Aku masih berdiri di tempat dengan wajah memerah karena amarah, masih menguping pembicaraan Puspa dan ibunya.
"Maksudnya bagaimana?" Ibu Rosma bertanya.
Dapat aku pastikan saat ini ia terkejut, karena yang diketahuinya Puspa sangat mencintaiku, tapi nyatanya tidak seperti yang diperkirakan.
"Bu, awalnya aku memang mencintai Mas Mail, tapi setelah aku tahu dia hanya ingin mempermainkan aku, rasa itu mendadak hilang. Aku ingin membalas. Pria seperti dia enggak pantas dicintai. Mungkin sekarang dia mencintai aku tulus, tapi enggak denganku. Akan aku balas!"
Kalimat yang diucapkan Puspa nyaris membuatku mendobrak pintu. Untung saja tetap berusaha menahannya. Entah sejak kapan Puspa mengetahui niat aku sebelumnya.
"Baguslah. Tapi apa rencanamu?" Ibu Rosma kembali bertanya.
"Ada, deh. Hahaha," tawa Puspa usai bicara disusul gelak tawa ibunya seakan menertawak
Kuucek mata untuk memperjelas penglihatan, berharap yang kulihat dan kubaca itu tidak benar. Namun, semuanya hanya menyisakan luka yang mustahil akan sembuh. Hati sakit, sedih dan marah pada diri sendiri. Aku tidak ada harapan lagi. Semuanya terlambat sudah. Tiada satu pun mampu aku lakukan."Sudah aku bilang tinggalkan Puspa tapi kamu menolak. Ini akibatnya. Padahal aku sudah berbaik hati membujuk Marina untuk menerimamu kembali jika kamu berubah. Tapi apa? Bahkan kamu menangis darah pun, Marina enggak akan mau bersamamu lagi. Enggak akan!" tekan Nessa sedikit emosi.Entah apa yang membuatnya seyakin itu. Kutatap Nessa sambil berkata, "Sepertinya kamu tahu banyak tentang istriku. Marina tinggal di sini?""Iya. Marina pernah tinggal di sini, tapi dia pergi secara diam-diam. Mas Ray mencarinya hingga ketemu kembali. Awalnya Marina menolak pulang, tapi demi aku akhirnya dia mau dan sekarang dia tinggal di sini," jelas Marina. Ia mulai tersenyum seperti sedan
Aku menoleh dengan hati-hati. Punggungku benar-benar sangat sakit. Pukulannya keras padahal yang kulihat saat ini hanyalah seorang wanita berpenyakitan sedang memegang balok."Kamu pria enggak tahu malu! Marina enggak ingin bersamamu. Jika kamu mencintainya, kenapa kamu berkhianat dengan menjalin hubungan bersama sepupu suamiku? Kenapa?" ujar Nessa, marah seakan dirinyalah yang dikhianati.Sementara itu di belakangnya Marina sibuk menghubungi seseorang. Aku yakin dia mencoba menghubungi Ray. Ternyata nomor telepon Marina aktif saja. Itu artinya dia sudah mengganti nomor. Sebenci itukah dia hingga harus mengganti nomor telepon lantaran tidak ingin aku hubungi?Baiklah tidak mengapa. I'm fine.Kali ini Marina bisa bebas dariku karena pertolongan Nessa. Tapi lain kali jangan harap. Akan kubawa Marina pergi menjauh dari Jakarta. Kalau boleh aku akan membawanya pulang ke kampung halaman orangtuanya.Hidupku benar-benar menyedihkan. Sudah dip
Aku menggesek-gesekkan kedua telapak tangan sesekali meniupnya. Rasanya tidak sabar menunggu kemunculan Puspa dan meminum kopi itu. Ingin sekali melihat dirinya terkulai lemas di sofa. Mulutnya berbusa, matanya melotot melihatku dan air matanya jatuh seakan ingin mengatakan sesuatu tapi tak mampu.Membayangkannya saja aku begitu senang. Apalagi jika itu benar terjadi. Mungkin dunia berasa hanya milikku seorang.Ini Puspa yang mulai. Dia yang menyimpan racun di kopi itu. Kalau dia meninggal, siapa yang disalahkan coba? Ya, dirinya sendiri. Anggap saja bunuh diri."Mas, kok senyum-senyum gitu, sih? Diminum dong kopinya." Puspa tiba-tiba muncul, langsung duduk di sampingku. Kaki kiri ia naikkan di atas paha kanannya. Terlihat anggun sekali."Mau tahu kenapa mas senyum-senyum begini?" Aku menatapnya, masih dengan senyuman yang tak pudar-pudar.Dalam hati berkata, 'Enggak lama lagi kamu akan menghembuskan napas terakhir Puspa.' Rasanya ingin
