Pria itu memanggil satpam untuk mendekat. Satpam yang tak merasa curiga pun langsung saja mendekat dan pada saat itu juga pria tersebut menyemprotkan sesuatu di depan satpam hingga jatuh pingsan di dekat pagar besi. Itu mempermudah pria tersebut mengambil kunci yang tergantung di tali pinggang satpam. Ia kemudian membuka pagar dan langsung masuk.
"Semudah itu?" Sambil tersenyum miris, pria itu berjalan santai ke teras.
Berdiri seperti sedang memikirkan sesuatu. Matanya fokus menatap ke arah pintu.
"Masuknya gimana, yah?" gumamnya. Tidak lama kemudian, ia tersenyum simpul seperti mendapatkan ide secara tiba-tiba.
Mungkin karena terlalu sedih, ditambah lagi belum menemukan sosok pemberi air minum itu hingga mengakibatkan kematian istrinya, kebanyakan mikir akhirnya Ray jadi pingsan. Pria yang sedikit bercambang tersebut terlentang di lantai. Dinginnya keramik tak ia rasa.Marina berusaha menyadarkannya dengan mempercikkan air di wajah. Akan tetapi, Ray tak juga kunjung sadar. Matanya tertutup rapat."Kasih ini Mbak siapa tahu Pak Ray-nya cepat sadar." Sebuah botol minyak kayu putih Bi Jumi sodorkan. Langsung diterima Marina dan selanjutnya membuka tutupan minyak kayu putih tersebut. Mendekatkan ke hidung Ray, bermaksud supaya Ray bisa sadar ketika menghidu aroma minyak tersebut."Bangun, dong Pak. Ya Allah ...," keluh Marina, khawatir.Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang dihadapi keluarga Ray dan Marina merasa bahwa semua itu terjadi karena dirinya. Seketika jatuh air mata Marina.
Mail terus mendekat. Bekas pukulan Ray kemarin di wajahnya sangat kentara. Itu pasti sangat sakit, tapi tetap datang ke pengadilan."Lepaskan tanganmu!" teriak Mail sambil menarik paksa Marina untuk menjauh dari Ray. Nyaris saja Marina terjatuh, tapi Mail tampak tak peduli. Ia fokus menatap Ray. Matanya melotot tajam seperti ingin menerkam.Bruk!Tanpa berpikir panjang, Mail langsung melayangkan satu pukulan di wajah Ray hingga Ray sedikit terhuyung ke belakang sambil memegang bekas pukulan itu."Marina masih istriku. Berani kamu menyentuhnya?!" sergah Mail. Dadanya tampak jelas naik turun saking marahnya.Saat hendak kembali memukul, seketika Marina maju ke depan Mail."Enggak usah menyia-nyiakan tenaga Abang, karena sampai kapanpun aku enggak akan pernah kembali. Hari ini adalah penentuan bagi kita berdua. Kita akan berstatus sebagai 'ma
Puspa mundur tatkala Mail semakin mendekat. Akan tetapi, tangannya berhasil diraih, lalu ditarik hingga ia rapat dengan Mail."Mau apa kamu Mas?" Puspa marah, ia meronta-ronta."Santai aja kenapa, sih?" Mail mendorong tubuh Puspa hingga terjatuh di atas kasur dan pada saat itu juga Mail tidak memberi ruang pada Puspa untuk melawan.Ia berhasil membalas dendam dengan cara merenggut mahkota Puspa yang sama sekali belum tersentuh. Kini Puspa hanya mampu menangis meratapi nasibnya."Kamu jahat Mas, jahat!" Di balik selimut warna putih itu, Puspa terduduk masih gemetar."Udah, jangan banyak ngomong, terima aja kenyataan bahwa kamu sudah enggak perawan lagi," kata Mail santai sambil memakai pakaiannya. "By the way, kamu mau tahu kenapa aku lakukan ini?" lanjutnya.Mail berjalan ke depan cermin. Mengacak rambutnya yang sedikit basah oleh keringat
Mata Ibu Rosma beralih kepada Puspa. Kembali mengulang pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban. Sedangan Puspa masih terdiam sambil memikirkan jawaban yang tepat dan masuk akal untuk ibunya."Puspa, kamu enggak apa-apa 'kan? Ditanya, kok enggak menjawab?" Merasa ada sesuatu, Ibu Rosma kembali bertanya."Ya Allah, Bu ... aku enggak apa-apa lagi. Darah yang Ibu lihat itu darah kemarin. Aku tembus, lupa ganti sprei," jelas Puspa, masih tetap betah dalam selimut.Ia tidak ingin membukanya karena tidak memakai baju. Apa kata Ibu Rosma kalau melihat anaknya tidur tanpa sehelai benang pun? Pasti pikirannya mengarah pada yang aneh-aneh. Toh, tidak biasanya Puspa seperti itu."Jorok, ih ... cepetan bangun suruh pembantu menggantinya," pinta Ibu Rosma kemudian berlalu.Ketika sudah memastikan ibunya benar-benar sudah pergi, Puspa bangun. Berjalan pelan men
Ray dapat mengerti dari ekspresi Marina yang terkejut. Ia sangat yakin kertas tersebut bukan tulisan Marina. Sejak pertama membacanya saja, sudah tidak percaya Marina setega itu menulis kalimat-kalimat yang sangat menyakiti.Saat ini Marina menatap Ray sambil berkata, "Kertas ini dari Jihan, Pak?""Kamu menitipnya sama Jihan bukan? Tentu saja ini dari Jihan, sahabatmu," tekan Ray di akhir kalimat.'Sahabatku, Jihan sahabatku, Jihan sahabatku,' batin Marina berulang-ulang menyebut Jihan sahabatnya.Marina tidak ingin berprasangka buruk, tapi juga tidak punya alasan untuk memiliki prasangka baik. Kertas itu bukan dirinya yang tulis. Marina tidak menyangka tulisannya akan diganti dengan tulisan seperti itu.Marina ingat betul tulisannya hanya beberapa baris saja.Pak Ray aku pergi.Maaf bila langsung pergi tanpa izin. Sepertinya
"Berhasil Bos," ucap pria tinggi yang sedang memegang kayu balok. Senang melihat keadaan Ray terkapar tak sadarkan diri."Dasar lemah!"Pria yang berjongkok tadi berdiri membelakangi Ray sambil memperbaiki penutup kepala. Ia tersenyum sinis. Selanjutnya berjalan ke dalam sambil berkata, "Bawa dia masuk!""Baik, Bos." Dua anak buahnya mengangkat Ray masuk. Sedangkan yang satunya memarkirkan motornya di samping rumah.Pria yang dipanggil bos itu melenggang ke dalam sambil bersiul-siul. Kunci motor di sela-sela jari telunjuknya ia mainkan begitu lincah.&n
Bahkan menelan ludah saja susah. Marina terlihat takut melihat kejahatan yang dilakukan Puspa di depannya. Sedangkan Mail, pria yang menariknya barusan terkapar di depan mata sebab pukulan dari anak buah sendiri atas suruhan Puspa. Iya, tepat sekali. Puspa membayarnya untuk memukul Mail.Dan ternyata Mail dalang dari penculikan Aura. Jadi ciri-ciri yang disebutkan satpam pada Ray itu benar ciri-cirinya Mail. Mail yang menjemput Aura di sekolah dan Mail juga yang meludah di dekat kepala Ray."Puspa, apa yang kamu lakukan? Bagaimana kalau Mail sampai meninggal?" ujar Ray, takut bila yang dibayangkannya akan menjadi nyata.Bukan cuma Ray saja yang takut, tapi Marina. Meski merasa benci karena telah dikhianati, Marina tetaplah manusia biasa yang punya rasa. Ia sangat kasihan melihat Mail terkapar tak sadarkan diri."Biarin aja lagi. Memang itu yang aku mau," balas Puspa, t
