“Karena perasaanmu bakal sakit, aku tidak mau tanggung jawab,” jawab Elvan sejujur-jujurnya. Membuat Nayla seketika terdiam, lagi dan lagi terkejut dengan respon lelaki itu.
“Kamu bisa menyukai laki-laki lain, dan sebaliknya. Setelah kita tunangan nanti, kamu jangan caper ke aku kalau di kampus. Singkatnya kamu harus pura-pura tidak mengenaliku,” lanjut Elvan, tanpa memikirkan perasaan Nayla sama sekali.Elvan bahkan berusaha tidak peduli dengan perkataannya yang mungkin saja atau memang sudah menyakiti hati Nayla. Sebab Elvan hanya ingin gadis itu membencinya.Elvan juga sudah berencana untuk bersikap romantis hanya di depan kedua orang tua mereka. Jika di luar, tentu saja ia akan menganggap Nayla sebagai orang asing.Itulah rencananya, namun bukankah hidup selalu penuh rahasia?Dan Elvan berharap semua berjalan sesuai ekspektasinya.Nayla terkekeh pahit setelah terdiam lama dan hanya mendengarkan. Ia lalu menoleh, menatap wajah Elvan yang menawan itu. “Kalau sekarang aku udah terlanjur suka dan jatuh cinta sama kamu, gimana, Kak?"Elvan menghela napas panjang, ia tidak baper dengan ucapan itu. Melainkan sangat muak. Ia bisa menebak pasti Nayla sekarang terkena mental karena kata-katanya. Memang lebih baik seperti itu dan Elvan menyukainya.“Aku tidak peduli. Yang penting aku udah peringati kamu apa akibatnya kalau mencintaiku. Terserah kalau kamu tetep mertahanin perasaan itu, tapi aku tidak mau tanggung jawab karena kamu tidak akan mendapat balasan dari perasaan aku.""Karena sampe kapan pun aku bakal terus membencimu," lanjutnya.“Kok kamu jahat banget, ya, Kak."Nayla segera mengalihkan pandangan ke jendela mobil lagi karena sudah tidak kuat. Tawa kecil yang terdengar hambar mengudara setelahnya disusul dengan mata berkaca-kaca. Elvan sungguh kejam bahkan di awal pertemuan mereka."Dan sepantasnya kamu membenciku,” sahut Elvan tersenyum.***Malu, plus kesal setengah mati dengan nasibnya yang dialami saat ini.Bagaimana tidak?Bisa-bisanya Elvan harus ke minimarket untuk membeli pembalut wanita dan obat pereda nyeri karena permintaan Nayla yang tiba-tiba datang bulan.Sialan, Elvan sungguh menyesal karena tidak mengebut mobilnya agar cepat sampai di rumah dan tidak perlu terkena takdir sial seperti ini. Ia ingin marah dan menolak, tapi Elvan juga kesal mendengar rintihan kesakitan dari Nayla sambil memegang perutnya.“Apa tidak bisa kamu tahan aja sampai pulang? Mau ditaruh di mana muka aku jika membeli barang seperti itu?!” sentak Elvan emosi, ia masih belum kunjung keluar mobil setelah menepikan mobilnya di depan minimarket.Nayla tidak membalas dan hanya terdengar suara kesakitan dari mulut gadis itu entah yang ke berapa kali. Wajahnya tak urung juga ikut pucat serta keringat dingin yang mengucur dari atas pelipis.Elvan yang melihat Nayla seperti itu lantas mengusap wajahnya kasar dan berdecak sebal. Ia mengumpat dalam hati, berusaha menyingkirkan rasa iba dan tetap mempertahankan raut emosinya.“Sial. Gue nggak tega liatnya!” batin Elvan, sebenci-bencinya ia dengan Nayla, namun sial, melihat gadis itu yang kesakitan sungguh membuatnya kasihan dan terpaksa rasa ibanya muncul.“B–belin, dong, Kak” lirih Nayla pelan. Ia meringkuk di atas kursi mobil seraya meremas-remas perutnya yang sakitnya tidak main-main.Elvan pun menghela napas panjang. Memejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali saat sudah selesai menetralkan pikiran. Mau tidak mau, ia akan menganggap peristiwa menyedihkan hari ini menjadi yang pertama dan terakhir kali seumur hidup.