"Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan mencintaiku. Dan jangan berharap aku akan membalas perasaanmu."Itu kalimat Elvan yang Nayla dengar beberapa saat kemudian sebelum ia terdiam. Nayla memutuskan percakapan dan memilih menahan nyeri di hatinya yang terdalam.Udara dingin malam ini seolah ikut mendukung Nayla untuk menyerah pada perasaannya. Tapi di lain sisi ia juga ingin berteriak bahwa ia mencintainya. Nayla ingin sekali menegaskan bahwa ia ingin Elvan menjadi satu-satunya miliknya."Aku bosan di sini denganmu. Lebih baik kita kembali," celetuk Elvan yang tiba-tiba berdiri dan berjalan lebih dulu.Nayla tersentak dari lamunannya, mendengar itu membuat bibirnya tersenyum tipis, lalu buru-buru mengikuti langkah lebar Elvan sambil menggerutu. "Ish! Kak Elvan, tunggu!" teriak Nayla yang sama sekali tidak direspon oleh Elvan.Sampai di tempat orang tuanya, Elvan menahan umpatan saat dengan terpaksa menuruti perintah ayahnya untuk mengantar Nayla pulang. Meskipun hatinya kesal, ia ber
"Apa dia tidak akan datang lagi?" gumam Nayla sambil sesekali menatap jam di pergelangan tangannya.Berdiri sejak beberapa menit yang lalu di depan gerbang rumah, Nayla berharap Elvan akan menjemputnya. Namun setelah menunggu nyaris setengah jam, Elvan tak kunjung datang. Ah, rupanya lelaki itu tidak merasa bersalah perihal tadi malam."Memang salah aku berharap padanya. Kenapa, sih, aku tidak kapok juga?" kekeh Nayla yang akhirnya memutuskan memesan taksi.Lagi-lagi Nayla dibuat kecewa dengan harapannya sendiri. Padahal ia tahu prioritas Elvan adalah Emma. Tapi tetap saja Nayla berharap Elvan bisa berubah pikiran suatu hari nanti.Perasaan kecewanya pagi ini membuat Nayla kehilangan selera makan saat makan siang. Selama di kelas tadi pun ia sulit memahami materi yang diberikan dosen. Sudah sejak awal Nayla tidak cocok dengan jurusan yang diminta papanya, ditambah dengan masalah perasaannya yang semakin membuat penat.Duduk sendirian di kantin, Nayla menunggu Clara yang memesan makana
"Aduh, kenapa hujannya harus sekarang, sih?" Sore hari, tiba-tiba hujan turun dengan deras dan berangin. Nayla terjebak di halte tanpa ada kendaraan yang bisa mengantarnya pulang. Clara sudah pulang sejak tadi karena dijemput lebih awal. Beberapa mahasiswa lain juga sudah dijemput dan sisanya pulang sebelum hujan. Nayla mendadak kesal karena tadi sempat disuruh membantu dosennya di kantor. Sekarang ia jadi kesepian di tengah hujan yang deras. Meski sudah mencoba memesan ojek, namun tidak ada yang tersedia. Bahkan taksi pun juga sama, tidak membuahkan hasil karena cuaca yang buruk. Hari ini sungguh menjadi hari yang paling sial bagi Nayla.Ia mendengkus kecil, menyimpan kembali ponselnya ke tas dan menghela napas panjang. Rasanya ia ingin menangis karena suara petir yang beberapa kali terdengar."Bisa-bisa aku kedinginan jika terus berada di sini," gumam Nayla. Kedua telapak tangannya ia usap berkali-kali."Haruskah aku menelepon Kak Elvan? Tapi apa mungkin dia bisa menjemputku di t
"Hari yang melelahkan. Walau setiap hari memang tidak pernah menyenangkan, sih." Nayla terkikik geli.Malam hari tiba dengan cepat, Nayla sedang merebahkan tubuhnya di ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Sebelum matanya terasa mengantuk dan hendak terpejam, suara pintu yang dibuka dari luar, membuat Nayla seketika bangkit dan terduduk.Aurora, kakak tirinya itu tiba-tiba masuk tanpa permisi. Rambut hitamnya yang lurus dan tergerai panjang, selalu menjadi pesona Aurora. Nayla bisa mengakui bahwa kecantikan Aurora memang layak dipuja."Kak—" Nayla belum sempat menyelesaikan ucapannya saat Aurora menahan tawa."Hei, aku punya sesuatu menarik yang ingin kukatakan padamu."Nayla mengernyit, sesuatu yang menarik bagi Aurora, pasti sebaliknya bagi dirinya. "Ada apa?""Kamu tahu, kan, jika kamu ingin dihargai di rumah ini, kamu harus menjadi anak yang menguntungkan? Karena papa dan mama perlu melihat kehadiranmu yang berarti di sini." Aurora melangkah mendekat ke depan Nayla, tanganny
"Apa ceritaku memang tidak menarik? Atau karena orang yang bercerita bukan Kak Emma? Jadi pasti terdengar memuakkan, ya, bagi Kak Elvan," batin Nayla, sekali lagi melirik Elvan, tapi tetap saja lelaki itu tak menghiraukannya.Nayla merasa kecewa saat ia mencoba bercerita kepada Elvan, namun Elvan tampak cuek. Ia tidak bisa menahan perbandingan dengan saat Elvan bersama Emma, di mana Elvan selalu antusias mendengarkan ceritanya dan membuatnya merasa nyaman.Sementara itu, Aurora yang berdiri di kejauhan, tersenyum sinis melihat betapa menyedihkannya Nayla dalam momen ini. Gadis itu merasa senang melihat Nayla terluka dan diabaikan oleh Elvan yang notabenenya sang tunangan sendiri."Sudah aku bilang jangan berlagak, tahu rasa sendiri, kan," gumam Aurora sambil bersedekap dada. Nayla yang tahu Aurora mengawasinya hanya menggeram di dalam hati. Mengalihkan pandangan agar tidak bersitatap dengannya. Walau terluka oleh respons dingin Elvan, Nayla berusaha untuk tetap tenang dan mencoba men
"Aku pikir rasa pusingku bisa hilang dengan sendirinya," batin Nayla saat menyentuh kepala, rasanya masih seperti ditusuk-tusuk.Jam pulang pun tiba, Nayla dan Clara berjalan bersama di koridor. Nayla menahan pening sambil mendengarkan Clara yang mengoceh sejak keluar kelas. Tapi gadis itu tidak menyadari gelagat Nayla yang kesakitan karena Nayla masih meresponnya dengan tawa kecil dan wajah ceria.Sampai akhirnya tiba-tiba Nayla pingsan dan jatuh di lantai. Clara yang terkejut langsung membelalakkan mata. Rasa cemas dan kebingungan tidak tahu harus berbuat apa menjadi satu saking paniknya."N–nayla! Hei-hei, bangun!" teriak Clara yang seketika terduduk di samping Nayla. Beberapa mahasiswa di sana seketika tersentak dan reflek ikut mendekat.Sebelumnya gadis itu hendak meminta tolong, untungnya Alex—sahabat Elvan yang kebetulan berjalan tidak jauh di belakang mereka dengan sigap berlari saat melihat kejadian tersebut."Kak Alex!" panggil Clara. "Tolongin Nayla!"Dengan ekspresi khawat
"Akhirnya aku bisa segera tidur."Tiba di rumah, Nayla masuk dengan langkah lemas. Kehadirannya yang lemah tak terlihat oleh papa, mama tiri, dan kakak tirinya yang sedang asyik bercanda di ruang TV. Mereka sepertinya tidak memedulikan kepulangan Nayla. Melihat itu Nayla tersenyum tipis. "Meski di dalam rumah pun, aku tidak merasakan kehangatan."Ketika Nayla mencoba menyapa mereka, tidak ada yang menjawab. Hanya Aurora yang melemparkan lirikan sinis ke arahnya. Ia tampak menikmati kemalangannya yang tidak dipedulikan oleh papa dan mama."Aku ingin mengumpatinya," batin Nayla dengan rahang mengeras. Nayla merasa terluka dan terbuang. Tapi tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia segera naik ke kamarnya. Di dalam sana Nayla merasa sesak dan terkekeh kecut. Ia mencoba menahan emosinya dan tersenyum dengan pahit."Apa, sih, yang aku harapkan dari keluarga palsu ini? Kasih sayang?" Nayla terkikik geli. "Mustahil aku dapatkan di rumah ini."Nayla kemudian membaringkan tubuhnya di tempat tid
"Pasti susu ini dibuat oleh asisten rumah tangga. Mama mana mau repot-repot membuatnya untukku." Nayla terkekeh geli.Ia lalu mencoba segelas susu hangat yang dibawakan mama tirinya tadi. Ketika selesai meneguk, dalam keheningan kamarnya, pintu tiba-tiba dibuka lagi dari luar. Nayla reflek menoleh, mama tirinya masuk dengan langkah anggun, wajahnya terlihat dingin dan tajam. "Hei, Nayla. Jangan senang dan berpikir bahwa apa yang baru saja aku lakukan tadi karena sayang padamu. Kamu hanya alat untuk memperbaiki posisi keluarga kita dan tugasmu menjaga penampilan di depan calon keluarga mertua. Aku berharap kamu tidak akan memalukan keluarga ini dengan sikapmu yang tidak patut di depan mereka." Suaranya penuh sindiran. Sarah bersedekap dada di depan Nayla. Nayla merasa hatinya teriris oleh kata-kata mama tirinya. Ia merasa seperti sebuah objek yang hanya digunakan untuk kepentingan finansial. Namun, Nayla menahan diri agar tidak menunjukkan kelemahannya di
Beberapa bulan kemudian, Nayla tiba-tiba merasa mual yang tak biasa. Elvan yang waspada segera menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyum yang hangat. Ia sudah bisa menebak bahwa kabar baik akan datang.Meskipun begitu hati Elvan tak bisa menahan kecemasan yang berkobar di dalamnya. Akhirnya Elvan memutuskan pergi ke dokter untuk memastikan kondisi Nayla. Elvan berharap Nayla tetap sehat dan baik-baik saja tanpa ada masalah.Di sebuah ruangan, suasana gelisah terasa semakin nyata di antara mereka berdua. Elvan menggenggam erat tangan Nayla, memberikan dukungan dan kehangatan dalam ketidakpastian yang mereka hadapi bersama. Ketika hasil tes keluar, keheningan yang tegang memenuhi ruangan itu. Jantung mereka sama-sama berdegup kencang untuk menunggu detik-detik yang akan datang.Ketika hasilnya sudah keluar, Nayla menatap Elvan dengan mata berbinar, sebelum akhirnya ia meneteskan air mata kebahagiaan. “Aku hamil, Elvan,” ucap Nayla dengan suara bergetar.Elvan tersentak oleh kabar b
Elvan dan Nayla memilih untuk hidup sederhana dalam rumah mereka yang indah. Walaupun begitu mereka tetap bisa menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, seperti berbagi senyuman di setiap pagi, berjalan-jalan di taman, dan menikmati waktu bersama tanpa banyak kemewahan yang membutuhkan. Nayla merasa senang bisa hidup bersama Elvan tanpa banyak sesuatu yang mewah. Nayla sangat bahagia karena rumah mereka penuh dengan canda tawa dan kasih sayang, sehingga selalu menciptakan suasana hangat dan damai di setiap sudutnya. Nayla merasa jika ia akan selalu bahagia. Nayla jadi yakin bahwa ia tidak akan pernah merasa menderita dan terluka jika hidup bersama Elvan.Berbeda dengan di masa lalu, walaupun mereka berasal dari keluarga yang penuh masalah, tapi mereka tidak ingin di masa depan mereka melakukan hal yang sama seperti orang tua masing-masing. Nayla akan berjanji jika suatu saat ia dan Elvan mempunyai anak, Nayla tidak akan membuat mereka merasakan apa yang ia rasakan di masa lalu. Nayl
