Esa mendengus pelan saat memasuki ruang kelasnya yang masih tampak kosong, dia memang sengaja berangkat sangat pagi agar tidak banyak berpapasan dengan para penghuni sekolah terutama teman-temannya. Entahlah dia hanya malas berinteraksi dengan mereka, terlebih teman-temannya suka bergosip tentangnya di belakang dan itu membuat dia malas untuk berteman.
"Baguslah, setidaknya aku bisa tidur sebentar," gumamnya seraya menyimpan tas di atas meja dan dia jadikan bantal untuk menopang kepalanya.
Sekitar sepuluh menit berlalu, tiba-tiba saja kepala Esa terjatuh dengan keras di atas permukaan meja karena seseorang baru saja menarik tas miliknya yang berada tepat di bawah kepala.
"Apa yang kau lakukan sinting!" desis Esa saat melihat sang pelaku yang hanya menatapnya datar.
"Santai dong, dia hanya membangunkan mu karena jam belajar akan segera di mulai," ucap seorang anak lainnya yang berada tepat di samping pelaku penarikan tas.
Esa memutar bola matanya dan menarik tasnya kembali dari tangan si pelaku. "Jika kau bosan, jangan datang padaku! Aku tidak tertarik bermain denganmu." Esa berbicara tepat di samping si pelaku.
"Oh kau lancang sekali!" seru teman si pelaku yang sejak tadi bicara seolah mewakili temannya.
"Mahesa, si anak yang terbuang." sebuah smirk muncul dari wajah datar laki-laki yang telah mengganggu tidur Esa tersebut.
Esa mendelik tajam. "Lalu apa urusannya denganmu Juno?"
"Tidak ada, aku hanya terganggu melihat kau tidur nyenyak." jawab anak yang bernama Juno tersebut.
"Sekolah ini milik nenekku, kurasa tidak hanya tidur nyenyak tapi apapun bisa aku lakukan disini." ucap Esa dengan sombong.
"Wow, aku terkejut." Juno pura-pura terkejut dengan penuturan Esa. "Tapi aku tidak yakin nenekmu akan membiarkan itu. Dari gosip yang ku dengar, ibu dan ayahmu saja tidak pernah ada di rumah. Ibu mu bahkan enggan mengakui mu sebagai anak, kurasa gosip bahwa kau anak yang terbuang adalah benar." Juno berkata panjang lebar.
"Hahahaha, uhhh itu mengerikan." tambah Musa.
"Kau!" Esa berteriak dan melayangkan satu tinjuan tepat di wajah tampan Juno yang membuatnya sedikit tersungkur.
Juno tidak terima, dengan brutal dia berusaha membalas pukulan dari Esa dan terjadilah baku hantam diantara keduanya yang disaksikan langsung oleh Musa dan teman-teman sekelasnya.
"YAK APA YANG KALIAN LAKUKAN!" teriak Ara yang tidak sengaja lewat di depan kelas mereka.
Anak-anak yang semula mengerubungi Juno dan Esa kini memilih mundur dan memberikan jalan kepada Ara yang sudah berkecak pinggang dan siap melontarkan amarah.
"KAU!" tunjuk Ara kepada Esa. "Apa yang sudah kau lakukan?"
Esa memutar matanya mengarah kepada Ara. "Kenapa Miss hanya bertanya padaku dan menuduhku tanpa bukti!" ucap Esa tidak terima.
"Dan kau berharap aku menyalahkan temanmu? Aku jelas-jelas melihat sendiri kau memukulnya tadi." Ara menatap Esa dengan tajam, kekesalannya kepada Esa sejak tadi pagi semakin menguatkan alasannya untuk memarahi anak ini. Ara tidak berbohong karena yang dia saksikan memang tepat saat Esa memukul anak bernama Juno itu.
Juno tersenyum miring. Dia tiba-tiba saja merasa jika keberuntungan memang selalu di pihaknya. Padahal semua anak di kelas ini juga tahu jika dirinya yang duluan menganggu Esa.
