Seusai membalas pesan dari Bang Aldo, tiba-tiba ibu telepon.
'Siap-siap disemprot oleh ibu,' gumamku.
Aku mengangkat telepon ibu.
"Halo, Deni. Kamu kok diem-diem pindah dari sini? Siapa yang ajarin bersikap seperti itu?"
"Memangnya salah kalau aku pindah ingin mandiri bersama keluargaku? Anak dan istriku butuh tempat yang nyaman, Bu."
"Memangnya di rumah ibu nggak nyaman? Kamu aja hidup bersama ibu hampir tiga puluh tahun, nggak nyaman di mana coba?"
"Itu berbeda, Bu, kondisinya. Aku nyaman karena aku anak ibu. Sementara istriku dan anakku, ibu menganggap mereka orang lain. Betulkan apa yang aku katakan?"
"Nggak begitu, Den. Cepat kalian pulang lagi. Ibu harap kalian bisa tinggal di rumah ini lagi. Ibu kangen sama Icha," katanya.
"Maaf, Bu. Aku belum bisa menuruti kata Ibu. Biarkan kami tenang di tempat yang baru. Ibu doakan kami saja, ya!"
Aku menutup telepon dari Ibu. Wanita itu memang yang melahirkanku, tapi aku tak b
Selama di jalan perasaanku tak enak, tapi kulapangkan hati ini agar tetap berpikiran positif. Sampai tiba di kantor, aku langsung menghubungi gawai istriku.Panggilan awal, seperti biasa Niar jarang memegang gawainya. Lalu aku panggil lagi, kemudian dia angkat."Halo, Dek. Kenapa baru diangkat? Ini panggilan kedua loh, Dek!" Aku berbicara dengan oktaf lebih tinggi dari biasanya."Maaf, Bang. Aku lagi nyuapin Farhan.""Eh ... Maaf, Dek. Aku hanya khawatir aja. Lain kali panggilan pertama harus diangkat ya!""Iya, Bang.""Ya sudah, kalian baik-baik saja kan?" tanyaku."Iya, baik.""Kamu minta Bibik nginep aja, Dek. Selama aku di sini," usulku."Mmm ... Iya.""Kamu minta langsung saja sama Bik Surti untuk nginep juga. Nanti gajinya ditambah.""Ya.""Dek?""Iya, Bang.""Oke, udah dulu ya. Aku mau kerja dulu.""Baik, Bang. Udah ya, Bang!" Niar menutup teleponnya.Sebenarn
Sore ini jadwalku untuk pulang. Sambil menunggu sore, saat jam istirahat, aku melepon rumah. Entah kali ke berapa aku khawatir dengan keadaan mereka.Saat suara panggilan, Niar biasanya tak langsung mengangkat, aku harus menunggu sampai nada ke sekian, lalu diangkatlah telepon itu."Assalamualaikum. Dek, gimana kabarnya? Nanti sore aku pulang ya!""Waalaikumsalam. Baik, Bang.""Semua baik-baik saja?""Ya. Bram datang pasang kamera.""Oh iya, kamera CCTV. Alhamdulillah kalau sudah terpasang. Bibik masuk hari ini?""Ada, Bang.""Okey. Aku kangen sama kamu, Sayang. Kamu jangan lupa minum obatnya. Besok kita kembali ke dokter, ya!""Iya, Bang. Udah ya, Bang!"Ok Niar. Sampai jumpa nanti malam ya!""Iya."Setelah itu aku seperti biasa pergi makan siang bersama Rio. Kami saling bercerita mengenai keluarga. Dia orang yang sangat kurindukan, kalau aku jadi pindah nanti.***Keputusan mutasiku s
Kuraih tangan istriku, kemudian aku memeluknya. Saat ini Niar tak berontak di peluk olehku."Sabar, Sayang. Itu tidak seperti yang kau pikirkan. Semua terjadi karena kebetulan, Dek!" Aku membisikkan kata-kata tepat di telinganya.Lalu dia mendorongku perlahan, langsung menatapku dengan sorot mata yang tajam. Aku juga memandang manik hitam itu."Kebetulan tapi berulang," katanya singkat."Benar, Dek. Memang dua kali ketemu. Dan kalau kamu keberatan, aku tak akan mengulanginya lagi. Jikapun aku berpapasan dengannya, aku kan memilih menghindar darinya. Bagaimana, Dek? Kamu puas dengan janjiku?"Niar menghela napas pelan-pelan. Lalu ia mengangguk. Meng-iyakan semua perkataanku."Baiklah, Sayang. Aku janji takkan memperdulikannya."Tapi aku harus tau ini perbuatan siapa? Apa ada hubungannya dengan Ibu? Aku jadi semakin yakin dengan itu.Kemudian Niar mengangkat bokongnya. Dia ke toilet, lalu kembali ke kamar. Aku pun menyusulnya.