POV 3Mail menyingkirkan tangan Ray dari kerah bajunya, ia berusaha berdiri. Tentu dengan perasaan amarah yang besar. Tampak giginya bergeletuk, tangannya mengepal. Bahkan urat-urat tangannya tampak mengeras. Ia melangkah, maju hendak membalas Ray, tetapi secepat kilat ditangkis pria berjas itu.Lantas keduanya saling beradu pandang, tidak ada yang mau mengalah. Dan tibalah saatnya Mail kembali melayangkan kepalan tangannya pada arah wajah Ray, tetapi sekali lagi gerakan lincah dari tangan Ray menangkis sehingga ketampanan wajahnya tak lecet sedikitpun."Aku peringatkan sekali lagi, jangan pernah mengganggu Marina atau kamu akan tahu akibatnya!" ancam Ray, mengangkat telunjuk di depan Mail."Kamu pikir aku takut?" Telunjuk Ray malah dihempas kasar oleh Mail."Kamu bukan siapa-siapanya Marina. Sedangkan aku ... aku masih suaminya. Berhak atas dirinya. Kamu mau apa? Bahkan ka
Seorang wanita berdiri sambil tersenyum miris. Raut wajahnya menampakkan kebahagiaan luar biasa tatkala mengetahui Nessa menghembuskan napas terakhir. Akan tetapi, wajah itu berubah seketika saat menyadari keberadaan Marina dalam kamar. Dia, Puspa mengepalkan tangan.'Selanjutnya kamu Marina. Sebenarnya kamu enggak salah apa-apa, tapi suamimu yang membuatku seperti ini. Aku tahu Mas Mail sangat mencintaimu, dia akan sakit jika kamu terluka.' Dalam hati Puspa bicara. Setiap kata ia tekan penuh makna.Tak lama kemudian Puspa melangkah pelan, masuk dan pura-pura terkejut."Astaghfirullah, Nessa? Apa yang terjadi? Ray, ada apa dengan Nessa? Kenapa dia seperti ini?" Beberapa pertanyaan ia tujukan pada Ray yang tengah duduk memangku kepala istrinya di lantai.Semua mata memandang ke arah Puspa, tak terkecuali Aura yang sudah sangat lemah melihat mamanya. Sekilas menatap tantenya lalu ke
Pria itu memanggil satpam untuk mendekat. Satpam yang tak merasa curiga pun langsung saja mendekat dan pada saat itu juga pria tersebut menyemprotkan sesuatu di depan satpam hingga jatuh pingsan di dekat pagar besi. Itu mempermudah pria tersebut mengambil kunci yang tergantung di tali pinggang satpam. Ia kemudian membuka pagar dan langsung masuk."Semudah itu?" Sambil tersenyum miris, pria itu berjalan santai ke teras.Berdiri seperti sedang memikirkan sesuatu. Matanya fokus menatap ke arah pintu."Masuknya gimana, yah?" gumamnya. Tidak lama kemudian, ia tersenyum simpul seperti mendapatkan ide secara tiba-tiba.
Mungkin karena terlalu sedih, ditambah lagi belum menemukan sosok pemberi air minum itu hingga mengakibatkan kematian istrinya, kebanyakan mikir akhirnya Ray jadi pingsan. Pria yang sedikit bercambang tersebut terlentang di lantai. Dinginnya keramik tak ia rasa.Marina berusaha menyadarkannya dengan mempercikkan air di wajah. Akan tetapi, Ray tak juga kunjung sadar. Matanya tertutup rapat."Kasih ini Mbak siapa tahu Pak Ray-nya cepat sadar." Sebuah botol minyak kayu putih Bi Jumi sodorkan. Langsung diterima Marina dan selanjutnya membuka tutupan minyak kayu putih tersebut. Mendekatkan ke hidung Ray, bermaksud supaya Ray bisa sadar ketika menghidu aroma minyak tersebut."Bangun, dong Pak. Ya Allah ...," keluh Marina, khawatir.Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang dihadapi keluarga Ray dan Marina merasa bahwa semua itu terjadi karena dirinya. Seketika jatuh air mata Marina.
