hamil. Bisa aja karena sakit. Orang hamil malah ada yang nggak mual, muntah, bahkan ngidam," kata Marvin dalam hati lagi, berusaha meyakinkan diri.
Baginya, tak ada gunanya ia berburuk sangka. Toh, Ibel sejauh ini menunjukan sikap tak macam-macam.
Marvin menghirup nafas panjang dan membuangnya pelan-pelan. Ia mencoba menghalau perasaan curiga yang beberapa saat menggelayuti pikirannya tersebut.
"Ibel cewek baik-baik. Dia sedang sakit maag," gumamnya dalam hati. Lagi.
****
Marvin terbatuk-batuk di kamarnya. Tenggorokannya terasa kering. Ia bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar kamar. Ia menuju ruang makan.
Marvin meraih gelas untuk mengambil air minum. Terlihat ia begitu terburu-buru meneguk air itu guna meredakan batuknya.
Marvin menghembuskan nafas panjang usai meneguk minum. Batuknya juga sudah berhenti. Tenggorokannya yang kering sudah terbasahi oleh air. Batuk pun menghilang.
Marvin melirik jam dinding. Pukul 02.10 WIB. Sudah dini hari rupanya.
Ia kemudian berjalan lagi ke kamarnya. Begitu pintu kamar ditutup, ia langsung menuju kasurnya. Ia ingin kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu akibat batuk tadi.
Marvin sudah memeluk gulingnya. Matanya juga sudah menutup. Beberapa menit lagi, mungkin sudah tak sadarkan diri tertidur. Tapi mendadak ia ingat sesuatu.
Ia bangkit dari tidurnya dan menuju tas kerjanya. Ia ingat ponselnya mati karena kehabisan isi batereinya. Tadi, ia lupa menchargernya.
Hari ini tubuhnya terasa lelah sekali. Makanya, ia segera tidur usai salat Isya. Ia bahkan belum makan malam karena saking mengantuknya.
Terlihat Marvin memasang charger ke kontak listrik dan menghubungkan kabel itu ke ponselnya. Terdengar bunyi dari ponselnya yang menyala. Marvin mencoba mengaktifkan ponselnya. Sekalian, dia ingin mengecek adakah pesan atau panggilan yang masuk untuknya.
Bertubi-tubi, terdengar bunyi dari ponsel. Ternyata selama ponsel mati ada banyak pesan yang masuk. Marvin membuka pesan-pesan yang masuk dan membalas beberapa pesan yang sudah dia baca.
Dahi Marvin terlihat mengkerut. Ada pemberitahuan masuk juga di instagramnya. Saat ia membuka instagramnya itu, Marvin mendengus kesal.
"Aahh ... dia lagi!" gerutunya lirih.
Marvin mencoba menghalau perasaan kesal yang mendadak timbul. Ia menghirup nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan.
"Apa maunya orang ini?" gumamnya.
Tangan Marvin bergerak menekan fitur untuk membuka DM yang masuk. Seketika, itu juga mata Marvin terbeliak kaget. Mulutnya juga melongo.
Pesan masuk yang dibuka Marvin berasal dari Lily_Yang_Tersakiti. Dan ternyata Lily_Yang_Tersakiti mengiriminya foto. Dua buah foto terpampang di layar DM. Marvin menekan foto yang pertama agar lebih jelas.
"Ibel?" kembali ia bergumam.
Foto yang dikirim oleh Lily_Yang_Tersakiti itu memperlihatkan Ibel sedang duduk bersama banyak orang. Ia sedang memainkan ponselnya. Sepertinya, Ibel berada di ruang tunggu sebuah rumah sakit. Wajah Ibel terlihat jelas. Kemeja kerja warna biru telur asin itu adalah baju yang dikenakan Ibel beberapa waktu yang lalu. Saat Metha ultah.
Kedua mata Marvin bergerak ke sana kemari. Mencari sosok seorang pria.
"Ayahnya Ibel mana?" kembali ia bergumam lirih.
Tak ada sosok ayahnya Ibel di antara orang-orang yang duduk itu. Di sebelah Ibel, ada seorang pria bertopi warna merah marun dengan bordir tulisan LA warna putih.
"Mana nih? Kok nggak ada?!" imbuhnya bergumam.
Marvin menghembuskan nafas panjang. Ia mencoba berpikir positif. Dia menghalau pikiran-pikiran buruk yang menghinggapinya.
