Kenapa di chapter kali ini yang terbayang olehku adalah menu yang dimiliki Ayah Yura? Hahaha. Enak banget nggak sih kalau keluarga kita punya rumah makan? Varian makanannya bisa kita pilih dan gratis! Wedeh keluar topik. Tapi teman-teman yang baca juga bisa pilih kok. Kasih ulasan, atau kasih like? Keduanya juga boleh! Ditunggu ya :)
Malam kembali datang menyelimuti langit Jakarta. Tiupan angin mulai berhembus kencang meniup dedaunan yang dia lalui. Tiupan angin berdesir, menandakan akan turunnya hujan. Beberapa hari ini Jakarta selalu diguyur hujan saat sore atau malam hari. Siang begitu panas dan malam terasa sedingin es. Bahkan sebagian dari mereka enggan untuk menyalakan mesin pendingin. Dan tidak lama kemudian, hujan kembali turun dengan derasnya. Menciptakan suara yang begitu ramai saat bertabrakan dengan atap-atap rumah warga. Ada sebagian yang menyukai dengan suaranya, ada pula yang merasa tidak nyaman. Setiap orang memiliki perasaan suka akan sesuatu dengan berbeda-beda. Tidak bisa memaksa atau menyamakan semua menjadi satu bagian. Itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan. Suka akan sesuatu yang membuat kita merasa lebih baik bukanlah hal yang salah. Kita punya hak untuk menikmati itu. Selama perasaan yang kita miliki tidak mengganggu orang lain. Yuda POV: Aku menatap tetesan hujan yang t
Lia POV:Aku sangat bahagia mendapatkan informasi bahwa diterima sebagai mahasiswa di Universitas Harapan Bangsa. Universitas Harapan Bangsa adalah salah satu universitas yang banyak diminati.Kampus yang memiliki banyak alumni sukses, baik di dalam dan diluar negeri. Sehingga hal itu yang membuatku tertarik dan berharap dapat diterima di universitas ini.Dan bersyukurnya, dengan usaha dan kerja kerasku mengikuti tes akademik, akhirnya aku diterima di universitas ini. Aku pun menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk kegiatan di kampus.Awal-awal aku masuk kampus, aku sudah mendapatkan surat cinta. Lucu sih karena sudah sangat lama aku tidak pernah lagi mendapatkan surat cinta.Apalagi di zaman modern sekarang!Surat cinta seperti sesuatu yang sudah tidak pernah dilakukan lagi.Surat cinta tersebut dikirimkan oleh salah satu mahasiswa fakultas teknik. Dia bernama Ari. Tapi pada saat itu aku belum merespon surat yang dia berikan. Akan tetapi tidak lama setelahnya, hampir setiap hari a
Aulia POV: Hari ini aku sangat lelah. Tugas perkuliahan mulai berat aku rasakan. Ditambah aku sudah masuk semester akhir. Aku harus sudah menyiapkan bahan skripsi dan menyelesaikan masa magangku. Terkadang aku sampai tidak mempunyai waktu untuk bermain bersama teman-temanku. Karena memang sebagian dari mereka adalah teman satu kampus. Jadi mereka pun sama-sama sedang merasakan seperti yang aku rasakan. Tapi ayolah… Otakku butuh istirahat tapi waktu tidak membiarkannya. Huft… Saat ini aku sudah berada dikamar apartemenku. Ku baringkan tubuh ini di atas kasur. Berbaring terlentang menatap langit-langit. Kututup mata dengan menggunakan tangan kananku dan mencoba untuk sedikit menenangkan pikiran. Drrt... drrt… Aku ingin beristirahat sejenak, kenapa sudah ada yang menggangguku saja sih? Dengan malas ku singkirkan tangan kanan dan membuka mata. Melihat ponsel yang berada disamping kiriku. Yuda. Terlihat nama si pengirim pesan. Sungguh sudah sangat lama kita tidak saling berbicara
Hujan deras masih mengguyur kota Jakarta sejak sore tadi. Membasahi jalanan ibukota yang selalu sibuk setiap jam pulang kerja. Menciptakan warna kelap-kelip lampu mobil yang terjebak dalam kemacetan. Di sebuah rumah yang cukup megah bertingkat tiga, terlihat seorang pria berdiri menatap jalanan ibukota dari atas rooftop rumah miliknya. Menghisap sebatang rokok sambil bersandar di pinggiran tembok. Melamun akan kejadian yang dialaminya hari ini. Pertengkaran cukup hebat dengan seseorang yang selalu membuatnya merasa iri. Iri karena orang tersebut memiliki banyak kebahagiaan dibandingkan dirinya. Terlalu banyak luka yang pernah dia rasakan membuatnya selalu merasa tidak bahagia. Menginginkan begitu banyak rasa sayang yang bisa diberikan semua manusia untuknya. Dan selalu merasa marah dan benci atas semua yang dia tidak suka. Menindas yang lemah dan dendam pada orang yang kuat. Hal itu yang selalu ada dalam hati dan pikirannya. Bima POV: Aku tidak menyangka dengan kejadian hari ini.
