"Gimana bang sejauh ini sama Nina? Aman?" Tanya Anggit. Keduanya duduk bersantai di belakang halaman rumah sambil menikmati secangkir teh dan biskuit. Sudah lama sekali keduanya tidak menghabiskan waktu bersama. Dulu saat kecil, ada perosotan kecil dan mandi bola mini yang selalu disiapkan oleh ayah sebagai pojok bermain. Tapi, sudah tidak terpakai sejak Bagas menduduki bangku SMP. Setelahnya dibiarkan usang dan berdebu.Setiap hari, ayah akan membersihkannya. Tidak ada yang boleh memindahkan atau memberikan mainan ini kepada orang lain. Kata ayah, biarkan itu wasiat untuk cucu-cucunya di masa depan. Ia ingin sekali nantinya bisa melihat cucunya bermain di halaman rumah.Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Ayah dipanggil yang maha kuasa lebih dulu. Sejak itu, tidak ada sama sekali yang menyentuh, bahkan pergi ke halaman belakang. Baik ibu dan Anggit tidak sanggup jika hsrus melihat benda kenangan dari ayah yang selalu dirawatnya setiap pagi. Sampai suatu ketika, Bagas mendapati adiknya,
"Pagi, Mbak! Rejeki yang banyak diawali dengan pagi yang ceria!" Sapa Nico."Gue setiap pagi ceria tapi kok rejeki gue mampet mulu ya?" Vivi menyahuti."Mungkin pahala lo kurang, Vi. Makanya kurang-kurangin baca AU homo," Ujar Danu."Sok suci lo, Nu," Kata Vivi dengan kesal sambil melempar bawang merah kearah Danu."Lho, dosa apa aku Ya Allah pagi-pagi udah dilempar bawang goreng. Kalau dilempar segepok duit mah gue ikhlas," Danu menadahkan tangan seperti berdoa, membuat Vivi semakin kesal. "Vivi kalau udah disenggol masalah hobi bisa jadi macan lapar. Jadi, jangan coba nyenggol," Andre menimpali obrolan."Tuh! Dengerin kalau nggak gue ngap lu!" Kata Vivi sambil memperagakan gaya macan mengaum.Nina hanya menggeleng tipis, setelah puas menyimak obrolan ia lalu naik ke ruangannya. Baru saja akan duduk di mejanya, pondelnya berdering."Halo...""Pagi cantik, udah sampai kantor?" Tanya Bagas. Selain dokter, profesi Bagas lainnya adalah tukang absen. Setiap hari ia selalu menelepon Nina
"Kandungan Ibu Intan sudah memasuki usia 13 minggu. Tapi kondisinya lemah. Karena masih tergolong rentan, sebaiknya ibu jangan terlalu banyak beraktivitas berat," Jelas dokter.Intan mengangguk lemah meskipun tidak mendengarkan. Pikirannya terlalu kacau untuk saat ini. Ia remas perutnya sendiri dengan kuat. Harusnya makhluk kecil ini tidak hadir. "Kalau bisa setiap check up suaminya ikut mendampingi. Mas Bagas bisa kan?" Tanya dokter."Eh? Saya bukan suaminya," Elak Bagas."Lho, saya kirain dokter Bagas nikah diam-diam nggak ngundang saya. Mas Bagas siapanya ibu ini?""Dokter Dina kan tau saya masih bujangan panas. Dia ini temen saya, kebetulan tadi ketemu di lorong. Yaudah saya temenin aja," Jelas Bagas.Dina lalu berdecih, "Bujang lapuk kali, Dok."Intan menarik-narik kemeja Bagas dengan ekspresi aneh. Bagas yang masih paham dengan kode tersebut pun mengangguk."Yaudah, Dok. Kalau gitu saya permisi ya. Kasihan dia laper mau makan katanya."Bagas pun pamit sambil menuntun Intan kare
Kepala gadis itu yang awalnya tegak sudah tumbang di atas meja. Tiqtoq yang awalnya menjadi hiburan utama justru semakin membosankan. Ia lapar....Haus....Dan mengantuk..."Hoaamm!" Kesekian kalinya Nina menguap namun tubuhnya tak kunjung bergerak. Masih setia pada posisi yang sama untuk menunggu seseorang.'Clekk!'Pintu terbuka pelan. Sasa masuk lalu mengintip dari belakang komputer. Saat ia lihat Nina belum juga bergerak, gadis itu mendengus, "Gue tebak. Pasti belum makan."Nina menggeleng dengan santai lalu mengacuhkannya."Terakhir kali jam 12 tadi gue tanya hal yang sama lo belum makan. Sekarang udah mau jam setengah 3 lo belum makan juga? Ckckck," Sasa berdecak.Nina menegakkan kepalanya untuk melihat jam dinding, setelah itu kembali merebahkan kepalanya dalam posisi yang berbeda."Ayo gue temenin makan. Udah tinggalin aja Bagas. Itu anak kayaknya ketiduran dah menurut gue. Lo mau nunggu sampai malam? Nggak kan? Lo nggak gila kan?" Sasa mengomel sambil menggoyangkan tubuh Nin
