'Karenina Subagyo membatalkan kencannya denganmu.'Saat ini dia sedang dalam perjalanan pulang. Sedari tadi yang dilihatnya hanyalah ponsel. Chelsea melihat Adam terlihat gusar. Awalnya kencan mereka baik-baik saja, tetapi tiba-tiba mood Adam berubah drastis. Ketika ditanya Adam akan mengatakan baik-baik saja, namun insting seorang wanita tidak bisa dibohongi. Pasti telah terjadi sesuatu."Mas kalau kamu sakit kita bisa ke dokter sekarang," Chelsea memecahkan lamunannya. Chelsea yang kepalang khawatir meminta salah satu staf untuk menyupiri mereka berdua. Padahal Adam baik-baik saja. Dia sehat bugar. Hanya pikirannya saja yang sedang kusut. Tapi Chelsea punya rasa kekhawatirannya yang tinggi. Dia tidak mau mengorbankan nyawanya ditangan Adam. Takut kalau nekat menyetir maka akan membawanya pada celaka. Seperti sekarang, Adam saja terlihat kehilangan fokus. "Aku sehat kok," Gumam Adam."Kenapa sih dari tadi kamu kelihatan gelisah sambil lihatin hp. Sini hpnya aku mau lihat," Chelsea d
DAY 17 "Lo emang brengsek juga ya," Gumam Ezra. Tadinya dia sedang mendinginkan kepala. Tugas kuliahnya menumpuk sehingga Ezra harus begadang sampai jam 3 subuh. Matanya mulai memberat, namun beban yang tak kunjung mereda membuatnya tak bisa tidur. Sepanjang hari dia habiskan waktu untuk menyelesaikan seluruh tugasnya. Alhasil dia memutuskan untuk merokok sejenak, merilekskan pikirannya yang masih kalut. Tak lama kemudian Adam datang menyusulnya untuk ikut menikmati nikotin. Wajahnya datar, namun Ezra tahu ada kegusaran yang jelas terlihat dari gurat wajahnya. Namun, tentu bukan Ezra yang memulai semuanya. Melainkan kemunculan Nina dan Bagas yang terlihat rapi lah yang menjawab semuanya. Didukung dengan pakaian serasi yang dikenakan, membuat wajah Adam semakin mengeras. "Gue beneran lupa buat ngejelasin. Bahkan besoknya kita udah disuruh kencan lagi, lo ingat?" Adam berusaha membela diri. Lelaki itu dengan harga dirinya memang menyebalkan. "Ya ya ya terserah lo. Gue nggak mau ikut
DAY 18"Jadi begitu ceritanya," Jelas Adam. Sebagai bayaran atas apa yang dia lakukan tempo hari, Adam niatnya ingin mengajak Nina untuk pergi camping. Tapi, perempuan itu menolak, terlebih saat Adam mengatakan bahwa mereka lagi-lagi tidak bisa berangkat bersama karena ada hal yang masih dikerjakan di kantor. Nina bukannya tidak sibuk, dia juga pergi ke kantor. Hanya saja, menurut perempuan itu, kalau terjadi hal yang buruk lagi, masih banyak taksi yang berkeliaran di sekitar mereka. Kencan singkat di cafe bukanlah pilihan yang buruk. Cafe pada dasarnya menjual tempat, setidaknya estetika yang cenderung cozy bisa menghilangkan sedikit penat pasca pulang kantor."Kamu kan bisa kabari aku. Setidaknya kabari staf untuk jemput aku," Kata Nina. Jadi begini, Adam bercerita bahwa alasan dia tidak menepati janjinya adalah karena terjebak di sebuah acara pesta perayaan ulang tahun koleganya. Yang ternyata disebut Chelsea sebagai keluarganya itu. Jadi bisa Nina simpulkan bahwa pria yang menjemp