[Niar, cepat kirimkan lagi uangmu 6.5 juta. Cepat! Ibu harus membayar arisan.]Ternyata ini yang membuat Niar tertekan."Dek, sabar ya. Tarik napas, hembuskan, biar agak tenang. Setelah tenang, boleh cerita sama aku. Tapi kalau masih belum mau, nggak apa-apa. Yang penting kamu tenang." Aku menghiburnya seraya mengusap pundaknya.Niar mengangguk pelan. Sekarang Niar terlihat lebih baik."Aku tau, penyebabnya pasti ini kan?" Aku memberikan gawai Niar dan memperlihatkan isi pesan Ibuku.Niar diam, dia ketakutan."Tenang, Sayang. Kamu tak boleh kalah dengan hal macam ini."Lalu aku mengambil kembali gawainya, ku buka aplikasi M-banking, ku transfer semua dana di rekening Niar."Ku amankan dulu uangmu ya. Agar kamu tak terdorong untuk mentransfer uang ke Ibuku. Nanti ke depan ku buatkan lagi rekening baru untukmu.""Iya, Bang." Niar setuju."Satu lagi. Nomormu yang ini sudah tidak aman. Aku akan membelikanm
"Mohon maaf, saya tidak bisa membayarkan. Karena saya sudah menyetop memberikan uang saya pada ibu dan kakak saya," jelasku."Mengapa?" Bu Rita, sang penelepon bertanya alasannya."Mereka tak pantas mendapatkannya, Bu! Sudah, ya, Bu! Tagih saja sendiri pada Ibu dan kak Ayu, Bu Rita!" tegasku."Mmm ... Baiklah." Bu Rita menutup teleponnya.Aku sebenarnya kasihan melihat ibu ditagih orang seperti ini. Tapi, aku ingin lihat ibu mendapat pembelajaran dari perbuatannya.Ibu harus paham, selama ini perbuatannya sangat merugikan kami semua karena menyebabkan luka pada istriku.***Sore ini, saat baru sampai rumah, kak Ayu meneleponku."Deni, kamu kok tega ngomong kayak gitu ke Bu Rita. Tau nggak, gara-gara mulut embermu, Bu Rita menyebarkan gosip kalau Ibu tak mampu lagi bayar arisan karena dibiarkan anak-anaknya.""Lalu, aku harus gimana?" tanyaku pada kak Ayu."Ya, kamu salah bicara seperti itu tentang ibumu. Har
Aku cukup malu tadi saat marah-marah pada Cella. Padahal dia nggak berbuat apapun pada Niar.Untung Niar langsung respon dan mengatakan kalau Cella sedang menolongnya. Aku sangat senang, istriku lebih terbuka.Karena banyak menyimpan luka, ia lebih irit berbicara. Sedikit demi sedikit, ada penerimaan terhadap semua yang terjadi dalam hidupnya."Bang, sudah nih belanjanya." Niar membuyarkan pikiranku tentangnya."Oh, iya. Ayo kita ke kasir." Kami membayar semuanya. Lalu membawa semua belanjaan menuju tempat parkir."Pa, Tante tadi memangnya siapa sih?" Icha membuka pertanyaan."Oh, dia dulu temen Papa.""Oh, pantes. Kan pernah datang ke rumah ya, Pa?" tanyanya."Iya, pernah. Kamu masih inget?""Inget, Pa. Icha hanya melihatnya dari jauh, Pa.""Oh iya," jawabku.Ternyata Icha bener-bener nanya detail tentang Cella. Sesekali ku lirik istriku, ekspresinya datar."Tante Cella cantik ya, Pa."