Gadis itu membereskan mejanya yang berantakan, lalu memasukkan buku warna warni dan menyusunnya ke rak di pojok ruangan. Di sapunya debu-debu yang hinggap di lantai. Sambil menyalakan lagu Taylor Siwft-Style sebagai teman kerja bakti. Sudah lama ia tidak membersihkan ruangannya sendiri. Jika sedang begini, artinya suasana hatinya sedang tidak baik. Ada bagusnya jika terus seperti itu, maka ruangannya akan berkilauan. Nina menyeka peluh yang meluruh di dahinya. Ia mengambil tas dan bersiap pulang. Tak lupa ia mengunci pintu, saat berbalik Bagas tersenyum melambai dengan satu kaki berpijak pada tangga teratas. Nina memejamkan mata sejenak untuk mengatur emosinya. Lalu membuka kembali kelopak matanya dan balas tersenyum. Perlahan kakinya melangkah menuju Bagas lalu keduanya turun bersama. "Maaf ya hari ini aku ada urusan mendadak. Lupa ngabarin kamu. Udah makan siang?" Tanyanya dengan ekspresi biasa. Mata Nina berusaha menjelajahi netra yang hitam gemerlap itu. Tidak ada kegugupan,
"Nin, sini bantu ibu bercocok tanam!" Panggil ibu.Gilang sedang bermain game di tengah ruangan yang hanya terbatasi oleh pintu kaca, sontak melirik ngeri pada ibunya, "Ibu tau nggak sih, kalau istilah 'bercocok tanam' itu udah bergeser makna?"Ibu hanya mengendikkan bahu tak peduli, "Itu karena otak anak zaman sekarang kotor. Makanya apa-apa diartikan ke hal yang begituan. Kamu jangan ikut-ikutan, Lang. Nanti otakmu yang ibu geser!"Nina datang dengan kaos oblong dan hotpantsnya, tanpa basa basi langsung mengambil sekop dan membantu ibunya tanpa suara. "Tanah yang baru ada di belakangmu, jangan lupa pupuknya, Nin," Ibu memecah keheningan. Sambil sesekali memperhatikan anaknya yang terlihat lesu. Setelah lama menunggu Gilang pergi, ibu pun kembali berbicara, "Katanya Nak Bagas besok mau datang ya ke syukurannya Gilang? Nanti ibu masak banyak deh buat dia. Kira-kira dia sukanya apa?""Nggak tau, Bu..." Gumam Nina. "Lho, makanan favorit pacar sendiri kok nggak tau?""Kami kan baru ke
Bagas merapikan kemeja biru langitnya sebelum keluar dari mobil. Tak lupa mengeluarkan paper bag besar berisikan hadiah untuk Gilang. Ada beberapa mobil yang parkir di depan pekarangan rumah yang ramai. Pada tenda ada beberapa bapak-bapak yang tengah menikmati hidangan maupun menikmati nikotin sambil mengobrol satu sama lain. Baru saja Bagas akan berjalan menuju pagar, Nina sudah menyambutnya dengan dress biru langit beraksen floral. "Acaranya udah mulai?""Udah, tinggal makan-makan. Yuk, masuk!" Ajak Nina dengan ramah. Lama Bagas perhatikan raut cerah gadis itu. Orang yang seharian mengabaikannya tanpa alasan. Lalu, saat malam mendadak gadis itu menghubunginya lagi untuk mengundangnya ke rumah, Bagas sangat bersemangat sampai susah tidur. Ia tidak sabar untuk bertemu calon mertuanya.Keduanya berjalan melewati desakan manusia yang sedang berlomba-lomba mengambil makanan di prasmanan. Bagas meneguk ludahnya saat melewati berbagai makanan yang menggiurkan. Seandainya saja ini bukan
@Ninaasz menambahkan postingan baru! Ninaasz Hbd bro! 345.998 suka Lihat semua 65.930 komentar Heheaaayy ganteng banget adeknya kaak Its_maulida mataku melihat seseorang... Heheylalisa kakk kapan posting foto sama bagas? Ddandi masih menunggu posting foto pacar 😆 Mutiaraini cantik banget sih kak Jolie_and ❤️❤️❤️ Ramon_ati cieee @ArsenioBagas ketemu calon mertuaa Mata Intan menatap tanpa berkedip, jari jemarinya menscroll satu persatu postingan akun i*******m Nina yang sudah mencapai 1,3 jt followers. Ia berdecih pelan, namun tetap melanjutkan kegiatan yang hampir seharian ini dilakukannya. Tidak bisa dipungkiri, Intan cukup penasaran dengan sosok Nina. Hampir setiap orang disekitarnya pasti membicarakan wanita itu--yang dijuluki "sad girl" oleh jutaan orang Indonesia. Paras cantiknya pun tak luput dari pembicaraan para teman-teman Intan. Telinganya sampai gatal, tidak seharipun ia tidak mendengar kata cantik yang terpatri untuk wanita itu. Intan membandingkan dengan dirin
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila