“Ibu saya. Nunggu kamu.”“Bu Nur?”Lutfan mengangguk. “Kamu pikir siapa lagi ibu saya selain dia? Ayo, naik.”Pelan tetapi kurang yakin, Alula berjalan dan masuk ke mobil Lutfan. Ia menuju pintu belakang.“Di depan, Alula.”Karena hanya menumpang, Alula menurut. Kendaraan beroda empat itu pun lantas melenggang membelah jalanan.“Apa kamu ingin membawa perlakuan kriminal mereka tadi ke pihak berwajib? Kalau iya, kita ke kantor polisi sekarang.”Alula menggeleng. “Nggak usah. Saya nggak mau ribet. Lagi pula, saya nggak kenapa-napa, nggak ada yang luka.”“Kamu itu terlalu lemah. Sedikitlah berani biar mereka nggak semena-mena lagi.”“Enggak, Pak. Ya, anggap saya lemah. Karena jujur, saya tidak ingin masalah ini jadi panjang. Capek ngadepi mereka. Eh, tapi katanya orang lemah dan tertindas itu doanya paling mujarab. Bukankah begitu?”Lutfan tertawa. Pria yang rumornya dingin dan kaku itu, ternyata hangat.“Saya jadi penasaran apa doamu. Jangan-jangan berdoa hal buruk pada mereka?”Alula m
“Beda apanya? Salah lihat pasti kamu. Matamu minus itu. Harus diperiksakan.” Lutfan berbalik setelah memakai lagi maskernya.Alula terdiam. Mungkin Lutfan benar kalau ia salah lihat.“Iya mungkin.”“Oh, ya. Saya mau pinjam charger. Biar ponsel saya bisa segera dinyalakan.” Alula mencoba melupakan penglihatannya yang aneh tadi. Wajah Lutfan terlihat beda di kaca spion. Ia sangat yakin itu.“Oke. Saya ke dalam dulu buat ambil.” Lutfan pun masuk rumah."Mataku kayaknya masih sehat. Tapi ... ah, sudahlah," gumam Alula.Sementara Alula masih di luar, mengagumi berbagai tanaman hias dan tanaman obat di halaman rumah Nur. Berbagai tanaman rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan sejenisnya tumbuh subur di sana. “Masuk dulu, La. Diminum dulu tehnya!” teriak Nur.Alula mengangguk, lalu mendekati Nur sambil menahan sakit ketika berjalan.“Jalannya, kok, gitu, La?”“Tadi jatuh, Bu.”“Sakit?”“Dikit.”Keduanya lantas duduk.Rumah Nur masih bergaya Jawa kuno, tetapi sudah berkeramik. Rumah bagi
“Lutfan! Tangkapkan ikan lele dan gurami di kolam. Sekalian bersihkan!” Nur menggedor kamar sang putra.“Ck, ibu paling nggak bisa buat aku tenang meski sebentar,” gerutu Lutfan dari dalam kamar.“Iya, Bu. Bentar. Lagi ganti baju!” jawabnya dengan sedikit berteriak.“Ya udah, cepetan. Ibu tunggu. Nanti keburu Alula pulang.”“Iya-iya.”Nur kembali ke dapur, berbincang-bincang hangat bersama Alula dan Marni.“Sayur bening kelor itu, ditambah irisan bawang merah mentah, rasanya tambah seger, lho, Mbak,” ujar Marni.“Iyakah?”Kalau boleh jujur, Alula sebenarnya agak ngeri dengan sayur itu sebab daun kelor identik untuk memandikan orang meninggal. Ia juga tidak pernah makan sayur itu sebelumnya. Namun, semua itu hanya bisa dibatin, tidak mungkin diungkapkan.“Daun kelor itu banyak manfaatnya untuk kesehatan. Makanya, saya biarkan tumbuh subur di belakang. Kalau mau nyayur, tinggal metik,” tutur Nur.“Oh, ya? Ibu nanem daun kelor juga?” Alula makin takjub.Nur menggandeng Alula untuk meliha
Dari halaman belakang, Alula beranjak meninggalkan Lutfan. Ia kapok ke sana lagi. Wanita itu memilih membantu Marni di dapur saja. Nur yang ganti turun tangan membantu putranya membersihkan ikan.“Sambalnya saya ulek, ya, Mbak? Tapi tolong dibumbui dulu. Takut nggak enak,” ujar Alula.“Siap.” Marni pun mengambil gula dan garam, lalu menaburkan ke dalam cobek yang sudah berisi sambal tomat dan terasi yang sudah digoreng.Alula mulai mengulek sambal itu.“Mbak Alula rumahnya mana?” tanya Marni.“Saya nggak punya rumah, Mbak. Saya tinggal di panti, daerah Purwoasri.”“Ooh. Maaf.”“Nggak perlu minta maaf, Mbak. Biasa saja.” Alula tertawa kecil.“Mbak Alula katanya mahasiswi Mas Lutfan? Semester berapa?”“Betul, saya mahasiswanya, saya semester akhir, mbak. Kalau Mbak Marni sering kemari?”“Iya, setiap hari malah.”Keduanya bercakap-cakap akrab. Sampai sambal Alula siap. Nur dan Lutfan muncul dari belakang membawa ikan yang sudah bersih dan siap digoreng.“Nih, baru boleh dimakan, bersih.
