“Apa karena kamu kasihan sama dia? Masih cinta sama dia?” tanya Lutfan.Alula menggeleng. “Bukan seperti itu. Hanya saja saya capek kalau berurusan sama mereka. Mereka pasti akan terus mendesak saya mencabut laporan dan bahkan bukan tidak mungkin akan melakukan hal lebih bahaya sama saya. Saya hanya ingin hidup tenang.”Lutfan mengembuskan napas panjang. “Orang-orang lemah seperti kamu inilah yang membuat hukum di negeri ini tidak bisa berdiri tegak sebagaimana mestinya. Dengan alasan takut, tidak mau ribet, atau ingin hidup tenang, membuat kamu atau mereka yang lemah tidak mau mengusut secara tuntas. Dan itu cenderung membuat para penjahat kayak Yongki seperti di atas angin. Mereka bahagia. Sebab dengan mudah menekan orang sepertimu hingga bebas dari hukuman.”Alula diam, masih mengamati pemandangan luar melalui jendela.“Alula, mantanmu itu akan merasa terlalu percaya diri kalau kamu mencabut laporan. Apa yang di pikirkannya? Alula pasti masih cinta sama aku, makanya nggak tega meli
“Oh, nikah siri dulu saja.” Nur kembali memberi ide.Uhuk!Lutfan kembali tersedak hingga terbatuk-batuk. Lekas Nur memberikan minum kepada sang putra.“Terlalu senang pasti, sampai tersedak. Apa gara-gara Ibu nyuruh nikah siri. Hayo ngaku?”Lutfan menggeleng. Ia terkekeh setelah batuknya reda. “Bu, aku nggak pengen kayak gitu. Pengennya sekali nikah langsung sah menurut agama dan negara. Kalo nikah siri, ibarat lagi kredit, dicicil. Nikah kok nyicil. Ogah.”Nur tertawa. “Ya, nggak apa-apa. Pokoknya Ibu pengen segera lihat kamu nikah.”“Ibu ini ibarat mancing, pakai umpan cacing dan berharap yang menyambar ikan tuna atau ikan kakap. Ibu punya anak nggak tampan macam aku, tapi berharap punya menantu kayak Alula. Agak aneh sebenarnya.”Nur kembali tergelak. “Ya, namanya juga berharap. Ibu akan terus berharap dan berdoa selama berharap itu masih gratis dan berdoa itu masih diharuskan.”“Ibu Sayang, Alula belum menerima. Jadi, jangan terlalu menggantung harap. Aku takut Ibu kecewa kalau d
Jika malam sebelumnya Lutfan tidak bisa menemani Alula, kali ini pria itu membawa pekerjaannya sambil menemani Alula dan ibunya di rumah sakit. Pria itu fokus menatap laptop setelah mengantarkan Aprilia, sedangkan Nur sudah tertidur pulas di sofa. Alula berbaring menatap jendela, memunggungi Lutfan.Tes kesehatan Alula sudah keluar dan semua hasilnya aman, tidak ada yang perlu dikawatirkan. CT Scan juga menunjukkan tidak ada keretakan atau hal bahaya di kepala wanita itu. Pun keraguan Lutfan terjawab tuntas. Alula tidak sedang hamil.Nur dan Lutfan mengucap syukur ketika mengetahui semua itu sebab mereka yang diberi tahu hasil pertama kalinya oleh dokter. Hasil itu masih bersamanya, belum diberitahukan kepada Alula.Lutfan berjanji tidak akan terpengaruh lagi semua omong kosong Yongki. Mantan Alula itu hanya berusaha menjegal.Ada pepatah mengatakan, buka telinga selebar-lebarnya untuk mengetahui kekurangan calon pasangan. Lalu, tutup serapat-rapatnya setelah menikah. Pepatah itu tida
Malam itu, Alula hanya berteman sepi. Bahkan jarum jam pun tidak sudi menemaninya. Jarum itu tidak berputar, sama seperti hidupnya yang jalan di tempat.Jalan di tempat penuh kesedihan, kesendirian. Mungkin untuk selamanya.Alula meringkuk, menangis. Penolakan kembali didapat dari orang tua pria yang ingin meminangnya.Wanita itu sedikit memutar waktu ke belakang saat Yongki mengajaknya bertemu Rohima. Meskipun tidak menunjukkan secara langsung, Alula paham Rohima tidak suka padanya.“Bukannya kamu sedang dekat dengan anak lurah desa sebelah, Ki? Kamu kemanain dia? Lalu Polwan kemarin?” tanya Rohima.Alula saat itu hanya menunduk dalam. Dari ucapan saja, ia tahu Rohima merendahkannya dan secara tidak langsung. Bahwa seperti itulah tipe menantu mamanya Yongki itu.“Ma, kapan aku dekat dengan mereka?”“Oh, aku kira mereka itu kandidatmu.”“Dari dulu aku hanya dekat dengan Alula, Ma. Nggak ada wanita lain.”Entah apa yang dilakukan Yongki, ketika Alula datang lagi, sikap Rohima sudah ber
