Raut wajah Eden berubah serius saat Anna bertanya. “Aku tak ingin membahasnya lebih jauh.” Eden berkata pelan tapi tegas. “Memangnya kau tahu apa?” Anna mengerjab. “Tidak, aku tak sengaja melihat sebuah foto dalam sebuah buku di san..” “Diam.” Eden memotong Anna dengan cepat. Suasana hatinya berubah total. “Jangan bertanya lebih jauh.” “Setidaknya aku harus tahu supaya aku bisa membantumu lebih jauh, bukankah kau juga menginginkan hal itu?” “Pikirkan saja urusanmu. Kita sudah sepakat untuk tak terlibat terlalu jauh bukan?” Nada suara Eden mulai terdengar dingin. Dia menghempaskan pisau ke lantai. Tak lagi berniat membantu Anna. Eden bangkit dan berdiri. “Apa kau belum bisa untuk jujur pada perasaan sendiri?” Anna masih saja bertanya, justru itu semakin memancing emosi Eden. Padahal pria itu tahu Anna juga pernah berada di posisi itu. Tapi kenapa Eden merasa marah saat dia bertanya? Memang selama ini A
Terik matahari seolah membakar puncak kepala. Keringat sudah mengucur deras di pelipisnya. Anna masih berusaha untuk terjaga memanggang daging di halaman rumah. Ya. Dibawah terik matahari dan memanggang daging sapi. Entah yang mana akan gosong lebih dulu. Lagi pula siapa yang tidak akan bermandikan keringat jika berada di posisi itu. Anna salah perhitungan. Justru sekarang jauh lebih berat dari sebelumnya. Bahkan dia memakai pakaian yang begitu melekat di badan hingga terasa lengket. Tidak bisa seperti ini. Anna meletakkan penjepit sembarangan lalu mengeluarkan ponsel dari saku celemek yang tergantung di leher. Eden segera menjawab panggilannya setelah nada sambung berbunyi satu kali. “Kau dimana?” Anna bertanya dengan ketus. “Aku…. Pesan jus jeruk.” Anna dengan samar mendengar percakapan Eden yang tertuju untuk orang lain di seberang sana. “Apa yang sedang kau lakukan?” Anna tak terima jika hanya dir
Berbagai sajian tertata rapi di atas meja. Jjeon, daging panggang, aneka buah sesajen termasuk kacang yang dikupas Anna dan Eden semalam. Kacang itu ikut menjadi sesajian pada ritual kali ini. Semua orang membungkuk tiga kali menghadap sebuah foto besar seorang laki-laki lanjut usia yang terpampang di salah satu sisi ruang tamu. Keluarga tengah memberikan penghormatan pada mendiang kakek Eden. Setelahnya seluruh anggota keluarga yang perempuan kembali berdiri di belakang sambil mengirimkan doa. Sementara Anna duduk dipojokan dengan riasan wajah yang sudah luntur dan rambut acak acakan. Dia benar-benar tampak payah. Anna mencoba untuk bangkit dan berjalan mendekati Nyonya Arini karena penghormatan sudah hampir selesai. Kini mereka duduk bersama di meja makan yang lengang. Semua diam dan menikmati hidangan di piring masing-masing. Tiba-tiba saja Eden menyikut Anna, menyuruh Anna melakukan sesuatu. “Lakukan sesuatu!” bisik Eden pelan. Anna memej
Meja makan kembali hening. Suasana tegang memenuhi langit-langit meja makan. Nyonya Arini sudah mulai merasakan situasi buruk akan segera terjadi jika dia tak menghentikan Anna saat itu. Tak ingin ambil pusing. Eden seolah bisa melihat gambaran apa yang akan terjadi setelahnya justru masih asik menyantap hidangan di meja dan tampak tak peduli dengan adu mulut antara kekasih dan keluarganya. “Aku memang tidak punya hak untuk melarang hal ini atau itu dari kalian, tapi aku..” Anna terus berbicara dengan suara gemetar, mengabaikan teguran dari Nyonya Arini. “Tapi aku dan ibu bekerja keras hari ini membuat hidangan yang sedang kalian santap ini.” Anna menunjuk-nunjuk setiap piring di meja dengan sumpit. “Baiklah. Aku mengerti jadi tenanglah.” Tuan Teddy berusaha menenangkan Anna. “Ayahlah yang terburuk di sini!” Anna balas menatap Tuan Teddy yang tampak bingung. “Bukankah kau harus cuti hari ini? Apa gunanya punya perusahaan send
