Tangan Anna memegang ujung tangan Eden yang berhasil membuat pria itu terdiam di tempat. “Aku sedang berusaha untuk itu,” kata Eden pelan. Anna terkekeh. Dia sudah hanyut dalam dunia bawah sadarnya. “Kau selalu saja berusaha.” Anna bergumam tak jelas. Eden melepaskan tangan Anna dari ujung lengannya lalu menutup pintu mobil. Eden terdiam sebentar di luar mengamati setiap pejalan kaki yang melintas. Lalu dia menoleh lagi ke belakang melihat Anna yang sudah tertidur nyenyak di jok mobil. Akhirnya Eden mengitar mobil dan masuk. Kini dia sudah duduk di balik kemudi. Eden mencondongkan badannya ke arah Anna lalu menarik sabuk pengaman. Tadi dia gagal memakaikannya karena Anna lebih dulu menghentikan gerak tangannya. Namun siapa sangka jika Anna akan memeluknya. Eden terkesiap lantas mengerjab. Badannya terasa kaku seketika sementara pelukan Anna terasa semakin kencang. “Aku mohon, cintailah aku.” Anna masih menggumamkan hal yang s
Anna membuka mata perlahan. Mentari pagi menelisik masuk kamar melalui celah tirai yang belum terbuka sempurna. Namun kamarnya sudah terang karena matahari sudah bersinar terik di luar sana. Anna melihat sekeliling. Dia menghela nafas lega saat tahu kalau dia berada di kamarnya sendiri, tak menyasar di tempat asing. Dia mengangkat tangan memijit pelan pelipisnya. Kepalanya masih terasa pusing akibat rasa mabuk semalam. Gadis yang masih mengenakan baju kemarin itu menyingkap selimut lantas menapakkan kakinya di lantai kamar. Anna bangkit dan berjalan ke arah pintu. Dia tak melihat Sherin di ruang tengah. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas. Untunglah dia tak lagi bekerja, jadi dia bebas untuk bangun pukul berapa pun itu. Kalau pun tidur seharian, tidak akan ada yang memarahinya. “Kau sudah bangun? Bagaimana dengan rasa pengarmu?” Sherin berjalan di depannya menuju dapur. “Hm.” Anna mengikuti Sherin ke arah dapur. “Tapi aku ma
“Kau berencana melanjutkan semua ini bukan?” Eden kembali memastikan kesepakatannya dengan Anna. Anna mengantar Eden turun ke parkiran. “Memangnya kau bisa membolos setengah hari seperti ini?” Anna bertanya. “Tentu saja. Aku pemilik sekaligus staff di tempatku bekerja.” Anna berdecak sebel. Dia menyumpahi Eden dalam hati. Betapa sombongnya pria di sampingnya ini. Anna langsung membuang muka. “Atau kau mau masuk kerja sekarang saja?” Anna mendesis sebal. “Sudah kubilang aku tak mau. Atau aku tak mau menjadi pasangan pura-puramu lagi?” Anna balik mengancam. Eden kehabisan kata-kata. “Hei!” Pintu lift terbuka. Eden melangkahkan kaki masuk mengikuti Anna yang sudah berdiri sambil melipat tangan di dada. Lift mendesing turun. Lengang sejenak untuk lima belas detik kemudian. Ting! Pintu Lift kembali terbuka. “Kau belum menceritakan kejadian yang sebenarnya pada