Setalah semalaman dihabiskan dengan menangis, pagi ini Alula mencoba lebih kuat dari hari sebelumnya. Ia sudah bisa mandi sendiri di kamar mandi tanpa bantuan siapa pun karena memang tidak ada siapa-siapa di sana. Lagi pula ia sudah tidak merasakan keluhan apa pun lagi. Pusingnya sudah sembuh. Setelah berganti pakaian, salat, ia kembali duduk di ranjang pasien.“Yang ... alolo Alula Sayang!” pekik sebuah suara dari arah pintu, sembari menirukan lirik sebuah lagu.Alula tersenyum kala melihat siapa yang datang. Fauzi dan Aprilia.“Minimal salam dulu, kek. Malah soyang sayang,” ujar Aprilia sambil menyentil kening Fauzi.“Assalamualaikum, Istriku,” sapa Fauzi setelah memelototi Aprilia.“Waalaikumussalam.” Alula tertawa dengan mata memerah menahan tangis. Ia patut bersyukur. Di saat banyak orang menjauh, ia masih memiliki dua manusia random di hadapannya ini. Dua sahabatnya inilah yang mau menerima dirinya apa adanya, tanpa jijik atau benci padanya meski tahu asal usulnya. Di hadapan Fa
Lutfan kesiangan. Semalam, ia tidak bisa memejamkan mata. Ia hanya duduk sambil menatap ibunya yang terlelap. Pria itu tadi tidur lagi setelah salat Subuh karena baru merasa kantuk hingga akhirnya terburu-buru bersiap-siap berangkat ke kampus karena ada jam pagi. Beberapa mahasiswa juga sudah menunggu untuk bimbingan.“Ibu nggak apa-apa aku tinggal?” tanya Lutfan kepada Nur.“Nggak apa-apa. Berangkatlah. Ada Marni yang menemani.”“Ibu jangan lupa makan, jangan banyak pikiran.”Nur mengangguk. “Fan, mampirlah ke rumah sakit sebelum ke kampus. Lihatlah Alula. Ibu kepikiran dia. Siapa tahu dia sudah boleh pulang. Bayarkan biaya rumah sakitnya. Ibu sudah janji mau bayarkan.”Lutfan tersenyum. Seperti itulah ibunya, tidak mungkin terus membenci seseorang yang notabene tidak salah. Apalagi membenci Alula. Rasanya tidak mungkin. Mungkin sang ibu masih butuh waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri menerima asal-usul gadis itu.“Iya. Aku berangkat. Assalamualaikum.” Lutfan mencium tangan ibunya
Jannah membeku untuk sesaat. Pesan dari Alula dibaca tepat sebelum pria itu datang. “Lalu kamu bilang apa, Ris?”“Aku bilang Alula nggak ada di sini. Lalu dia pengen ketemu Ibu,” jawab Risti.“Bilang saja kalau Ibu sedang nggak enak badan, sedang istirahat. Ibu belum mau ketemu sama dia. Kalau dia datang lagi dan kamu yang menemui, bilang kayak gitu terus."“Memangnya ada masalah, Bu?”“Ibu juga nggak tahu. Ini tadi Alula kirim pesan. Katanya dia udah keluar rumah sakit. Sekarang ada di Blitar, tapi dilarang memberi tahu Lutfan dan ibunya.”“Baik, Bu. Aku akan ke depan lagi.”Risti pun berlalu tanpa banyak tanya lagi.Jannah yakin ada yang terjadi sampai-sampai Alula mengabarkan agar tidak memberi tahu keberadaannya kepada Lutfan dan Nur. Akan diselidikinya.Jannah masuk kamar, lalu melakukan panggilan suara di nomor yang dipakai Alula tadi.“Assalamualaikum. Apa yang terjadi, Nak?”“Waalaikumussalam. Ceritanya panjang, Bu. Aku pengen ketemu sama Ibu.” Suara Alula terdengar bergetar.
Sora itu, Jannah langsung bertolak menuju Blitar untuk menemui Alula setelah memastikan tidak ada yang mengikuti. Di perjalanan dengan mengendarai ojek online, ia sangat hati-hati dan waspada. Berbekal alamat dari Aprilia, Jannah pun tiba di tempat.Aprilia membuka pintu kos-kosan setelah Jannah mengabarkan telah sampai.“La, aku pulang dulu, ya. Nikmati kebersamaan dengan ibumu. Besok aku ke sini lagi,” pamit Aprilia.“Nak Lia, terima kasih banyak sudah menemani Alula. Maaf karena terus merepotkan,” ujar Jannah.“Nggak merepotkan, Bu. Alula sudah seperti saudara saya. Saya permisi.”“Kamu naik apa, Pril?” tanya Alula. Masalahnya, Fauzi sudah pergi dari tadi karena katanya kafe di Tulungagung ada masalah.“Aku bisa pesen ojek online.”“Makasih, ya. Maaf terus mengganggumu dengan masalah-masalahku.”Aprilia menghampiri Alula, lalu cipika-cipiki. “Jangan minta maaf. Kita ini kan, bestie. Sepatutnya saling menguatkan dan saling merepotkan.”Setelah itu, ia pulang.“Katakan ada masalah ap
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi