Aroma obat-obatan menyengat menyeruak di indra penciuman Nimas, ia mulai sadar dari tidurnya memegang kepalanya yang terasa pusing. Ruangan putih menjadi hal pertama yang dilihat. Ia baru teringat tragedi Arjuna yang tak sengaja membuatnya terjatuh dari tangga.Nimas melihat Yudhistira tertidur pulas dengan tangan bersidekap di kursi samping ranjangnya. Posisi tidur yang sangat tidak nyaman yang pasti bisa membuat badan Yudhistira pegal. Nimas mendudukkan dirinya perlahan."Pak Tira..." Nimas mengusap lengan Yudhistira, membuat sang empunya terbangun."Nimas kamu sudah bangun? Mana yang sakit? Apa perutmu sakit, kepala? Bentar saya panggil dokter buat kamu..." Yudhistira hendak beranjak dicegah Nimas."Pak.." kepanikan Yudhistira tentu dapat dirasakan oleh Nimas.Nimas menarik Yudhistira untuk duduk disamping ranjangnya. "Saya baik-baik saja Pak. Bapak jangan panik ya," ujar Nimas.Perempuan itu tidak tahu, darah dan rumah sakit adalah dua hal yang membuat seorang Yudhistira trauma.
"Lebih baik Abang pulang, yang di rumah sudah menunggu."Puluhan kali ponsel Arjuna berdering sejak pria itu masih berada di ruangan rawat Nimas.Arjuna tersenyum menerima piring yang disodorkan oleh penjual nasi goreng tak jauh dari rumah sakit tempat Nimas dirawat.Setelah Yudhistira pulang, dan Nimas yang kembali tertidur setelah meminum obat. Arjuna meminta Bisma untuk menemaninya mencari makan, sejak siang perutnya belum terisi dengan makanan, sebab Arjuna sibuk mencari tempat dimana temannya mengatakan pernah melihat Nimas disana beberapa hari yang lalu. Arjuna mulai menyendok makanan ke dalam mulut dan berusaha mengabaikan tatapan tidak lepas dari pria yang merupakan adik kandungnya itu. Ia hanya ingin menemani wanita yang masih menjadi istrinya, tidak perduli dengan penilaian orang."Abang sudah berani nikah lagi, itu artinya Abang sudah tahu konsekuensinya." sendok di tangan Arjuna berhasil tergantung di udara. Ucapan Bisma yang menjadi penyebabnya."Maksudnya, aku tidak di
Sepeninggalan Arjuna Bisma mendekati Nimas yang masih terpaku pada pintu yang tertutup.Tanpa bertanya sebenarnya Bisma bisa melihat raut kecewa dari wajah perempuan dihadapannya.Entah kecewa karena sebab apa? Bisma tidak paham.Perlahan pipi Nimas kembali basah yang membuat mau tidak mau Bisma kian mendekat, Nimas seolah melupakan keberadaan Bisma."Kenapa menangis?" Bisma bertanya dengan raut khawatir. Nimas tersenyum dalam tangisan lalu menggeleng pelan."Tidak, aku hanya sedang merasa lega." jawab Nimas pada pemuda itu.Bisma lebih mendekat lagi, lalu ia menghapus air mata Nimas."Jika kamu bahagia, kamu hanya perlu tersenyum dan tertawa. Jangan membawa tangisan dalam kebahagiaan." nasehat Bisma pelan. Nimas membalas dengan senyuman."Apa kamu masih mencintai Abangku?" Nimas terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia menggeleng sambil menahan tangisan."Jangan berlari jika dari awal kamu sudah memilih untuk tinggal. Masalah itu ada untuk dihadapi bukan dipunggungi. Sekarang kamu hany
