"Ya ampun, El. Kamu keren banget, ya. Dari dulu sampai sekarang aku selalu gagal ngalahin kamu. Makin jago, sih,” puji Emma sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang.
Elvan telah menghentikan laju motornya di garis finis yang disepakati oleh Elvan. Gadis itu baru sampai di sebelahnya selang dua menit kemudian. Elvan membuka helm, begitu juga dengan Emma yang sudah tertawa sambil menepuk sebelah pundaknya.Elvan mengalihkan pandangan, tidak tersanjung dengan pujian itu. “Mau makan di mana? Kamu jangan kabur.”Emma terkekeh geli. “Ya kali aku jadi pengecut. Aku traktir kamu di tempat biasanya, kok."Elvan mengangguk setuju. “Duluan sana, biar aku yang di belakang.”“Wih, kamu takut aku kenapa-napa, ya, El?” goda Emma.Elvan tidak membalas dan mulai memakai helmnya kembali. Kunci motornya ia putar, mesin pun menyala. Meski begitu sebenarnya ucapan Emma memang benar adanya.Emma pun mendengkus kecil, Elvan memang suka sekali mengabaikannya. Ia akhirnya tidak lagi berbicara dan langsung menancap gas motornya ke sebuah tempat makan favorit mereka.Sampai di sana Emma memesan meja di pojok belakang dekat jendela. Elvan duduk di hadapannya dan langsung membuka ponsel.Entah apa yang ia lakukan, tapi Emma cukup kesal melihatnya. Sampai seorang pelayan datang dan ia memesankan makanan untuknya dan untuk Elvan.Tidak perlu bertanya lagi karena Emma sudah tahu jika Elvan akan menurut. Dengan iseng Emma merebut ponsel Elvan secara tiba-tiba dan memasukannya ke saku celana. Membuat cowok itu reflek terkejut.“Apaan, sih? Sini balikin,” suruh Elvan dengan tegas.“Kalau aku tidak mau gimana?" Emma tertawa geli."Jangan mancing aku, Emma.”“Apa? Aku tidak takut, tuh.” Emma menjulurkan lidahnya.“Oke, aku pergi,” balas Elvan yang kemudian berdiri.Emma reflek melototkan mata dan menahan lengan Elvan. “Heh, mau ke mana? Masa gitu, doang, kamu ngambek, sih. Dasar."“Makanya balikin HP aku,” dengkus Elvan sambil melepaskan tangan Emma dari lengannya.Emma menautkan alis. Kesal, tapi tak urung mengalah dengan menyerahkan ponsel Elvan kembali. “Memangnya ada apanya, sih, sampai kamu jadi sekesel ini? Jangan bilang kamu udah punya pacar?”Elvan mendecih dan kembali duduk sambil memasukan ponselnya ke dalam saku celana. "Kalau iya, kenapa?”Emma tertawa, tapi diam-diam kepikiran. “Cowok cuek kayak kamu mana ada yang mau.”“Kamu yang tidak tahu. Kamu lupa aku ini siapa?” Sebelah sudut bibir Elvan terangkat tipis.“Haha. Aku tidak percaya, tuh. Kamu, kan, suka bohong."Elvan hendak membalas sebelum pesanan mereka datang. Ia mengurungkan niatnya dan memilih makan. Emma pun sama, tidak lagi berbicara dan makan dengan tenang. Meja itu akhirnya hening.Elvan menikmatinya. Diam-diam ia tersenyum melihat perubahan raut Emma yang berubah masam. Elvan paling tidak bisa makan jika seseorang yang makan bersamanya banyak bicara.Moodnya akan langsung hancur dan lebih baik tidak jadi makan meski sekali pun makanannya mahal. Dan hanya Emma dan kedua sahabatnya yang mengerti akan hal itu.Sampai akhirnya mereka selesai makan, Elvan menyeletuk lagi. “Kalau pun ada yang suka, akunya yang tidak."“Idih, berharap banget ada yang suka sama cowok sedingin es batu kayak kamu," cibir Emma setelah minum. Walau ia juga tahu bahwa Elvan menjadi idaman para mahasiswi di kampusnya.“Lagi pula aku tidak percaya sama yang namanya cinta.”“Iya terus kenapa bilang ke aku?” kata Emma cuek.Elvan mengulum bibir. “Supaya kamu tidak salah paham kalau misalnya diam-diam suka sama aku.”