Mereka mulai salat. Tidak dipungkiri, Lutfan begitu gugup sebab ada makmum lain selain ibunya dan Marni. Beruntung itu salat Zuhur hingga ia tidak harus mengeraskan suara bacaan. Jika salat yang harus mengeraskan suara, sudah dipastikan bacaannya akan terdengar bergetar.Selesai salat dan wirid, Lutfan menghadap belakang hendak mencium tangan Nur. Per sekian detik, pandangannya bertubrukan dengan bola mata Alula. Lagi, hatinya berdesir. Pria itu memilih menghadap kiblat lagi.‘Allah, dekatkan jika memang kami berjodoh. Dan hapus perasaan aneh ini jika kami tidak ditakdirkan bersama.’ Dalam tengadah, Lutfan menyisipkan sebuah bait doa.‘Allah, terima kasih untuk air mata, hinaan, tapi sepaket dengan pertolongan-Mu hari ini. Terus kuatkan hamba.’ Sisi hati Aula juga meminta.Setelah berdoa, Alula melepas mukena. Diikuti Nur dan Marni.“Rumah Ibu design-nya benar-benar keren.” Suara Alula terdengar dari belakang Lutfan.“Keren apanya. Biasa saja ini. Keren itu rumah bertingkat, mewah, ad
“Apa!” pekik Alula seraya menatap pria di sampingnya."Ekspresinya biasa saja kali. Kenapa terkejut?" Lutfan memicing."Kok, bisa?"“Mana saya tahu.”“Tunggu, jangan-jangan Alula lain. Bukan Alula saya.”Lutfan manggut-manggut. “Mungkin. Memang ada banyak nama Alula lain di kampus seangkatanmu?”Alula menggeleng. “Entahlah. Saya juga kurang tahu.”“Coba kamu cek sendiri. Mungkin pengumumannya sudah ada.”Alula lekas membuka ponsel dan mencari grup kelas yang chat-nya ribuan dan banyak sekali yang menandai namanya.Wanita itu menyisir pelan tanpa mau membaca pesan yang dirasa tidak penting. Tiba di sebuah file berbentuk P*F, ia pun mengunduhnya.“Alula Hasna,” gumam Alula membaca nama sendiri.“Dosen pembimbing Lutfan Nasrul Haq, S.Pd.I, M.Pd.I.” Alula kembali mengeja.Benar saja, namanya bersanding dengan nama Lutfan sebagai dosen pembimbingnya. Di kelasnya pun, baru tiga anak yang sudah mulai skripsi.“Alula kamu bukan?”“Iya.”“Tapi kamu jangan geer. Itu murni pihak kampus yang mene
Malam harinya, Alula, Aprilia, dan Fauzi melakukan video call bertiga. Mereka teman satu angkatan yang umurnya sama-sama lebih tua dari teman sekelas.Fauzi, mahasiswa fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam dan mengambil prodi Akuntansi Syari’ah. Usianya 25 tahun. Sebenarnya ia sudah sukses dengan memiliki bisnis kafe geprekan dan mi yang sedang viral. Hanya saja, pria itu kuliah karena paksaan orang tuanya. Ia sebenarnya enggan kuliah sampai akhirnya jadi mahasiswa abadi yang tidak lulus-lulus.Aprilia, ia teman sekelas Alula. Wanita berusia 24 tahun sama dengan Alula ini kuliah setelah dua tahun di rumah saja. Ia bisa kuliah karena orang tuanya mendapatkan rezeki. Lahan tandus milik orang tuanya yang dulunya ditanami pohon mangga, dibeli pihak pemerintah untuk pembangunan bandara baru Kediri.Fauzi dan dua wanita itu, dipertemukan ketika tahun kedua Alula kuliah saat berlangganan di kafe geprekan milik Fauzi yang berlokasi di dekat kampus hingga akhirnya mereka bersahabat karib.“Alhamdu