Keesokan hari. Pagi hari ini langit bersinar begitu indahnya. Memberikan sedikit rasa hangat setelah hampir semalaman hujan mengguyur kota Jakarta. Keindahan pagi yang begitu cerah juga memberikan sedikit semangat untuk beberapa orang yang hendak beraktivitas. Dan perasaan itu pula yang tengah dirasakan oleh seorang pria yang saat ini memiliki hobi baru yaitu menguntit seseorang. Hobi baru yang akhirnya menciptakan kegaduhan di kampus kemarin. Dia pun terbangun dari tidur lelapnya. Berjalan mendekati kaca jendela dan membuka tirai yang menutupi kaca tersebut. Memberikan senyuman manis kepada mentari pagi yang cerah. Mengedarkan pandangannya ke sekeliling gedung-gedung pencakar langit. Gedung-gedung tersebut seakan sedang berlomba menunjukkan kehebatannya di mata setiap orang yang melihat. Sambil tetap menatap pemandangan di depannya, pria tersebut tiba-tiba teringat akan masa lalu bersama dengan seorang wanita yang sampai saat ini dia sukai. Seorang wanita yang pernah membantunya
"Yuda, pagi ini aku nggak ada mata kuliah. Kamu jalan duluan aja ya? Soalnya aku baru ada kelas lagi di jam 2 siang." Pagi-pagi sekali Yura sudah menghubungi Yuda lewat telepon untuk memberi kabar. Karena memang hampir setiap hari mereka selalu jalan bersama menuju kampus. "Oh begitu, Ra. Oke Ra nanti aku jalan duluan ya?" "Kamu nggak apa-apa, 'kan? Apa mending kamu nggak usah ke kampus dulu Yud? Karena kamu juga pasti masih sakit badannya." ucap Yura khawatir. "Nggak apa-apa, Ra. Aku memang harus menghadapi ini. Lagi pula aku tidak melakukan tindakan kriminal apapun." "Hem... oke deh Yud. Nanti kamu jangan lupa kabarin aku ya kalau sudah sampai kampus." "Iya Ra. Nanti Ari juga nungguin aku diluar kampus, buat temenin katanya. Hehehe…" "Ooh... baik banget sih Ari. Hahaha…" "Hahaha iya, Ra. Yaudah kamu lanjut tidur lagi ya? Dah…" Yuda menutup telepon tersebut, kemudian dia mulai beranjak dari tempat tidurnya untuk segera mandi. Dengan sedikit tertatih, dia terus berusaha untuk
Kampus. Yuda dan Ari berjalan menuju fakultas teknik bersama-sama. Mereka mengabaikan semua pandangan yang tertuju kepada mereka. Mencoba menghiraukan orang-orang yang berada di area tersebut. "Awas ada pasangan gay lewat!" "Pegangan tangan aja, kita nggak akan lihat!" "Hahaha…." "Inget dosa woy…!!" "Perempuan bukan untuk kalian permainkan!" Dan masih banyak teriakan lain yang terus diucapkan oleh banyak orang. Umpatan demi umpatan ini selalu terlontar setiap kali mereka berjalan di sekitar. "Heh Ari, sok-sok'an kamu pacarin cewek padahal mah demennya sama laki, 'kan?" "Jangan sampe kena karma lho, Ri!" "Hahaha…" "Lia emang jelek juga sih, makanya yang mau cuma cowok gay!" Buk…!!! Satu pukulan Ari layangkan ke wajah si pria terakhir yang berbicara. "Lia jelek aja nggak mau sama kamu, Jon. Bodoh!" "Sabar-sabar, Ri." Yuda mencoba menenangkan Ari yang sudah tersulut emosi. "Brengsek!" Si pria yang bernama Joni itu pun mendorong Yuda ke samping dan membalas pukulan ke arah