"Mungkin, ayahnya Ibel sedang ke toilet atau nggak ikut duduk. Tapi, berdiri tak jauh dari situ."
"Atau bisa juga, ayahnya Ibel lebih senang menunggu di parkiran," gumam Marvin dalam hati. Mencoba menghibur diri.
Terlihat Marvin menghembuskan nafas panjang sekali lagi. Ia menggerakan tangannya untuk menekan foto kedua. Kembali matanya terbeliak kaget melihat tulisan yang tertera di foto tersebut.
"Apa ini? Dokter kandungan?" pekik Marvin tak percaya.
Marvin keluar dari kamarnya untuk sarapan pagi. Ia berjalan menuju ruang makan dengan wajah lesu. Di ruang makan ortu dan adiknya Marvin sudah duduk di kursi untuk sarapan. Saat Marvin sampai di meja makan, adiknya, Merva malah sudah selesai sarapan. Mama dan papanya Marvin melihat Marvin menarik kursi tanpa semangat. Terlihat wajahnya Marvin kuyu tak ada senyuman. Wajahnya tampak murung."Lemes amat!" kata papanya singkat mengomentari Marvin.Marvin meresponnya dengan senyuman kecut."Semalam kamu juga nggak makan malam. Banyak kerjaan di kantor?""Iya," sahut Marvin singkat."Sarapan yang banyak, Mas! Biar kuat menghadapi pahitnya hidup," seloroh adiknya dengan senyum usil.Marvin meresponnya dengan cengiran ke arah adiknya tersebut."Mah...Pah...Aku ada kuliah jam pertama pagi ini. Ngumpulin tugas juga. Jadi mau berangkat dulu sekarang,""Mmmhhh," gumam papanya."Hati-hati!" pesan mamanya."Iya,"Merva salim ke papa dan mamanya."Mas...Aku berangkat duluan ya,""Iya. Hati-hati," p
Jam makan siang sedang berlangsung. Marvin makan siang di sebuah restoran dekat kantornya. Hari ini Ricky menemuinya. Itu sebabnya ia makan siang di sini. Biar leluasa berbicara.Keduanya sudah berada di tempat ini sekitar 10 menit yang lalu. Usai minuman yang mereka pesan datang Ricky langsung menyodori pertanyaan foto mana yang diminta Marvin untuk dicetak besar."Terserah kamu aja," ujar Marvin ke Ricky."Lho kok terserah aku?" kata Ricky setengah protes.Marvin tersenyum kecut. Terlihat ia masih tak bersemangat."Yang nikah kan kamu. Jadi kamu pilihlah foto mana yang mau aku cetak buat di gedung nanti!"Marvin masih tak bergeming. Terlihat ia tak berminat untuk memilih."Ini mumpung aku lagi baik lho, Vin. Ngasih kesempatan kamu milih sendiri. Biasanya aku sendiri yang nentuin. Nggak pakai nanya klien,""Ya udah gitu aja. Malah enak. Biar aku nggak pusing milihnya," jawab Marvin. Kali ini suaranya terdengar ketus.Ricky menatap Marvin dengan sorot mata keheranan. Perubahan suara M
Marvin mengangguk setuju. Kemungkinan seseorang mau mengaku usai melakukan kesalahan itu kecil sekali. Orang cenderung menutupi kesalahannya. Tapi dia harus mulai mencari bukti dari mana? Harus ke RS mana untuk penyelidikan awalnya? Nggak mungkin ia mendatangi seluruh RS yang ada. Kalau pun ketemu, pihak RS belum tentu mau membuka data diri pasien. Bertanya langsung ke Lily_Yang_Tersakiti juga bukan pilihan yang menyenangkan. Sejak awal pengirim DM ini lebih banyak bertindak seperti pengirim surat kaleng. Identitasnya tak diketahui. Ditanyai sikapnya ketus. Yang ada Marvin jadi dibuat jengkel saat berinteraksi dengannya. Hening sesaat. Pelayan mengantarkan makanan yang mereka pesan. Marvin pamit ke kamar kecil terlebih dahulu. Ia mempersilakan Ricky makan lebih dulu.Marvin baru saja selesai mencuci tangannya usai pipis. Setelah itu ia mengambil ponselnya sejenak untuk melihat sudah pukul berapa saat ini. Di saat bersamaan ada pemberitahuan dari instagramnya. Dahi Marvin mengerut. T
Marvin mematut dirinya di depan cermin. Ia mengamati bayangannya di cermin yang sedang mengenakan baju pernikahannya. Ini baju kedua yang ia pakai. Baju pertama yang dipakai untuk akad sudah ia coba beberapa menit yang lalu. Sedangkan baju yang ia pakai saat ini baju yang hendak dipakai saat resepsi. "Gimana Mas Marvin? Bajunya pas kan?" tanya Ayudia Inara, MUA sekaligus pemilik dari WO yang akan menangani pernikahan Marvin dan Ibel nanti. Hari ini selain fitting baju, Ibel akan test make up di tempat ini."Pas kok mbak," sahut Marvin. Ia memanggil mbak ke Ayudia karena perempuan itu masih terbilang muda. Sekitar umur 32 tahun. Selain masih muda, Ayudia juga seorang perempuan yang energik serta ramah. Hingga Marvin dan Ibel merasa tak perlu menciptakan jarak dengan memanggilnya Bu Ayudia.Ayudia dan seorang karyawannya mengamati sejenak baju yang dikenakan Marvin. Keduanya terlihat puas karena baju itu melekat sempurna di tubuh Marvin. Keduanya sempat meminta Marvin berputar untuk s
”Hamil? Ah, yang benar aja?! Masak Ibel hamil?”Pertanyaan-pertanyaan ini berseliweran di benak Marvin."Nggak," jawab Ibel."Tapi itu bajunya kok nggak muat gini?""Nggak tahu. Keliru mungkin ukurannya,""Karyawanku bilang nggak,""Coba di cek dulu!""Mutiara, coba kamu bawa catatanmu dan meteranmu deh!"Terdengar langkah menjauh. Marvin memasang jaketnya. Setelah itu ia memilih tetap diam di kamar itu.Terdengar langkah mendekat. Marvin kembali menyimak."Nih, say...liat tuh! Bener kan? Ini baju memang sudah ukuranmu,""Tapi kok nggak muat?""Nah, makanya itu! Kamu hamil nih kayaknya!""Nggak,""Kamu nggak ngerasa gemukan gitu?" "Nggak. Liat aja badanku kan masih segini-gini aja,""Kamu mungkin tipe orang yang kalau gemuk larinya ke pipi atau perut aja,""Ah, masak?”"Lha ini buktinya,"Hening sejenak. Entah apa yang terjadi di kamar sebelah."Mutiara...Coba ambilin baju pengantinnya mbak Ibel yang buat resepsi!"Terdengar langkah menjauh. Beberapa detik kemudian terdengar langkah
Marvin kembali berteduh di masjid tempat ia kehujanan dulu. Di luar sedang turun hujan deras. Ia tak mau kehujanan di jalan. Sehari-hari kalau kerja Marvin lebih memilih mengendarai motor ketimbang membawa mobil. Hanya sesekali saja ia bermobil. Ia lebih senang membawa motor karena lebih bisa bergerak leluasa saat macet melanda.Marvin duduk di sebelah tiang masjid. Ia baru saja usai mengerjakan salat tahiyatul masjid. Marvin menggeser badannya agar bisa bersadar di tiang itu. Hari ini fisik dan pikirannya terasa lelah. Ingin rasanya ia tidur cepat setelah nanti sampai di rumah. Marvin menarik tasnya agar mendekat ke arah badannya. Masjid sedang sepi, tapi meski begitu ia tak ingin tasnya berserak hingga menghalangi jalan orang. Bagian tas terbalik. Bagian sisi belakang kini yang sedang ada di atas. Terlihat contoh undangan pernikahannya menyembul. Undangan itu tadi diantarkan Ricky ke kantornya saat jam makan siang. Omnya Ricky memiliki usaha cetak undangan. Jadi Marvin memesanny
Marvin menghembuskan nafas panjang disusul tersenyum tipis."Entahlah, pak. Sepertinya...Ini dilema semua orang yang akan menikah. Tiba-tiba saja galau. Takut salah pilih. Ada pertanyaan dalam diri saya, apakah dia orangnya? Apakah ini yang terbaik buat saya, kami dan keluarga kami? Bagaimana jika bukan dia? Semacam itulah,"Pak Arif tersenyum bijak. Ia manggut-manggut sejenak sebelum berkata-kata."Setan memang suka gitu. Menyelipkan keraguan dalam diri manusia yang punya niat baik. Tiap kali ada yang ingin berbuat kebaikan, selalu saja ditakut-takuti akan ketidakpastian,""Iya. Mungkin begitu," ujar Marvin sembari tersenyum kecut.Hening sesaat. Pak Arif kembali menatap wajah Marvin sejenak. Muram masih mewarnai wajah Marvin."Berdoa saja. Semoga Allah memberi petunjuk. Kalau jodoh semoga dilancarkan. Jika bukan jodoh, semoga dipisahkan dengan cara baik-baik,"Marvin menghembuskan nafas lega. Ada senyum tipis yang mengembang di bibirnya."Iya. Benar yang dikatakan bapak ini," ujarny
