Keadilan perlu ditegakkan demi menciptakan keharmonisan
–
Berbanding jauh oleh Flora. Cewek itu amat terkesiap mendapat reaksi spontan berupa sentuhan fisik yang sebenarnya diidam-idamkan. Nahas, bukan seperti harapan yang dipenuhi kasih sayang, justru berbentuk luka kepalang dalam. Memunculkan nyeri sampai ke ulu hati. Tak bisa berkata banyak—sekadar menyalahkan tuduhan—karena terlanjur diredam kekecewaan.
"Ma ...." Fiona membuka obrolan, mencoba mencairkan keadaan. Berjalan perlahan mendekati raga yang naik-turun beraturan, terlalu jelas sedang menetralkan deru napas.
Tatapan nyalang Prisha tidak lepas begitu saja dari iris kecokelatan anak kedua seolah memutus kesempatan Flora untuk membuka suara.
"Ma, adik nggak salah. Dia nggak salah apa-apa," beo cewek berparas menawan tertutup bekas lebam. Menggapai pundak sang wanita paruh baya, memberi elusan lembut berupaya menghentikan perdebatan sarat kesalahpahaman.
"Nggak, Fi. Semuanya memang salah dia. Anak itu sudah berjanji pada Papa dan Mama untuk menjaga kamu di sekolah baru. Nyatanya apa?" kelakar Prisha mengenyahkan nada lembut seperti biasa. Amarah meletup-letup kontras akan sorot membara terus tertuju ke arah cewek bermata sayu. "Pendusta!"
"Mama ...." Fiona merengek tatkala ungkapan kasar yang pasti menimbulkan luka teramat pedih bagi sang adik keluar mulus melalui wanita paling berharga.
Dia tidak sanggup lagi memperhatikan air muka Flora yang semakin nyata memunculkan nestapa. Amukan dahsyat dari Prisha menyadarkan satu hal bahwa tindakan adiknya selama ini pasti ada sangkut paut terhadap perlakuan wanita itu. Selagi bisa membuka mata batin untuk menilai, peristiwa ini juga menciptakan rona baru dalam keluarga. Tak lagi seharmonis dahulu kala. Ketidakberadaan Prabu menambah kesan pilu mendera sekumpulan makhluk berjenis kelamin perempuan ini.
Fiona harap-harap cemas menatap iba cewek berparas secantik dirinya berjarak lima langkah. Dia ingin Flora mengungkapkan keluh kesah yang sudah lama mendekam rapat dalam hatinya. Akan tetapi, menyadari kebisuan nan kepasifan cewek itu menanggapi celetukan pedas Prisha melenyapkan setumpuk harapan.
Daripada berlama-lama menyatukan dua makhluk yang berseteru, Fiona memutuskan menarik lembut badan berisi sang mama, membawa pergi dari hadapan Flora. Tidak ada ambisi tercipta manakala menangkap pandangan kosong cewek itu. Fiona paham betul bagaimana remuknya batin nan raga si kembaran. Maka, inilah pilihan paling tepat alih-alih menyuruh Flora menghilang dari hadapan Prisha.
"Kita ke kamar saja, ya, Ma?"
Tanpa menunggu persetujuan, Fiona terus menarik pergelangan sang mama. Meski butuh beberapa waktu karena Prisha masih mengobarkan api melalui pancaran netra, kedua kaki pun akhirnya turut mengikuti ajakan putri sulungnya. Membiarkan tubuh dibawa menaiki anak tangga menuju ruang pribadi bersama sang suami.
Sementara Flora masih betah terjun ke dalam dunia imajinasi. Enggan mempercayai kenyataan pahit mengenai kebengisan Prisha terhadap dirinya.
