Berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud oleh Rayyan, Abi diam-diam mengirimkan pesan pada Bagas untuk segera keluar dari rumah sakit sesegera mungkin. Beruntung Rayyan mengulur waktunya hingga dua jam hanya untuk mengelabui istrinya yang ternyata mengikutinya dari belakang. "Itu dia," tunjuk Rayyan. Di ujung selasar ruangan khusus bersalin ada sebuah kamar, Rayyan percaya diri sekali jika itu adalah ruangan tempat Lily dirawat. Tangan Abi mulai gemetar. Pesan yang ia kirimkan ke Bagas baru saja dibacanya. Ia hanya bisa berdoa dalam hati agar Lily dan Bagas sudah pergi dari kamar itu. Rayyan membuka kamar yang ia tunjuk, berharap Lily ada di dalam dan ia bisa melihat wujud anaknya yang sudah lahir ke dunia. Namun, amat terkejutlah ia saat melihat ruangan itu telah kosong. Hanya ada perawat yang sedang membersihkan ruangan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya si perawat. Rayyan terdiam sejenak. Ia melangkah masuk ke dalam ruangan memeriksa setiap jengkalnya. Barangkali Lily masih
Lily tidak bodoh saat Tya memberitahunya tentang tawaran Rayyan untuk menghadiri rapat besar di perusahaannya. Meski nama ayahnya menjadi salah satu pemegang saham terbesar, tetap saja namanya tak masuk hitungan. Ia memutar otak sejenak, berpikir jernih apakah rencananya harus dijalankan atau tidak. “Rumit,” ucap Lily dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Bagas mengerutkan dahinya, begitupun dengan Tya. Mereka memang tak mengerti dengan alur kehidupan di keluarga Ardiwira yang katanya berliku dan penuh aturan. Kakak Rayyan pernah terlibat cinta segitiga dengan salah satu karyawan ayahnya hingga akhirnya dinikahkan paksa dengan anak tunggal keluarga terpandang di Surabaya. Rayyan pun sama. Pria pengecut yang memilih menceraikan istrinya demi wanita problematik yang paling dibenci seantero negeri. Sungguh perpaduan yang sempurna. “Keluarga Rayyan memang mengerikan. Bagaimana dulu kamu bisa terlibat di dalamnya?” ujar Tya tiba-tiba. Ia mendapatkan delikan dari Bagas karena ucap
Rayyan berdiri tegak di depan kafe milik Tya yang pernah ia sambangi beberapa bulan yang lalu. Tangannya disilangkan ke dada dengan picingan mata yang tajam seakan ingin melubangi tempat itu. Ia berjalan bolak-balik hingga kafe itu buka. Ia segera masuk ke dalam tanpa bertanya apakah kafenya sudah buka atau belum. Rayyan duduk di salah satu kursi dengan tatapan mengarah ke sebuah ruangan yang ia yakini pemiliknya belum datang hingga saat ini. “Maaf, Pak. Kafe kami belum buka sepenuhnya. Ada yang ingin dipesan sembari menunggu menu yang lainnya?” tanya salah satu pegawai yang mendekati Rayyan. “Saya pesan cappucino dan waffle,” ucap Rayyan tanpa melihat si pegawai. Sepuluh menit menunggu, minuman yang ia pesan pun datang. Rayyan mengecek arlojinya lalu bertanya pada salah satu pegawai yang sedang membersihkan meja. “Hari ini bos kalian datang atau tidak?” Pegawai yang ditanya terdiam sambil mencari jawaban yang tepat. “Biasanya Bu Tya datang sebelum makan siang,” jawabnya. Rayyan
Pengintaian Nayya selama dua Minggu tak membuahkan hasil sama sekali. Tak ada tanda-tanda seorang wanita muda memasuki kafe yang terletak di ujung jalan dekat mall dengan ciri-ciri sama dengan Lily. Tak ada sama sekali. Nayya pun geram. Akhirnya, ia masuk ke dalam kafe tersebut dengan niat ingin mencari informasi lebih akurat. Siapa tahu saja Lily sedang menyamar di sana. Hampir satu jam Nayya duduk sambil menunduk memperhatikan setiap pengunjung yang datang. Berkali-kali ia mendesah kesal saat melihat ke arah pintu, bukan seseorang diharapkannya yang muncul. Tak patah semangat, ia akhirnya mencari sebuah ruangan yang pastinya itu adalah ruangan rahasia pemilik kafe ini. Bibirnya tersenyum saat menemukan tempat yang dimaksud olehnya. "Ah, instingku tepat kali ini." Nayya pun membuka pintu ruangan yang ia temukan tadi. Perlahan ia masuk lalu kemudian duduk di sofa sebelah pintu. Ruangan nyaman ini penuh dengan aneka foto dan lukisan dinding. Mata Nayya menelusur sekeliling hingga
Berkat informasi yang diberikan oleh salah satu temannya, Nayya berhasil mendapatkan alamat rumah sahabat Tya. Rumah sederhana yang cukup besar dengan lingkungan asri. Nayya tersenyum licik saat memandangi rumah itu. Satu langkah lagi, ia berhasil menemukan Lily yang bersembunyi di dalam sana. "Tidak sabar melihat reaksi Lily. Apakah dia akan melotot atau kebingungan? Rayyan, suamiku yang malang. Kenapa kamu tidak cerdas sih? Kalah sama aku yang hanya lulusan SMA," gumam Nayya dengan suara pelan. Ia pun turun dari mobil mewahnya dan masuk ke halaman rumah Tya tanpa permisi. Kebetulan, pagar rumah Tya tidak terkunci dan Nayya menyelinap masuk tanpa ada yang tahu. Nayya melepas kacamatanya dan berdiri angkuh di depan pintu rumah bergaya minimalis itu. Bibirnya tersungging ke atas mengejek si pemilik rumah dalam angannya. "Rumah seperti ini, pasti sangat mudah dibeli oleh mas Rayyan." Nayya mengetuk pintu rumah Tya dua kali. Ketukan yang ketiga, seseorang membukanya dari dalam. Nayy
Bagas berjalan mondar-mandir di pekarangan rumah Tya sambil bergumam sendiri. Alisnya berkerut, dahinya pun sama meninggalkan bekas parut tanda ia memikirkan sesuatu. Peristiwa tadi pagi membuatnya tersadar, Lily terancam bahaya. "Tidak bisa, dia harus segera pindah dari sini. Malam ini juga." Bagas pun kembali masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Lily. "Lily mana?" Bagas mencari ke sekeliling rumah dan tak menemukan siapa-siapa di sana. "Kemana dia?" Bagas mencari lagi ke belakang rumah. Ia pun bernafas lega saat melihat sosok Lily yang sedang menggendong anaknya. "Lily..." Mendengar panggilan Bagas, Lily pun menoleh. Bagas segera berlari ke arahnya. Ia membungkuk di hadapan Lily sambil memegang kedua tangannya. Lily yang sedang menggendong bayinya sedikit tersentak kaget karena perlakuan Bagas yang tiba-tiba. "Ada apa?" "Pindah ke rumahku untuk sementara. Aku—" belum selesai bicara, Lily menginterupsi kalimat Bagas dengan gelengan kepala. "—kenapa?" "Aku bisa hadapi. Kamu
Rayyan kembali ke kantornya dengan keadaan tak tenang. Ia kembali memikirkan perbincangan dirinya dan Bagas tadi pagi. Tentang niat Lily dan Bagas yang akan menikah, tentang anak yang dibicarakan juga oleh Nayya, tentang kemungkinan dirinya tak bebas bertemu dengan anak-anaknya kelak. Kembali ia merenungi, sejauh apa ia terlalu banyak melangkah maka yang ia lakukan kali ini sangatlah fatal. Ia menyesal membuang berlian semahal Lily hanya untuk meraih perak di depan matanya. Pikirannya yang kalut ternyata membawa perubahan pada sikapnya di depan anak buah. Berkali-kali ia salah menangkap maksud sekretarisnya. Beruntung ada Abi yang siap mendengarkan keluh kesah sang sekretaris. "Sedang memikirkan apa? Pekerjaan yang kau lakukan salah semua." Abi datang, duduk dengan angkuh di depan Rayyan yang masih terdiam sejak ia datang. "Aku akan mengadukan pada—" "Jangan bertingkah menyebalkan hari ini. Aku sedang tidak ingin berkelahi," jawab Rayyan yang ditanggapi tidak suka dari Abi. "Kau