“Hih! Siapa juga yang suka sama kamu?!” desis Emma mendelik kesal.“Cuma misalnya, Emma," kekeh Elvan sambil mengacak-acak rambut Emma.Emma berdecak sebal, mengerucutkan bibir, namun sesuatu dalam hatinya tiba-tiba terasa perih. Emma kesal karena Elvan seolah tahu apa yang disembunyikan di hatinya.***Laras menyiapkan sarapan seperti biasa, namun seperti ada yang aneh dari raut wajahnya. Dalam diam, Elvan memperhatikan wanita itu yang sedang meletakkan makanan ke meja.Sampai Laras selesai dengan aktivitasnya, ia menyadari tatapan Elvan yang sedari tadi seolah meminta penjelasan.“Jangan lupa jemput Nayla setelah sarapan, ya,” ucap Laras yang nyatanya tidak mau berbagi cerita.Elvan merasakan tepukan pelan dari ibunya sebelum ia pergi begitu saja. Helaan napas panjang terdengar, Elvan tersenyum tipis, selalu saja seperti ini setelah ibunya bertengkar dengan ayahnya.Suasana di antara mereka lebih berjarak dan dingin. Ayahnya juga pasti sudah berangkat bekerja pagi-pagi buta. Alhasil Elvan lebih sering sarapan seorang diri. Bahkan sudah menjadi kebiasaan yang menemani hari-hari.Walau begitu ia sebenarnya tidak peduli, toh, mereka sendiri juga tidak memedulikannya. Usai sarapan, Elvan mengambil kunci motornya dan bergegas keluar.Hari ini Elvan bisa saja kabur dengan bolos agar tidak bertemu dengan gadis cerewet itu. Namun mengingat ancaman ibunya, juga karena ia sudah mendekati semester akhir, Elvan terpaksa melajukan motornya ke rumah Nayla.Sementara di rumah Nayla, gadis itu sendiri sedang bertengkar dengan sang ayah. Seharusnya sarapan pagi ini bisa membuat perutnya kenyang untuk menggantikan kelaparannya tadi malam. Tapi sayangnya tidak.Nayla memejamkan mata untuk menahan emosi ketika bentakan demi bentakan menusuk hati. Menggenggam sendoknya erat-erat sampai menyakiti telapak tangan. Ia menunduk, memilih mendengarkan meski sebenarnya ingin melawan.Ini masih pagi. Nayla harus bisa mengontrol diri. Bukankah emosi tidak akan kalah jika dilawan dengan emosi pula?“Kalau hari ini kamu bikin masalah lagi, papa akan pindahin kamu ke kampus yang lebih ketat! Jadi anak perempuan, kok, tidak punya adab!"Perkataan menyakitkan itu keluar dari mulut ayahnya sendiri. Sangat menyesakkan dada. Seakan merobek-robek jantung Nayla hingga tidak mampu membuatnya bernapas dengan baik.Anton menggebrak meja makan. “Jadi anak jangan selalu menyusahkan orang tua!”Menyekik pangkal tenggorokan Nayla secara tidak langsung.Tatapan mata pria itu menajam. “Tiru kakak tiri kamu! Dia selalu juara olimpiade tingkat internasional, kamu bisa apa, hah?”Memukul seluruh tulangnya tanpa menyentuh.Anton mengepalkan jemari tangannya. “Cuma beban!”Mematikan mentalnya tanpa perasaan.Prang! Vas bunga di pojok ruangan menjadi korban kemarahan. Nayla semakin menunduk, air matanya sudah jatuh sedari tadi. Ia biarkan saja sampai ayahnya berlalu pergi menaiki anak tangga.Tak masalah ia tampak lemah di hadapan sang papa. Setidaknya itu lebih baik dari pada menjadi anak durhaka.“Iya, Pa. Aku memang anak tidak berguna dan selalu salah di mata papa,” lirih Nayla. Ia tertawa pelan, tapi dadanya sangat sesak.Sementara di luar rumah, Elvan yang baru sampai lantas mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu saat suara pecahan kaca terdengar dari dalam.Elvan kemudian tersentak ketika Nayla tiba-tiba keluar dengan rambut acak-acakan dan mata memerah. Nayla pun seketika membelalakkan mata dan segera menutup pintunya kembali.