Arjuna melangkah tanpa semangat memasuki mobil nya yang terparkir didepan gedung putih. Dua puluh menit yang lalu, dia dan Nimas resmi bercerai.Sejak pertemuan terakhir mereka di rumah sakit hingga kini Arjuna kehilangan jejak Nimas. Perempuan yang masih mengisi hatinya itu bak hilang ditelan bumi.Rumah tangga Arjuna bersama dengan Winda masih baik-baik saja, walaupun seiring berjalannya waktu mereka kerap berselisih paham.Arjuna memijit pelipisnya dia tidak bisa mikir, bahunya kembali luruh wajahnya kembali tersaput mendung.Sudah hampir satu jam sejak Arjuna meninggalkan gedung pengadilan agama, tapi pria itu masih enggan untuk pulang.Seperti mimpi buruk yang jadi nyata itu yang Arjuna alami saat ini. Hubungannya dengan Nimas benar-benar sudah berakhir. Arjuna belum bisa menerima kenyataan ini, hatinya masih berharap akan ada keajaiban yang menyatukan mereka kembali. Dititik ini akhirnya air mata penyesalan Arjuna luruh jua, pria itu menangis diatas stir mobil yang sejak tadi me
Yudhistira buru-buru memasuki kediaman orang tuanya, tadi saat masih di tengah persidangan kepala pelayan mengabarkan jika bundanya baru saja terjatuh di kamar mandi. Hingga begitu keluar dari gedung pria dengan pakaian formal itu segera bergegas pergi untuk melihat keadaan ibunda tercinta."Bunda ngga apa-apa!" ujar bunda Zoe berulang kali pada Yudhistira yang terus bertanya mana yang sakit.Yudhistira menggenggam tangan bundanya dengan lembut. Masih tersirat raut kekhawatiran di netra tajamnya.Zoe tidak meragukan keperdulian Yudhistira karena sejak dulu ia tahu betul putranya itu sangat menyayanginya. Satu yang kurang dari Yudhistira ini yaitu kosa kata."Ayah sudah tahu?"Zoe mengangguk dan tersenyum bangga menatap putranya."Sudah, sedang dalam perjalanan." jawab Zoe masih dengan menatap wajah Yudhistira.Mengangguk, Yudhistira mengulas senyum.Zoe bersyukur memiliki Yudhistira, anak yang dia besarkan penuh cinta walaupun tanpa sosok ayah yang ikut menemani tumbuh kembangnya. Sep
"Kamu tunggu disini dulu." titah Yudhistira pada Nimas."Bapak mau kemana?" tanya Nimas khawatir, melihat Yudhistira ingin kembali masuk kedalam pusat pembelanjaan."Pria itu butuh dikasih pelajaran.""Pak kita pulang saja!" ajak Nimas tidak mau kembali terjadi keributan."Percaya sama saya." Nimas terkejut mendapati sorot mata tajam milik atasannya, seolah sorot itu mengatakan dirinya hanya perlu percaya saja.Nimas menatap nanar punggung Yudhistira yang menjauh, hatinya merasa cemas, Nimas tidak mau terjadi perkelahian karenanya.Dua saudara yang berbeda latar belakang dan watak. Kalau arjuna terkenal keras kepala dan pemarah. Sedangkan Yudhistira, tipe laki-laki pendiam, dingin dan tidak bisa ditebak. Mungkin karena sifatnya seperti itu, Yudistira benar-benar cocok menjadi seorang pengacara. Sifatnya tertarget sehingga lawan tidak menemukan celah kelemahannya.Tidak sampai sepuluh menit Yudhistira kembali, pandangan Nimas terpaku pada kepalan tangan pria itu yang terdapat noda dar
"Yudhistira!"Pria itu menoleh dan mendapati bundanya yang berdiri tak jauh darinya."Soal Nimas...,""Aku akan menyelesaikannya, bunda jangan khawatir."Bukan itu yang bunda Zoe harapkan keluar dari mulut putranya."Bunda menyukai Nimas?"Nah, ini dia.."Sangat!""Kenapa?" tangan Yudistira berpegangan pada teralis tangga. Matanya menatap sang Bunda dengan teduh."Nimas wanita baik-baik. Sudah dekat sama kita. Umur Kalian juga nggak beda jauh. Kalian cocok. Pada akhirnya kalian saling melengkapi."Yudistira, tidak menyalahkan penilaian bundanya. Tetapi ada keraguan karena Nimas adalah mantan kakak iparnya. Ya, walaupun Arjuna hanya dua bulan lebih tua darinya."Menikah itu bukan hanya hidup kalian. Tapi juga keluarga. Melihat bagaimana Nimas, seperti Bunda melihat anak bunda sendiri.Helaan nafas, disembunyikan Yudhistira. Ia sedang berusaha melawan keinginan hatinya. Mencoba mengalihkan prinsip yang sudah lama tertanam."Wanita lain di luar sana belum tentu lebih baik kan? Cukup ber