***
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Fiona mondar-mandir di dalam kamar memikirkan nasib tragis sang adik. Terakhir kali dia ke dapur guna mengambil segelas air, menemukan Flora betah berdiri membeku persis patung. Di tempat sama seperti tidak ada pergerakan terjadi selama dirinya berhasil menenangkan Prisha. Ketika azan maghrib menggema, saat itulah mata lumayan lebarnya tak lagi menemukan keberadaan sang adik.
Beragam pikiran buruk bermunculan, paling membuat debaran menggila ada kemungkinan bunuh diri. Tidak! Fiona mengusir dugaan kotor. Mengupayakan otak menerima lontaran positif saja. Namun, selalu menghasilkan kegagalan. Dia ditikam penasaran yang betulan mengambil alih ketenangan.
"Flora ... Di mana kamu sekarang ...," gumamnya gusar.
Ketika akal berkelana bebas, indra pendengaran menangkap derit pintu tertutup. Jelas sekali bahwa suara itu berpusat dari ruang depan, yaitu kamar Flora. Fiona pun bergegas keluar, mengecek langsung keberadaan sang adik di dalam ruangan. Hampir menggerakkan gagang sebelum pemikiran tentang dirinya yang begitu menyebalkan hadir memenuhi isi kepala.
Fiona sadar keberadaannya di mata Prisha jauh berbeda. Dia pun mulai menerima risiko atas segala perlakuan yang diberikan adiknya nanti, sampai kapan pun. Bertekad dalam hati, berusaha memperjuangkan hak sama antara anak dari Prisha dan Prabu.
Niatan masuk ke dalam seketika pudar, perlahan-lahan kembali memasuki kamar sebelum panggilan sang mama terdengar.
"Belum tidur, Nak?"
Fiona menerbitkan senyum tipis sembari menggeleng lemah. Pandangannya sempat mengarah ke samping, tempat sang adik menyembunyikan kepedihan seorang diri. Hal itu tak lepas dari pengawasan mata tajam Prisha. Dia mengeluarkan decak, mengulurkan tangan guna memberi elusan sayang di puncak kepala anak sulungnya.
"Tidur, yuk? Sudah malam, lho. Besok mama anterin kamu ke sekolah," tutur Prisha tanpa menghentikan aktivitas mengabsen surai legam Fiona, membuat lawan bicara mendadak membulatkan mata.
"Kenapa mama ke sekolah?"
Prisha menjauhkan tangan, mengubah ekspresi kembali garang. "Tentu saja untuk meminta pertanggung jawaban dari pihak sekolah karena ada yang melukai putri mama."
"Apakah Mama akan melakukan hal sama saat Flora terluka seperti aku?"
Wanita paruh baya itu sempat terkejut mendengar pertanyaan sarkas dari anak kebanggaannya. Air muka garang berganti datar serupa keramik lantai. "Ya," balasnya singkat.
Fiona menghela napas panjang, tidak mengerti alasan dibalik sifat buruk sang mama dalam menghadapi dua anak. Padahal, orang tuanya dikaruniai dua putri saja, tetapi mengapa sangat senang membuat bencana dalam keharmonisan keluarga?
"Mama tidak adil dengan kami," ungkap Fiona memunculkan sorot kecewa.
"Apa maksudmu? Mama sudah berusaha maksimal memberikan kasih sayang kepada kalian," sanggah Prisha mulai tersulut amarah.
"Tapi, Ma—"
Bunyi pintu terbuka mengalihkan perhatian dua manusia yang berdebat di sana, memotong bentuk protes Fiona kepada wanita di depannya. Tampak Flora berdiri dengan tatapan kosong. Sekilas cewek itu mirip seperti makhluk kekurangan asupan energi, amat mengenaskan.
"Flora—"
"Belum tidur juga? Ngapain aja di dalam?" Prisha lagi-lagi memotong suara Fiona.
Bukankah jelas berbeda perlakuan Prisha terhadap dua anaknya? Bandingkan saja ketika menanyakan kondisi anak yang hingga saat ini masih terjaga. Nada Prisha cenderung ketus saat berbicara kepada anak kedua.