“K–kak Elvan?”“Kenapa kamu?” tanya Elvan tanpa sadar. Sebelum akhirnya menyesali ucapannya.Nayla tersentak kecil, sebelum menggeleng cepat dan tersenyum manis sambil buru-buru merapikan rambutnya. “Tidak ada apa-apa, kok. Yuk, berangkat sekarang, Kak."Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Mata kamu—"“Oh, tadi tidak sengaja kena make up, hehe. Udah, ih, Kak. Jangan banyak tanya,” jawab Nayla berbohong, lalu segera mendorong tubuh Elvan agar berbalik dan berjalan ke motor.Elvan diam saja meski sedikit curiga, ia menaiki motornya lalu memakai helm. Saat melihat Nayla kesusahan memakai helm dari balik kaca spion, Elvan berdecak sebal.Ia sengaja tidak membantu dan hanya melihatnya sampai Nayla bisa sendiri. Gadis itu lalu memukul pundak Elvan karena tidak peka.“Kamu rese banget, ya, Kak. Kenapa aku tidak dibantu?” gerutu Nayla sambil naik ke jok belakang motor Elvan."Jadi cewek harus mandiri," decak Alvian yang lantas melajukan motornya.“Nyebelin banget, ish! Jadi cowok, tuh, juga harus peka, Kak!”Nayla memukul helm Elvan, tapi cowok itu tidak menghiraukan. Tetap fokus denga
"Eh, Manusia Batu! Kamu juga harus ketawa, dong! Ceritaku tadi lucu banget, kan?"Elvan duduk di kantin bersama tiga sahabatnya sambil menikmati makanannya. Suasana sangat seru ketika Emma terlihat bercanda dengan riang. Emma juga sesekali memukul lembut lengan Elvan sambil tertawa.Elvan yang mendapat perlakuan itu hanya tersenyum santai tanpa kesan marah atau kesal. "Iya, aku percaya. Habisin itu makanannya sebelum dingin."Emma terkekeh geli, lalu mengangguk-angguk. "Sumpah, deh. Pokoknya nanti kamu harus nonton filmnya, ya, El!""Iya-iya."Sementara itu, Nayla yang duduk agak jauh bersama Clara, memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba memuncak. Meskipun dia tahu Emma adalah sahabat Elvan, tetapi melihat keakraban mereka membuat hatinya tidak nyaman. Padahal saat dengannya sikap Elvan sangat kasar dan cuek."Kenapa Kak Elvan bisa tertawa akrab dengan Kak Emma? Padahal dia tunanganku," ucap Nayla di dalam hati.Nayla berusaha menyembunyikan rasa kesalnya, namun
Nayla tersenyum tipis. "Makasih karena karena hari ini sudah memberiku rasa sakit lagi, Kak Elvan."Nayla perlahan menjauh, ia merasa hatinya semakin berat. Ia berbalik dan memilih pulang sendirian, serta mencoba menghapus bayangan Elvan dan Emma dari pikirannya. Tetapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mereka yang tertawa bersama muncul lagi di benaknya.Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi pun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa kesal. Ia merasa seperti sengaja ditolak dan diabaikan oleh Elvan, orang yang baru saja akan ia anggap spesial. Hatinya terasa hancur, dan Nayla tidak bisa menahan emosinya yang mulai menggebu-gebu. Emosi kesal, cemburu, sakit, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu."Kenapa aku harus melihat mereka bersama?" batin Nayla dengan senyuman pahit."Elvan yang baru saja marah padaku hanya karena menyapanya, sekarang begitu hangat dan akrab dengan Emma. Mengapa dia memilih pulang bersama dia? Apa karena mereka sahabat y