Tidak ada pilihan selain mempersilahkan ibu Arjuna masuk. Nimas membuatkan teh hangat untuk Rubiah yang sejak tadi terus memperhatikan sosok Nimas."Jadi berapa bulan usia kehamilanmu?" tanya Rubiah tanpa basa-basi."Jalan lima bulan, Bu." jawab Nimas mengganti panggilan Mama menjadi ibu.Nimas menceritakan soal Bisma yang memintanya tinggal disini sebelum menemukan tempat tinggal baru. Nimas juga terpaksa mengatakan akan segera pindah dalam beberapa hari kedepan.Rubiah tidak banyak bicara, mendengar jika Nimas akan segera pindah dia tenang."Ambil tas, aku ingin mengajakmu makan diluar." titah Rubiah tidak mau dibantah.Sementara Nimas menyesali ajakan Rubiah untuk makan di luar.Nimas dibawa oleh Rubiah ketempat makan dekat kantor Arjuna. Perasaan Nimas sudah tidak enak, tapi melihat ibu-ibu yang langsung menyambut dirinya dan mantan ibu mertuanya sedikit membuat perasaan Nimas lega."Ini mantan istrinya Arjun, dia juga sudah hamil." entah mengapa perasaan Nimas sedikit terusik men
"Jangan terburu-buru, saya tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang." Yudhistira menenangkan Nimas.Bukan soal paksaan, tapi ini perihal hati. Antara kebahagiaan dan masa depan.Menerima lamaran Bisma. Nimas rasa dia akan bahagia, karena pemuda itu memiliki sebagian hatinya. Akan tetapi Nimas harus siap ditinggal-tinggal. Waktu kebersamaan jelas tak seperti pasangan pada umumnya. Apakah dia sanggup?Menerima lamaran Yudhistira. Nimas rasa dia akan hidup berkecukupan. Cukup harta, cukup waktu, cukup segalanya. Yudhistira juga pasti menerima Vanilla, pria itu penyayang. Tapi Nimas ragu, karena hatinya memilih Bisma. Walaupun dia percaya ungkapan cinta datang karena terbiasa itu mungkin saja terjadi, Namun, apakah dia akan mengorbankan perasaannya untuk jaminan hidup?Beruntung kehadiran Bu Surti membuat obrolan mereka berganti topik. Ternyata Yudhistira memiliki kesamaan dengan Bisma. Sama-sama pintar mengambil hati Vanilla.Lihat saja saat ini putri kecil Nimas sudah berani duduk di
Winda menatap suaminya yang tengah memakan sarapannya dengan pandangan mengarah pada layar handphone. Sesekali terdengar suara decakan keluar dari mulutnya dan membuat Winda hanya bisa diam tanpa berniat untuk menanyakan apa yang terjadi.Hampir 4 tahun tinggal bersama membuatnya begitu hafal apa saja kebiasaan pria itu. Winda sudah tahu kebiasaan Arjuna. Kesukaannya, apa yang tidak disukainya, alergi apa. Semua tentang Arjuna nyaris dia ketahui semuanya.Sebenarnya Winda ingin membicarakan satu hal yang penting pada suaminya itu, tapi melihat Arjuna yang sudah bad mood di pagi hari, membuatnya mengurungkan niat tersebut. Lain kali saja sepertinya."Aku ingin bicara sesuatu." ujar Arjuna ketika istrinya ikut duduk di sampingnya."Sudah beberapa kali aku mengirim pesan pada Nimas, tapi tak juga kunjung mendapatkan balasan. Di telpon juga tidak diangkat."Dia baru tahu jika arjuna memiliki nomor Nimas bahkan sampai berniat menghubungi wanita itu. Sebelumnya pria itu tidak pernah mengat
Di hari minggu, biasanya Nimas akan mengajak Vanilla bermain di taman komplek yang letaknya tak jauh dari rumahnya, agar Vanilla bisa bermain bersama teman sebayanya. Berhubung hari ini mereka bangun terlambat, Vanilla hanya bermain di teras rumah ditemani secangkir coklat hangat dan potongan kue brownies. Melihat Bu Surti yang tengah sibuk dengan kebun mininya.Hingga sebuah mobil HRV hitam yang baru saja datang dan berhenti di depan pagar rumah, menarik perhatian Vanilla. Bu Surti lantas menghentikan kegiatan menyiram cabai dan daun bawang saat seorang pria paruh baya keluar dari sana, di susul oleh pria bertubuh jangkung yang tersenyum ramah ke arah wanita paruh baya itu."Pagi, Bu. Benar ini tempat tinggalnya Nimas?"Bu Surti lantas mematikan keran dan beranjak untuk membuka pagar."Iya, benar. Masnya ini siapa, ya? Apa mau pesan catering?"Pria tersebut semakin melebarkan senyumannya ketika Bu Surti menatapnya dengan bingung. "Saya Yudhistira, Bu. Saudara dari mantan suami Nimas t
Jemari menguntai aksara tentang mereka yang sedang mabuk dalam kesakitan dan memilih bertahan.Kehadiran seseorang diantara keduanya sama sekali tidak diinginkan, tapi dia tumbuh dengan cepat ingin mengumpulkan pecahan cermin yang pernah menjadi bukti keindahan cinta masa lalu dari salah satu di antara mereka.Mereka pernah saling mencintai, ada satu alasan yang membuat mereka menoleh bersamaan, tidak bisa diabaikan apalagi dibuang karena ini menyangkut darah.Arjuna sadar cepat atau lambat dia harus tetap menemui Nimas. Bukan karena karma yang membayangi hidupnya saat ini. Tapi karena ikatan darah daging yang mengharuskannya bertanggung jawab.Winda menatap nanar suaminya yang sejak tadi tenggelam dalam dunianya sendiri. Sejak pulang dari rumah sakit Winda merasakan perubahan yang signifikan pada suaminya.Arjuna kerap kali kepergok melamun, Setiap di tegur pria itu selalu beralasan sedang memikirkan pekerjaan.Tidak hanya Arjuna, Winda juga menyadari perubahan yang terjadi pada mert
Arjuna termenung di ruang kerja dengan kedua tangan saling bertaut. Pandangannya menatap lurus ke depan salat tengah memikirkan banyak hal dalam kepala.Setelah kejadian hari itu, Arjuna merasa ketenangannya tiba-tiba terusik. Dia tidak pernah merasakan lagi apa itu tidur nyenyak, makan enak ataupun hari yang bahagia. Setiap harinya, ia akan disibukkan oleh segudang kesibukan di kantor, dan malam harinya dia tidak bisa beristirahat. Otaknya seolah menolak untuk diajak istirahat se lelah apapun fisiknya.Hal tersebut mulai merubahnya perlahan, entah itu dari fisik yang tidak setegap dulu dan dia juga mulai kecanduan nikotin. Setiap hari pasti dia akan menghisap rokok karena hanya itu satu-satunya yang membuatnya merasa jauh lebih baik.Arjuna menyudahi renungannya, kakinya mulai melangkah ke arah kamarnya selama ini. Menatap sosok wanita yang tengah berbaring di atas ranjang seraya tertidur lalap setelah meminum obatnya.Sama halnya dulu mantan istrinya. Winda terlihat begitu menderita
"Menikahlah denganku, aku adalah wali nikah Vanilla yang sah." deru nafas Bisma memburu seperti lagu yang siap membawa Nimas melayang."Stop, Bisma!""Aku nggak bisa menahan perasaanku malam ini, Nimas." sahut Bisma tenang."Pak Bisma dini hari begini, masih sempat saja anda yaa?""Wah Ibu Nimas meragukan saya?"Bisma tertawa. "Aku benar-benar merindukanmu." ujar Bisma dengan suara lembut di akhir tawanya.Kali ini Nimas terdiam. Jika sebelumnya bisa saja Nimas mengira itu hanya candaan atau basa-basi Bisma semata, tapi dengan tindakannya malam ini yang berani mencuri kecupan di pipinya ini sudah membuktikan keseriusan pemuda itu dalam ucapannya."Kamu sadar nggak, seberapa dalam kamu menyakitiku saat memilih pergi, Nimas?"Astaga Bisma, kenapa dia malam ini? Nimas menjadi sangat gugup."Nggak sanggup ku ungkapkan seberapa sakit hati ini, jika saja kamu memilih pria lain yang lebih dariku rasanya lebih baik, dari pada kamu pergi tanpa bisa kulihat sedikitpun."Bisma terdiam, kedua m