"Lo." Flora menunjuk Fiona melalui sorot mata yang sedikit menajam, mengabaikan pertanyaan wanita paruh baya di depan. "Nggak perlu belain gue," imbuhnya setenang air di lautan tak berpenghuni.
Cewek itu hendak berjalan menjauh, tetapi gagal karena cengkeraman kuat dari Prisha menimbulkan sakit luar biasa di sekujur kepala. Wanita berperan antagonis begitu profesional menarik surai kecokelatan Flora yang menjuntai bebas.
"Mama!" pekik Fiona seraya mencoba melepaskan cekalan wanita itu dari ratusan rambut sang adik.
"Anak tidak tahu diri! Berani sekali kamu mengabaikan mama!" sembur Prisha berbalut kemurkaan.
"Mama ... please ... stop!"
Racauan Fiona tak menghasilkan apa-apa, malah memperkuat kepalan yang hampir saja bisa merontokkan seluruh helai rambut Flora.
"Aku pasrah, Ma. Mau mati sekarang pun aku sanggup," ujar Flora yang kini terpejam seolah meresapi pedih teramat sangat yang menghujam kepala.
"Kamu mau mati? Baiklah."
"Mama!"
Bersambung
Seindah apapun hidup seseorang, pasti memiliki masa kejam yang membuat orang lain terkena imbas–"Mama!"Fiona tidak sanggup lagi mendengar lontaran kejam bagai belati mendarat mulus melalui bibir wanita paling dia sayang. Mungkin terdengar konyol kalau sifat lemah lembut Prisha selama enam belas tahun ini berubah sekejap mata menjadi seperti kerasukan setan. Antara mustahil terjadi dengan meragukan kasih sayang yang terus dia dapatkan.Beban pikirannya bertambah. Tak lagi mencakup perihal dunia remaja, melainkan menyebar hingga pertengkaran keluarga. Lingkup terlampau jauh baginya mengingat belum genap memasuki masa penuh pilihan. Namun, dia dituntut lebih dewasa dalam menangani kasus yang melibatkan saudaranya ini. Entah sanggup atau tidak, harapan tinggi menjulang selalu terulur kepada Tuhan. Melibatkan seluruh pihak sebagai bahan tambahan guna memperlancarkan serentetan doa.
Rasa iri normal terjadi. Yang tidak wajar ketika dibiarkan menguasai diri–Tak lagi melewati pekarangan rumah adalah rutinitas baru anak bungsu Wijaksana. Kehadiran yang justru dianggap bakteri menimbulkan lara menganga teramat pilu. Amanah Prabu terpaksa dilakoni demi mengharapkan kepulihan sosok kesayangan. Flora memandang miris tiap kali melirik bangunan megah menjulang indah. Dia seperti orang asing yang numpang hidup di sana. Tiga hari berlalu begitu berat. Pijakan kaki terkulai lemah acap kali memasukkan badan melalui pintu belakang. Prisha selalu menunggu kepulangan anak tercinta, mustahil dapat menghindari sorot nyalang ketika leluasa melewati pintu utama.Flora ingin cepat-cepat melihat senyum merekah penuh pesona di bibir Prisha, walau itu tidak diperuntukkan baginya. Sudah cukup hanya lewat perantara saja. Efek bahagia dapat menular begitu saja. Sederhana, tetapi sulit terlaksana. Apa lagi dia gagal tur