'Seiring berjalannya waktu, pasti akan menemukan jawabannya.' "Kenapa kamu melihatku seperti itu, Yud?" Bima berucap karena melihat tatapan Yuda yang begitu intens melihatnya. "Baik-baik kamu Bim, bisa aja dia lagi naksir sama kamu. Hahaha…" teman Bima kembali meledek Yuda. Bima tidak membalas ucapan temannya itu dan beralih menatap Yuda kembali, yang kini sudah tidak menatapnya. Bima hanya memberikan senyuman jahat saat menatap Yuda. Beberapa menit kemudian, seorang dosen masuk ke dalam kelas dan memulai pelajaran. Kini seisi kelas fokus ke dalam mata kuliah yang sedang berlangsung. …. Jalanan ibukota di siang hari ini tidak begitu ramai. Tidak banyak pula pejalan kaki yang melintas. Mungkin karena ini masih jam kerja, hingga membuat jalanan sedikit sepi. Yura yang memutuskan untuk berangkat siang ke kampus jadi lebih tenang. Di dalam busway yang dia tumpangi juga hanya ada 6 orang. Karena hari ini dia tidak berangkat bersama Yuda, dia pun memutuskan untuk menggunakan busway ke
"Adik aku cewek Ra. Dia baru masuk SMA setahun yang lalu." Aku mengangguk.Beberapa detik kemudian, ponsel milik David bunyi menandakan ada seseorang yang meneleponnya. David dengan sedikit ragu-ragu mengangkat telepon tersebut. "Bentar ya, Ra.""Iya Vid, angkat aja dulu." jawabku mempersilahkan.Entah kenapa David begitu gugup saat mendapatkan panggilan telepon tersebut. Dia pun keluar dari restoran Ayahku, tapi aku masih bisa melihatnya dari balik kaca jendela. Sesekali dengan menatapku dan tersenyum kecil. Aku pun membalas senyumannya.….Sembari menunggu David selesai menelepon, aku mengambil ponselku dan mengirimkan pesan kepada Yuda."Hari ini kamu kesini nggak?"Drrt… drrt…"Iya Ra. Tapi mungkin sekitar jam 7an Ra. Kenapa? Kamu udah kangen? Hehe…"Ck…Aku tersenyum melihat pesan dari Yuda."Iya aku kangen. Kangen nyuruh-nyuruh kamu Yud. Hahaha…"Drrt… drrt…Yuda memberikan emot sedih.Kembali ku tersenyum geli. Aku pun membalas dengan memberikan emot tertawa terbahak-bahak."Ra
"Kamu terlihat cantik, Ra." ucap David tiba-tiba. Saat itu aku sedang mengarahkan wajahku di depan kipas angin. Aku pun menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum manis. …. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan oleh banyak orang. Jika seseorang sedang mencoba mendekati orang yang disukai, mereka akan berusaha untuk merayunya. Dan ini pun yang mungkin sedang dilakukan David kepadaku. Aku sedikit merinding mendengar ucapannya. Aku hanya membalas senyuman David tanpa berkata apa-apa, serta kembali menoleh ke arah kipas angin. "Oh ya, kalo kamu lagi libur gini, pasti seperti ini ya?" "Iya." jawabku singkat tanpa menatap wajahnya. Aku masih menikmati udara dari kipas angin sambil memejamkan mata. Entah karena aku mulai merasa tidak nyaman, atau memang hanya masih merasakan gerah ditubuhku. "Rajin ya kamu Ra. Mungkin, kalau boleh, kapan-kapan aku ikut bantuin ya Ra?" "Nggak usah, Vid. Main aja ke tempatku. Nggak usah bantuin. Hehe… kamu kayak Yuda juga, bukannya jadi tamu yang baik malah
"Ya tentu saja Ra. Terlihat dari mata kamu yang layu dan sedikit pucat." Aku sedikit terkejut saat David menyentuh pipi kananku dan membelainya halus. Tanpa disadari dengan reaksi yang aku berikan, aku langsung mundur dan sedikit menjauhkan wajahku dari genggaman tangan David. 