"Aku capek. Aku capek karena terus berakhir sama. Aku benar-benar capek, Mas. Aku mau nyerah!" Arjuna merenggangkan pelukan mereka, menangkup kedua pipi Winda yang berurai air mata.Setelah melakukan kurete, kini Winda sedang beristirahat di kamarnya ditemani Arjuna yang sengaja hari ini tidak berangkat ke kantor. Untuk kegagalan kali ini mereka belum berani untuk memberitahukan kepada Rubiah. Takut wanita paruh baya itu kecewa dan berkata yang tidak-tidak."Dengerin aku. Selagi dokter masih bilang kita punya harapan, itu tandanya masih ada kesempatan lagi buat kita. Oke? Jangan nyerah, semua usaha kita pasti akan menunjukkan hasilnya nanti." Winda terisak, kedua matanya terpejam erat dan kedua tangannya memegang kedua lengan Arjuna."Aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku sulit kasih kamu seorang anak dan aku mulai cemas, kalau kamu jenuh sama aku. Aku takut kamu capek dengan semua ini. Aku benar-benar takut jika suatu hari nanti ibumu memintamu menikah lagi seperti saat dulu Nimas t
Setelah berhasil mengambil Vanilla dari bahu Genta, Nimas memaksakan senyum untuk lelaki itu."Mau ku antar pulang?" Tanya Genta, seolah tak tahu jika Nimas dan pria asing itu terlibat percakapan. Atau pria itu hanya pura-pura tidak tahu? Entahlah."Nanti aku pulang sendiri saja, masih ada sedikit urusan." Sekali lagi Genta melirik pada lelaki yang berada dalam satu ruangan dengan Nimas, tapi pada akhirnya pria itu mengalah dan keluar dari pintu yang sejak Bisma masuk memang dibiarkan terbuka.Bisma membalik badan, ketika suara langkah kaki terdengar menjauh. Seketika matanya berbinar-binar melihat sosok gemoy di gendongan Nimas."Nimas, dia ...," titik bening mengalir dari mata ibu satu anak itu, kepalanya mengangguk memberi jawaban atas tanya Bisma yang tak usai.Pemuda itu menarik kedua sudut bibirnya. "Dia cantik seperti ibunya." Nimas mengigit bibir bawah dan menatap nanar pada Bisma."Boleh aku menggendongnya?" Nimas tak lantas menjawab dia melihat pada putrinya yang saat ini me
"Mirip Nimas gak sih?" gumam Yusup, yang seketika membuat seseorang menegang seketika."Hus!" tegur Novrian pada sahabatnya yang dirasa ngelantur, walaupun dirinya sendiri memiliki penilaian yang sama dengan Yusup, hanya saja Novrian takut salah menebak.Bisma yang tadinya acuh sedikit terusik karena nama yang baru disebutkan oleh Yusup. Dia bahkan sempat menegang beberapa saat. Namun, ketika ingin ikut melihat pada layar ponsel Android Novrian, mobil yang membawa mereka telah berhenti disebuah bangunan yang saat ini diterangi lampu yang begitu terang."Cok, deg-degan gue.." seru Novrian sambil membenahi jas yang dikenakannya ketika sudah keluar dari mobil.Bisma hanya menggeleng pelan dengan tingkah sahabatnya itu.Mereka disambut oleh keluarga wanita dengan ramah, Novrian di gandeng oleh orang tuanya, di belakangnya ada Bisma dan Yusup, di susul keluarga besar lainnya.Iring-iringan keluarga Novrian dipersilahkan memasuki ruangan yang sudah dihias sedemikian rupa, di sebuah meja ada