"Bu, Bu ... Buka pintunya!" Aku berusaha membujuk ibu.Tak ada jawaban dari dalam. Beberapa kali di ulang, Ibu tak menjawab. Aku semakin khawatir.Lalu kami putuskan untuk masuk ke dalam kamar secara paksa dengan cara mendobrak pintu kamar ibu. Ketika masuk kami melihat ibu sedang tidur.Saat diperiksa ternyata itu pingsan atau tak sadarkan diri. Lalu aku dan kak Ayu, membuat Ibu sadar dengan cara cara memberikan minyak kayu putih di depan hidungnya, selain itu memijat-mijat jempol kakinya.Setelah itu Ibu sadar, ia terdiam melihatku. Malah sampai memalingkan muka.Kuberikan Ibu minum yang telah dibuatkan oleh kak Ayu. Tadinya Ibu menolak, tapi ku paksa untuk segera diminum."Bu, apa Ibu sudah makan? tanyaku kepada Ibu.Ibu menggelengkan kepalanya."Ibu nggak lapar, Den! Ibu hanya ingin sendiri karena ibu malu. Saat ini Ibu tidak punya muka lagi untuk bertemu ibu-ibu arisan. Mereka sudah memblack list ibu. Ibu sedih
Aku bingung dengan semua ini. Pak Karso kenal dengan ibu ternyata."Ini anakmu? Ayu mana Ayu?" Tiba-tiba saja pak Karso mengenal kak Ayu."Sebentar ... Sebentar. Aku masih bingung dengan semua ini. Mengapa Bapak kenal dengan Ibu?" Aku bertanya pada Pak Karso.Ibu kelimpungan, ia mencari tempat duduk terdekat. Lalu, aku menolongnya untuk duduk di kursi terdekat."Pak Karso, silahkan duduk!" ucapku."Baik, sebentar." Pak Karso berjalan ke arah kami.Tak lama kak Ayu datang."Maaf, Den. Aku habis mengantar Farrel dan Ayesa sekolah dulu," kata kak Ayu.Kak Ayu kemudian bersalaman dengan tamu kami -- Pak Karso."Saya, Ayu, Pak!" katanya.Pak Karso terkejut melihat kak Ayu. Lalu, memegangi pundak kak Ayu berkali-kali."Kamu sudah besar, Nak!" Ada gurat kesedihan di wajahnya.Pandangan ku alihkan pada Ibu. Ia tak berani menatap laki-laki itu. Ibu sedari tadi hanya menunduk setelah Pak Karso meny
Dengan refleks aku menarik tangan ini, lalu aku mengucapkan terima kasih padanya."Terima kasih, ya atas bantuanmu. Aku mau pulang duluan, ya!" ucapku."Jangan! Aku akan mengantarmu. Nanti motormu akan dibawakan oleh satpam sekolah, ya!" sahutnya.Aku tak bisa menolak, saat akan menjauhi Ardi, dengan sigap ia membawa kami ke mobilnya. Anak-anak senang karena Ardi langsung membawanya."Di, aku nggak enak ngerepotin kamu terus.""Ya Allah, Niar. Aku hanya bantu sekedarnya ini. Kamu nggak usah gitu. Lagian kamu kayak ke siapa aja sih," jawabnya yang justru membuat hatiku tidak tenang.Kami memasuki mobil. Di mobil, anak-anak malah tidur, mungkin karena kecapean udah nangis-nangis tadi di dokter."Kamu udah punya anak berapa, Di?" tanyaku penasaran."Aku? Kelihatannya gimana?" tanyanya."Paling masih satu," jawabku asal."Udah dua. Kalah sih sama kamu, Niar. Tapi istri dan anakku di kampung. Mereka nggak mau ikut sama
Hari ini, usia Icha putri kami sudah tujuh tahun. Ia sudah mulai masuk sekolah. Aku dituntut harus bisa antar jemput Icha. Biasanya menggunakan motor untuk antar jemput.Sedangkan suamiku--Deni, sudah mulai bekerja kembali. Alhamdulillah masih ada perusahaan yang menerimanya bekerja. Jadi, warung di rumah, aku yang mengurusnya.Sekarang, Alhamdulilah aku sudah sehat lahir batin. Kami dikaruniai tiga orang anak yang manis, yaitu Icha, Farhan dan anak ketiga kami Khaira.Mengurusi satu anak sekolah dan dua orang balita bukan hal yang mudah. Sampai saat ini, aku belum lagi menggunakan ART, karena masih trauma dengan pencurian di masa lalu yang dilakukan ART kami.Hubungan kami dengan keluarga Kak Ayu baik-baik saja. Anak-anak Kak Ayu, satu sekolah dengan anakku Icha, sehingga kadang-kadang aku sering menitipkan Icha pada Kak Ayu.Hari ini hari dimana aku harus menjemput Icha seperti biasa. Aku membawa kedua anakku yang lain saat menjemput Icha.