'Sungguh aku merasa aneh' …. Entah kenapa aku merasa sedikit tidak nyaman saat dia menyentuh wajahku? Padahal aku sering disentuh oleh Yuda, baik kepalaku bahkan wajahku. Mungkin itu yang dimaksud dengan perasaan nyaman saat orang yang kita cinta menyentuh kita. David sedikit terkejut saat melihat reaksiku. Dia terlihat menunjukkan raut wajah tidak enak padaku. "Ma..maaf Ra? Aku nggak maksud buat kamu nggak nyaman. Maaf banget ya Ra?" Dia menyatukan kedua tangannya dengan terus mengucapkan kata maaf. Akupun merasa tidak enak kepada David karena reaksiku yang aku rasa berlebihan. Aku menggelengkan kepalaku dan menyentuh lengan David dengan tangan kananku. "Nggak apa-apa kok Vid. Aku aja yang berlebihan, ngg
Yura POV. Pagi ini aku bangun sekitar jam 9. Padahal aku berencana untuk bangun lebih siang. Hehe… Seperti biasa di pagi hari pada hari libur, aku akan membantu Ayah dan para karyawan lain untuk mengurus rumah makan keluargaku. Aku membantu menyambut tamu, mencatat pesanan, mengantarkan pesanan, membersihkan meja dan bahkan mencuci piring. Aku sangat bersyukur karena usaha tempat makan Ayahku selalu ramai dikunjungi, apalagi pada hari libur seperti ini. Sampai tak terasa waktu menunjukkan pukul 2 siang. Biasanya di jam segini, rumah makan ayahku agak sedikit sepi dan baru akan ramai lagi pada jam 5 sore sampai malam hari. Oleh karena itu, akupun sudah tidak membantu Ayah dan para karyawan Ayahku. Aku berjalan menuju meja yang diisi oleh teman satu kampusku yang kemarin sudah mengabariku untuk datang berkunjung. Sebenarnya dia sudah datang sejak jam 1 siang tadi. Hanya saja, restoran yang begitu ramai membuatku tidak bisa fokus mengobrol dengannya. Barulah saat ini aku bisa mengham
"Teruslah tersenyum, Ra." batin Yuda berucap. Dia pun melanjutkan menyesap es tebu sambil sesekali melihat Yura lagi. …. "Hah kenyang…" desah Yura sambil mengelus perutnya. "Ya tentu kenyang Ra. Kamu udah makan banyak banget tadi!" jawab Yuda tertawa. "Abis jarang-jarang banyak tukang jualan kayak tadi Yud. Makanya aku jadi mau semuanya. Hahaha." 'Tidak apa-apa Ra, yang penting kamu bahagia.' Yuda tersenyum dengan isi hatinya. "Ya udah, ayo pulang Yud. Udah jam 8 ternyata!" Yura melihat jam di pergelangan tangannya. "Kamu udah siap pulang nih ya?" ledek Yuda dengan mengangkat satu alisnya. "Iya Yuda…" Yura segera menaiki sepeda Yuda, dan Yuda mulai mengayuh sepedanya lagi menuju rumah. Sesampainya dirumah Yura. Yuda bertemu dengan Ayah Yura yang hendak membuang sampah. Tidak hanya jalanan saja yang ramai, tapi rumah makan milik Yura juga cukup ramai pengunjung hari ini. Dan memang setiap Jum'at malam sampai Minggu tempat makan Yura selalu ramai. Selain harga yang terjangkau
Aulia POV: Sebentar lagi akan memasuki ujian semester, oleh karena itu diriku lebih fokus pada kuliah saat ini. Aku sudah mulai memasuki semester akhir, yang di mana akan disibukkan untuk membuat bahan skripsi. Sungguh tak terasa waktu berjalan begitu cepatnya. Kesibukan ini sejenak membuatku lupa akan masalah yang dihadapi oleh kedua teman kecilku. Aku selalu ingin mencari tahu lebih dalam tentang masalah ini, akan tetapi ya…kesibukan membuatku sulit memberi waktu untuk hal lain. Terakhir yang aku tahu, saat mencari informasi tentang temanku adalah soal Yuda yang ternyata tidak menghapus postingan yang pernah dia buat di F*. Sungguh membuatku kesal dan kecewa. Kenapa dia tidak menghapus dan bahkan membohongiku? "Aulia, kamu nggak makan?" sapa salah satu teman dekatku di kampus yang bernama Astrid. "Iya, serius banget belajarnya Li!" "Aku yakin kamu pasti bisa ngerjain tugas ujian besok kok Lia, hehe." Kali ini temanku yang lain yaitu Icha dan Riska ikut berkomentar. Ya, meman