Tanpa disadari, banyak orang sekitar yang menyayangimu sepenuh hati–Pertanyaan gamblang kala sibuk merenung mengakibatkan waktu setengah jam istirahat terbuang sia-sia. Perut yang sedari pagi mengomel minta diberi asupan, nyatanya harus mengkerut menahan nyeri mati-matian. Flora tidak berbohong tentang jawaban sudah sarapan. Iya, makan roti pakai selai strawberry satu biji. Lalu meneguk separuh susu sajian sendiri. Sarapan praktis nan kurang mengenyangkan.Mengaduh terus-menerus sepanjang pembelajaran, Jihan memutuskan meminta izin untuk mengantar teman sebangkunya pergi ke UKS. Sekalian juga menabung tidur sebentar biar nanti malam puas maraton drama baru, ungkapnya jujur manakala kaki menyusuri koridor sunyi. Melewati banyak ruangan memicu rasa penasaran dua manusia berseliweran itu, meski sesekali Flora mencengkeram rok bagian bawah, merasakan gejolak perih mengoyak habis perutnya.Cewek i
Kamu tidak sendirian. Aku selalu bersamamu – "Bimbel kamu jadi gimana?" Flora menolehkan kepala, mengganti perhatian dari pemandangan jalanan menuju wajah tampan sang kekasih. Beruntung pikiran mengajak berdamai sejenak, menghalau beragam teka-teki maupun beban yang hendak mendekam. Akan tetapi, hal itu agaknya tidak berlangsung lama. Sebab, laki-laki mengemudikan kendaraan ini menyulut masalah baru, menggali sesuatu yang membuat otak berputar guna mencari jawaban paling tepat. Tak lekas mendapat sahutan, Rizal mencoba menggerakkan bola mata sekilas disela kesibukan memutar-mutar setir. Tampaknya cewek berambut kecokelatan itu dilahap lamunan panjang. Tentu saja tatapan kosong tercipta ditunjang dengan badan yang enggan bergerak bak patung. Menghela napas kasar, Rizal bingung menanggapi sifat kekasihnya akhir-akhir ini. Flora terlihat
Syukuri orang-orang sekitar yang memedulikanmu–Begadang membantu mengurus wanita tersayang membuat mata teramat berat sekadar terbuka guna memperhatikan pelajaran. Gerakan menguap berulang kali mengambil perhatian dua temannya. Anaya pun mendukung aksi tiduran Flora yang berujung terlelap pulas, tertinggal beberapa materi penting seputar pelajaran favorit. Sangat tidak beruntung dirinya gagal mendapat kesempatan menjadi anak teladan.Berhubung kelas bukanlah tempat paling ampuh untuk menuju alam mimpi, Flora berjalan ogah-ogahan memasuki perpustakaan. Hawa dingin langsung menghampiri, menyergap tubuh melalui celah seragam. Benar-benar ruangan ternyaman di seluruh sekolah. Dia hanya baru menyadari saja betapa nikmat mendekam lama-lama di dalam tempat berbau buku.Indra penglihatan melebar menemukan tempat kesukaan terang-terangan menyambut bahagia. Kaki bergerak cepat menghampiri bangku pojokan. Duduk tegap sepersekian detik sembari mengedarkan pan
Ketidakadilan itu nyata terasa ketika keluargalah pelaku sesungguhnya.–"Mama kok bawa dia ke sini?"Suara melengking khas cewek pubertas disertai wajah memerah padam ditunjang alis menukik tajam sarat akan emosi meledak-ledak. Iris kecokelatan bagai pisau tajam menghunus bergantian ke arah dua manusia di hadapannya. Semakin memancarkan kobaran api kala bersinggungan dengan mata indah milik perempuan berwajah sedikit mirip dengannya.Boneka beruang yang ada dalam dekapan pun terus bergerak seiring kedua tangannya terkepal erat. Benar-benar menyiratkan kebencian mendalam melalui sorot tajam bak elang. Dia melupakan keberadaan sosok berharga di sebelah. Semua berganti menjadi mimpi buruk. Kehadiran seseorang yang tak pernah diharapkan tiba-tiba berada dalam satu atap lagi dengannya."Jawab, Ma! Kenapa dia ada di sini?""Flora! Dia kakak kamu!"&nb