"Maaf Miss, aku tidak akan mengulanginya lagi." Juno membungkukkan badannya dan meminta maaf kepada Ara. Terdengar tulus dan serius, tapi sebenarnya dia sedang tersenyum penuh kemenangan.
"Kau lihat itu?" Ara memegang bahu Juno. "Seharusnya kau belajar dari temanmu, meskipun dia tidak salah tapi dia berani meminta maaf."
Esa menatap Ara dengan tatapan terluka. "Aku kecewa padamu Miss." setelah mengucapkan itu, Esa mengambil tasnya dan pergi keluar.
"Hei kau! Jangan pergi! Aku akan memanggil orang tuamu kemari!" teriak Ara dengan suara sekencang mungkin namun sepertinya Esa tidak peduli sama sekali.
"Maafkan dia Miss, dia memang sedikit aneh," ucap Juno.
"Tidak apa-apa. Sekarang kau ikut denganku ke ruang konseling, aku akan memanggil orang tua anak itu dan menyelesaikan masalah kalian sekarang juga." Ara menggelengkan kepalanya pusing. Belum juga mulai jam pelajaran tapi sudah ada keributan.
✿✿✿✿✿
Alan baru saja akan memeriksa pasien terakhir sebelum pulang, tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebelum membaca pesan yang masuk, Alan mendesah pelan terlebih dahulu. Ini seperti dejavu dengan yang tadi pagi. Jika tadi pagi putranya yang mengirim pesan, kali ini Yola lah yang mengirim pesan tapi isinya tentang Esa.
Dengan wajah lelah Alan segera pergi menuju sebuah ruangan yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dilihat dari caranya berdiri mematung di depan pintu, sepertinya pemilik ruangan adalah orang yang cukup penting.
"Masuk," ucap pemilik ruangan tersebut saat Alan mengetuk pintu.
Dengan tatapan tajam dan wajah angkuh, pemilih ruangan tersebut sedikit mengernyit saat Alan masuk dan mendudukkan dirinya di sofa.
"Ada apa?" tanyanya dingin dan acuh.
"Maaf dok, aku ijin untuk pulang sekarang."
"Bukankah jam kerjamu masih ada 2 jam lagi?" tanya pria paruh baya lawan bicara Alan.
"Putraku sedang dalam masalah, jadi aku harus pergi ke sekolah sekarang juga," jawab Alan dengan tenang.
"Memangnya kemana istrimu? Kau bisa meminta dia untuk mengurus Mahesa." Pria patuh baya tersebut mendecih tidak suka.
"Hanya itu yang ingin aku sampaikan," Alan kembali berdiri dan bergegas untuk pergi tanpa perduli atasannya memberi dia ijin atau tidak.
"Ck, kau seharusnya berpisah saja dengan istrimu."
Sekali lagi Alan memilih mengabaikan ucapan atasannya dan pergi meninggalkan ruangan dengan wajah lelah dan emosi yang terpendam.
✿✿✿✿✿
Yola menatap Esa dan Juno bergantian, dia mendesah pelan karena ini bukan kali pertama kedua anak tersebut terlibat dalam sebuah pertengkaran. Mereka tidak bisa sehari saja untuk berdamai. Sebagai wali kelas keduanya, Esa sangat hapal bagaimana perangai mereka.
"Sekarang kalian jelaskan padaku kenapa kalian bertengkar?" tanya Yola tenang dan penuh perhatian.
"Kau terlalu bertele-tele Miss Yola, seharusnya kau langsung bertanya pada Mahesa kenapa dia memukul temannya," ucap Ara yang kini ikut bergabung dengan mereka.
Perkataan Ara membuat Esa mengangkat kepalanya dan menatap sang guru dengan begitu intens. Ara yang menyadari itu hanya mendesah pelan, dia berpikir jika Esa benar-benar anak yang kasar dan tidak punya sopan santun.
"Miss Ara, biar aku saja yang menangani mereka. Mereka siswa-siswaku." Yola tersenyum ramah kearah Ara, berharap sahabatnya itu bisa lebih tenang.
"Tidak, kau terlalu lemah!"