Ibuku? Aku sudah lama tidak pernah bertemu dengannya lagi, setelah dia membuangku. "Temui dia di tempat lain." Ayahku berjalan mendekat ke arahku. "Memeliharamu saja sudah sangat menyusahkan, apalagi harus membiarkan peliharaan lain datang ke tempatku." Ayahku pergi meninggalkan aku yang menahan amarah akan ucapannya tadi. 'Kematian adalah kado terindah untukmu. Ayah.' …. Kini aku berada di dalam kamarku lagi. Pikiranku masih terus memikirkan ucapan Ayahku. "… Ibumu ingin bertemu." Kenapa saat ini dia ingin melihatku? Apa ada hal yang ingin dia manfaatkan dariku? Setahuku, pekerjaan Ibu adalah seorang desainer. Dan bisa dikatakan cukup sukses di kalangan para desainer lainnya. Lalu untuk apa kita bertemu? Masih teringat dengan jelas betapa dia tidak menginginkanku. Dia berusaha untuk membuatku pergi jauh darinya. Itu terlihat dari bagaimana dia meninggalkan aku seorang diri dirumahnya. Dia tidak membuatkan aku makan atau bahkan menyiapkan perlengkapan sekolahku. Sungguh meny
Rumah yang tidak pernah bisa membuatku nyaman. Seakan itu bukanlah rumah, yang seharusnya membuatku merasa aman dan tenang. … Aku sudah sampai di depan rumahku. Mengendarai mobil masuk ke dalam garasi rumah. Ayahku sangat menyukai mobil, oleh sebab itu banyak sekali mobil yang terparkir di garasi. Sangat banyak. Hal yang paling membuatku nyaman berada dirumah adalah pada saat nenekku berkunjung. Dari aku kecil, hanya neneklah yang selalu memprioritaskan aku. Karena nenek pula aku bisa tinggal bersama Ayahku. Orang tua dari Ibu kandungku sudah lama meninggal sejak Ibuku masih remaja. Oleh karena itu, sosok yang paling aku kenal hanya Ibu dari Ayahku. Untuk kakek juga sudah lama meninggal dunia pada saat aku berumur 1 tahun. "Oh sudah pulang? Den Bima sudah makan?" sapa salah satu pelayan dirumahku. "Tidak usah Bi, aku sudah makan tadi." "Baik, Den." ucapnya halus. Pelayan rumahku ini sudah berusia 40 tahun. Dan dia juga yang sudah mengurusku sejak kecil. "Ayah sudah pulang, Bi?
Bima POV: Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 17:30 sore. Aku dan beberapa teman sekelas bersiap untuk pulang kuliah. Aku membereskan barang bawaan ke dalam ransel. Kemudian berjalan keluar kelas yang kemudian disusul oleh kedua temanku. Dan tidak berapa lama, Yuda dan Ari ikut keluar dari dalam kelas dan berjalan melewatiku dan kedua temanku. "Buru-buru banget, mau pacaran ya? Hahaha!" Temanku berucap dengan kedua tangannya saling menyatu, seakan sedang bergandengan. Aku yang mendengar ucapan itu hanya tersenyum kecil. Mereka berdua tidak menghiraukan ucapan temanku dan terus berjalan menuju pintu keluar fakultas. "Aku merasa heran, orang seperti Yuda masih ditemenin!" "Ya namanya juga pasangan, Dho." Kini satu temanku yang lain ikut bersuara. Temanku yang bernama Ridho tertawa geli mendengarnya. "Apa orangtuanya sudah tahu tentang ini belum ya?" Mendengar ucapan temanku yang bernama Raden membuatku mulai memikirkan hal yang sama. "Sudah mungkin, Den. Dan direstuin gitu aja s