Mail terus mendekat. Bekas pukulan Ray kemarin di wajahnya sangat kentara. Itu pasti sangat sakit, tapi tetap datang ke pengadilan."Lepaskan tanganmu!" teriak Mail sambil menarik paksa Marina untuk menjauh dari Ray. Nyaris saja Marina terjatuh, tapi Mail tampak tak peduli. Ia fokus menatap Ray. Matanya melotot tajam seperti ingin menerkam.Bruk!Tanpa berpikir panjang, Mail langsung melayangkan satu pukulan di wajah Ray hingga Ray sedikit terhuyung ke belakang sambil memegang bekas pukulan itu."Marina masih istriku. Berani kamu menyentuhnya?!" sergah Mail. Dadanya tampak jelas naik turun saking marahnya.Saat hendak kembali memukul, seketika Marina maju ke depan Mail."Enggak usah menyia-nyiakan tenaga Abang, karena sampai kapanpun aku enggak akan pernah kembali. Hari ini adalah penentuan bagi kita berdua. Kita akan berstatus sebagai 'ma
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan
"Bagaimana mungkin?" gumam Marina tak percaya.Foto terus dipandanginya tanpa mengetahui keberadaan Anton tepat di belakang. Foto yang katanya istri kedua Pak Adnan itu ia elus."Kok bisa?" gumamnya lagi."Ekhem."Marina menoleh. "Pak Anton?""Yes, i'm. Itu foto kenapa dilihat-lihat terus? Ntar juga ketemu di hari pernikahan kalian," ujar Anton, membuat Marina mengerjit keheranan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu."Maksudnya?" Marina memberi pertanyaan."Ini foto ibunya Ray bukan? Tante Wiranti," jawab Anton.'Ya Allah, jadi foto orangtua yang kulihat di kamar Aura itu adalah foto ibunya Mas Ray? Itu artinya Mas Ray dan Pak Anton ...?' Marina menatap Anton tanpa berkedip.'Itu artinya Pak Anton ini kakaknya Mas Ray,' lanjutnya membatin."Yang kamu lihat aku sep
Mereka berpencar. Satu ke jendela dapur, satu ke pintu utama dan dua tepat di bawah jendela ruang tamu.Mereka mulai beraksi. Dengan peralatan yang sudah disediakan, keempat pria berwajah mirip-mirip preman itu mulai mengerjakan tugas masing-masing.Mengeluarkan obeng, lalu mencoba mencungkil jendela. Mereka melakukannya penuh kehati-hatian. Namun, pria yang berada di dapur dikejutkan seekor tikus yang lewat hingga ia mengeluarkan suara teriakan."Siapa di sana?" Suara Ray terdengar dari dalam.Pria yang masih kaget gara-gara tikus langsung berlari sebelum ketahuan pemilik rumah. Ia ke depan pintu utama. Benda tajam dan obengnya ditinggal di depan pintu dapur."Goblok!" marah pria yang berusaha membuka pintu utama sambil menjitak keras kepala temannya. Ia meminta kembali mengambil peralatan mereka."Tapi, tapi bagaimana
"Innalilahi wa'innailaihirraji'un," gumam Ray, kemudian dengan sigap ia menangkap tubuh Marina yang tiba-tiba tubuhnya terlihat lemas dan mau jatuh.Sekujur tubuh Marina lemah tak berdaya. Nyaris jatuh pingsan andai tidak ada Ray menangkap tubuhnya."Marina, sadar ayo duduk." Ray membawa Marina bersandar di dinding. Orang-orang melihatnya heran. Mungkin pada bertanya siapa mereka ini hingga sebegitu sedihnya melihat keadaan Puspa dan Ibu Rosma.Suara tangisan terdengar memilukan. Ray menoleh, ternyata Puspa sudah sadar dari pingsannya. Sedangkan saat ini Marina berusaha tetap sadar walau rasanya ingin pingsan dikarenakan mengingat surat Puspa yang memintanya merawat Ibu Rosma. Akan tetapi, nyatanya sudah terlambat."Mas, tolong tenangkan hati Puspa. Kasihan," lirih Marina.Ray tidak bicara sepatah kata pun, ia masih mengingat ketika pembantunya men