Chelsea mematut dirinya di cermin dengan riang. Tak lupa bandana pita disematkan untuk menghiasi rambut cantiknya. Diam-diam memuji diri sendiri karena memiliki gen baik yang tertanam dalam diri. Perempuan itu lalu berjalan santai menuju ruang tengah. Tujuannya hanya satu, menggoda Bagas yang tampak tak tersentuh. Jiwa-jiwa centilnya memberontak, keinginan untuk menaklukan semakin membara.Sudah dia bilang kalau Chelsea tidak menerima penolakan. Saat pria itu dengan santainya melepeh kualitas baik seperti dirinya demi sebongkah nyawa tak berharga seperti Nina, harga dirinya terinjak tak bersisa. Siapa pria itu? Berani-beraninya menolak seorang Chelsea Amanda Flynn, cucu salah satu orang terkaya se-Asia.Ah itu dia! Pria atletis yang terbalut kaos hitam polos, menyeduh teh manis sebagai kebiasaan hidupnya. Dengan sepiring camilan menggiurkan ditangannya."Mas, Bag..." Baru saja hendak menyapa, Bagas lebih dulu melewatinya dengan telinga tuli. Chelsea mengikuti arahnya yang kini menuju
DAY 19"Mas, kita janji mau makan bareng kan?" Chelsea memastikan sekali lagi kepada Bagas yang dibalas anggukan ringan. Gadis itu lalu memekik sambil mengayunkan kakinya dengan riang. Nina menatap keduanya bergantian seolah meminta penjelasan. Meskipun rasanya agak asing melihat Bagas akhirnya mulai memilih gadis lain sebagai teman kencannya. Nina mencolek Bagas meminta penjelasan. Sementara Bagas yang dicolek kebingungan mengartikan tatapan Nina yang agak aneh. Mata gadis itu memicing tanda curiga. Tapi, Nina tidak sedikit pun terganggu dengan Chelsea yang terang-terangan menyeringai tipis merayakan kemenangannya lagi.Nina balas dengan senyuman manis. Dia ingin Chelsea tahu bahwa Nina tak lagi gentar olehnya. Malah Chelsea terlihat murahan dimata Nina. Nina tetaplah pemenangnya. Nina tidak perlu memelas dan memohon untuk Bagas agar pria itu mau pergi bersamanya, pria itu yang datang dengan sendirinya menawarkan diri, sementara Chelsea? Ckckck.Sebuah pesan mengumumkan bahwa para p
Bagas memundurkan mobilnya perlahan, lalu membuka bagasi mobil dan menurunkan berbagai peralatan yang sengaja dibawanya dari rumah. Nina pun menyusul keluar dari mobil, membantu Bagas yang kerepotan menyiapkan tenda dan panggangan, namun pria itu menolak dan menyuruh Nina untuk duduk manis dan menikmati pemandangan.Bagas membawanya ke tempat yang sangat jauh, sampai Nina tak sadar berapa lama perjalanan karena tertidur di mobil. Namun, perjalanan yang lelah berhasil terbayarkan kala melihat pemandangan hijau di depan sana, sebuah pemukiman desa yang asri, udara yang sejuk membuat Nina menarik salah satu kursi lipat dan mendekati ujung agar lebih leluasa melihat pemandangan indah di depannya.Bagas dari belakang diam-diam tersenyum lega. Dia merasa tenang jika Nina senang. Bagas mempercepat kerjanya agar mereka bisa segera makan."Kok bisa kamu tahu tempat seindah ini? Sering kesini, Mas?" Setelah puas memanjakan matanya, Nina kembali saat mencium aroma sedap yang keluar dari daging p
DAY 20"Kanaya, pesanan saya kemarin sudah selesai?" Bagas membawa Kanaya untuk berbicara di dapur. Kanaya yang sedang menyeduh teh dan tiba-tiba ditarik pun agak terkejut. Dia mengusap pelan dadanya, lalu ikut memandang ke belakang arah pandang Bagas yang tidak jelas."Kenapa sih, Mas? Celingak-celinguk kayak orang takut keciduk selingkuh," Kata Kanaya dengan heran."Iya nih, disini banyak tukang cepu. Nanti salah paham lagi," Kata Bagas, lalu melanjutkan, "Jadi gimana permintaan saya kemarin?""Bisa sih, Mas. Tapi aku masih sibuk. Jadi asistenku yang ngerjain. Nggak apa-apa?" Tawar Kanaya."Nggak apa-apa yang penting sebelum tanggal 24 udah jadi ya," Kata Bagas.Kanaya mengangguk lalu berbalik, tapi tangannya lagi-lagi ditahan oleh Bagas, "Ada apa lagi, Mas?""Saya...." Belum selesai Bagas berbicara, Nina dan Adam masuk ke dalam dapur. Keduanya yang terlibat dalam percakapan yang cukup alot pun akhirnya berhenti. Keempatnya saling menatap dalam diam. Lalu menyadari bahwa genggaman B
