Apa yang ada di pikiran orang-orang jika mendengar kata ibu hamil, single parent? Lemah, tak berdaya dan pastinya merepotkan orang lain. Tidak bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri dan sulit untuk beraktivitas. Ah, itu sudah biasa. Bukankah stigma masyarakat memang seperti itu? Buruk dalam memandang orang yang tak pantas untuk mereka pandang, walau itu tak semuanya.
Karena hal itulah, kini Lily berinisiatif untuk menghubungi kembali semua kolega ayahnya demi membangun kembali kerajaan bisnis ayahnya yang diwariskan padanya selaku anak semata wayang.
Mula-mula Lily menghubungi mantan sekretaris ayahnya yang bernama, Rahman. Dia adalah sekretaris yang terpercaya dan sering membantu sang ayah saat sedang dalam posisi sulit. Kabarnya, ia sekarang bekerja menjadi asisten pribadi Ardiwira.
"Semoga dia tak mengadu pada tuan Ardiwira," gumam Lily.
Klekk
Lily te
"Apa? Kamu menginginkan anak? Oh tidak, bukankah kamu sudah berjanji akan menunggu aku selesai kontrak?" ketus Nayya.Rayyan tadi sore memaksanya untuk memberikan satu anak untuk keluarga Ardiwira tapi Nayya menolak. Katanya, ia sudah terlanjur menandatangani kontrak dengan salah satu brand hingga dua tahun lamanya. Selama itu pula ia dilarang hamil dengan harapan tubuhnya selalu terjaga.Rayyan mendengus kesal. Pasalnya, jika ia tak bisa memenuhi target dari ayahnya ia bisa saja diusir dari rumah mewah yang ia tempati sekarang. Salahnya, mengapa saat mengusir Lily ia tak melihat dulu bukti kepemilikan rumah ini."Nay, aku mohon. Bantu aku." Rayyan duduk bersimpuh di depan Nayya dengan posisi memohon. Kedua tangannya ditangkup berharap Nayya mau mengubah keputusannya."Rayyan. Kamu mau ganti rugi?" bentak Nayya. Tak peduli dengan keadaan Rayyan, ia tetap tak beranjak dari temp
"Baru pulang? Jam berapa ini?" tegur Rayyan pada Nayya yang baru saja masuk ke dalam kamar dengan cara mengendap-endap. Sepertinya sedang menghindari dirinya. Nayya berbalik. Dilihatnya wajah marah Rayyan yang tetap menawan di balik kacamata bulatnya. Ia menyeringai. Jarinya menggoda lengan Rayyan, mengusap-usap hingga mengarah ke dadanya. Rayyan menampiknya. Ia kini terlihat dingin dan lelah dengan semua kelakuan Nayya. Pria itu kini memilih diam. "Sayang, aku tuh tadi syuting untuk acara bulan depan. Hari ini saja, kok. Besok aku di rumah melayani kamu seharian," rayunya. Nayya mendorong tubuh Rayyan hingga jatuh ke atas ranjang empuk mereka. "Aku tidak suka kamu beradegan aneh atau berbicara sesuatu yang bisa merusak reputasi aku dan kamu," pesan Rayyan. "Aku tidak berbuat yang macam-macam, kok. Kamu tenang saja, ya. Aku tetap akan me menjaga nama baik kita berdua." Nayya mengecup sekilas bibir Rayyan dan tak lupa mematikan lampu kamar. Ia ikut merebahkan diri di samping suami
Dua bulan kemudian Lily terus memegangi perutnya yang sedari malam terus merasakan kontraksi yang berlebihan. Teriakannya yang terakhir membuat Tya, sahabatnya terbangun. Ia berlari masuk ke dalam kamar Lily. Matanya membelalak melihat air ketuban yang keluar dan melewati kaki Lily. "Tya, aku mau melahirkan," rengek Lily mengaduh kesakitan. Tya membantu menenangkan Lily dan memanggil Bagas melalui ponselnya. Tak sampai lima belas menit, Bagas datang dan langsung menggendong Lily masuk ke dalam mobilnya. Sementara Tya duduk di samping Lily sambil terus memegangi tangannya. "Tahan ya. Sebentar lagi sampai rumah sakit," bisik Tya. Lily mengangguk. Bibirnya digigit untuk menahan sakit yang menguat. Rasanya, tulangnya bagaikan dipatahkan ribuan kali. Sesampainya di rumah sakit, Lily langsung dibawa ke ruangan bersalin. Tya dan Bagas berharap-harap cemas. Keduanya duduk sambil menunduk dan berdoa dalam hati masing-masing untuk Lily yang sedang berjuang di dalam sana. "Aku belum pernah
Rayyan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan kerja Abi. Matanya memandang sekeliling ruangan sebelum berhenti tepat pada sosok Abi yang sedang sibuk bekerja. Abi mengangkat wajahnya, menatap bingung pada sepupunya yang nampak diam tanpa kata. Dia pun bertanya,"Kamu kenapa?" "Aku bertemu dengan Bagas di rumah sakit," ujar Rayyan dengan tatapan bingung. Abi hampir mendelik kaget. Untung saja ia segera mengubahnya datar. Ia ingat, tadi pagi Bagas mengirimkan kabar bahwa Lily baru saja melahirkan. Tentunya hanya dirinya saja yang tahu. "Oh, ya? Lalu?" tanya Abi berpura-pura tidak tahu. Ia melanjutkan lagi pekerjaannya sambil mendengarkan ocehan Rayyan. "Dia masuk ke ruangan bersalin. Dia membawa perlengkapan bayi. Aku hampir saja memergokinya kalau saja papa tidak menghubungiku," sesal Rayyan. Abi bernapas lega. Perlahan ia melirik Rayyan yang masih berdiri di hadapannya dan mengusap dagunya. Nampaknya ia masih penasaran dengan apa yang tadi dilihatnya di rumah sakit. Rayyan itu licik,
Berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud oleh Rayyan, Abi diam-diam mengirimkan pesan pada Bagas untuk segera keluar dari rumah sakit sesegera mungkin. Beruntung Rayyan mengulur waktunya hingga dua jam hanya untuk mengelabui istrinya yang ternyata mengikutinya dari belakang. "Itu dia," tunjuk Rayyan. Di ujung selasar ruangan khusus bersalin ada sebuah kamar, Rayyan percaya diri sekali jika itu adalah ruangan tempat Lily dirawat. Tangan Abi mulai gemetar. Pesan yang ia kirimkan ke Bagas baru saja dibacanya. Ia hanya bisa berdoa dalam hati agar Lily dan Bagas sudah pergi dari kamar itu. Rayyan membuka kamar yang ia tunjuk, berharap Lily ada di dalam dan ia bisa melihat wujud anaknya yang sudah lahir ke dunia. Namun, amat terkejutlah ia saat melihat ruangan itu telah kosong. Hanya ada perawat yang sedang membersihkan ruangan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya si perawat. Rayyan terdiam sejenak. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan memeriksa setiap jengkalnya. Barangkali Lily masih
Lily tidak bodoh saat Tya memberitahunya tentang tawaran Rayyan untuk menghadiri rapat besar di perusahaannya. Meski nama ayahnya menjadi salah satu pemegang saham terbesar, tetap saja namanya tak masuk hitungan. Ia memutar otak sejenak, berpikir jernih apakah rencananya harus dijalankan atau tidak. “Rumit,” ucap Lily dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Bagas mengerutkan dahinya, begitupun dengan Tya. Mereka memang tak mengerti dengan alur kehidupan di keluarga Ardiwira yang katanya berliku dan penuh aturan. Kakak Rayyan pernah terlibat cinta segitiga dengan salah satu karyawan ayahnya hingga akhirnya dinikahkan paksa dengan anak tunggal keluarga terpandang di Surabaya. Rayyan pun sama. Pria pengecut yang memilih menceraikan istrinya demi wanita problematik yang paling dibenci seantero negeri. Sungguh perpaduan yang sempurna. “Keluarga Rayyan memang mengerikan. Bagaimana dulu kamu bisa terlibat di dalamnya?” ujar Tya tiba-tiba. Ia mendapatkan delikan dari Bagas karena ucap
Rayyan berdiri tegak di depan kafe milik Tya yang pernah ia sambangi beberapa bulan yang lalu. Tangannya disilangkan ke dada dengan picingan mata yang tajam seakan ingin melubangi tempat itu. Ia berjalan bolak-balik hingga kafe itu buka. Ia segera masuk ke dalam tanpa bertanya apakah kafenya sudah buka atau belum. Rayyan duduk di salah satu kursi dengan tatapan mengarah ke sebuah ruangan yang ia yakini pemiliknya belum datang hingga saat ini. “Maaf, Pak. Kafe kami belum buka sepenuhnya. Ada yang ingin dipesan sembari menunggu menu yang lainnya?” tanya salah satu pegawai yang mendekati Rayyan. “Saya pesan cappucino dan waffle,” ucap Rayyan tanpa melihat si pegawai. Sepuluh menit menunggu, minuman yang ia pesan pun datang. Rayyan mengecek arlojinya lalu bertanya pada salah satu pegawai yang sedang membersihkan meja. “Hari ini bos kalian datang atau tidak?” Pegawai yang ditanya terdiam sambil mencari jawaban yang tepat. “Biasanya Bu Tya datang sebelum makan siang,” jawabnya. Rayyan
Pengintaian Nayya selama dua Minggu tak membuahkan hasil sama sekali. Tak ada tanda-tanda seorang wanita muda memasuki kafe yang terletak di ujung jalan dekat mall dengan ciri-ciri sama dengan Lily. Tak ada sama sekali. Nayya pun geram. Akhirnya, ia masuk ke dalam kafe tersebut dengan niat ingin mencari informasi lebih akurat. Siapa tahu saja Lily sedang menyamar di sana. Hampir satu jam Nayya duduk sambil menunduk memperhatikan setiap pengunjung yang datang. Berkali-kali ia mendesah kesal saat melihat ke arah pintu, bukan seseorang diharapkannya yang muncul. Tak patah semangat, ia akhirnya mencari sebuah ruangan yang pastinya itu adalah ruangan rahasia pemilik kafe ini. Bibirnya tersenyum saat menemukan tempat yang dimaksud olehnya. "Ah, instingku tepat kali ini." Nayya pun membuka pintu ruangan yang ia temukan tadi. Perlahan ia masuk lalu kemudian duduk di sofa sebelah pintu. Ruangan nyaman ini penuh dengan aneka foto dan lukisan dinding. Mata Nayya menelusur sekeliling hingga
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s