Beberapa hari setelah pernikahan mereka, Elvan mempersiapkan kejutan istimewa untuk Nayla. Dengan hati penuh cinta, Elvan mengajak Nayla untuk menutup matanya dan membawanya ke depan rumah baru yang ia beli dengan kerja kerasnya sendiri."Kamu membuatku berdebar-debar, El. Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan? Apa itu bisa membuatku menangis?" tanya Nayla tertawa geli ketika berjalan tertatih-tatih dengan Elvan di belakangnya dan menutup kedua matanya. "Ini rahasia, Nay. Tapi aku yakin bisa membuatmu tidak bisa berkata apa-apa," jawab Elvan tersenyum geli, ia menuntun Nayla untuk berjalan dengan hati-hati.Saat Nayla membuka mata, pandangan mata Nayla terpana melihat rumah sederhana namun modern yang disiapkan khusus untuk mereka berdua. Sorot mata Nayla pun bercahaya dalam kebahagiaan dan terkejut yang tak terkira. Benar kata Elvan, ia tidak bisa berkata-kata. Nayla melebarkan mata, sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Benar-benar merasa seperti mimpi.Namun, kejutan E
Berbulan-bulan berlalu sejak hubungan antara Elvan dan Nayla semakin erat, kini suasana di sekitar mereka penuh dengan kehangatan dan harapan baru. Hubungan mereka menjadi semakin tidak terpisahkan. Rasa sayang mereka juga bertambah dalam dan luas.Elvan telah berubah menjadi pribadi yang lebih peduli dan penuh kasih, akhirnya hari ini memutuskan untuk mengajak Nayla ke kantor agama dan melangsungkan pernikahan yang dinantikan oleh keduanya. Tanpa perlu kemewahan, mereka hanya berharap bisa segera terikat satu sama lain.Hari yang penuh makna itu pun tiba. Nayla dengan cahaya kebahagiaan yang bersinar dari matanya, memilih untuk berdandan sendiri dan menggunakan make up yang sederhana sebagai bentuk kehematan. Nayla juga tidak ingin membuang banyak uang hanya untuk penampilan heboh selama satu hari. Meskipun sederhana, kecantikan alami Nayla tetap bersinar sebagai cermin dari kebahagiaan dalam hatinya. Nayla tetap menawan dan sempurna di hari pernikahannya. Tidak ada yang bisa menand
Elvan akhirnya sembuh dari traumanya setelah berbulan-bulan perjuangan yang panjang. Dengan tekad dan dukungan yang tak kenal lelah, ia berhasil bangkit dari keterpurukannya. Elvan benar-benar sudah berubah kembali menjadi Elvan yang hangat dan penuh perhatian pada Nayla. Benar, hanya saat dengan Nayla.Setiap langkah kecil yang Elvan ambil menuju pemulihan menjadi bukti kekuatan dan keteguhan hatinya. Elvan benar-benar sudah kembali menjadi Elvan yang dulu. Menjadi Elvan yang tidak akan menyakiti Nayla dan membuatnya terluka.Berbagai upaya dan terapi yang Elvan jalani membantu meredakan beban traumanya dengan baik. Dukungan dari orang-orang terdekat, termasuk Nayla, memberikan kekuatan tambahan baginya. Elvan bisa melewati semuanya karena semangat yang diberikan Nayla selalu ampuh untuk mengatasi rasa bosannya ketika menjalani terapi.Karena dengan semangat yang membara, Elvan telah berhasil melawan ketakutan dan kegelisahan yang selama ini menghantuinya. Rasa cemas Elvan kini sudah
Hari yang berjalan seperti biasa. Nayla sedang mengerjakan tugas yang belum selesai. Dan beberapa menit lagi sudah tiba jam makan siang. Walaupun lelah, Nayla sebenarnya sangat menikmati pekerjaannya yang menyenangkan. Meski harus sedikit menguras pikiran dan otak karena jika ada sedikit kesalahan, maka bisa menjadi kesalahan yang fatal. Tapi akhirnya setelah berulang kali memeriksa, Nayla telah yakin dengan hasilnya, ia segera mengirim ke email lalu tepat setelah itu jam makan siang telah tiba.Ketika Nayla baru selesai membereskan mejanya, tiba-tiba ia mendapat telepon dari mama Elvan, Laras. Nayla terkejut karena sudah lama sekali mereka tidak berhubungan. Tapi Nayla segera mengangkat telepon itu agar wanita itu tidak lama menunggu. Ketika selesai bertelepon, Nayla cukup penasaran karena mama Elvan mengajaknya bertemu di kafe. Itu artinya mereka akan membicarakan sesuatu yang serius. Dan entah kenapa Nayla cukup berdebar-debar.“Ada apa, Nay? Apa kamu tidak ke kantin?” tanya sala
Elvan sedang merenung di meja kerjanya setelah pekerjaannya selesai. Ia masih memikirkan tentang hidupnya yang terasa tidak adil. Walaupun akhir-akhir ini sudah lebih baik, tapi Elvan belum sepenuhnya menerima takdirnya.Tiba-tiba salah satu teman kerja Elvan, yang bernama Jayendra, datang menghampirinya. Walaupun tidak kenal dekat, tapi Elvan sering makan siang bersamanya. Dan kini pria itu sudah ada di depannya.“Ada apa denganmu? Apa kamu membutuhkan tempat curhat?” tanya Jayendra dengan senyum geli. Kemudian menatap Elvan dan memicingkan mata.“Tidak perlu.” Elvan menatap lelaki itu sambil menghela napas. Suasana hatinya sedang tidak stabil.“Jangan begitu, aku tahu kamu sedang banyak pikiran. Jadi lebih baik ceritakan saja padaku. Apa kamu tidak ingin ke lantai paling atas di perusahaan ini?” ajak Jayendra secara tiba-tiba dengan antusias. Yang langsung membuat Elvan menoleh padanya.“Kenapa kamu mengajakku?” Elvan mengernyit heran. Karena ini pertama kalinya Jayendra cukup perha
Hari ini berjalan baik seperti biasa. Itu adalah bayangan Nayla pada awalnya sebelum tiba-tiba saat jam makan siang di kantor, ia dipanggil oleh temannya untuk bertemu seseorang yang sedang mencarinya. Perasaan Nayla langsung tidak enak karena seseorang itu bukanlah Elvan atau siapa pun. Nayla tahu karena hanya Elvan dan Clara yang tahu tempatnya bekerja. Dan benar saja, Nayla bertemu lagi dengan wanita yang kemarin. Wanita yang membuat Nayla semalaman tidak bisa tidur karena terus memikirkan pengakuannya.Naomi tampak tersenyum menyambut kedatangannya. Berbeda dengan Nayla yang mengepalkan tangan karena menahan kesal yang luar biasa. Nayla juga berusaha tetap tenang agar amarahnya tidak keluar. Setitik hatinya mengatakan untuk tidak membuat masalah dengan seseorang yang sebenarnya Nayla juga merindukan.“Kenapa Anda ke sini lagi? Bukankah Anda bilang tidak akan bertemu saya lagi setelah saya memberikan nomor telepon saya?” tanya Nayla tidak ingin basa-basi, ia memberikan tatapan taj
Siang ini Nayla sengaja makan siang di kafe karena bosan dengan suasana kantin di kantornya. Kebetulan ia juga ingin minum kopi agar tidak mengantuk saat bekerja. Walaupun di kantor sudah ada dapur untuk membuat kopi sendiri, tapi rasanya jelas berbeda jika membeli di kafe. Dan Nayla merindukan sensasi itu karena dulu saat bekerja di kafe ia jarang meminum kopi yang dijual.Ketika Nayla asyik berbincang dengan salah satu teman kantornya, seorang wanita tiba-tiba datang ke mejanya. Nayla terkejut karena wanita itu mengatakan sesuatu yang membuatnya nyaris tak bisa berkata-kata.“Apa benar kamu Nayla? Saya Naomi, ibu kandung kamu," ucap wanita yang kini duduk di depan Nayla. Aroma parfumnya yang wangi tercium ke hidung Nayla.Seketika itu mata Nayla melebar, nyaris tersedak air liurnya sendiri. “A–apa yang Anda katakan?”“Nay, aku pergi dulu, ya. Jangan lama-lama, nanti kamu dimarahi bos," kata teman Nayla yang merasa tidak berhak ikut campur. Ia berdiri dan tersenyum pada Nayla.“Ah,