Bik Surti mengatakan kalau ia belum bisa melunasi hutangnya. Kalau dihitung-hitung, total uang dari perhiasan itu sebesar 30 juta.Sebenarnya aku masih memiliki investasi lain. Uang warisan dari Ibu, aku belikan rumah ya g sekarang disewakan.Lumayan hasilnya, aku bisa mendapatkan 20 juta pertahun, tapi sampai saat ini belum ada yang mau ngontrak. Sedangkan uang simpananku, sebagian sudah dipakai buat warung dan modal usaha."Pak, maaf rumah saya belum ada yang mau beli. Nanti rencananya saya mau jual rumah saya, lalu kami pindah ke kampung halaman kami, biar dapat harga rumah yang lebih murah nanti.""Iya, Bik. Saya ikut saja, asal perhiasan istri saya diganti secepatnya, ya!""Iya, Pak. Nanti kalau sudah ada, saya ganti ya!""Bagaimana kalau saya kasih batas waktu?""Iya, Pak. Saya ikut.""Sampai pekan depan, ya!""Baik, Pak."Bik Surti meninggalkan rumahku. Dia berjalan dengan langkah gontai.Sedangkan u
Den, aku dapat kabar dari adik kandung Bik Surti. Setelah dia keluar dari tempatmu, seperti yang pernah kukatakan dia bisa merehab rumahnya, lalu melunasi tunggakan anaknya, selain itu dia juga membeli barang-barang untuk rumahnya seperti kulkas dan juga hape baru, Den!""Astaghfirullah. Sampai segitunya?""Iya, Den. Saat adiknya nanya, katanya uang itu diberi olehmu sebagai pesangon. Makanya mereka heran dengan perubahan Bik Surti.""Menurutmu bagaimana, Bram? Apa aku pantas mencurigainya? Sedangkan dia memang terbiasa masuk ke kamar kami. Dan ada salah satu bukti di CCTV saat dia masuk dan keluar dari kamarku, tapi tak membawa apapun. Biasanya dia ke dalam hanya untuk menyapu dan mengepel, Bram.""Kalau aku jadi kamu, langsung deh didatangi. Tapi nanti bicara baik-baik. Buat Bik Surti mengakui kesalahannya.""Iya, Bram, terima kasih. Dikira aku Bik Surti benar-benar jujur, tapi ternyata ... Ah, begitulah.""Baik, Den. Semoga masalahmu cepa
Pak, Alhamdulillah saturasi oksigen Pak Karso naik. Jadi mudah-mudahan pemulihannya tidak lama. Mohon dukungan dari orang-orang terdekat aja ya," ucap seorang yang berada di ujung telepon."Baik, Pak. Terima kasih, ya!""Sama-sama, Pak."Setelah aku menutup telepon, rasanya lebih bersemangat untuk sehat.Aku menelepon Niar dari balik kamar."Dek, Alhamdulillah saturasi oksigen Ayah naik dan kembali normal. Kita doakan semoga Ayah kembali sehat ya, Dek!""Iya, Bang. Abang juga cepat Isomanya. Oya Bang, aku tadi ngobrol-ngobrol dengan Kak Ayu. Dia bilang sudah ada calon suami, tapi calon Kak Ayu sudah memaksa memberikan perhiasan padanya. Ia juga memberikan bukti chat dengan calon suaminya," kata Niar."Alhamdulillah kalau gitu. Tinggal cari tau tentang Bik Surti. Sampai sekarang, aku belum menghubungi Bram. Malah jadi lupa dengan masalah ini.""Ya udah, Bang. Sesempatnya saja. Atau kalau nanti kondisi Abang sudah baikan,"
Kami tak bisa menuduh langsung karena semua pasti memiliki alibi.Perhiasan juga masih ada saat Bik Surti masih bekerja dengan kami karena di CCTV terlihat Niar yang mengenakan perhiasan, sehari sebelum Bik Surti berhenti bekerja.Itu berarti Bang Aldo tak bisa disalahkan atas hilangnya perhiasan ini. Karena dia di sini sebelum Bik Surti kami berhentikan.Tersangka mengerucut menjadi dua orang. Di CCTV, kelakuan Bik Surti setelah Niar memakai perhiasan ini, lumayan mencurigakan.Terlihat Bik Surti masuk ke kamar kami, tapi keluar nggak bawa apa-apa.Dia masuk kamar biasanya hanya untuk sekedar menyapu atau mengepel.Di CCTV terlihat dia sekali masuk kamar yang mencurigakan.Lalu, kami mengamati Kak Ayu kemarin saat menemani anak-anak. Kak Ayu terlihat uring-uringan di ruang tamu. Sepertinya ada yang dipikirkan oleh Kak Ayu.Dek, aku curiga banget dengan kak Ayu. Coba kamu lihat? Beberapa kali Kak Ayu jalan di ruang tamu.