"Elvan, aku suka sama kamu."Elvan terdiam, tampak terkejut dan tidak tahu harus berkata apa dengan ungkapan yang baru saja Emma katakan. Gadis itu menatap lurus ke dalam matanya, membuat Elvan mengepalkan tangan."Kenapa harus sekarang? Di saat aku berada di posisi yang tidak memungkinkan," ucap Elvan di dalam hati.Sementara Emma masih menunggu, hatinya berdebar-debar, tapi Elvan masih belum juga memberi jawaban. Emma tahu dirinya sudah gila, tapi ia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. "Elvan?" panggil Emma ragu. Sejujurnya ia cemas dengan raut wajah Elvan saat ini. Bukan marah, tetapi terlihat dingin."Emma, aku ...." Elvan mencari kata-kata yang tepat. Ia bingung, tidak bisa menatap Emma langsung.Elvan kemudian mengalihkan pandangan, menghela napas panjang, dan menatap ke arah lain. Ia berpikir keras, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. Namun nyatanya ia tidak bisa mengatakan apa-apa pada Emma.Emma melihat Elvan seperti itu menundukkan kepala. "Maaf, El."Elvan
"Jadi, Emma? Kenapa kamu menyatakan perasaan padaku?" Elvan menatap Emma dengan serius. Mungkin perkataannya barusan memang cukup menyakitkan, tapi ia memang ingin meluruskan. "Aku tahu aku gila, El. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi menahannya. Aku sudah lama menganggapnyamu sebagai orang yang paling aku butuhkan dalam hidupku." Emma menundukkan kepala. Menatap wadah es krim di meja."Aku menyukaimu sebagai Elvan, sebagai seorang lelaki, bukan sahabat. Aku mencintaimu, Elvan. Aku takut suatu saat akan terlambat dan kamu meninggalkanku," lanjutnya dengan nada lebih pelan."Aku tidak ingin kehilanganmu, El. Kamu ... juga merasakan hal yang sama, kan? Selama ini, apa kamu pernah sekali saja berpikir untuk melihatku sebagai perempuan dan mencintaiku sebagai Emma?" Meskipun ragu, Emma perlahan mengangkat wajahnya. Elvan menarik napas dalam-dalam, menatap Emma dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah menyangka Emma mengakui perasaan padanya. Ia mengusap rambutnya dengan ja
".... Aku akan melakukan apapun untuk papa."Pada akhirnya Nayla hanya bisa mengangguk, tersenyum manis dan menunjukkan bahwa ia anak yang berbakti pada orang tua. Karena ia tahu diri ia cukup tidak berguna bagi mereka. Dan perjodohan inilah satu-satunya cara untuk membuat Nayla terlihat ada di mata orang tuanya."Terima kasih, Sayang," kata Anton kemudian mengusap kepala Nayla dengan senyuman hangat. Bukan tersentuh, Nayla justru mengepalkan tangan ketika mendapat perlakuan palsu dari papanya seperti itu. Kalau bukan karena urusan bisnis yang menguntungkan, papanya itu pasti tidak akan sudi melakukan perbuatan lembut padanya.Anton dan David saling pandang, lalu tersenyum senang. Kedua istri mereka juga saling melempar senyum dengan perasaan bahagia. Setelah itu percakapan pun berlanjut, dengan membahas rincian kerja sama bisnis yang diharapkan.Elvan dan Nayla mencoba untuk tetap tenang dan menjaga sikap yang sopan, meskipun mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak mereka i
"Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan mencintaiku. Dan jangan berharap aku akan membalas perasaanmu."Itu kalimat Elvan yang Nayla dengar beberapa saat kemudian sebelum ia terdiam. Nayla memutuskan percakapan dan memilih menahan nyeri di hatinya yang terdalam.Udara dingin malam ini seolah ikut mendukung Nayla untuk menyerah pada perasaannya. Tapi di lain sisi ia juga ingin berteriak bahwa ia mencintainya. Nayla ingin sekali menegaskan bahwa ia ingin Elvan menjadi satu-satunya miliknya."Aku bosan di sini denganmu. Lebih baik kita kembali," celetuk Elvan yang tiba-tiba berdiri dan berjalan lebih dulu.Nayla tersentak dari lamunannya, mendengar itu membuat bibirnya tersenyum tipis, lalu buru-buru mengikuti langkah lebar Elvan sambil menggerutu. "Ish! Kak Elvan, tunggu!" teriak Nayla yang sama sekali tidak direspon oleh Elvan.Sampai di tempat orang tuanya, Elvan menahan umpatan saat dengan terpaksa menuruti perintah ayahnya untuk mengantar Nayla pulang. Meskipun hatinya kesal, ia ber