Semua perempuan akan menjadi primadona di tempat dan di mata yang tepat.–Sepuluh tahun lalu ketika masih mengenakan seragam putih merah, dua anak perempuan asik bertukar cerita di sela aktivitas menikmati sarapan. Melempar gelak, membahas kegiatan menyenangkan, sampai mengutarakan janji untuk memperbanyak momen bersama. Terlalu polos sekadar menyadari perbedaan mencolok di antara keturunan Wijaksana."Ma, minum."Sodoran gelas berisi minuman segera tertangkap manik kecilnya. Fiona tersenyum lebar, tak sungkan mempertunjukkan deretan gigi yang berlubang. "Terima kasih.""Buat Flora mana, Ma?"Bocah di seberang ikut bersuara. Menanti perlakuan sama sesuai adegan yang baru saja dia perhatikan. Tidak berpikir buruk sekalipun jauh dari harapan. Hanya saja, ekspresinya berubah sendu. Menghilangkan kadar keceriaan yang sempat terpatri menakjubkan.&nb
Orang paling berani adalah dia yang mengambil keputusan dan siap menghadapi risiko–Bel berdentang lima kali pertanda pembelajaran dihentikan sementara. Para murid mengucap salam serempak diiringi kegiatan menyingkirkan alat tulis di atas meja. Tak banyak dari mereka memilih mendekam, sebagian memutuskan meraup udara segar di luar kelas.Bagaikan kebiasaan yang sukar dihilangkan, Flora beserta Anaya dan Jihan menghabiskan jam istirahat dalam kantin. Menikmati beraneka hidangan penjual yang terpampang menggiurkan. Dua cewek bersuara lantang bertugas memesan jenis kudapan paling menyita perhatian, sedangkan Flora kebagian mengedarkan pandangan demi menjaga spot andalan aman dari incaran orang-orang.Duduk nyaman di tempat paling strategis yaitu bagian paling pojok, ketiganya bisa leluasa merasakan makanan dengan pemandangan riuh pada murid yang mengerumuni zona jajanan. Mencuri pandang ke bebera
Syukuri orang-orang sekitar yang memedulikanmu–Begadang membantu mengurus wanita tersayang membuat mata teramat berat sekadar terbuka guna memperhatikan pelajaran. Gerakan menguap berulang kali mengambil perhatian dua temannya. Anaya pun mendukung aksi tiduran Flora yang berujung terlelap pulas, tertinggal beberapa materi penting seputar pelajaran favorit. Sangat tidak beruntung dirinya gagal mendapat kesempatan menjadi anak teladan.Berhubung kelas bukanlah tempat paling ampuh untuk menuju alam mimpi, Flora berjalan ogah-ogahan memasuki perpustakaan. Hawa dingin langsung menghampiri, menyergap tubuh melalui celah seragam. Benar-benar ruangan ternyaman di seluruh sekolah. Dia hanya baru menyadari saja betapa nikmat mendekam lama-lama di dalam tempat berbau buku.Indra penglihatan melebar menemukan tempat kesukaan terang-terangan menyambut bahagia. Kaki bergerak cepat menghampiri bangku pojokan. Duduk tegap sepersekian detik sembari mengedarkan pan