Bab 41 (UBIDI)Kami pergi ke dokter kandungan dengan menggunakan layanan umum, karena ingin mendapatkan USG, jadi harus umum.Setelah menunggu beberapa menit, kami dipanggil juga untuk masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu!""Sudah usia berapa kandungannya?" tanya Dokter Dian, nama yang tertera di mejanya."Sepertinya sudah 10 mingguan, Dok," jawab Niar memperkirakan."Oh, jadi selama ini belum diperiksa?" tanya Dokter."Iya, Dok. Karena keburu pandemi," jawab Niar."Baiklah, saya periksa dulu. Silahkan ke sini, kita lihat pakai USG ya, Bu!" Niar mengikuti Bu Dokter. Aku pun melihat dari kejauhan.Lalu dokter mengoleskan gel pada perut Niar sebelum sebuah alat digunakan untuk mendeteksi bakal calon bayi di dalam perut."Posisi calon bayi Ibu sudah bagus, benar usianya sekitar 10 Minggu."Lalu dokter menggerakkan-gerakkan alat itu di atas perut istriku."Mudah-mudahan sehat selalu, ya sampai melahirkan nant
"Kamu simpan parac*tamol nggak?" tanyaku pada Niar."Ada, tapi udah beberapa bulan. Setauku nggak boleh disimpan lama, Bang. Abang tolong belikan lagi saja di apotek," usulku."Iya, Dek. Aku pergi sekarang, ya! Sementara aku pergi, tolong kompres dahinya!" Aku meminta pada Niar."Ya, Bang. Aku mau ambil airnya dulu."Kami sama-sama keluar dari kamar Icha. Lalu aku langsung menyalakan mesin mobil, tak lama mobil meluncur.Aku mencari apotek yang masih buka. Karena covid, pemerintah membatasi jam operasional toko.Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam.'Ya Allah, mudahkanlah aku mencari apotek yang masih buka, obatnya pun ada,' gumamku.Sepanjang jalan, toko dan apotek tutup. Lalu aku mengingat kalau di rumah sakit ada apotek juga.Aku mendatanginya dan langsung menanyakan obat penurun panas."Mbak, ada penurun panas anak?""Ada. Yang ini, ya?""Iya, berapa Mbak?""L
"Assalamualaikum. Deni!" Bang Aldo mengetuk pintu."Waalaikumsalam." Aku mempersilahkan masuk.Saat Bang Aldo masuk, tiba-tiba dia kaget ada Kak Ayu di sana."Loh kenapa kamu di sini?" tanya Bang Aldo."Aku sedang mengunjungi adikku, memang nggak boleh?" Kak Ayu membulatkan matanya.Bang Aldo malah menyeringai."Jangan-jangan kamu mau pinjem uang sama Deni?" Bang Aldo tetap menyeringai dan menoleh pada Kak Ayu.Kak Ayu akhirnya diam, mungkin tak mau cari ribut dengan Bang Aldo."Ada apa ya, Bang?"Bang Aldo melihat ke arah Kak Ayu."Aku mau minta tolong padamu, Deni.""Ada apa, Bang?""Bujuklah perempuan di sebelahku ini untuk membolehkan aku bertemu Farrel dan Ayesa. Sejak perceraian kemarin, aku tak boleh bertemu mereka lagi," kata Bang Aldo."Kata siapa nggak boleh? Boleh kok, asal di rumahku. Kamu tak boleh membawa mereka pergi. Apalagi ke rumah perempuan itu!" Kak Ayu bicara sangat