"Apa dia tidak akan datang lagi?" gumam Nayla sambil sesekali menatap jam di pergelangan tangannya.Berdiri sejak beberapa menit yang lalu di depan gerbang rumah, Nayla berharap Elvan akan menjemputnya. Namun setelah menunggu nyaris setengah jam, Elvan tak kunjung datang. Ah, rupanya lelaki itu tidak merasa bersalah perihal tadi malam."Memang salah aku berharap padanya. Kenapa, sih, aku tidak kapok juga?" kekeh Nayla yang akhirnya memutuskan memesan taksi.Lagi-lagi Nayla dibuat kecewa dengan harapannya sendiri. Padahal ia tahu prioritas Elvan adalah Emma. Tapi tetap saja Nayla berharap Elvan bisa berubah pikiran suatu hari nanti.Perasaan kecewanya pagi ini membuat Nayla kehilangan selera makan saat makan siang. Selama di kelas tadi pun ia sulit memahami materi yang diberikan dosen. Sudah sejak awal Nayla tidak cocok dengan jurusan yang diminta papanya, ditambah dengan masalah perasaannya yang semakin membuat penat.Duduk sendirian di kantin, Nayla menunggu Clara yang memesan makana
Beberapa bulan kemudian, Nayla tiba-tiba merasa mual yang tak biasa. Elvan yang waspada segera menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyum yang hangat. Ia sudah bisa menebak bahwa kabar baik akan datang.Meskipun begitu hati Elvan tak bisa menahan kecemasan yang berkobar di dalamnya. Akhirnya Elvan memutuskan pergi ke dokter untuk memastikan kondisi Nayla. Elvan berharap Nayla tetap sehat dan baik-baik saja tanpa ada masalah.Di sebuah ruangan, suasana gelisah terasa semakin nyata di antara mereka berdua. Elvan menggenggam erat tangan Nayla, memberikan dukungan dan kehangatan dalam ketidakpastian yang mereka hadapi bersama. Ketika hasil tes keluar, keheningan yang tegang memenuhi ruangan itu. Jantung mereka sama-sama berdegup kencang untuk menunggu detik-detik yang akan datang.Ketika hasilnya sudah keluar, Nayla menatap Elvan dengan mata berbinar, sebelum akhirnya ia meneteskan air mata kebahagiaan. “Aku hamil, Elvan,” ucap Nayla dengan suara bergetar.Elvan tersentak oleh kabar b
Elvan dan Nayla memilih untuk hidup sederhana dalam rumah mereka yang indah. Walaupun begitu mereka tetap bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti berbagi senyuman di setiap pagi, berjalan-jalan di taman, dan menikmati waktu bersama tanpa banyak kemewahan yang membutuhkan. Nayla merasa senang bisa hidup bersama Elvan tanpa banyak sesuatu yang mewah. Nayla sangat bahagia karena rumah mereka penuh dengan canda tawa dan kasih sayang, sehingga selalu menciptakan suasana hangat dan damai di setiap sudutnya. Nayla merasa jika ia akan selalu bahagia. Nayla jadi yakin bahwa ia tidak akan pernah merasa menderita dan terluka jika hidup bersama Elvan.Berbeda dengan di masa lalu, walaupun mereka berasal dari keluarga yang penuh masalah, tapi mereka tidak ingin di masa depan mereka melakukan hal yang sama seperti orang tua masing-masing. Nayla akan berjanji jika suatu saat ia dan Elvan mempunyai anak, Nayla tidak akan membuat mereka merasakan apa yang ia rasakan di masa lalu. Nayl