Meja Anna hening sejenak. Tidak ada percakapan di antara mereka selama sepuluh detik. Anna menatap gadis di depannya dengan tajam hingga membuat gadis itu salah tingkah. “Begitulah yang kudengar.” Oliv menambahkan sambil memperbaiki posisi duduk, kembali menegakkan punggung. Tak perlu berbasa-basi, “dia yang mengatakannya?” Anna berkata datar langsung berbicara ke intinya. Oliv memang dekat dengan Zeno, jadi bisa saja Zeno yang membeberkan semuanya. Padahal lebih dari siapa pun, pria itu tau kalau dia dan Oliv bukanlah teman dekat untuk bisa saling bertukar rahasia kecil seperti ini. Olive terkekeh. “Astaga. Malang sekali nasibmu. Makanya jangan bersikap seolah kau punya semuanya di depan semua orang.” “Dia yang mengatakannya begitu?” Suara Anna meninggi. Dia kembali bertanya mengabaikan ocehan Oliv. “Tidak. Aku hanya menebaknya.” Oliv menghela nafas. “Tapi melihat bagaimana reaksimu, aku sudah mendapatkan jawaban yang cukup
“Kau duluan,” kata Anna cepat. “Kau mau bilang apa?” balas Eden. Kini mereka sama sama memperbaiki posisi duduk menghadap lurus ke depan. Tak lagi berhadap-hadapan. Anna melirik Eden sebelum membuka suara. “Aku sudah lupa,” elaknya. Sebenarnya dia memikirkan ucapan Sherin tadi pagi. Mau sejauh apa hubungan ini akan di bawa? Pertanyaan itu sudah bersarang di otaknya semenjak meninggalkan rumah. “Kau sendiri mau bilang apa?” Anna balik bertanya. “Aku juga lupa,” timpal Eden terdengar acuh tak acuh. “Jangan mengikutiku!” “Siapa juga yang mengikutimu, aku memang betul betul lupa.” “Bukan karena aku lupa?” kata Anna penuh selidik. “Tentu saja.” “Baiklah. Anggap saja kau beruntung hari ini. Tenagaku sudah habis untuk mengajakmu berdebat.” Eden berdeham. Mengusir keheningan di dalam mobil untuk sepersekian detik. “Kau dari mana tadi dengan berpakaian seperti itu
Anna menahan nafas untuk beberapa detik lantas berdiri tegak di samping Ela setelah membujuk mantan teman kerjanya itu untuk bekerja sama. Dari kejauhan sosok wanita paruh baya itu tampak semakin jelas. Langkah Nyonya Arini semakin dekat. Tiga langkah. Dua langkah dan kini sudah berdiri tepat di depan Anna. “Kau sudah selesai bekerja?” tanya Nyonya Arini tampak bingung. Dia memindai pakaian Anna yang tidak mengenakan pakaian seperti Ella. “Oh, itu…” Anna melirik Ela sambil memikirkan jawaban yang pas. Dengan kening berkerut Anna berkata, “aku baru selesai bekerja bu, ganti shift.” Anna menyeringai berusaha terlihat biasa saja. Lalu menyunggingkan seulas senyum. “Aku ke sini untuk pamit sebelum pulang pada rekan kerjaku.” Anna melirik Ela yang diikuti oleh Nyonya Arini. Ela ikut tersenyum canggung. “Oh, benarkah?” Nyonya Arini tampak tersenyum tipis. “Kalau begitu baguslah. Aku ingin meminta bantuanmu.” “Ya?” Anna
Wajah kecewa Nyonya Arini berganti guratan senyum di wajahnya. “Benarkah?” Anna mengangguk samar. Tak mungkin dia menjilat ludahnya sendiri. “Aku juga bingung akan membantumu seperti apa, mungkin ini bisa sedikit membantu pekerjaanmu.” Nyonya Arini tersenyum semringah. “Aku tidak tahu apakah aku benar-benar harus meminta bantuanmu untuk mengerjakan hal ini, padahal kau tidak ada kaitannya dengan ini.” Anna tersenyum paksa. “Jangan sungkan bu.” Nyonya Arini langsung memberikan Anna dua karung kacang kastanye yang hendak di kupas. Anna sedikit terkejut karena sebenarnya dia belum pernah mengerjakan itu. Astaga, dia tidak sadar saat Nyonya Arini memilih kacang ini tadi karena sibuk dengan pikiran sendiri. “Bawa besok pagi ke rumah ya. Kita bisa masak bersama besok pagi.” Nyonya Arini melenggang masuk mobil meninggalkan Anna dengan wajah khawatirnya di sana. Mobil pun melaju meninggalkan kepul asap di belakang.*****
Raut wajah Eden berubah serius saat Anna bertanya. “Aku tak ingin membahasnya lebih jauh.” Eden berkata pelan tapi tegas. “Memangnya kau tahu apa?” Anna mengerjab. “Tidak, aku tak sengaja melihat sebuah foto dalam sebuah buku di san..” “Diam.” Eden memotong Anna dengan cepat. Suasana hatinya berubah total. “Jangan bertanya lebih jauh.” “Setidaknya aku harus tahu supaya aku bisa membantumu lebih jauh, bukankah kau juga menginginkan hal itu?” “Pikirkan saja urusanmu. Kita sudah sepakat untuk tak terlibat terlalu jauh bukan?” Nada suara Eden mulai terdengar dingin. Dia menghempaskan pisau ke lantai. Tak lagi berniat membantu Anna. Eden bangkit dan berdiri. “Apa kau belum bisa untuk jujur pada perasaan sendiri?” Anna masih saja bertanya, justru itu semakin memancing emosi Eden. Padahal pria itu tahu Anna juga pernah berada di posisi itu. Tapi kenapa Eden merasa marah saat dia bertanya? Memang selama ini A
“Kau dari mana pagi-pagi sekali?” “Tidak ada, aku keluar memang mau menemuimu,” Eden langsung melingkarkan tangan dan menarik Anna ke dalam dekapannya. “Bohong!” Anna mencubit manja hidung mancung milik Eden. “Mana ada, pakaianmu saja lengkap seperti ini. Kau habis dari mana?” “Rumah orang tuaku,” Anna menjauhkan badan dan mengangkat kepala. “Kenapa? Apa terjadi sesuatu di rumah?” Suara Anna terdengar khawatir. Eden menggeleng. Dia kembali memeluk Anna, kali ini lebih erat. “Bisa izin aja gak hari ini? Kerjanya,” “Tidak bisa, aku sudah terlalu sering tidak masuk. Tidak enak jika terus merepotkan Rian yang harus menggantikan shiftku terus. Tapi memangnya di rumahmu terjadi sesuatu? Sampai-sampai kau harus pulang sepagi ini? Tumben banget.” “Tidak ada. Atau kau mau berhenti bekerja saja?” Eden terus saja mengalihkan topik pembicaraan. “Hei!” Kali ini Anna mendorong tubuh Eden cukup jauh hingg
“Ya. Aku memang bertengkar hebat di Departemen Store waktu itu,” jawab Nyonya Arini dengan suara yang lantang. “Tapi bukan dengan Anna,” lanjutnya lagi, suaranya mulai melunak. “Lalu?” “Aku tidak tau masalah mereka apa, tapi tiba-tiba saja seorang gadis menampar Anna bahkan menjambak rambutnya. Aku tidak terima dia mengatakan hal-hal buruk padanya di tengah keramaian seperti itu.” “Apa?” Eden mendengus tidak percaya. Siapa yang berani beraninya menampar kekasihnya itu. “Bagaimana dengan Anna? Dia tidak mungkin diam saja kan? Apa dia terluka?” “Tentu saja tidak, justru Anna balas menampar gadis itu. Aku segera berlari menghampirinya. Awalnya berniat untuk membantu tapi saat Anna memanggilku dengan sebutan ibu, gadis gila itu justru ikut menarik rambut Anna sambil mengatakan kalau aku tidak mendidik anakku dengan baik.” Nyonya Arini tertawa getir. Dia ingat betul bagaimana kata-kata itu meluncur dari mulut gadis yang berlagak sombong itu.
“Boleh aku bertanya bagaimana perasaanmu lebih jauh?” Sontak Anna langsung menoleh setelah mendengar pertanyaan Eden barusan. Mereka memilih kembali ke salah satu kedai tepi pantai setelah makan malam bersama di rumah Anna. “Hm?” Anna bingung perasaan mana yang dimaksud Eden. Bukankah mereka sudah sama-sama saling mengetahui perasaan masing-masing. “Sudah jauh lebih lega?” “Ah, tentang itu,” sahut Anna mengerti dengan arah pertanyaan Eden. Hampir saja dia salah paham. “Atau masih ada yang kau khawatirkan? Katakan saja padaku, aku akan menyelesaikannya untukmu,” Anna menggeleng. “Tidak ada, kini semuanya terasa lebih lega. Tapi – “ “Tentang ibuku?” Eden menyela lebih dulu. Jika masalah keluarga Anna sudah selesai, berarti hanya tinggal masalah keluarga. Eden pun mengerti tantangan yang akan dihadapi Anna walaupun ibunya sudah memberi restu. Tapi itu masih terasa fana sampai hubungan mereka b
Mereka duduk bertiga di meja makan. Tak ingin melibatkan nenek Anna yang masih asik menonton televisi di ruang tengah. “Maafkan aku bu, semua ini salahku bu. Aku yang meminta Anna untuk berpura-pura menjadi kekasihku untuk membuat ibuku berhenti menyuruhku menikah atau menjodokanku dengan beberapa kenalannya. Tapi sekarang hubungan kami tidak palsu lagi bu. Aku serius dengan Anna dan kami menjalani hubungan sungguhan. Bahkan ibuku juga sudah mengetahui semuanya dan memberi restu pada kami bu,” “Tapi itu – ?” Genggaman tangan Eden mengencang membuat Ana berhenti berbicara. Mereka saling berpengangan tangan untuk menunjukkan keseriusan mereka di depan Ibu Anna. Tapi perkara restu Nyonya Arini itu urusan lain. Ibu Anna cukup hanya tau dengan masalah mendapatkan restu atau tidak. Sebatas itu saja. Untuk masalah sampai mana batasan restu yang mereka dapatkan itu urusan nanti. Yang jelas kini mereka sudah mengatakan yang sebenarnya. Dan Anna menginginkan semuanya ter
Senyum gadis yang mengenakan skirt berwarna putih itu cerah secerah mentari pagi. Dia mendapati pria yang kini tengah tersenyum itu merentangkan tangan. Anna berlari-lari kecil segera menghampiri Eden lalu segera memeluk pria itu. Aroma kayu dan laut berpadu begitu menyegarkan. Eden menyipitkan kedua matanya, menilik penampilan Anna pagi itu dari bawah sampai kepala. “Oh, kau pakai lipstip baru ya? Oh pipimu juga.” Eden menggoda Anna sambil mengelus pelan pipi manis gadisnya itu. “Hei! Jangan merusak penampilanku. Aku harus bangun pagi-pagi untuk dandan dan memilih baju yang paling bagus yang aku punya.” Eden memanyunkan bibirnya pura-pura prihatin dengan perjuangan Anna untuk berdandan demi pertemuan mereka hari ini. “Tumben sekali.” Eden menyelipkan poni Anna ke belakang telinga. “Padahal kau tetap cantik tanpa berdandan, bahkan kau cantik memakai apa saja.”“Dasar pembohong!” Anna menyerngitkan kening. “Aku tau kau pura-pura saat bil