“Aku melakukan ini karena terpaksa. Ingat itu,” decak Elvan sebelum membuka pintu mobil dan keluar untuk masuk ke minimarket dengan langkah kaku.Nayla tidak membalas meski di dalam hati ia tersenyum senang. Rasanya seperti ia sudah memiliki suami yang tampan bak idol K-Pop dan perhatian walau sangat ketus serta galak.Di lain sisi, Elvan masih ragu untuk berjalan ke rak pembalut karena ada penjaga wanita yang tampak berdiri di sisi pojok, sementara ia sedang di depan rak camilan yang tidak jauh dari rak pembalut.Kemudian, barang yang ia cari sialnya ada di depan wanita itu. Serta merta obat pereda nyerinya juga ada di sebelah rak sisi kanan. Yang tanpa ia duga ada seorang ibu-ibu pembeli yang sedang memilih-milih.Elvan seperti orang linglung dan tidak beres karena sedari tadi hanya melihat-lihat serta berulang kali menyentuh beberapa camilan. Padahal ia tidak berniat ingin membelinya.Elvan menggerutu di dalam hati, jika sudah begini, ia hanya akan terjebak dan tidak bisa pulang cepat karena menuruti gengsi.Namun, ia juga malu untuk bertanya alih-alih langsung mengambil pembalut di depan wanita itu. Ingin menunggu ia pergi pun, Elvan tidak yakin karena sepertinya—wanita itu sedari tadi memperhatikannya.Sialan. Niatnya mau membantu, tapi malah ia yang terjebak dengan rasa malu. Tai memang.“Halo, Kak? Ada yang bisa saya bantu? Sepertinya saya perhatikan kakak sedari tadi belum mengambil satu pun barang dan hanya menyentuhnya.”Elvan hampir mati kutu saat wanita itu sudah berjalan mendekatinya. Ia meneguk ludah susah payah, lalu berbalik dan tersenyum kikuk ke hadapan wanita di depannya itu.“Em, Kak, bisa tolong ambilkan ... satu bungkus pembalut? Saya sungguh terpaksa melakukan ini,” balas Elvan gugup, setelah bergelut dengan rasa malu yang tertahankan.Wanita itu pun tampak tersenyum paham, sebelum menganggukkan kepalanya. “Baik, Kak. Silakan ke rak di sana dan kakak bisa memilih ingin pembalut merk apa dan ukuran berapa. Kalo boleh tahu, apa kakak juga ingin membeli obat pereda nyerinya? Biar saya ambilkan.”Elvan berdehem, meski tak urung menghela napas lega karena setidaknya wanita itu—sudah peka. “Iya, Kak. Makasih sebelumnya.”Wanita itu mengangguk sambil menahan senyum lebar sebelum berlalu pergi ke rak obat. Jarang sekali ia menemukan lelaki yang perhatian terhadap pasangan seperti pelanggan barusan itu, pikirnya. Sedangkan Elvan yang menahan malu sedari tadi seketika menghela napas lega tanpa mau memikirkan apa yang membuat wanita itu tersenyum padanya.“Gadis itu benar-benar bikin aku repot. Lihat aja nanti, kalau hal kayak gini terjadi lagi, aku tidak akan peduli,” batin Elvan, lalu mengepalkan jemari tangannya di sisi celana.***"Eum, makasih buat yang tadi, ya, Kak. Dan maaf karena karena di pertemuan pertama kita aku udah ngerepotin kamu,” ujar Nayla dengan penuh penyesalan di depan Elvan. Mereka kini sudah sampai di rumahnya.“Aku tidak mau hal kayak gini terulang lagi. Kalau pun sampai iya, aku tidak akan peduli,” dengkus Elvan.Nayla mendelik kecil, lalu memajukan bibir. “Jangan kejam banget, dong, Kak. Kamu, kan, bakalan jadi tunangan aku. Seorang perempuan itu harus diperhatiin, jangan dijahatin.”“Hubungan kita cuma status. Aku tidak akan benar-benar menganggap kamu tunangan, apalagi perhatian sama kamu. Kecuali di depan orang tua kita." Elvan membalas dengan ketus dan wajah datar.Nayla mencibir kecil. “Tapi kalau suatu saat kamu ternyata makan omongan sendiri, gimana, Kak? Misalnya kamu jadi cinta dan sayang sama aku.""Tidak akan, itu mustahil aku alami."Nayla mengangkat bahu. “Takdir tidak ada yang tahu, loh, Kak. Bisa aja benci jadi cinta, kan? Tuhan juga maha membolak-balikkan hati. Tidak ada yang tahu kalau suatu saat kamu bakalan jatuh cinta sama aku.”Elvan mencebik, hendak berbalik untuk masuk ke mobil karena sudah malas berbasa-basi lagi. Namun tiba-tiba Nayla menahan lengannya, membuat Elvan menoleh kembali dengan alis menaut. “Apa lagi, sih? Urusan kita hari ini sudah selesai." Elvan langsung melepas tangan Nayla. Ia tidak ingin gadis itu menyentuhnya.“Jangan dulu, ih. Aku sendirian di rumah, aku juga masih mau ngomong sama kamu. Memangnya kamu tidak mau tahu tentang aku, Kak? Kamu tidak penasaran aku itu kayak gimana?” gerutu Nayla.“Tidak sama sekali. Aku sudah membencimu, jadi aku tidak akan penasaran sama kehidupanmu apalagi sifatmu. Intinya aku sudah tahu kalau kamu itu perempuan cerewet, baperan, dan merepotkan. Dan perempuan kayak gitu bukan tipe aku,” jelas Elvan terdengar keja
“Temenin aku di sini ya, Kak? Aku tidak bisa di rumah sendirian tahu." Nayla kembali memegang lengan Elvan.“Aku tidak peduli, aku ada urusan. Kamu anak orang kaya, kalau butuh sesuatu tinggal panggil asisten kamu bisa, kan. Jangan manja jadi cewek." Elvan mendecih kecil sambil melepaskan tangan Nayla.Nayla buru-buru menggeleng. “Asisten aku pulang kampung sejak tiga hari yang lalu, Kak."Elvan mendengkus kasar. “Memangnya orang tua kamu ke mana, sih?” “Mereka gila kerja, aku hampir setiap hari di rumah sendirian, Kak. Lagian sebentar lagi kamu bakalan jadi tunangan aku, harusnya kamu sering-sering perhatiin aku, dong, Kak."Elvan mengusap wajahnya kasar. “Bisa tidak, sih, jadi cewek mandiri? Aku banyak urusan, dan kamu bukan salah satu urusan aku yang penting. Tidak peduli meskipun kamu calon tunangan aku atau bukan.”“Pokoknya temenin aku, Kak Elvannn,” rengek Nayla tidak menyerah. Elvan bergidik ngeri, lalu mendecih malas. “Sialan ya, kamu. Aku jadi semakin membencimu."Meskipun
Nayla menyentuh pipinya yang terasa nyeri. Ditatapnya sang papa dengan alis menaut kesal. “P–papa? Aku tidak bolos, kok, Pa. Tadi ada insiden di jalan yang bikin kaki aku keseleo sampai harus ke klinik, tapi aku udah izin ke guru.”“Halah, bohong! Tadi papa ke kampus dan kata dosen kamu hari ini kamu tidak masuk tanpa ada keterangan! Apa kamu pikir bisa membodohi saya, hah?”“Apa? Tapi aku beneran serius, Pa. Aku udah minta temen aku buat izinin ke wali kelas kalau—““Papa benar-benar capek menghadapi sikap kamu, Nayla!"“Pa—““Kapan, sih, kamu bisa membanggakan papa? Sampai papa mati baru kamu mau serius kuliah? Tolonglah, jangan bikin papa malu lagi, Nayla,” sahut Anton tegas. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum berjalan melewati Nayla begitu saja.Nayla mengepalkan jemari tangannya saat menyadari sesuatu. Ia menunduk, menahan segala emosi di dalam hatinya.“Kamu tidak izinin aku ke dosen hari ini, ya, Kak? Kok kamu egois banget, sih,” gumam Nayla.Gadis itu memutuskan ke dapur untuk
"Ya ampun, El. Kamu keren banget, ya. Dari dulu sampai sekarang aku selalu gagal ngalahin kamu. Makin jago, sih,” puji Emma sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang.Elvan telah menghentikan laju motornya di garis finis yang disepakati oleh Elvan. Gadis itu baru sampai di sebelahnya selang dua menit kemudian. Elvan membuka helm, begitu juga dengan Emma yang sudah tertawa sambil menepuk sebelah pundaknya.Elvan mengalihkan pandangan, tidak tersanjung dengan pujian itu. “Mau makan di mana? Kamu jangan kabur.”Emma terkekeh geli. “Ya kali aku jadi pengecut. Aku traktir kamu di tempat biasanya, kok."Elvan mengangguk setuju. “Duluan sana, biar aku yang di belakang.”“Wih, kamu takut aku kenapa-napa, ya, El?” goda Emma.Elvan tidak membalas dan mulai memakai helmnya kembali. Kunci motornya ia putar, mesin pun menyala. Meski begitu sebenarnya ucapan Emma memang benar adanya.Emma pun mendengkus kecil, Elvan memang suka sekali mengabaikannya. Ia akhirnya tidak lagi berbicara dan langsun
Nayla tersentak kecil, sebelum menggeleng cepat dan tersenyum manis sambil buru-buru merapikan rambutnya. “Tidak ada apa-apa, kok. Yuk, berangkat sekarang, Kak."Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Mata kamu—"“Oh, tadi tidak sengaja kena make up, hehe. Udah, ih, Kak. Jangan banyak tanya,” jawab Nayla berbohong, lalu segera mendorong tubuh Elvan agar berbalik dan berjalan ke motor.Elvan diam saja meski sedikit curiga, ia menaiki motornya lalu memakai helm. Saat melihat Nayla kesusahan memakai helm dari balik kaca spion, Elvan berdecak sebal.Ia sengaja tidak membantu dan hanya melihatnya sampai Nayla bisa sendiri. Gadis itu lalu memukul pundak Elvan karena tidak peka.“Kamu rese banget, ya, Kak. Kenapa aku tidak dibantu?” gerutu Nayla sambil naik ke jok belakang motor Elvan."Jadi cewek harus mandiri," decak Alvian yang lantas melajukan motornya.“Nyebelin banget, ish! Jadi cowok, tuh, juga harus peka, Kak!”Nayla memukul helm Elvan, tapi cowok itu tidak menghiraukan. Tetap fokus denga
"Eh, Manusia Batu! Kamu juga harus ketawa, dong! Ceritaku tadi lucu banget, kan?"Elvan duduk di kantin bersama tiga sahabatnya sambil menikmati makanannya. Suasana sangat seru ketika Emma terlihat bercanda dengan riang. Emma juga sesekali memukul lembut lengan Elvan sambil tertawa.Elvan yang mendapat perlakuan itu hanya tersenyum santai tanpa kesan marah atau kesal. "Iya, aku percaya. Habisin itu makanannya sebelum dingin."Emma terkekeh geli, lalu mengangguk-angguk. "Sumpah, deh. Pokoknya nanti kamu harus nonton filmnya, ya, El!""Iya-iya."Sementara itu, Nayla yang duduk agak jauh bersama Clara, memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba memuncak. Meskipun dia tahu Emma adalah sahabat Elvan, tetapi melihat keakraban mereka membuat hatinya tidak nyaman. Padahal saat dengannya sikap Elvan sangat kasar dan cuek."Kenapa Kak Elvan bisa tertawa akrab dengan Kak Emma? Padahal dia tunanganku," ucap Nayla di dalam hati.Nayla berusaha menyembunyikan rasa kesalnya, namun
Nayla tersenyum tipis. "Makasih karena karena hari ini sudah memberiku rasa sakit lagi, Kak Elvan."Nayla perlahan menjauh, ia merasa hatinya semakin berat. Ia berbalik dan memilih pulang sendirian, serta mencoba menghapus bayangan Elvan dan Emma dari pikirannya. Tetapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mereka yang tertawa bersama muncul lagi di benaknya.Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi pun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa kesal. Ia merasa seperti sengaja ditolak dan diabaikan oleh Elvan, orang yang baru saja akan ia anggap spesial. Hatinya terasa hancur, dan Nayla tidak bisa menahan emosinya yang mulai menggebu-gebu. Emosi kesal, cemburu, sakit, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu."Kenapa aku harus melihat mereka bersama?" batin Nayla dengan senyuman pahit."Elvan yang baru saja marah padaku hanya karena menyapanya, sekarang begitu hangat dan akrab dengan Emma. Mengapa dia memilih pulang bersama dia? Apa karena mereka sahabat y
"Elvan, aku suka sama kamu."Elvan terdiam, tampak terkejut dan tidak tahu harus berkata apa dengan ungkapan yang baru saja Emma katakan. Gadis itu menatap lurus ke dalam matanya, membuat Elvan mengepalkan tangan."Kenapa harus sekarang? Di saat aku berada di posisi yang tidak memungkinkan," ucap Elvan di dalam hati.Sementara Emma masih menunggu, hatinya berdebar-debar, tapi Elvan masih belum juga memberi jawaban. Emma tahu dirinya sudah gila, tapi ia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. "Elvan?" panggil Emma ragu. Sejujurnya ia cemas dengan raut wajah Elvan saat ini. Bukan marah, tetapi terlihat dingin."Emma, aku ...." Elvan mencari kata-kata yang tepat. Ia bingung, tidak bisa menatap Emma langsung.Elvan kemudian mengalihkan pandangan, menghela napas panjang, dan menatap ke arah lain. Ia berpikir keras, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. Namun nyatanya ia tidak bisa mengatakan apa-apa pada Emma.Emma melihat Elvan seperti itu menundukkan kepala. "Maaf, El."Elvan
Beberapa bulan kemudian, Nayla tiba-tiba merasa mual yang tak biasa. Elvan yang waspada segera menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyum yang hangat. Ia sudah bisa menebak bahwa kabar baik akan datang.Meskipun begitu hati Elvan tak bisa menahan kecemasan yang berkobar di dalamnya. Akhirnya Elvan memutuskan pergi ke dokter untuk memastikan kondisi Nayla. Elvan berharap Nayla tetap sehat dan baik-baik saja tanpa ada masalah.Di sebuah ruangan, suasana gelisah terasa semakin nyata di antara mereka berdua. Elvan menggenggam erat tangan Nayla, memberikan dukungan dan kehangatan dalam ketidakpastian yang mereka hadapi bersama. Ketika hasil tes keluar, keheningan yang tegang memenuhi ruangan itu. Jantung mereka sama-sama berdegup kencang untuk menunggu detik-detik yang akan datang.Ketika hasilnya sudah keluar, Nayla menatap Elvan dengan mata berbinar, sebelum akhirnya ia meneteskan air mata kebahagiaan. “Aku hamil, Elvan,” ucap Nayla dengan suara bergetar.Elvan tersentak oleh kabar b
Elvan dan Nayla memilih untuk hidup sederhana dalam rumah mereka yang indah. Walaupun begitu mereka tetap bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti berbagi senyuman di setiap pagi, berjalan-jalan di taman, dan menikmati waktu bersama tanpa banyak kemewahan yang membutuhkan. Nayla merasa senang bisa hidup bersama Elvan tanpa banyak sesuatu yang mewah. Nayla sangat bahagia karena rumah mereka penuh dengan canda tawa dan kasih sayang, sehingga selalu menciptakan suasana hangat dan damai di setiap sudutnya. Nayla merasa jika ia akan selalu bahagia. Nayla jadi yakin bahwa ia tidak akan pernah merasa menderita dan terluka jika hidup bersama Elvan.Berbeda dengan di masa lalu, walaupun mereka berasal dari keluarga yang penuh masalah, tapi mereka tidak ingin di masa depan mereka melakukan hal yang sama seperti orang tua masing-masing. Nayla akan berjanji jika suatu saat ia dan Elvan mempunyai anak, Nayla tidak akan membuat mereka merasakan apa yang ia rasakan di masa lalu. Nayl
Beberapa hari setelah pernikahan mereka, Elvan mempersiapkan kejutan istimewa untuk Nayla. Dengan hati penuh cinta, Elvan mengajak Nayla untuk menutup matanya dan membawanya ke depan rumah baru yang ia beli dengan kerja kerasnya sendiri."Kamu membuatku berdebar-debar, El. Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan? Apa itu bisa membuatku menangis?" tanya Nayla tertawa geli ketika berjalan tertatih-tatih dengan Elvan di belakangnya dan menutup kedua matanya. "Ini rahasia, Nay. Tapi aku yakin bisa membuatmu tidak bisa berkata apa-apa," jawab Elvan tersenyum geli, ia menuntun Nayla untuk berjalan dengan hati-hati.Saat Nayla membuka mata, pandangan mata Nayla terpana melihat rumah sederhana namun modern yang disiapkan khusus untuk mereka berdua. Sorot mata Nayla pun bercahaya dalam kebahagiaan dan terkejut yang tak terkira. Benar kata Elvan, ia tidak bisa berkata-kata. Nayla melebarkan mata, sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Benar-benar merasa seperti mimpi.Namun, kejutan E
Berbulan-bulan berlalu sejak hubungan antara Elvan dan Nayla semakin erat, kini suasana di sekitar mereka penuh dengan kehangatan dan harapan baru. Hubungan mereka menjadi semakin tidak terpisahkan. Rasa sayang mereka juga bertambah dalam dan luas.Elvan telah berubah menjadi pribadi yang lebih peduli dan penuh kasih, akhirnya hari ini memutuskan untuk mengajak Nayla ke kantor agama dan melangsungkan pernikahan yang dinantikan oleh keduanya. Tanpa perlu kemewahan, mereka hanya berharap bisa segera terikat satu sama lain.Hari yang penuh makna itu pun tiba. Nayla dengan cahaya kebahagiaan yang bersinar dari matanya, memilih untuk berdandan sendiri dan menggunakan make up yang sederhana sebagai bentuk kehematan. Nayla juga tidak ingin membuang banyak uang hanya untuk penampilan heboh selama satu hari. Meskipun sederhana, kecantikan alami Nayla tetap bersinar sebagai cermin dari kebahagiaan dalam hatinya. Nayla tetap menawan dan sempurna di hari pernikahannya. Tidak ada yang bisa menand
Elvan akhirnya sembuh dari traumanya setelah berbulan-bulan perjuangan yang panjang. Dengan tekad dan dukungan yang tak kenal lelah, ia berhasil bangkit dari keterpurukannya. Elvan benar-benar sudah berubah kembali menjadi Elvan yang hangat dan penuh perhatian pada Nayla. Benar, hanya saat dengan Nayla.Setiap langkah kecil yang Elvan ambil menuju pemulihan menjadi bukti kekuatan dan keteguhan hatinya. Elvan benar-benar sudah kembali menjadi Elvan yang dulu. Menjadi Elvan yang tidak akan menyakiti Nayla dan membuatnya terluka.Berbagai upaya dan terapi yang Elvan jalani membantu meredakan beban traumanya dengan baik. Dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk Nayla, memberikan kekuatan tambahan baginya. Elvan bisa melewati semuanya karena semangat yang diberikan Nayla selalu ampuh untuk mengatasi rasa bosannya ketika menjalani terapi.Karena dengan semangat yang membara, Elvan telah berhasil melawan ketakutan dan kegelisahan yang selama ini menghantuinya. Rasa cemas Elvan kini sudah
Hari yang berjalan seperti biasa. Nayla sedang mengerjakan tugas yang belum selesai. Dan beberapa menit lagi sudah tiba jam makan siang. Walaupun lelah, Nayla sebenarnya sangat menikmati pekerjaannya yang menyenangkan. Meski harus sedikit menguras pikiran dan otak karena jika ada sedikit kesalahan, maka bisa menjadi kesalahan yang fatal. Tapi akhirnya setelah berulang kali memeriksa, Nayla telah yakin dengan hasilnya, ia segera mengirim ke email lalu tepat setelah itu jam makan siang telah tiba.Ketika Nayla baru selesai membereskan mejanya, tiba-tiba ia mendapat telepon dari mama Elvan, Laras. Nayla terkejut karena sudah lama sekali mereka tidak berhubungan. Tapi Nayla segera mengangkat telepon itu agar wanita itu tidak lama menunggu. Ketika selesai bertelepon, Nayla cukup penasaran karena mama Elvan mengajaknya bertemu di kafe. Itu artinya mereka akan membicarakan sesuatu yang serius. Dan entah kenapa Nayla cukup berdebar-debar.“Ada apa, Nay? Apa kamu tidak ke kantin?” tanya sala
Elvan sedang merenung di meja kerjanya setelah pekerjaannya selesai. Ia masih memikirkan tentang hidupnya yang terasa tidak adil. Walaupun akhir-akhir ini sudah lebih baik, tapi Elvan belum sepenuhnya menerima takdirnya.Tiba-tiba salah satu teman kerja Elvan, yang bernama Jayendra, datang menghampirinya. Walaupun tidak kenal dekat, tapi Elvan sering makan siang bersamanya. Dan kini pria itu sudah ada di depannya.“Ada apa denganmu? Apa kamu membutuhkan tempat curhat?” tanya Jayendra dengan senyum geli. Kemudian menatap Elvan dan memicingkan mata.“Tidak perlu.” Elvan menatap lelaki itu sambil menghela napas. Suasana hatinya sedang tidak stabil.“Jangan begitu, aku tahu kamu sedang banyak pikiran. Jadi lebih baik ceritakan saja padaku. Apa kamu tidak ingin ke lantai paling atas di perusahaan ini?” ajak Jayendra secara tiba-tiba dengan antusias. Yang langsung membuat Elvan menoleh padanya.“Kenapa kamu mengajakku?” Elvan mengernyit heran. Karena ini pertama kalinya Jayendra cukup perha
Hari ini berjalan baik seperti biasa. Itu adalah bayangan Nayla pada awalnya sebelum tiba-tiba saat jam makan siang di kantor, ia dipanggil oleh temannya untuk bertemu seseorang yang sedang mencarinya. Perasaan Nayla langsung tidak enak karena seseorang itu bukanlah Elvan atau siapa pun. Nayla tahu karena hanya Elvan dan Clara yang tahu tempatnya bekerja. Dan benar saja, Nayla bertemu lagi dengan wanita yang kemarin. Wanita yang membuat Nayla semalaman tidak bisa tidur karena terus memikirkan pengakuannya.Naomi tampak tersenyum menyambut kedatangannya. Berbeda dengan Nayla yang mengepalkan tangan karena menahan kesal yang luar biasa. Nayla juga berusaha tetap tenang agar amarahnya tidak keluar. Setitik hatinya mengatakan untuk tidak membuat masalah dengan seseorang yang sebenarnya Nayla juga merindukan.“Kenapa Anda ke sini lagi? Bukankah Anda bilang tidak akan bertemu saya lagi setelah saya memberikan nomor telepon saya?” tanya Nayla tidak ingin basa-basi, ia memberikan tatapan taj
Siang ini Nayla sengaja makan siang di kafe karena bosan dengan suasana kantin di kantornya. Kebetulan ia juga ingin minum kopi agar tidak mengantuk saat bekerja. Walaupun di kantor sudah ada dapur untuk membuat kopi sendiri, tapi rasanya jelas berbeda jika membeli di kafe. Dan Nayla merindukan sensasi itu karena dulu saat bekerja di kafe ia jarang meminum kopi yang dijual.Ketika Nayla asyik berbincang dengan salah satu teman kantornya, seorang wanita tiba-tiba datang ke mejanya. Nayla terkejut karena wanita itu mengatakan sesuatu yang membuatnya nyaris tak bisa berkata-kata.“Apa benar kamu Nayla? Saya Naomi, ibu kandung kamu," ucap wanita yang kini duduk di depan Nayla. Aroma parfumnya yang wangi tercium ke hidung Nayla.Seketika itu mata Nayla melebar, nyaris tersedak air liurnya sendiri. “A–apa yang Anda katakan?”“Nay, aku pergi dulu, ya. Jangan lama-lama, nanti kamu dimarahi bos," kata teman Nayla yang merasa tidak berhak ikut campur. Ia berdiri dan tersenyum pada Nayla.“Ah,