Beberapa hari setelah pernikahan mereka, Elvan mempersiapkan kejutan istimewa untuk Nayla. Dengan hati penuh cinta, Elvan mengajak Nayla untuk menutup matanya dan membawanya ke depan rumah baru yang ia beli dengan kerja kerasnya sendiri."Kamu membuatku berdebar-debar, El. Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan? Apa itu bisa membuatku menangis?" tanya Nayla tertawa geli ketika berjalan tertatih-tatih dengan Elvan di belakangnya dan menutup kedua matanya. "Ini rahasia, Nay. Tapi aku yakin bisa membuatmu tidak bisa berkata apa-apa," jawab Elvan tersenyum geli, ia menuntun Nayla untuk berjalan dengan hati-hati.Saat Nayla membuka mata, pandangan mata Nayla terpana melihat rumah sederhana namun modern yang disiapkan khusus untuk mereka berdua. Sorot mata Nayla pun bercahaya dalam kebahagiaan dan terkejut yang tak terkira. Benar kata Elvan, ia tidak bisa berkata-kata. Nayla melebarkan mata, sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Benar-benar merasa seperti mimpi.Namun, kejutan E
Berbulan-bulan berlalu sejak hubungan antara Elvan dan Nayla semakin erat, kini suasana di sekitar mereka penuh dengan kehangatan dan harapan baru. Hubungan mereka menjadi semakin tidak terpisahkan. Rasa sayang mereka juga bertambah dalam dan luas.Elvan telah berubah menjadi pribadi yang lebih peduli dan penuh kasih, akhirnya hari ini memutuskan untuk mengajak Nayla ke kantor agama dan melangsungkan pernikahan yang dinantikan oleh keduanya. Tanpa perlu kemewahan, mereka hanya berharap bisa segera terikat satu sama lain.Hari yang penuh makna itu pun tiba. Nayla dengan cahaya kebahagiaan yang bersinar dari matanya, memilih untuk berdandan sendiri dan menggunakan make up yang sederhana sebagai bentuk kehematan. Nayla juga tidak ingin membuang banyak uang hanya untuk penampilan heboh selama satu hari. Meskipun sederhana, kecantikan alami Nayla tetap bersinar sebagai cermin dari kebahagiaan dalam hatinya. Nayla tetap menawan dan sempurna di hari pernikahannya. Tidak ada yang bisa menand
Elvan akhirnya sembuh dari traumanya setelah berbulan-bulan perjuangan yang panjang. Dengan tekad dan dukungan yang tak kenal lelah, ia berhasil bangkit dari keterpurukannya. Elvan benar-benar sudah berubah kembali menjadi Elvan yang hangat dan penuh perhatian pada Nayla. Benar, hanya saat dengan Nayla.Setiap langkah kecil yang Elvan ambil menuju pemulihan menjadi bukti kekuatan dan keteguhan hatinya. Elvan benar-benar sudah kembali menjadi Elvan yang dulu. Menjadi Elvan yang tidak akan menyakiti Nayla dan membuatnya terluka.Berbagai upaya dan terapi yang Elvan jalani membantu meredakan beban traumanya dengan baik. Dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk Nayla, memberikan kekuatan tambahan baginya. Elvan bisa melewati semuanya karena semangat yang diberikan Nayla selalu ampuh untuk mengatasi rasa bosannya ketika menjalani terapi.Karena dengan semangat yang membara, Elvan telah berhasil melawan ketakutan dan kegelisahan yang selama ini menghantuinya. Rasa cemas Elvan kini sudah
Hari yang berjalan seperti biasa. Nayla sedang mengerjakan tugas yang belum selesai. Dan beberapa menit lagi sudah tiba jam makan siang. Walaupun lelah, Nayla sebenarnya sangat menikmati pekerjaannya yang menyenangkan. Meski harus sedikit menguras pikiran dan otak karena jika ada sedikit kesalahan, maka bisa menjadi kesalahan yang fatal. Tapi akhirnya setelah berulang kali memeriksa, Nayla telah yakin dengan hasilnya, ia segera mengirim ke email lalu tepat setelah itu jam makan siang telah tiba.Ketika Nayla baru selesai membereskan mejanya, tiba-tiba ia mendapat telepon dari mama Elvan, Laras. Nayla terkejut karena sudah lama sekali mereka tidak berhubungan. Tapi Nayla segera mengangkat telepon itu agar wanita itu tidak lama menunggu. Ketika selesai bertelepon, Nayla cukup penasaran karena mama Elvan mengajaknya bertemu di kafe. Itu artinya mereka akan membicarakan sesuatu yang serius. Dan entah kenapa Nayla cukup berdebar-debar.“Ada apa, Nay? Apa kamu tidak ke kantin?” tanya sala