Marvin sedang duduk di lobby hotel. Sesaat yang lalu ia menemui resepsionis hotel seraya mengatakan kalau ia ada janji bertemu dengan ibu Lily. Setengah jam sebelumnya, Marvin sudah mengirimkan DM jika ia sudah dalam perjalanan ke hotel. Lily_Yang_Tersakiti membalas DM itu. Ia meminta Marvin menemui resepsionis hotel sambil mengatakan jika ia mencari ibu Lily. Seorang perempuan berpenampilan sosialita muncul di hadapan Marvin. Rambutnya panjang tergerai. Perawakan ramping. Mengingatkan pada wajah para artis dan model di tanah air. Jujur saja, wajahnya juga cantik. Sebelas dua belas sama Ibel. Umur mereka pun sepertinya sama. Atau mungkin selisih setahun dua tahun saja."Saya Liliani Wijaya. Akrab dipanggil Lily,"Marvin mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan perempuan yang ada di hadapannya itu. Tak lupa ia menyebutkan juga nama panjangnya."Semoga Anda tidak menunggu lama,""Oh tidak. Tentu saja tidak. Tadi saya sampai sini sepuluh menit lebih awal,"Keduanya kembali
Marvin kembali berteduh di masjid tempat ia bertemu dengan Pak Arif Wicaksono dulu. Tadi ia berniat segera pulang karena mau mampir ke tempat Ricky untuk mengembalikan STNK motornya. Kemarin waktu ke pemancingan, Ricky menitipkan STNKnya ke tas selempang Marvin. Pulangnya, ia lupa untuk mengambilnya. Pagi tadi sebelum Marvin berangkat kerja, Ricky menelepon. Ia meminta Marvin mampir ke studionya sepulang kerja untuk mengantarkan STNK tersebut. Marvin menyanggupinya.Di tengah jalan, mendung berubah menjadi hujan. Tak ingin basah kuyup dan meminimalisir resiko kecelakaan, Marvin akhirnya memilih berhenti di masjid untuk berteduh sambil menunggu Maghrib tiba. Marvin usai mengerjakan salat tahiyatul masjid saat Pak Arif datang menyapanya. Di luar sana hujan semakin deras mengguyur bumi disertai angin. Sesekali kilat menyambar. "Terjebak hujan lagi nih rupanya mas Marvin," sapa Pak Arif ramah.Marvin tersenyum lebar seraya mengangguk mendengar sapaan itu. "Iya nih, Pak. Sepertinya hu
Marvin dan Ricky sedang ada di tempat pemancingan. Ini hari libur. Karena tak ada orderan foto hari ini, Ricky mengajak Marvin memancing untuk melepaskan penat. Pagi tadi usai sarapan, ia menjemput Marvin di rumahnya. Marvin malas membawa kendaraan sendiri, akhirnya ia dibonceng Ricky dengan motornya ke tempat pemancingan ikan."Punya nyali juga tuh anak si konglomerat menemuimu," kata Ricky saat keduanya sudah duduk santai sambil menunggu kail mereka digigit ikan. "Lagi butuh. Makanya berani," sahut Marvin singkat."Ah, iya juga, dia kan menemuimu di kantor ya? Makanya berani. Aman. Nggak mungkin kamu akan mengamuk di kantor. Kalau ngajak ketemuan di luar belum tentu dia berani,""Siapa juga yang sudi menemuinya. Mendengar namanya aja darahku langsung naik ke ubun-ubun,"Ricky terkekeh mendengar perkataan Marvin. "Aku pengen ngakak waktu kamu cerita, si Kienan bilang, demi masa lalu yang kamu pernah mencintai Ibel dengan tulus, tolong terima dia. Cuiiihhh! Apaan tuh?" ujar Ricky
Marvin baru saja meletakan tas kerjanya saat office boy memberitahu jika ia ada tamu. Tamu tersebut sedang menunggunya di ruang tim marketing yang biasanya dipakai untuk menerima klien. "Baru jam 08.05 WIB. Pagi amat ini tamu datangnya," kata Marvin dalam hati sembari melirik jam dinding yang ada di ruangannya. Marvin menghembuskan nafas panjang sebelum akhirnya berjalan ke ruang tim marketing untuk menemui klien tersebut. Mata Marvin langsung terbeliak saat melihat tamu yang menunggunya di ruang marketing. "Selamat pagi Pak Marvin," kata sang tamu sambil mengulas senyum dan mengulurkan tangannya. "Selamat pagi juga Pak Kienan," sahut Marvin sambil menerima uluran jabat tangan itu. Marvin memaksakan diri untuk tetap bisa tersenyum ramah meski hatinya panas. Tak bisa dipungkiri, kemunculannya menimbulkan kemarahan yang sudah susah payah berhasil ia redakan beberapa hari ini. Marvin menghembuskan napas panjang sembari bertanya-tanya dalam hati apa maksud kedatangan Kienan.
Marvin usai mandi dan berganti pakaian. Sekitar setengah jam yang lalu ia repot di kebun belakang rumah. Ia membakar undangan pernikahan dan foto-foto prewednya di dalam tong sampah. Ia tak ingin melihat benda-benda itu lagi di rumahnya. Setelah membakar undangan dan foto-foto itulah ia mandi karena merasa badannya bau asap. Marvin meraih ponselnya untuk mengechek adakah telepon atau pesan yang masuk. Begitu melihat tak ada telepon dan pesan yang masuk, ia rebahan di atas kasurnya sembari menautkan kedua tangannya di belakang kepala sebagai bantalan. Sambil menatap langit-langit kamarnya, Marvin mencoba merenungi apa yang telah terjadi sejauh ini."Ya udahlah mah, anggap aja sedekah. Ikhlaskan aja yang udah terlanjur dibayarkan ke para vendor itu," ujar papanya Marvin. Marvin diam mendengarkan dari kamarnya. Saat masuk kamarnya usai dari kamar mandi tadi, ia memang melihat kedua orang tuanya dan Merva sedang berada di ruang tengah. Jadi percakapan mereka terdengar dari kamarnya M
"Enak aja!" tukas mamanya Marvin. Papanya Marvin segera menepuk tangan istrinya untuk menyuruhnya berhenti berkomentar. Mamanya Marvin diam tapi wajahnya cemberut kesal."Kan belum 3 bulan. Masih ada kemungkinan keguguran. Jadi tolong pikirkan ulang," imbuhnya ayahnya Ibel."Paakk...Ini bukan soal hamilnya Ibel aja. Ini soal kesetiaan. Anaknya bapak sudah tak jujur. Berani selingkuh. Untungnya masih tunangan. Coba kalau sudah menikah terus dia melakukan perselingkuhan seperti ini. Mau ditaruh mana muka kami pak?!" pekik marah mamanya Marvin.Marvin, papanya dan Merva hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Meski kesal karena mamanya Marvin terus menyela percakapan, tapi kali ini mereka bisa memaklumi kemarahannya."Ibu....Saya...Tidak bisa menolong ibu kali ini. Saya minta maaf," ujar Marvin.Terdengar tangis dari ibunya Ibel. Melihat istrinya masih menangis, ayahnya Ibel yang sementara berbicara."Kemarin hari....Sewaktu Ibel memberitahu kalau nak Marvin membatalkan pernikahan saja k
"Mas, buruan masuk rumah!" perintah Merva saat Marvin baru saja memasukan motornya."Hampir aja aku nelepon mas Marvin," imbuhnya."Ada apa sih, Mer?" tanya Marvin heran."Ada orang tuanya mbak Ibel," "Haaahhh?! Kenapa mereka ke sini?""Nyari mas Marvin. Nangis-nangis tuh. Tapi mamah malah marah-marah," "Haaahhh?!""Udah buruan masuk mas!"Tanpa melepas jaketnya Marvin bergegas memasuki ruang tamu. Merva berjalan di belakang kakaknya. Saat Marvin makin mendekati pintu masuk ruang tamu, terdengar mamanya Marvin berbicara dengan suara keras. Sedangkan papanya Marvin berusaha menenangkan istrinya tersebut."Udah dong mah! Jangan marah-marah gini! Bisa darah tinggi nanti!" ujar papanya Marvin seraya memegangi istrinya itu. "Mamah kesel pah. Apa dia pikir, mereka aja yang malu. Kita lebih malu lagi. Mamah aja sampai sekarang masih bingung mau ngomong apa ke saudara-saudara tentang pembatalan ini,""Sssstttt...Sudah. Sudah. Itu Marvin sudah datang. Biar dia yang menyelesaikan. Vin, urus
Marvin sampai rumahnya. Ia mengucapkan salam saat membuka pintu."Waalaikum salam," sahut kedua orang tuanya menjawab salam yang diucapkan Marvin.Kedua orang tuanya yang tengah berada di ruang tengah sambil menonton TV tak bisa langsung melihat wajah Marvin yang sedang kusut itu."Vin, tadi Ricky ke sini. Itu, dia ngantar foto prewed yang mau dipajang di gedung nanti," ujar mamanya Marvin."Undangannya juga," ingat papanya Marvin."Iya. Undangan juga tuh. Mama taruh semuanya di kamarmu," imbuh mamanya Marvin.Marvin yang sedang kusut dan lesu itu berjalan menuju ruang tengah untuk menemui orang tuanya. Saat sampai di ruang tengah ia langsung bertanya."Mah...Merva di mana?""Lagi ke rumahnya Anindya. Tadi si Anin telepon minta dianterin adikmu nyari kado. Jadi Merva lagi di sana sekarang,"Marvin mengangguk paham. "Saat yang tepat untuk bisa berbicara dengan leluasa. Mumpung Merva sedang ada di rumah Anin," ujar Marvin dalam hati. Ia menuju satu kursi dan ikut duduk di ruang tengah
Marvin dan Ibel bersalaman dengan Ayudia. Mereka berpamitan pulang. Saat ini mereka sudah ada di parkiran. Beberapa saat yang lalu, mereka sibuk membahas lay out gedung untuk pernikahan nanti. Sepanjang pertemuan Marvin dan Ibel lebih banyak mengatakan terserah pada Ayudia dan timnya. Itu sebabnya pertemuan jadi berlangsung cepat. Keduanya tampak tak antusias dengan semua ini. Sekarang Marvin dan Ibel sudah ada di mobil menuju pulang. Keduanya sama-sama diam. Ibel merebahkan tubuhnya di sandaran kursi sambil memejamkan mata. Telinganya juga ditutupi earphone. Entah ia sedang mendengarkan apa lewat ponselnya itu. Yang jelas Marvin tak mau mengusiknya. Tadi sore, sewaktu Marvin menelepon untuk menanyakan jam berapa ia bisa dijemput, Ibel menyuruh agar Marvin berangkat duluan ke gedung. Ia akan menyusul ke sana. Marvin langsung menyetujuinya. Ia tak protes. Tak perlu bertanya kenapa Ibel menyuruhnya lebih dulu pergi. Tak peduli juga Ibel berangkat naik apa. Bersama siapa. Saat ini M
"Saya yakin Anda terkejut dan marah saat ini. Sama seperti saya saat itu. Tapi kita tahu bersama kan, marah tak pernah menyelesaikan masalah,"Marvin menjawab dengan senyum kecut yang tersungging di bibirnya. "Percuma di sini kita emosi, kalau di luar sana mereka tertawa bahagia sambil bergandengan tangan," Mendengar itu darah Marvin jadi mendidih lagi. "Jadi selama ini Ibel selingkuh di belakangku? Di tengah-tengah kesibukan kami mempersiapkan pernikahan? Untuk apa repot-repot menyiapkan pernikahan jika dia sebenarnya inginnya dinikahi pria lain?" tanya Marvin dalam hati. Lily mengeluarkan satu foto lagi. Dan dada Marvin kembali terasa nyeri seketika melihat foto tersebut. Itu foto Ibel dan Kienan Hartomo di tempat dokter kandungan. Kembali ada rasa nyeri yang dirasakan Marvin. Ia menghembuskan nafas panjang untuk meredakan nyeri yang dirasakannya. Lily menatap raut muka Marvin sekilas. Sejurus dengan itu senyum sinisnya mengembang."Ya, suka tidak suka...Anda harus menerima ken