Anna menekan kata sandi keamanan milik rumahnya namun bukannya terbuka, justru lampu merah di atas gagang pintu menyala. Pertanda kata sandi yang dimasukkan salah tiga kali. Kesabaran Anna rasanya sudah habis dan mencapai batas hingga dia menendang pintu rumahnya berkali-kali lantas terduduk di lantai. Dia menangis sekeras-kerasnya menumpahkan segala perasaannya yang tertahan tadi. Lupakan tentang tetangga apartemennya yang mungkin mendengar tangisannya yang semakin lama semakin memuncak. Sepertinya Sherin juga mendengar tangisan seorang gadis hingga membuatnya ingin mengutuk gadis itu. Namun semua itu urung di lakukannya setelah mendapati Anna yang terduduk di balik pintu. “Anna?” Sherin langsung berjongkok dan mengalungkan tangannya memeluk Anna. Sebelah tangannya mengusap punggung belakang kepala Anna hingga punggung gadis itu. Berharap itu dapat membuat pundak Anna yang bergetar menjadi tenang. Kedua tangan Anna ikut memeluk Sherin d
“Tolong buat aku menjadi seperti ini,” kata Anna dengan sopan sambil menunjukkan sebuah potret seorang gadis dengan potongan rambut pendek model wolfcut.Seorang gadis muda yang berdiri di belakangnya menggangguk pelan. “Apakah kakak ingin menjadikan lebih pendek segini atau dipanjangkan sesuai foto?” Hairstylis itu memberi pilihan setelah melihat layar ponsel Anna sambil meletakkan tangan di kedua sisi kepala Anna.“Buat sedikit lebih pendek ya,” pinta Anna.Gadis muda itu mengangguk mengerti. Dia terampil memasang kain yang dililitkan di sekeliling tubuh agar tak ada potongan rambut yang menempel pada baju saat helai demi helai rambut yang terjatuh nanti. Setelahnya kedua tangannya mulai memainkan rambut Anna. Kemudian menggunting perlahan helai demi helai rambut Anna.“Potongan rambutnya tampak sangat cocok di wajah kakak, terlihat jauh lebih segar dan rapi,” ujar hairstylis itu puas dengan hasil kerjanya sendiri. Begitu pula dengan Anna yang menyunggingkan seulas senyum dari balik
Eden tak bisa tidur nyenyak semenjak kejadian itu. Entah mengapa hari-harinya terasa kelam setidaknya sampai ia melihat seorang wanita dengan potongan rambut pendek dari kejauhan.Pria yang mengenakan suit berwarna hitam itu memacu laju mobilnya hingga berada tepat di samping gadis itu. “Astaga!” ucapnya dengan senyum yang mulai merekah. Awalnya ia tidak yakin setelah melihat rambut gadis itu, tapi dia menjadi yakin setelah melihat jelas wajah pemilik rambut dengan potongan yang berani itu.Gadis itu langsung menoleh saat Eden menekan klakson. Namun raut mukanya menunjukkan kalau dia tak suka, bahkan dia buru-buru masuk ke dalam café.“Apa dia masih marah padaku?” gumam Eden pelan. Dia segera menyusul Anna setelah memarkir mobilnya dengan cepat.Eden tak mendapati Anna menduduki meja mana pun. Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat Anna berdiri di balik meja kasir. “Kau bekerja di sini?” Eden bertanya berusaha mengendalikan raut wajahnya yang entah kenapa senang setela
Anna masih diam di tempat. Dia mengunci mulut rapat-rapat. Tak ingin menyela percakapan antara seorang ibu dan anaknya. Setidaknya itu sebelum Eden mengatakan kalau dia serius ingin menikahi dirinya. “Apa? Hei, Eden.” Anna spontan memanggil nama Eden. Hal yang dikatakan Eden tak pernah terbersit di benaknya barang sedetik pun. Dia memang masih butuh waktu untuk meyakinkan perasaannya sendiri, tapi keinginan Eden barusan terasa seperti kejut jantung baginya. Nyonya Arini tertawa ringan. Dia tak percaya dengan putranya yang dulu sangat menentang pernikahan, tapi kini malah tergila-gila dengan satu wanita. Dia menatap raut wajah anaknya dengan nanar. “Kau sudah memanfaatkannya untuk kepentinganmu, kau pikir dia akan mau menerimamu?” Nyonya Arini tetap mencari celah. “Aku tidak peduli. Lagi pula dia sudah tahu semuanya. Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini.” “Bagaimana menurutmu?” Nyonya Arini beralih menatap Anna.
Pagi itu matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Seolah mendukung acara suci yang akan diadakan hari itu. Bahkan cuaca sangat bersahabat. Hari yang dinanti-nanti telah tiba. Ruangan yang sebelumnya kosong kini telah dihiasi dengan berbagai interior berwarna putih. Setiap meja telah tersaji minuman dan juga makanan ringan. Tampak beberapa orang waiter muda mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Termasuk Nyonya Arini yang sibuk kesana kemarin menyambut tamu undangan. “Kau gugup?” Ibu Anna merapikan slayer putih miliknya yang tengah menghadap kaca besar. Anna mengangguk pelan sebagai jawaban. Ibu Anna tersenyum hangat. Dia mengerti perasaan putrinya walau tidak sepenuhnya. Karena dulu dia juga pernah berada pada posisi Anna sekarang. “Semuanya akan berjalan seperti yang kau rencanakan nak. Rasa gugup, canggung, atau bahkan takut mungkin kau merasakannya sekarang. Tapi percayalah ini semua perjalanan menu
Tiga orang waiters baru saja menyelesaikan sajian makan malam di sebuah ruangan privat hotel bintang lima itu. Akhirnya pertemuan keluarga itu terlaksana. Sesuai perkataan Eden beberapa hari yang lalu. Kedua keluarga saling duduk berhadapan. Anna duduk bersebelahan dengan Eden yang berada di sisi keluarga Anna. Sementara di sisi seberang Eden duduk Nyonya Arini, Tuan Teddy dan juga nenek Eden. Di samping Anna ada ibu, nenek dan juga Ayah Anna. Persamaan kombinasi yang cukup mengejutkan saat mereka pertama kali memasuki ruangan itu. “Terima kasih sudah menjamu kami makan malam Tuan.” Ayah Anna memulai percakapan di meja makan. Dia tampak jauh lebih santai dibanding Ibu Anna dan juga ibu mertuanya. “Ah, tidak usah bilang seperti itu. Anggap saja ini seperti pertemuan keluarga,” sahut Ayah Eden tak kalah ramah. “Mari makan,” tangannya mulai bergerak mengambil mangkuk soto yang tersaji di atas meja. Mereka memang makan di hotel bintang lima, tapi menu m
Anna menarik lengan Eden agar pria itu menghentikan langkahnya. “Eden,” panggilnya. Usaha pertamanya gagal, pria yang dipanggilnya itu terus saja berjalan meninggalkan rumah dengan tangan yang masih berpegangan erat.“Eden!” Akhirnya Anna berhasil melepaskan tangannya dari Eden hingga pria itu membalikkan badan. “Kenapa?” katanya dengan suara yang mulai meninggi. Awalnya Anna sedikit terlonjak kaget. Itu pertama kalinya Eden meninggikan suara padanya. Tapi dia tak boleh teralihkan. Masalah utama mereka sekarang adalah ucapan dari Tuan Teddy beberapa menit yang lalu. “Kau tidak boleh seperti itu. Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan ayahmu dulu!” seru Anna balas berteriak. Eden terlonjak kaget saat Anna berseru marah. Keningnya berkerut mencoba memahami situasi saat ini. Jangan bilang kalau gadis di depannya ini setuju dengan pendapat orang tuanya? “Kau setuju dengan rencana ayah?” “Rencana apa?”
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”
Langkah kaki Anna terasa berat namun badannya enggan untuk berbalik. Ada perasaan takut yang bersarang di dalam hati kecilnya. Bercampur dengan rasa marah yang hendak meledak kapan saja jika menatap wajah pria yang masih setiap berdiri di belakangnya itu. Namun gadis yang mengenakan skirt itu terlonjak kaget saat pria paruh baya itu sudah tiba dihadapannya. Pupilnya bergetar tapi masih belum berani menatap wajah pria itu. “Maaf kau salah orang,” katanya pelan hendak pergi meninggalkan tempat itu secepatnya. Hanya itu yang bisa diucapkannya, padahal banyak hal yang ingin dikatakannya. “Tidak.” Jawaban pria itu kembali berhasil menghentikan langkahnya. “Kau putriku, Anna,” panggil pria itu lagi. Tanpa sadar air mata Anna sudah menetes membasahi pipi. Sebenarnya dia tak ingin bertemu dengan orang yang sudah meninggalkannya dan juga ibunya. Dia tak ingin lagi berurusan dengan orang tak bertanggung jawab ini. Tapi demi Eden dan juga keluargany
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.