Kamu tidak sendirian. Aku selalu bersamamu – "Bimbel kamu jadi gimana?" Flora menolehkan kepala, mengganti perhatian dari pemandangan jalanan menuju wajah tampan sang kekasih. Beruntung pikiran mengajak berdamai sejenak, menghalau beragam teka-teki maupun beban yang hendak mendekam. Akan tetapi, hal itu agaknya tidak berlangsung lama. Sebab, laki-laki mengemudikan kendaraan ini menyulut masalah baru, menggali sesuatu yang membuat otak berputar guna mencari jawaban paling tepat. Tak lekas mendapat sahutan, Rizal mencoba menggerakkan bola mata sekilas disela kesibukan memutar-mutar setir. Tampaknya cewek berambut kecokelatan itu dilahap lamunan panjang. Tentu saja tatapan kosong tercipta ditunjang dengan badan yang enggan bergerak bak patung. Menghela napas kasar, Rizal bingung menanggapi sifat kekasihnya akhir-akhir ini. Flora terlihat
Tanpa disadari, banyak orang sekitar yang menyayangimu sepenuh hati–Pertanyaan gamblang kala sibuk merenung mengakibatkan waktu setengah jam istirahat terbuang sia-sia. Perut yang sedari pagi mengomel minta diberi asupan, nyatanya harus mengkerut menahan nyeri mati-matian. Flora tidak berbohong tentang jawaban sudah sarapan. Iya, makan roti pakai selai strawberry satu biji. Lalu meneguk separuh susu sajian sendiri. Sarapan praktis nan kurang mengenyangkan.Mengaduh terus-menerus sepanjang pembelajaran, Jihan memutuskan meminta izin untuk mengantar teman sebangkunya pergi ke UKS. Sekalian juga menabung tidur sebentar biar nanti malam puas maraton drama baru, ungkapnya jujur manakala kaki menyusuri koridor sunyi. Melewati banyak ruangan memicu rasa penasaran dua manusia berseliweran itu, meski sesekali Flora mencengkeram rok bagian bawah, merasakan gejolak perih mengoyak habis perutnya.Cewek i
Rasa iri normal terjadi. Yang tidak wajar ketika dibiarkan menguasai diri–Tak lagi melewati pekarangan rumah adalah rutinitas baru anak bungsu Wijaksana. Kehadiran yang justru dianggap bakteri menimbulkan lara menganga teramat pilu. Amanah Prabu terpaksa dilakoni demi mengharapkan kepulihan sosok kesayangan. Flora memandang miris tiap kali melirik bangunan megah menjulang indah. Dia seperti orang asing yang numpang hidup di sana. Tiga hari berlalu begitu berat. Pijakan kaki terkulai lemah acap kali memasukkan badan melalui pintu belakang. Prisha selalu menunggu kepulangan anak tercinta, mustahil dapat menghindari sorot nyalang ketika leluasa melewati pintu utama.Flora ingin cepat-cepat melihat senyum merekah penuh pesona di bibir Prisha, walau itu tidak diperuntukkan baginya. Sudah cukup hanya lewat perantara saja. Efek bahagia dapat menular begitu saja. Sederhana, tetapi sulit terlaksana. Apa lagi dia gagal tur
Seindah apapun hidup seseorang, pasti memiliki masa kejam yang membuat orang lain terkena imbas–"Mama!"Fiona tidak sanggup lagi mendengar lontaran kejam bagai belati mendarat mulus melalui bibir wanita paling dia sayang. Mungkin terdengar konyol kalau sifat lemah lembut Prisha selama enam belas tahun ini berubah sekejap mata menjadi seperti kerasukan setan. Antara mustahil terjadi dengan meragukan kasih sayang yang terus dia dapatkan.Beban pikirannya bertambah. Tak lagi mencakup perihal dunia remaja, melainkan menyebar hingga pertengkaran keluarga. Lingkup terlampau jauh baginya mengingat belum genap memasuki masa penuh pilihan. Namun, dia dituntut lebih dewasa dalam menangani kasus yang melibatkan saudaranya ini. Entah sanggup atau tidak, harapan tinggi menjulang selalu terulur kepada Tuhan. Melibatkan seluruh pihak sebagai bahan tambahan guna memperlancarkan serentetan doa.