Hari pernikahan pun tiba. Bagas dan Lily dipersatukan kembali menjadi sepasang kekasih lalu menikah atas nama cinta. Keduanya tertawa bahagia saat mereka telah sah menjadi pasangan suami istri yang seharusnya mereka rasakan sejak dulu. Jodoh memang tak pernah kemana tapi dia ada dimana kau membutuhkannya. Sekian tahun Bagas sabar menjalani kisah cintanya yang berliku-liku, kini semuanya terbayarkan setelah ia berhasil melewatinya. Cinta pertama dan terakhirnya untuk Lily terjawab sudah. "Selamat ya, Lily sayang. Semoga langgeng." Tya mengucapkan selamat pada sahabatnya yang kini berdiri di pelaminan menyambut tamunya. Ia tersenyum bahagia melihat Lily kembali tersenyum setelah duka yang menyelimutinya satu tahun lalu. "Terima kasih Tya." Berbagai ucapan selamat pun mengalir untuk Lily, tak terkecuali dari Rayyan yang terdiam di balik kemudi depan gedung acara pernikahan. Ia datang bersama Abi dan telah berjanji untuk tidak mengacau jalannya acara pernikahan termasuk mengucapkan se
Dughh!! Mobil yang ditumpangi oleh Rayyan menabrak pinggir jembatan. Lampu depan pecah dan bunyi alarmnya terdengar cukup keras. Rayyan tersadar dari lamunannya lalu memutuskan untuk keluar dari dalam mobil. Ia butuh udara segar. Rayyan berdiri di sisian jembatan. Matanya tertuju pada ramainya lalu lintas di bawah sana. Terbersit pikiran kotor untuk mengakhiri hidupnya. Namun lagi-lagi ingatannya tentang Lily kembali membawanya pada kewarasan. "Aku harus hidup demi kedua buah hatiku," bisiknya dalam diam. Rayyan belum pernah bertemu kedua anaknya dan ia tak mau mati konyol hanya karena kebodohan. Ia pun segera ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya. Sementara itu, Nayya yang sejak sore tadi sudah berada di rumah menjadi sedikit cemas karena sosok Rayyan yang belum juga kembali. Ponselnya pun tidak aktif. Nayya mencoba menghubungi beberapa rekannya tapi hasilnya nihil. Rayyan tak ada dimana-mana. "Kemana perginya Rayyan?" Nayya terus mencari cara agar bisa tahu dimana suam
Mengerikan. Rayyan mendapati sang ayah tersenyum sendiri saat duduk satu ruangan dengannya. Ia terus menerus mengecek ponselnya lalu kembali tersenyum tanpa tahu apa sebabnya. Sebagai anak yang baik, Rayyan tentunya sangat penasaran mengapa ayahnya terlihat bahagia hari ini. Tak seperti biasanya. "Papa sedang merencanakan apa?" ujar Rayyan yang kini sudah risih dengan tingkah Ardiwira. "Oh, papa sedang melihat beberapa koleksi perhiasan. Sepertinya cocok untuk mama," jawab Ardiwira sembari memperlihatkan isi ponselnya. "Papa tidak sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan Lily kan?" tanyanya lagi. Ardiwira mengangguk pelan. Namun Rayyan tak langsung percaya padanya. "Papa mau kamu datang ke rumah besok Sabtu. Ada sesuatu yang akan papa bicarakan," perintah Ardiwira dengan mata tertuju pada Rayyan. Ia menutup ponselnya lalu menopang satu kakinya dengan santai. "Ini serius dan kamu bawa juga Nayya kesana." "Untuk apa? Bukankah papa tidak suka padanya?" "Apa dia selamany
Mata Lily terlihat kosong. Sejak Bagas pulang kerja sore tadi, ia hanya berdiam diri di kamar sambil memandangi kedua anaknya. Sesekali Lily beranjak ke dapur untuk makan lalu kembali lagi ke kamar. Bagas mengerutkan dahinya. Ia pun akhirnya memberanikan diri untuk bertanya padanya. "Kamu kenapa, sayang? Ada yang mengganjal hati?" "Tadi siang dia datang. Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah ini." Lily mengembuskan napasnya yang terasa sesak di dada. "Dia mengajakku menemui Ardiwira. Mrnurutmu, aku harus menurutinya atau tidak?" "Apa yang diinginkan Ardiwira darimu?" Bagas mengubah posisinya. Matanya ia fokuskan pada Lily. "Dia meminta si kembar? Kumohon jangan." "Sampai mereka nangis darah pun tidak akan aku berikan." "Tidak salah kalau aku mengajukan status si kembar ke pengadilan," ujar Bagas. Ia berdiri mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop berwarna coklat yang terlihat tebal dari luar. "Minggu depan kita sidang. Si kembar akan sah jadi anak kandungku." Ma
Nayya tak sabar menunggu informasi yang diberikan oleh orang suruhannya. Sejak tadi ia gelisah melirik arloji di tangannya menunggu kedatangan si pemberi pesan. Tak lama kemudian, datanglah sang informan menghadap padanya. Mata Nayya berbinar saat melihatnya. Ini hari yang sangat ia tunggu. "Lama sekali," sindir Nayya. "Sabar, bos." Nayya tersenyum melihat hasil yang didapatkan dari informan yang ditunjuknya. Ada dua foto yang membuatnya yakin jika itu adalah Lily yang tengah ia cari keberadaannya. "Kerja bagus. Mereka ada di Bandung?" informan itu mengangguk. "Sisa bayaran saya transfer langsung." "Terima kasih, bos." Setelah menyelesaikan tugasnya, informan itu segera pergi meninggalkan Nayya. Istri Rayyan itu menghitung-hitung seberapa banyak uang yang bisa ia dapatkan dari Ardiwira setelah rencananya berhasil. "Apa aku akan dapat satu miliar? Ah, terlalu kecil. Lima miliar cukup? Ah, bisa foya-foya seumur hidup." Nayya yang sudah mengantongi alamat Lily segera melajukan
"Hai, sayang." Nayya menyapa dari balik meja dapur. Rayyan hanya melihatnya sekilas dan berlalu masuk ke dalam kamar. Nayya mengikutinya dari belakang. Tanpa diduga, Nayya dengan sigap mengambil pakaian Rayyan dan menaruhnya di atas tempat tidur. Lalu ia juga menyiapkan bak mandi untuk suaminya yang biasa berendam. "Aku sudah siapkan semuanya. Aku siapkan makan malam dulu," ujar Nayya yang bersiap pergi dari kamar. Tangan Rayyan menarik pelan lengan Nayya disertai dengan tujukan tajam alis yang membuat Nayya terdiam. "Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanya Rayyan. Genggaman tangan Rayyan semakin mengeras dan itu membuat Nayya sedikit kesakitan. "Mas, jangan gini. Aku bisa jelaskan semuanya." Nayya berusaha melepas genggaman tangan Rayyan namun tak berhasil. "Katakan, siapa yang telah mencuci otakmu hingga kamu berubah secepat ini!" teriak Rayyan lepas. Nayya ketakutan. Ia menunduk menutupi wajahnya yang gemetar menahan tangis. "Katakan! Bukan tangisan yang aku inginkan!" Rayyan me
"Kamu menyembunyikan sesuatu dari papa?" Rayyan tak bisa berkutik. Matanya yang gelisah berpendar ke segala arah memastikan rasa gugupnya hilang. Ia menggeleng kemudian. "Tidak, Pa." Rayyan merasa jawabannya salah. Ayahnya masih terus mengintimidasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. "Yakin? Kamu tidak mau bercerita?" Rayyan menggeleng ringan. "Rayyan tidak tahu apa yang harus diceritakan. Apa ini menyangkut kinerja?" tanya Rayyan penasaran. "Bukan. Ini semua tentang mantan istrimu." "Kenapa dengan Nayya?" Ardiwira terkekeh. Tangannya pelan menepuk bahu sang anak yang terlihat menegang. "Papa dengar, dia sudah berhasil ditemukan. Kamu tahu?" tanyanya yang lagi-lagi dengan tatapan intimidasi. "Aku tidak tahu," jawab Rayyan. "Benarkah? Lalu apa yang kamu lakukan di toko perlengkapan bayi beberapa waktu lalu?" mata Rayyan membola. Ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya. "Oh, aku membelinya untuk teman." "Benarkah?" Rayyan mengangguk. "Mata-mata papa banyak loh." Rayyan me