Elvan sedang merenung di meja kerjanya setelah pekerjaannya selesai. Ia masih memikirkan tentang hidupnya yang terasa tidak adil. Walaupun akhir-akhir ini sudah lebih baik, tapi Elvan belum sepenuhnya menerima takdirnya.Tiba-tiba salah satu teman kerja Elvan, yang bernama Jayendra, datang menghampirinya. Walaupun tidak kenal dekat, tapi Elvan sering makan siang bersamanya. Dan kini pria itu sudah ada di depannya.“Ada apa denganmu? Apa kamu membutuhkan tempat curhat?” tanya Jayendra dengan senyum geli. Kemudian menatap Elvan dan memicingkan mata.“Tidak perlu.” Elvan menatap lelaki itu sambil menghela napas. Suasana hatinya sedang tidak stabil.“Jangan begitu, aku tahu kamu sedang banyak pikiran. Jadi lebih baik ceritakan saja padaku. Apa kamu tidak ingin ke lantai paling atas di perusahaan ini?” ajak Jayendra secara tiba-tiba dengan antusias. Yang langsung membuat Elvan menoleh padanya.“Kenapa kamu mengajakku?” Elvan mengernyit heran. Karena ini pertama kalinya Jayendra cukup perha
Hari ini berjalan baik seperti biasa. Itu adalah bayangan Nayla pada awalnya sebelum tiba-tiba saat jam makan siang di kantor, ia dipanggil oleh temannya untuk bertemu seseorang yang sedang mencarinya. Perasaan Nayla langsung tidak enak karena seseorang itu bukanlah Elvan atau siapa pun. Nayla tahu karena hanya Elvan dan Clara yang tahu tempatnya bekerja. Dan benar saja, Nayla bertemu lagi dengan wanita yang kemarin. Wanita yang membuat Nayla semalaman tidak bisa tidur karena terus memikirkan pengakuannya.Naomi tampak tersenyum menyambut kedatangannya. Berbeda dengan Nayla yang mengepalkan tangan karena menahan kesal yang luar biasa. Nayla juga berusaha tetap tenang agar amarahnya tidak keluar. Setitik hatinya mengatakan untuk tidak membuat masalah dengan seseorang yang sebenarnya Nayla juga merindukan.“Kenapa Anda ke sini lagi? Bukankah Anda bilang tidak akan bertemu saya lagi setelah saya memberikan nomor telepon saya?” tanya Nayla tidak ingin basa-basi, ia memberikan tatapan taj
Siang ini Nayla sengaja makan siang di kafe karena bosan dengan suasana kantin di kantornya. Kebetulan ia juga ingin minum kopi agar tidak mengantuk saat bekerja. Walaupun di kantor sudah ada dapur untuk membuat kopi sendiri, tapi rasanya jelas berbeda jika membeli di kafe. Dan Nayla merindukan sensasi itu karena dulu saat bekerja di kafe ia jarang meminum kopi yang dijual.Ketika Nayla asyik berbincang dengan salah satu teman kantornya, seorang wanita tiba-tiba datang ke mejanya. Nayla terkejut karena wanita itu mengatakan sesuatu yang membuatnya nyaris tak bisa berkata-kata.“Apa benar kamu Nayla? Saya Naomi, ibu kandung kamu," ucap wanita yang kini duduk di depan Nayla. Aroma parfumnya yang wangi tercium ke hidung Nayla.Seketika itu mata Nayla melebar, nyaris tersedak air liurnya sendiri. “A–apa yang Anda katakan?”“Nay, aku pergi dulu, ya. Jangan lama-lama, nanti kamu dimarahi bos," kata teman Nayla yang merasa tidak berhak ikut campur. Ia berdiri dan tersenyum pada Nayla.“Ah,