Keadilan perlu ditegakkan demi menciptakan keharmonisan–Hawa sekitaran mulai memanas. Dua manusia berstatus sebagai ibu dan anak saling melemparkan pancaran berbeda. Keheningan meluap bebas tanpa ada seorang pun menghancurkan dengan seuntai kalimat penenang. Bagai penonton gratisan, Fiona tampak terkejut mengetahui kesalahpahaman itu. Namun, belum berani menengahi amarah Prisha yang membludak drastis.Berbanding jauh oleh Flora. Cewek itu amat terkesiap mendapat reaksi spontan berupa sentuhan fisik yang sebenarnya diidam-idamkan. Nahas, bukan seperti harapan yang dipenuhi kasih sayang, justru berbentuk luka kepalang dalam. Memunculkan nyeri sampai ke ulu hati. Tak bisa berkata banyak—sekadar menyalahkan tuduhan—karena terlanjur diredam kekecewaan."Ma ....
Kasih sayang orang tua adalah anugerah terindah–"Mikirin apa?" Rizal menolehkan kepala menyamping, meneliti ekspresi bimbang yang terpampang jelas menghiasi wajah cantik kekasihnya.Sedari awal memasuki mobil, Flora memang terlihat sibuk memikirkan sesuatu. Entah hal apa yang berhasil memenuhi otak gadisnya, tetapi Rizal belum memutuskan menanyakan secara langsung atas rasa penasaran dalam dirinya. Menunggu beberapa menit kemudian berharap Flora segera membuka mulut, sekadar mencairkan suasana seperti biasa. Namun, sampai perempatan— jalanan hampir memasuki komplek perumahan, cewek itu terus-menerus bungkam.Maka, Rizal menceletuk bertepatan lampu merah menyala terang. Mengalihkan seluruh pusat perhatian dari jalanan ke pahatan tanpa celah milik sang dambaan hati. Walau sudah melambungkan suara, nyatanya kesadaran Flora belum juga kembali. Menghela napas panjang, tangan Rizal pun terulu
Gerakan spontan adalah kejujuran–Flora berjalan menepi, masih mencengkeram kuat pergelangan tangan cewek di belakangnya. Menuntut Fiona bergerak mengikuti tanpa menerima penolakan sedikit pun. Jauh dari dugaan yang sempat hinggap dalam pikiran, cewek berperawakan lebih kurus itu justru diam menurut seolah pasrah saja hendak dibawa ke mana oleh sang adik. Tentu saja beragam pikiran berkecamuk liar menutupi luapan amarah yang sempat meraup habis menutupi akal sehat.Berbelok memasuki ruang kelas XI-IPA 2, cekalan Flora akhirnya terlepas. Dua siswi berwajah hampir sama saling berhadapan, menyembulkan sorot masing-masing. Air muka cewek bernama lengkap Flora Gavesha Wijaksana berubah bingung manakala menangkap tatapan kosong Fiona. Ternyata jiwa cewek itu sedang menikmati dunia fantasi. Pantas saja rasanya Flora tengah menyeret benda, alih-alih manusia.Menajamkan indra, Flora dililit penasaran j
Terlalu buru-buru adalah tindakan paling merugikan.–Fiona sudah bersiap membawa tubuh ke luar ruangan. Kebetulan sempat menangkap sosok adik kembarannya melintas bersama dua cewek yang pernah melakoni perkenalan singkat bernama Anaya Anvika dan Jihan Farahah. Ada keinginan memiliki hubungan lebih dekat dengan mereka melihat betapa asiknya ketiga cewek itu bercengkrama di tengah padatnya lalu lintas area sekolah saat ini.Anggap saja sebagai pembentukan eksistensi agar namanya bisa sebagus di sekolahnya dulu. Maka perlu berbagai upaya, salah satu cara adalah dengan menempeli Flora. Dia sempat mengira adiknya tidak akan mengambil predikat siswi terkenal di tempat semegah SMA Tunas Harapan yang digadang-gadang selalu sukses mengeluarkan ratusan murid berprestasi setiap tahun. Akan tetapi, mengingat nilai rapor sodoran Prabu semalam serta meneliti langsung setiap pergerakan membuktikan atensi Flora benar-benar nyata.