Malam selepas resepsi, Yongki mengunci diri di kamar tamu. Ia membawa semua kunci cadangan bersamanya agar tidak ada yang bisa mengganggu. Pria itu juga tidak peduli dengan Aruni.Bukannya langsung berbaring selepas salat Isya, Yongki justru berjalan menuju jendela. Matanya menyisir beberapa orang yang membersihkan sisa resepsi.Di samping jendela itu, berkali-kali ia menghubungi Alula, tetapi tidak diangkat. Pria itu mendengkus kesal karena nomornya sepertinya malah diblokir.“Saya Lutfan, calon suami Alula.” Ucapan seorang pria asing, bermasker, tadi siang terus mengusik Yongki. Pria itu tidak suka ada pria lain yang dekat dengan Alula.“Apa iya Alula bisa semudah itu mencari penggantiku? Apa benar pria itu calon suami Alula yang baru?” Yongki mengepalkan kuat tangannya.Yongki egois, ia akui itu. Ia sudah beristri, tetapi tetap mengharapkan bisa bersanding dengan Alula lagi. Pernikahannya dengan Aruni adalah kesalahan besar dan sebaiknya memang harus diakhiri secepatnya. Pernikahan
Alula mengesot menuju pintu, lalu membuka pintu itu sedikit kesusahan.“Tolong. Perutku sakit sekali,” ujarnya sambil menangis ketika tubuhnya sudah mencapai luar. Kebetulan ada orang yang lewat. Setelah itu, Alula tidak sadarkan diri.**Alula mencoba membuka mata. Ia merasa tubuhnya sakit semua. Wanita itu mendesis.“Alhamdulillah, kamu akhirnya sadar juga, Nak. Apa yang kamu rasakan? Bentar, Ibu panggil perawat.” Nur memekik.Alula meraba perut sambil menangis.“Apa anakku masih selamat, Bu?” Alula balik tanya.“Alhamdulillah masih selamat.” Sebuah suara menyahut, membuat Alula memalingkan wajah.Alula terus menangis. Wajahnya masih melengos, enggan menatap pemilik suara itu.Sementara Nur sudah pergi dari sana, mencari perawat untuk melaporkan Alula sudah sadar.Lutfan menyentuh tangan Alula yang tidak terpasang jarum infus, mengecupnya lembut. “Jangan pergi tanpa pamit kayak gini lagi, Sayang. Mas rasanya mau ma*ti.”Alula berusaha menarik tangannya, tetapi tidak berhasil. Air ma
Kehamilan yang dijalani Alula di trisemester pertama tidaklah mudah. Wanita itu mengalami morning sickness parah hingga berkali-kali masuk rumah sakit. Lutfan dengan setia dan sabar mendampingi sang istri.“Sayang, maaf sudah membuat kamu kayak gini,” ujar Lutfan sambil menyuapi Alula di rumah sakit.Ini sudah kesekian kali Alula dirawat di rumah sakit karena tubuhnya sangat lemas. Badannya pun makin mengurus.Pria itu pulang hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Ia menghabiskan waktunya di rumah sakit setelah mengajar.“Nggak apa-apa. Aku menikmati masa-masa ini. Bukankah Allah memberi seribu kebaikan dan menghapus seribu keburukan pada wanita hamil?”Lutfan tersenyum.“Udah, Mas, enek.”Lutfan pun menyudahi suapan.“Aku yang minta maaf karena selama beberapa waktu ini, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan biologis Mas.”Alula tahu betul kalau suaminya itu memiliki na*su yang menurutnya tinggi. Entah memang semua pria seperti itu atau tidak, Alula juga tidak tahu. Saat belum sakit dulu,
“Kami sudah resmi bercerai. Ini keputusan terbaik. Daripada kami saling menyakiti,” jawab Yongki sendu. “Jadi pernikahanmu benar-benar tidak bisa lagi dipertahankan?” Yongki menggeleng. “Sebenarnya bisa, Bung. Kamu saja yang tidak mau berusaha. Aruni itu wanita baik. Buktinya, dia tidak meninggalkanmu saat kamu dipenjara kemarin. Dalam pernikahan itu, yang penting ridho orang tua. Orang tuamu yang kulihat sangat menyayangi Aruni. Itu awal yang baik. Jungkir balik kamu mencintai seseorang kalau orang tua nggak ridho, nggak bakal berkah.” Lutfan sedikit mengingat ke belakang. Saat ibunya sudah rida, ia langsung bisa bertemu Alula. “Kamu bisa bilang seperti ini karena kamu menikahi Alula atas dasar suka, bukan terpaksa. Berat, Bung, rasanya berusaha mencintai. Aruni beda dengan Alula. Ibaratnya siapa pun yang dijodohkan paksa dengan Alula, pasti mudah jatuh cinta. Kalau Aruni, harus sabar menghadapi sikap buruknya. Kamu mau nyoba? Ayo tukeran istri.” Lutfan terkekeh. “Gila, enggak
“A-aku alhamdulillah baik,” jawab Alula gugup.Yongki mendekat. Namun, sebelum sampai di hadapan Alula, wanita itu memilih berlalu dari sana. Alula tidak ingin suaminya salah paham jika memergokinya.Alula kembali ke ruang tamu, duduk di samping Lutfan. Yongki menyusul setelahnya.Acara di sana adalah makan bersama. Alula juga belum tahu apa maksud Jasman melakukan itu.“Aku masih bingung ini ada apa,” bisik Alula pada sang suami.“Sama. Tapi Bu Jannah kayaknya sangat bahagia,” sahut Lutfan sambil menyuapi istrinya.“Trus katanya Aruni sama Mas Yongki mau cerai, tapi kenapa masih datang berdua ke sini?”“Mungkin sudah rujuk. Kenapa memangnya? Kamu cemburu?”“Dih, sorry. Suamiku lebih menggoda dan lebih menggigit daripada mantan.”Lutfan tergelak sampai tersedak. Alula memberinya minum.“Makanya, Mas, kalo makan jangan sambil ngomong.”“Kamu yang mulai.” Lutfan kembali menyuapi istrinya.Pandangan beberapa mata bergantian menyaksikan mereka.Setelah makan-makan dan membereskan sisanya,
“Bagian ini yang harus kamu revisi, Sayang. Bolak-balik Mas ingatkan. Jangan asal tulis. Buka buku, cari referensi yang lebih segar, yang lebih bermutu. Jangan itu-itu mulu,” omel Lutfan suatu hari saat membimbing skripsi sang istri di gazebo.Setelah sekian lama skripsi mangkrak, kini Lutfan memaksa Alula menggarapnya lagi.“Udah aku revisi, Mas. Emang Mas aja yang sensi banget sama aku. Disalahin terus. Benerin sendiri, kek. Jangan marah-marah mulu.” Alula tidak mau kalah.“Benerin itu perkara mudah. Skripsi ini anggap saja sebagai senjata. Kamu harus tahu asal-usul dan seluk-beluk senjatamu sampai kamu benar-benar paham. Apa kelemahannya, apa kelebihannya, kenapa begini, kenapa begitu, kamu harus tahu. Jadi, ketika perang nanti, kamu bisa memakai senjata ini sebaik-baiknya. Ketika ada serangan tiba-tiba dalam bentuk apa pun, kamu siap karena sudah menguasainya. Kamu paham, kan, maksud Mas? Perang yang dimaksud adalah ketika sidang skripsi nanti.” Lutfan mode serius.“Bu, Mas–“Belu
Lutfan membawa Alula dalam dekapan. “Sudah, Sayang, jangan diteruskan.”“Beruntung saat itu aku nggak dibuang sama Pak Jasman, tapi dititipkan di panti Bu Jannah. Setidaknya bapak saat itu masih punya nurani. Atau mungkin sebenarnya dia sudah punya ikatan batin denganku, tapi tidak mau mengakui atau lebih tepatnya menepis perasaan itu. Mungkin beliau sudah tahu aku ini anak kandungnya, hanya saja situasinya sangat tidak tepat. Coba kalau aku dibuang, mungkin aku jadi anak jalanan.”“Sayang, sudah. Jangan dibahas hal yang sudah lalu.”“Dari Bu Jannah, baru aku mendapatkan kasih sayang. Di panti, barulah aku merasa menjadi manusia seutuhnya. Temanku banyak, kadang uangku santunan juga banyak. Uang yang tidak pernah kudapat langsung dari ibu atau budhe. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap merasa hampa. Kasih sayang Bu Jannah nyata, tapi tetap saja kadang suka iri melihat teman di sekolah bahagia bersama keluarga kandung mereka.”Alula meraup banyak oksigen, lalu mengembuskan panjang.“Labe
Alula lantas menuju ruang Lutfan setelah membayar makanannya. Dengan langkah tergesa-gesa, ia berjalan dengan degup jantung menggila.“Assalamualaikum.” Alula masih berusaha formal. Ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.“Waalaikumussalam. Masuk!” titah Lutfan.Alula pun masuk. Lutfan melihat sekilas siapa yang datang.“Kunci pintunya, Sayang.” Lutfan kembali fokus pada layar laptop.Alula mengernyit. “Kenapa?”“Udah, tutup aja.”Alula pun menurut, mengunci pintu. Ia lalu berjalan dan duduk di hadapan sang suami.“Mas dapat kabarnya kapan?”“Barusan. Ini kamu buka coba WA-nya.” Pria berkacamata itu mengeluarkan ponsel dari saku. Sementara fokusnya pada laptop belum beralih.Alula mengulurkan tangan.“Ke sini, Sayang. Nggak sampai.”“Sampai, Mas aja yang nggak serius.”“Ke sini!”Alula berdecak, lalu bangkit menghampiri Lutfan. Tiba di dekat sang suami, Lutfan memundurkan kursi, lalu menarik tubuh Alula dalam pangkuan. Pria itu meletakkan ponselnya di meja.Alula langsung memekik.
“Sayang, ayo skripsinya dilanjut,” ucap Lutfan suatu hari ketika melihat Alula asyik dengan ponsel tengah duduk di ranjang.“Ini juga lagi berusaha lanjutin, Mas.” Alula belum mengalihkan pandang dari ponsel.“Apaan? Hapean gitu.” Lutfan mendekat.“Semua naskah skripsiku emang ada di ponsel. Aku, kan, nggak punya laptop.”“Kenapa nggak bilang dari dulu? Ya udah, sana pakai punya Mas.”“Serius?”“Huum.” Lutfan mengambil paksa ponsel Alula, lalu meletakkan di nakas.“Sini biar Mas kasih sesuatu dulu yang bikin kamu semangat.” Lutfan menatap Alula nakal.“Gini amat nasibku jadi mahasiswi. Harus melayani dosennya dulu. Boleh nggak, aku nyebut Mas itu dosen c*bul?”Lutfan tertawa. “Apa saja sebutanmu, Mas terima.”“Tapi janji kalo aku lanjutin, jangan banyak revisi. Kalaupun ada revisi, tolong Mas perbaiki langsung, trus ACC biar aku lekas sidang.”“Bisa dibicarakan.”Maka terjadilah yang terjadi.“Kapan aku wisuda, Mas. Kalau mau serius dikit aja kamu tubruk,” protes Alula setelah ibadah
Jasman, Aruni, dan Adi sikapnya berubah. Tidak sebenci dulu. Mereka merasa bersalah dan jatuhnya malah malu sendiri dengan kelakuan mereka yang pernah dilakukan pada Alula.Alula merawat mereka seperti tidak ada masalah apa-apa sebelumnya. Mereka juga tidak menolak dirawat, tetapi terkesan canggung.“La, aku minta maaf,” ujar Aruni tiba-tiba saat Alula membantunya berganti pakaian di kamar mandi. Aruni mengalami luka lecet lumayan luas di punggung dan lengan. Itu membuatnya kesulitan memakai baju sendiri.“Iya, aku juga minta maaf.”“Sebenarnya, kami pas kecelakaan itu mau mengacaukan resepsi pernikahanmu. Dari pagi kami mencari informasi di mana resepsimu dan baru dapat info malamnya setelah melihat unggahan pernikahanmu yang viral. Kami ingin mengatakan pernikahanmu tidak sah karena tidak memakai wali nasab di hadapan tamu. Tapi Allah menghentikannya.”Gerakan Alula berhenti. Namun, sesaat kemudian kembali meneruskan kegiatannya.“Aku tahu kamu bakalan syok mendengar semua ini. Tapi