"Maafkan aku Miss, aku yang salah." Juno menundukkan kepalanya. Sekali lagi dia meminta maaf kepada Ara.
"Sudahlah Juno, aku tahu kau tidak bersalah." Ara memang bicara dengan Juno tapi tatapan matanya justru mengarah kepada Esa, dan mereka sekarang sedang beradu pandang, membuat Yola yang melihatnya mendesah tidak nyaman.
"Jadi aku yang bersalah?" tanya Esa masih dengan tatapan tajamnya.
"Tentu saja!" Ara menjawab tanpa keraguan. "Kau yang memukulnya."
"Tapi dia yang menganggu ku lebih dulu. Dia mengambil tas ku," bela Esa.
"Kau bisa meminta dia mengembalikan tasmu dengan baik-baik, kau tidak harus memukulnya." Ara sedikit menaikan nada suaranya.
"Ara--" tegur Yola pelan.
"Diam Miss Yola, kau tidak perlu ikut campur. Kita harus mendisiplinkan anak yang bermasalah." Ara membuat Yola kembali ke tempat duduknya. Di sekolah ini, semua orang akan patuh pada ucapan Ara.
"Sekarang kau harus minta maaf padanya."
"Tidak! Aku tidak mau!" tolak Esa cepat.
"Kau bersalah Mahesa Arsalan, kau harus meminta maaf." Ara mulai tampak kesal. Emosinya memang selalu sulit untuk di tahan, Ara itu pemarah.
"Aku tidak bersalah. Dan ibuku bilang aku tidak harus meminta maaf untuk kesalahan yang tidak ku lakukan." Esa berbicara dengan suara pelan.
Ara mendesah pelan. "Kenapa kau keras kepala sekali, itukan jika kau tidak bersalah tapi kali ini kau bersalah. Kau bersalah!"
"Ara, hentikan! Kau tidak bisa memojokkan Mahesa seperti itu, dia bilang dia tidak bersalah." Yola menegur Ara yang menurutnya sudah keterlaluan.
"Ada apa denganmu Yola? Kenapa kau terus membelanya? Sejak kapan sekolah ini mengistimewakan siswa hanya karena dia anak sahabatmu?" Ara semakin kesal.
"SUDAH KU BILANG, AKU TIDAK BERSALAH!" teriak Esa yang membuat semua orang di ruangan tersebut terkejut terutama Ara.
"Astaga Esa!" bukan Ara yang kali ini berteriak, melainkan Alan. Iya Alan yang baru saja tiba dan mendengar teriakan putranya.
Dengan cepat Alan menghampiri Esa dan memeluknya dengan erat. Sangat erat sehingga tidak menyisakan ruang kosong sedikitpun diantara mereka.
"Stttttt tenanglah Sa." Alan mengelus kepala putranya dengan lembut dan membisikan kalimat-kalimat penenang.
"Juno, sebaiknya kamu pergi keluar dulu nanti kita akan bicara lagi." Yola menarik tangan Juno untuk keluar karena Juno sendiri tampak syok mendengar teriakan Esa.
"Ayah aku mau pulang!" ucap Esa begitu dirinya mulai merasa tenang.
"Kau akan pulang setelah semua urusannya selesai." bukan Alan yang menjawab tapai Ara.
Alan mengurai pelukannya dan mensejajarkan tubuhnya dengan Esa. Mengabaikan perkataan Ara, Alan justru tersenyum dan mengusap lembut wajah sang putra. "Kita akan pulang, sebentar ya."
Ara yang menyaksikan perlakuan lembut Alan terhadap putranya hanya mendesah pelan. Dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi tidak tahu apa.
Alan kembali berdiri dan menggenggam putranya untuk ikut duduk di sampingnya.
"Baiklah sekarang kita lanjutkan," ucap Ara.
"Saya Alan, ayahnya Mahesa." Alan mengulurkan tangannya.
"Ara, kepala sekolah Mahesa." Ara menerima uluran tangan Alan.
"Jadi, apa yang sudah putra saya lakukan?" tanya Alan tenang. Sedangkan Esa memalingkan wajahnya dan enggan menatap Ara.
"Dia memukul temannya. Tapi dia terus menyangkalnya dan tidak mau meminta maaf," jelas Ara.
Esa bereaksi, dia tidak terima dengan penjelasan Ara, tapi sebelum dia menyuarakan keberatannya, Alan lebih dulu menggenggam tangannya dengan erat memberi kode agar Esa tidak mengatakan apapun. Dan hal itu sontak membuat Esa mendelik tak suka kepada sang ayah.
"Saya mewakili Mahesa untuk minta maaf. Maafkan putra saya, saya sebagai orang tuanya akan mendidik dia lebih baik lagi." Alan sedikit membungkukkan badannya.
"Anda tidak perlu meminta maaf pada saya karena Juno lah yang jadi korban. Dan lain kali, anda tidak boleh mewakili putra anda untuk meminta maaf, dia harus bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri."
"Baiklah, kalau begitu kami permisi." Alan membawa Esa yang sudah sangat marah untuk segera keluar ruangan.
Ara mendesah pelan, entah kenapa dia merasakan sesuatu yang ganjal tapi lagi-lagi dia tidak tahu apa itu. Satu hal yang dia yakini, bahwa tindakannya kali ini adalah benar.
Alan dan Esa berhenti tepat di samping ruang konseling, karena Esa tidak mau bergerak sama sekali. Sadar jika putranya tengah marah besar, Alan pun memegang kedua pundak Esa dengan lembut.
"Ayah tahu kamu sangat marah, tapi sebaiknya kita pulang sekarang dan selesaikan di rumah."
Esa menepis tangan Alan dengan kasar. "Papa percaya dengan omongannya?" tanya Esa dengan sorot mata kecewa.
Tanpa mereka sadari ternyata Ara, Yola dan Juno melihat dan mendengar percakapan mereka.
Alan menggeleng cepat. "Tentu saja tidak. Ayah tahu putraku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa sebab yang jelas. Dan ayah yakin kau hanya ingin melindungi diri."
"Tapi kenapa ayah meminta maaf?" teriak Esa tidak terima.
"Ayah hanya ingin permasalahan cepat selesai. Dan kita bisa segera pulang," jawab Alan seadanya. "Ayah tahu kamu tidak terima, maka dari itu Esa boleh melampiaskan kemarahan mu kepada ayah." Alan tersenyum lembut dan memberikan jarak lebih jauh dengan putranya.
"Sekarang Esa boleh pukul ayah. Pukul sepuas-puasnya dan luapkan semua kemarahan mu kepada ayah." Alan merentangkan kedua tangannya agar Esa bisa leluasa memukul perutnya.
"Arggghhhhhh aku benci ayah, aku benci!" teriak Esa yang tanpa basa-basi langsung melayangkan pukulan sepuas-puasnya di bagian perut ayahnya.
Bughh
Bughh
Bughh
Bughh
Bughh
Ara dan Yola menganga tidak percaya. Mereka terkejut dengan apa yang dilakukan Alan untuk menenangkan putranya.
"Apa dia gila?" Ara menggelengkan kepalanya. "Pantas saja anak itu kasar, jika cara mendidiknya saja seperti itu."
Berbeda dengan Ara, Yola justru menangis. "Ara, apa kau tidak merasakan sesuatu saat melihat mereka?"
"Apa maksudmu? Dan hey kenapa kau menangis?" Ara semakin heran dengan tanggapan Yola yang menurutnya berlebihan.
"Ini sangat menyakitkan, kau tidak merasakan seberapa besar kasih sayang orang itu untuk putranya? Dan kau juga tidak bisa merasakan seberapa frustasi anak itu?" tanya Yola dengan suara bergetar.
"Apapun itu, menurutku pria itu menggunakan cara yang salah untuk mendidik putranya."
"Aku benci kamu yang seperti ini!" Yola meninggalkan Ara sendirian.
"Bagaimana sudah puas hmm?" tanya Alan lembut kepada Esa.
Esa hanya mengangguk sebagai jawaban. "Ayo kita pulang ayah," ajaknya dengan wajah yang sudah mulai sedikit berubah cerah.
Alan bersyukur putranya sudah lebih tenang. Dengan lembut dia mengelus kepala sang anak. "Mau mampir dulu ke suatu tempat? Mumpung masih siang," tawar Alan.
Esa menggeleng. "Tidak perlu, kita harus segera pulang. Ayah butuh tidur."
"Kenapa?" tanya Alan pura-pura tidak tahu.
"Mata ayah mengerikan."
Kemudian keduanya tertawa bersama.
"Baiklah kita pulang, ayah memang mengantuk." Alan merangkul putranya.
"Aku juga akan mengobati perut ayah sebelum memar. Maafkan aku," sesal Esa.
"Tidak apa-apa, ayah seorang dokter dan tidak akan terluka hanya karena pukulan pria kecil sepertimu." Alan menjulurkan lidahnya dan berlari meninggalkan putranya.
Esa pun melakukan hal yang sama, dia mengejar sang ayah. "Ayah tunggu, jangan tinggalkan aku! Ayah!"
"Ada apa dengan mereka, kenapa aku merinding melihatnya." Ara mengusap tengkuknya.
*
**- T B C -
With Love : Nhana
Ara menendang-nendang udara di sekitar trotoar jalan, tepat di depan sebuah cafe klasik yang tengah ramai oleh pengunjung. Dia tidak peduli jika orang-orang menatapnya aneh dan mulai berbicara yang tidak-tidak tentangnya, Ara hanya ingin melampiaskan kekesalannya dengan menggerutu sepanjang jalan.Pada dasarnya Ara memang bukan orang yang sabar, emosinya mudah sekali tersulut. Hal-hal kecil saja bisa membuat dia badmood seharian atau bahkan membuatnya memaki orang yang lalu lalang tanpa alasan.Menurut Ara, pertemuannya dengan bocah yang bernama Mahesa Arsalan tadi pagi sukses membuat harinya berantakan. Bagaimana tidak, bocah berumur sekitar 13-14 tahun tersebut sudah membuatnya jengkel bahkan sejak dirinya baru saja bangun.Kekesalannya semakin bertambah, karena Ara harus kembali berhadapan dengan sikap keras kepala anak itu, dan juga ayahnya yang menurutnya seolah menjadi budak cinta dari sang anak. Entah kenapa Ara kesal melihat interaksi E
Alan mendesah berat, sepertinya hari ini akan berlalu sangat panjang. Baru tadi pagi dia merasa lega karena istrinya sudah kembali mengingat dia dengan sang putra, tapi sekarang dia malah dihadapkan dengan persoalan lain. Persoalan yang selalu datang bersamaan dengan datangnya perempuan cantik di hadapannya."Tidak perlu menatapku seperti itu, aku kemari dengan niat baik," ucap seorang perempuan yang berada di ruangan yang sama dengan Alan. Perempuan yang juga sama-sama mengenakan seragam dokter."Ck," Alan hanya memutar bola matanya malas. "Jadi niat baik apa yang kau bawa kali ini?""Aku membawakan mu makanan." perempuan tersebut mengangkat dua paper bag yang ada di tangan kiri dan kanannya."Perlu aku ingatkan! Aku bukan tunawisma dan aku bisa mengurus diriku sendiri," jawab Alan tidak suka dan terkesan dingin."Sebenarnya aku juga tidak peduli, tapi ibu memintaku membawakan makanan untukmu. Katanya istrimu berulah lagi."Alan me
Suasana pagi kembali datang dan menyapa sebuah kota besar yang mulai sesak oleh jutaan manusia. Setiap hari saat pagi menjelang, orang-orang mulai lalu lalang dan memenuhi beberapa titik di kota tersebut. Diantaranya sekolah, perkantoran hingga pasar. Semua orang mulai sibuk menjalani aktivitas hidup masing-masing.Berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah sibuk beraktivitas di luar, seorang perempuan berusia awal tiga puluhan justru tengah melamun di atas tempat tidur dengan pandangan kosong.Lagi, untuk kesekian kalinya Ara terbangun di tempat yang menurutnya sangat asing. Ini bukan kamarnya, dan juga bukan rumahnya tapi tempat ini terlihat familiar untukn
Alan mendesah berat, sepertinya hari ini akan berlalu sangat panjang. Baru tadi pagi dia merasa lega karena istrinya sudah kembali mengingat dia dengan sang putra, tapi sekarang dia malah dihadapkan dengan persoalan lain. Persoalan yang selalu datang bersamaan dengan datangnya perempuan cantik di hadapannya."Tidak perlu menatapku seperti itu, aku kemari dengan niat baik," ucap seorang perempuan yang berada di ruangan yang sama dengan Alan. Perempuan yang juga sama-sama mengenakan seragam dokter."Ck," Alan hanya memutar bola matanya malas. "Jadi niat baik apa yang kau bawa kali ini?""Aku membawakan mu makanan." perempuan tersebut mengangkat dua paper bag yang ada di tangan kiri dan kanannya."Perlu aku ingatkan! Aku bukan tunawisma dan aku bisa mengurus diriku sendiri," jawab Alan tidak suka dan terkesan dingin."Sebenarnya aku juga tidak peduli, tapi ibu memintaku membawakan makanan untukmu. Katanya istrimu berulah lagi."Alan me
Ara menendang-nendang udara di sekitar trotoar jalan, tepat di depan sebuah cafe klasik yang tengah ramai oleh pengunjung. Dia tidak peduli jika orang-orang menatapnya aneh dan mulai berbicara yang tidak-tidak tentangnya, Ara hanya ingin melampiaskan kekesalannya dengan menggerutu sepanjang jalan.Pada dasarnya Ara memang bukan orang yang sabar, emosinya mudah sekali tersulut. Hal-hal kecil saja bisa membuat dia badmood seharian atau bahkan membuatnya memaki orang yang lalu lalang tanpa alasan.Menurut Ara, pertemuannya dengan bocah yang bernama Mahesa Arsalan tadi pagi sukses membuat harinya berantakan. Bagaimana tidak, bocah berumur sekitar 13-14 tahun tersebut sudah membuatnya jengkel bahkan sejak dirinya baru saja bangun.Kekesalannya semakin bertambah, karena Ara harus kembali berhadapan dengan sikap keras kepala anak itu, dan juga ayahnya yang menurutnya seolah menjadi budak cinta dari sang anak. Entah kenapa Ara kesal melihat interaksi E
Esa mendengus pelan saat memasuki ruang kelasnya yang masih tampak kosong, dia memang sengaja berangkat sangat pagi agar tidak banyak berpapasan dengan para penghuni sekolah terutama teman-temannya. Entahlah dia hanya malas berinteraksi dengan mereka, terlebih teman-temannya suka bergosip tentangnya di belakang dan itu membuat dia malas untuk berteman."Baguslah, setidaknya aku bisa tidur sebentar," gumamnya seraya menyimpan tas di atas meja dan dia jadikan bantal untuk menopang kepalanya.Sekitar sepuluh menit berlalu, tiba-tiba saja kepala Esa terjatuh dengan keras di atas permukaan meja karena seseorang baru saja menarik tas miliknya yang berada tepat di bawah kepala."Apa yang kau lakukan sinting!" desis Esa saat melihat sang pelaku yang hanya menatapnya datar.
Suasana pagi kembali datang dan menyapa sebuah kota besar yang mulai sesak oleh jutaan manusia. Setiap hari saat pagi menjelang, orang-orang mulai lalu lalang dan memenuhi beberapa titik di kota tersebut. Diantaranya sekolah, perkantoran hingga pasar. Semua orang mulai sibuk menjalani aktivitas hidup masing-masing.Berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah sibuk beraktivitas di luar, seorang perempuan berusia awal tiga puluhan justru tengah melamun di atas tempat tidur dengan pandangan kosong.Lagi, untuk kesekian kalinya Ara terbangun di tempat yang menurutnya sangat asing. Ini bukan kamarnya, dan juga bukan rumahnya tapi tempat ini terlihat familiar untukn