Adam merayakan kemenangannya dengan berseru kencang. Tak lupa mengulurkan kepada Bagas untuk menolong rivalnya bangun. Begini pun Adam masih berperasaan, dia tiak betul-betul bermaksud untuk menyakiti anak orang. Hanya saja ambisinya untuk menang sangat besar. Sebagai tanda terimakasihnya karena telah menyerahkan secara sportif kemenangan ini, dia bantu menuntun Bagas untuk berdiri. Meskipun kecewa, Bagas tetap menghargai hasil yang ada. Mungkin dengan mulai memikirkan siapa opsi diantara para gadis selain Nina yang akan diajaknya berkencan. "Adam silahkan langsung memilih siapa yang mau kamu ajak jalan," Ucap salah satu staf. Adam tersenyum, lalu tanpa pikir panjang dia menyebutkan nama Nina. Hari yang telah dia nantikan, "Karenina Subagyo." Lalu staf beralih kepada Bagas, yang masih berpikir dengan keras, "Engg...Sean aja duluan. Saya masih bingung mau ajak siapa." "Nggak bisa Arsen, aturannya kamu punya kesempatan untuk memilih lebih dulu dari Sean. Karena kamu juara 2, silahk
"Apapun itu yang kamu pikirkan...aku nggak tertarik untuk mencoba. Jadi lupakan aja.""Haahh..." Kanaya menyandarkan kepalanya pada bahu kursi. Kenapa? Kenapa ia harus berkata seperti itu pada Ezra dan menyakitinya lagi? Kanaya terlalu kasar, tapi itu karena ia tidak ingin memulai apapun lagi dengan Ezra kemudian berseteru dengan ibunya yang tidak menyetujuinya."Ka?" Nina mengguncang tubuhnya, membuat Kanaya kembali tersadar."Eh, maaf...aku..""Kamu nggak enak badan? Istirahat aja atau pulang. Kamu kan lagi sibuk syuting, kalau kamu merasa keteteran, nggak ke cafe juga nggak apa-apa. Aku masih bisa handle kok, karyawan juga banyak.""Aku masih bisa kok.""Ka..." Ucap Nina dengan serius. Secara tersirat memerintahkan Kanaya agar istirahat saja.Bukan begitu...Kanaya hanya sedang berharap Ezra akan datang lagi walau sebentar. Kanaya tidak ingin kehilangan momen yang langka. Kenyataan bahwa kampus Ezra berdekatan dengan cafenya, membuat besar kemungkinan pria itu datang lagi. Kanaya s
"Za! Ada cafe baru di persimpangan, lo join nggak? Sekalian udud." Ajak Wahyu.Pria dengan jaket kupluk hitam dan headseat di telinganya tidak menjawab, pun menoleh. Matanya terpejam dengan tangan bersedekap."Za!" Panggil Jovi lagi, temannya. Kali ini dengan sedikit dorongan keras.Ezra membuka matanya yang memerah karena dibangunkan mendadak. Pria itu menguap lalu mengendikkan dagunya tanda bertanya."Kita mau kerja kelompok di cafe dekat persimpangan yang lagi rame itu.""Cafe Heureux itu ya? Yang punya seleb? Mau! Mau! Sekalian foto-foto disana yuk!" Abigail menyahuti."Terserah," Singkat pria kulkas itu."Sekalian cuci mata, katanya anak FEB pada sering nongkrong disitu. Mereka kan cakep-cakep. Itung-itung bantu lo move on, Za!"Ezra memilih acuh kemudian membereskan barangnya. Lagipula, ia ingin segera menyelesaikan tugas yang menumpuk dan tidur di apartemennya sampai pagi esok untuk membayar 2 malam begadangnya."Buset! Gercep banget ya Ezra kalau udah ngomongin cewek cakep. Ma
Bos'Dimana?'MeDikantin, Pak.Bos'Oke'Sudah 5 bulan berlalu sejak kesepakatan itu. Baik Adam maupun Norma tidak ada yang berniat untuk mengakhiri hubungan palsu ini. Setiap kali Norma bertanya, Adam hanya menjawab....'Sampai waktu yang tidak ditentukan.'"Lo kapan mau putusin si Bos?" Tanya Ika, sahabat dekat, satu-satunya manusia di kantor yang tahu rahasianya."Putusin gimana? Hubungan aja nggak ada.""Nah, itu maksud gue. Lo mau sampai kapan nggak dikasih kepastian dari bos? Lo nggak mau cari pacar emang?"Bagaimana mau cari pacar, kalau hatinya terlanjur berlabuh pada Adam Prakarsa...Melihat Norma yang hanya diam, Ika kembali bicara, "Lo suka ya sama bos?""Jangan ngasal.""Cih, lo pikri gue bego? Waktu awal-awal lo ngeluh ke gue 24 jam, bos nyebelin lah, bos kampret lah, bos inilah itulah. Sekarang, coba lihat, lo udah bukan ngeluh lagi. Tapi kayak cewek yang lagi jatuh cinta tahu nggak. Adam tuh baik banget dia malam-malam bawain gue obat pas sakit, Adam ngajak gue jalan-j
Pria itu sibuk menatap jalanan yang padat di bawah sana dari gedung pencakar langit lantai 10. Terhitung sejak kembali dari Bali, Adam belum memiliki semangat yang sama untuk bekerja. Padahal, seluruh karyawan perusahaan tahu, bagaimana bos workaholic mereka itu, jika menyangkut pekerjaan, ia pasti akan menggila sampai lupa waktu.Makanya, uangnya tidak akan habis tujuh turunan."Permisi, Pak. Izin saya Norma." Suara dari intercom memecahkan lamunan Adam, "Masuk."Gadis dengan setelah kemeja garis berwarna biru langit dan rok span diatas lutut itu menunduk setelah sampai di depan meja besar Adam, bosnya."Bapak memanggil saya?""Saya udah manggil dari tadi, kenapa kamu baru datang?""Maaf, Pak tadi saya mengerjakan laporan yang bapak minta hari ini...""Harusnya kamu tahu prioritas. Saya panggil kamu, artinya kamu harus tinggalkan laporan itu dan datang ke saya. Paham?"Ah, kena lagi..."Hm, baik, Pak."Adam mematikan rokoknya ke wadah kaca dengan aksen emas lalu duduk di kursi kebesa
"Saya terima nikah dan kawinnya Karenina Subagyo binti Subagyo dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!""Sah?""Sah!!!""Alhamdulillah."Nina segera mencium tangan suaminya. Terhitung 1 tahun sejak pacaran, dan 6 bulan setelah lamaran, mereka menikah. Kini Nina benar-benar menjadi seorang istri yang ia pun tak sangka. Bahwa hari ini akan datang juga. Bagas menangis dengan haru. Terbayang masa-masa perjuangannya untuk meyakinkan Nina. Banyaknya hambatan tak serta merta menyurutkan rasa cintanya kepada gadis itu.Ada banyak hal yang tidak bisa terungkapkan dengan kata. Sehingga air mata akhirnya mewakilkan segala perasaan senang yang mendera.Dengan telaten Nina menghapus air mata suaminya. Bibirnya tersenyum malu saat melihat Bagas menatapnya lamat. Astaga, padahal mereka sudah menikah. Tapi malah bertingkah seperti remaja puber. Kemudian acara pun dilanjutkan dengan resepsi.Nina yang meminta agar acara diselesaikan dalam 1 hari saja meskipun memakan waku sampai sore
Ruang tamu yang disulap menjadi dekorasi sederhana, semakin ramai oleh keluarga Nina dan Bagas. Hiasan berbagai bunga asli yang memanjang dengan kaki besi pada masing-masing sisi lalu ada nama kedua calon di belakang berwarna emas. Nina sendiri sudah anggun dengan rambut yang tersanggul sederhana dipadukan dengan kebaya simple pilihannya. Senada dengan kemeja katun hijau sage milik Bagas.Nina merasa hari ini hanya imajinasinya, tetapi riakan ramai dari tamu-tamu yang datang membuatnya sadar bahwa ini adalah nyata.Ia telah dilamar.Bagaimana bisa ia sampai pada titik ini? Tentu saja berawal dari hal terkonyol yang Bagas lakukan. Menyematkan jemarinya dengan cincin plastik hadiah dari snack bulan lalu. Cincin dengan lampu kecil merah menyala seperti sirine. Kemudian, tak lama setelahnya, Bagas benar-benar datang membawa ibu beserta adiknya dengan maksud serius karena...ia rasa Nina sudah memberikan lampu hijau."Nah! Sudah!" Kanaya memutar tubuh Nina menghadap cermin agar gadis itu b
"Mas, pulang..." Sambut Intan ramah. Namun, sikap Bagas terlampau dingin. Ia sudah terlalu malas meladeni sikap Intan. Ia tidak ingin kehadiran Intan akan membuatnya kehilangan Nina."Sini--" Omongan Intan terpotong oleh tangan Bagas yang menepisnya agak keras, "Kapan kamu keluar dari rumah ini?" Intan mengerjap, berusaha memcerna apa yang barusan Bagas katakan, "Maksud kamu?""Kamu nggak lupa kan kalau kamu hanya menumpang sementara disini? Jadi, kapan kamu siap pindah? Bukannya kamu sudah bayar uang muka? Sepertinya juga kamu udah sehat."Intan meremas kedua tangannya. Tidak, ini tidak seperti apa yang ia rencanakan. Bagas tidak boleh seperti ini. Intan mengelus perutnya pelan, menatap Bagas dengan memelas."Nggak usah pakai alasan itu lagi untuk mengelabui aku. Aku tau kamu udah pulih. Kamu nggak bisa selamanya tinggal disini, Intan.""Apa aku merepotkan? Kenapa tiba-tiba kamu mengusir aku? Kalau iya, aku janji akan sebisa mungkin bantu-bantu di rumah.""Bukan itu masalahnya," Oh
Setelah membantu Intan memakan makanannya, Bagas pergi keluar ruangan untuk mencari udara segar. Setelah sekian lama, akhirnya Intan bisa makan, meskipun masih belum ada sepatah dua patah kata yang keluar dari mulutnya. Ia masih dalam suasana berduka karena kehilangan anak pertamanya. Keluarga wanita itu tidak ada yang bisa dihubungi membuat Bagas bertanya-tanya. Sebenarnya bagaimana hidup Intan selama ini. Karena setahunya, Intan terlahir dari keluarga yang baik-baik saja. Intan hidup bagaikan putri di negeri dongeng."Abang ngapain bengong disini?" Anggit datang membawa bingkisan hitam. Menyerahkan bingkisan itu ke dada Bagas dengan paksa, sambil memakan es krim yang tersisa setengah."Eh, kesini kamu, Nggit?""Iya, nggak tega juga biarin abang nunggu nenek lampir sendirian di rumah sakit." Anggit kemudian ikut duduk di sampingnya, lalu melanjutkan, "Lagian kenapa sih, Bang? Masih mau bantuin dia? Nina tahu kalau abang segininya bantuin mantan?""Ya mau gimana lagi. Sejak awal aban
Sudah beberapa hari ini ia diselimuti oleh kalut. Bagaimana tidak, bayangan Bagas memeluk pinggang Intan erat, menuntun wanita itu berjalan seperti suami siaga, membuat Nina merasa dikhianati secara tidak langsung. Kenyataan bahwa, selama Bagas tidak membalas pesannya, karena pria itu sibuk mendampingi Intan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.Oleh karena itu, Nina ingin memastikan sesuatu. Dia berdiri menatap pagar hitam di depannya lama, sebelum memutuskan untuk membukanya atau berbalik pergi. Ia membuka pagar perlahan, lalu melangkah mendekati pintu utama. Dengan rantang di tangan kanannya, berisikan rawon buatannya sendiri, ia teringat akan pesan ibu sebelum masuk rumah sakit.'Jangan lupa kasih rawon ini ke Bagas ya, Nak. Meskipun belum kenal, tapi kan calon besan ibu. Anggap aja salam perkenalan.'Nina merasa...punya wasiat yang harus ia tuntaskan, sekaligus alibi untuknya karena Bagas tidak bisa dihubungi."Assalamualaikum..."Nina mengetuk, kemudian memperhatikan penampila