Eden memberikan kecupan pelan. “Hm?” Sebaliknya Anna membalas kecupan Eden. “Jangan malam ini, aku harus pulang.” “Hanya segitu?” Eden pura-pura merajuk layaknya anak kecil umur lima tahun. “Kalau kau mau pulang seharusnya lakukan dengan benar, kan?” Anna mendengus pelan. Dia kembali mendekatkan wajahnya pada Eden. Bibirnya beradu dengan lembutnya bibir milik Eden. Perlahan mulai mengulum dan hanyut dalam di dalamnya. Begitu sebaliknya dengan Eden yang membalas setiap ciuman yang diberikan Anna. Malam semakin gelap. “Kau janji besok akan menginap kan?” Eden tak melepaskan tangan Anna dari genggamannya semenjak mobil mereka meninggalkan gedung klinik. Kini mobil mereka terparkir tepat di depan gedung apartemen milik Anna. Anna mendongakkan kepala, melihat lampu apart di lantai tujuh masih menyala atau masih mati. Hanya ada dua kemungkinan, Sherin belum pulang atau memang dia sudah tidur lebih awal. Sebelah tangan Anna menyentu
Senyum Anna langsung merekah saat dirinya melihat kedatangan pria gagah yang berjalan mendekat ke arahnya. Gelapnya senja tak menghalangi Anna untuk mengenali sosok pria yang berhasil mencuri hatinya belakangan ini. “Jangan berlari,” katanya saat Eden mulai berlari-lari kecil begitu melihat Anna keluar dari pintu. “Sudah lama menunggu?” kata Eden dengan nafas yang masih tersengal setelah berlari. Anna memberi gelengan pelan sebagai jawaban. “Kenapa kau berlari?” Eden meraih tangan Anna lalu mengenggamnya. “Aku ingin segera melihatmu.” “Tapi..” Kepala Anna menoleh ke kanan dan kiri. Mencari sesuatu. “Mana mobilmu?” “Ah itu, aku meninggalkannya di kantor.” “Kenapa?” “Supaya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.” Anna meninju pelan pada dada bidang milik Eden. Ada-ada saja kelakuannya. Padahal mereka pasti akan menghabiskan waktu bersama karena Eden pasti mengantar Anna pulang.
“Bagaimana bisa? Kenapa kalian terlihat begitu santai?” Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan kedua tangan saling tertaut di atas meja. Sedari tadi Eden tidak melepaskan genggamannya dari tangan Anna. “Aku sudah bilang semuanya pada ibumu,” “Semuanya? Dari mana? Dari awal kita bertemu?” Anna mengangguk. Memang tidak semuanya, tapi secara garis besar mencakup semuanya. “Dia tidak marah?” “Tidak, dia justru menyalahkan dirinya sendiri.” Tampak wajah khawatir dari raut wajah Eden. “Kau yakin? Ibuku orang yang pandai menyembunyikan perasaannya. Kau pasti tau sendiri, kan?” “Kenapa?” tanya Anna ikut khawatir. Dia menangkap raut wajah Eden yang tak fokus dan memikirkan banyak hal. “Firasatku tidak enak,” jawab Eden pelan. Ibunya bukan orang yang mudah berubah. Terlebih jika menyangkut masalah dirinya. Aneh sekali jika tiba-tiba ibunya memberi restu setelah sebelumny
Suara tombol pintu di luar membuat Anna tersentak dan membuka mata. Matanya menangkap Eden yang masih terlelap di sampingnya. Seulas senyum tersungging di wajahnya. Digesernya tangan Eden yang mendekapnya semalaman. Kali ini suara pintu terbuka berhasil membuat Anna bangun dan menapakkan kakinya di lantai. Anna terperanjat bukan main saat mendapati Nyonya Arini sudah berdiri di depan pintu kamar mereka. Ya. Semalam Anna menginap di rumah Eden dan disinilah dia berakhir. “Ibu,” kata Anna pelan. Dia kembali menjadi seperti anak kecil berusia lima tahun yang baru saja dimarahi ibunya karena mencuri permen setelah di larang beberpa hari terakhir. Nyonya Arini melengos dan berjalan ke arah sofa di ruang tengah, seperti sudah menduga kejadian seperti ini akan terjadi. “Kau sudah nyaman sekali rupanya.” Anna mengikuti langkah Nyonya Arini di belakang, tapi langkahnya tertahan dan terhenti saat wanita paruh baya itu duduk menyilangka