Rayyan mendengus kesal. Tangannya ditarik masuk ke dalam sebuah toko besar bertuliskan nama merk pakaian terkenal yang menjadi kesukaan Nayya. Ia berdiri mematung di depan sebuah etalase pakaian tanpa bergeming sedikitpun. Sedangkan Nayya berjalan kesana kemari mencari sesuatu yang sepertinya tidak ada di toko itu. "Aku harus kembali ke kantor sore ini. Ada rapat besar menanti. Kalau kamu masih ingin belanja, aku berikan saja kartu kreditnya. Kamu belanja sendiri," keluh Rayyan. Ia membuka dompet lalu menyerahkan begitu saja kartu kredit miliknya kepada Nayya. Namun anehnya, Nayya menolak dan mengembalikan lagi kartu kredit itu. "Yang aku butuhkan bukan kartu kredit kamu, Mas. Kamu sadar tidak? Kamu jarang ada waktu sama aku." Nayya bersuara sedikit keras hingga pengunjung toko menoleh pada mereka berdua. "Tapi tidak dengan hari kerja." "Hari libur juga kamu tidak pernah ada waktu untuk aku. Beberapa bulan kamu selalu pergi ke luar rumah saat akhir pekan. Apa kamu pikir aku tidak
Nayya berdecak kagum saat mematut di depan cermin. Pakaian dan riasan yang ia kenakan tak hentinya ia puja setinggi langit. Begitu pula dengan perhiasan yang juga dikenakannya. Semuanya model terbaru dan terbaik yang pernah ia miliki. Cantik dan juga berkelas. "Bagaimana, Mas? Bagus bukan?" tanya Nayya memamerkan kalung dan juga cincin permata yang belum pernah dilihat kepada Rayyan suaminya. "Bagus," jawab Rayyan malas. Pria itu mengangkat tubuhnya dan berjalan bagai tak ada gairah hidup. Perlahan tubuh itu menghilang masuk ke kamar mandi dan Nayya hanya memandanginya dengan wajah tak peduli. "Nanti jemput aku di tempat biasa ya sayangku. Aku mau pergi dulu." Nayya berteriak dari luar. Rayyan tak menjawabnya. Nayya pun berteriak lagi, "Sayang, kamu dengar kan apa yang aku katakan?" "Aku ada rapat sampai malam. Minta bantuan supir papa saja," balas Rayyan. Nayya menghentakkan kakinya. Ia kesal. Niatnya menyuruh Rayyan untuk menjemput karena ingin ia pamerkan ke teman-temannya. La
Keadaan rumah tangga Lily berjalan dengan bahagia. Ia bersama orang yang tepat, Bagas. Pria yang dulu adalah mantan kekasihnya itu amat sangat mencintai Lily hingga rela menunggunya pisah dari Rayyan dan akhirnya menikah dengannya. Dulu sebelum Lily bercerai dari Rayyan, Bagas pernah punya firasat jika suatu hari nanti wanita kesayangannya itu akan kembali ke pangkuannya. Ia yakin dengan hal itu. Kini, firasat itu terbukti menjadi kenyataan. Lily resmi menjadi istrinya walau harus dengan status berbeda. "Kamu kapan pindah permanen ke Bandung?" tanya ibunda Bagas yang sudah tujuh kali terus menanyakan hal yang sama. Bagas melirik Lily yang nampak tak peduli dengan pertanyaan untuk suaminya. "Heh, ditanyain kok diam saja?" "Belum ada izin penuh dari kantor. Bagas masih diperlukan di Jakarta. Mungkin hanya tiga hari dalam seminggu berada di Bandung," jawab Bagas setengah tak percaya diri karena ucapannya. "Kalau gitu, jangan ajak Lily bolak-balik Jakarta Bandung. Biar dia menetap di s