Marina langsung diseret ke mobil pick up. Diangkat naik, lalu diikat kedua tangan dan kakinya. Selanjutnya ditutupi terpal berwarna biru.Di teras kantor, Anton yang juga hendak pulang melihat semua itu. Ia berusaha menghalangi kepergian kendaraan itu, tetapi terlambat sebab pick up tersebut sudah jalan."Ini enggak boleh dibiarkan. Siapa mereka?" Anton tidak ingin menyerah begitu saja. Ia segera naik di mobilnya, kemudian mengejar.Selama dalam perjalanan, Anton bertanya-tanya. Kemana Marina akan dibawa dan kenapa orang itu menjahatinya?Anton menambah kecepatan mobilnya, tidak ingin kehilangan jejak. Bagaimana pun caranya Marina harus ditemukan malam ini juga. Ia takut sekretaris sekaligus wanita yang diidamkannya itu berada dalam bahaya."Itu dia mobilnya," gumam Anton sambil terus fokus menyetir. Matanya tidak berkedip menatap pick up yang berada sekitar d
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan
"Bagaimana mungkin?" gumam Marina tak percaya.Foto terus dipandanginya tanpa mengetahui keberadaan Anton tepat di belakang. Foto yang katanya istri kedua Pak Adnan itu ia elus."Kok bisa?" gumamnya lagi."Ekhem."Marina menoleh. "Pak Anton?""Yes, i'm. Itu foto kenapa dilihat-lihat terus? Ntar juga ketemu di hari pernikahan kalian," ujar Anton, membuat Marina mengerjit keheranan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu."Maksudnya?" Marina memberi pertanyaan."Ini foto ibunya Ray bukan? Tante Wiranti," jawab Anton.'Ya Allah, jadi foto orangtua yang kulihat di kamar Aura itu adalah foto ibunya Mas Ray? Itu artinya Mas Ray dan Pak Anton ...?' Marina menatap Anton tanpa berkedip.'Itu artinya Pak Anton ini kakaknya Mas Ray,' lanjutnya membatin."Yang kamu lihat aku sep
Mereka berpencar. Satu ke jendela dapur, satu ke pintu utama dan dua tepat di bawah jendela ruang tamu.Mereka mulai beraksi. Dengan peralatan yang sudah disediakan, keempat pria berwajah mirip-mirip preman itu mulai mengerjakan tugas masing-masing.Mengeluarkan obeng, lalu mencoba mencungkil jendela. Mereka melakukannya penuh kehati-hatian. Namun, pria yang berada di dapur dikejutkan seekor tikus yang lewat hingga ia mengeluarkan suara teriakan."Siapa di sana?" Suara Ray terdengar dari dalam.Pria yang masih kaget gara-gara tikus langsung berlari sebelum ketahuan pemilik rumah. Ia ke depan pintu utama. Benda tajam dan obengnya ditinggal di depan pintu dapur."Goblok!" marah pria yang berusaha membuka pintu utama sambil menjitak keras kepala temannya. Ia meminta kembali mengambil peralatan mereka."Tapi, tapi bagaimana
"Innalilahi wa'innailaihirraji'un," gumam Ray, kemudian dengan sigap ia menangkap tubuh Marina yang tiba-tiba tubuhnya terlihat lemas dan mau jatuh.Sekujur tubuh Marina lemah tak berdaya. Nyaris jatuh pingsan andai tidak ada Ray menangkap tubuhnya."Marina, sadar ayo duduk." Ray membawa Marina bersandar di dinding. Orang-orang melihatnya heran. Mungkin pada bertanya siapa mereka ini hingga sebegitu sedihnya melihat keadaan Puspa dan Ibu Rosma.Suara tangisan terdengar memilukan. Ray menoleh, ternyata Puspa sudah sadar dari pingsannya. Sedangkan saat ini Marina berusaha tetap sadar walau rasanya ingin pingsan dikarenakan mengingat surat Puspa yang memintanya merawat Ibu Rosma. Akan tetapi, nyatanya sudah terlambat."Mas, tolong tenangkan hati Puspa. Kasihan," lirih Marina.Ray tidak bicara sepatah kata pun, ia masih mengingat ketika pembantunya men