Hay, mohon maaf baru bisa up date ya, author sedang dalam masa pemulihan sakit. Jadi masih fokus buat kesehatan badan dulu. Terima kasih untuk pembaca yang setia menunggu. Lope sekebon
Kalina mendongakkan kepala, jarak hanya tinggal beberapa inci, dia terkesima akan wajah lelaki yang dicintainya. Rindu mengepung, membuat nalar Kalina hilang ditelan perasaan. Tidak peduli hal dilakukan Gavin, saat bibirnya menyatu. Mereka berciuman mesra, seperti sepasang kekasih lama memendam kerinduan. Sebuah gambaran nyata akan hal tidak mampu terlukiskan. Gavin begitu agresif meraih bibir mungil Kalina dalam belitan bibirnya. Kegilaan yang benar-benar nyata tidak mampu dilukiskan. Seolah rindu itu nyata adanya, meski dia tahu pertemuan dengan Kalina terjadi singkat. Siapa yang menyangka hatinya terpaut begitu cepat. Keduanya menarik diri dengan malu-malu saat kadar oksigen terasa habis. Ciuman panas setelah sekian lama Kalina dambakan kini rindunya tuntas sudah. Mereka menyatukan kening, sama-sama tersenyum. "Apa aku gila Kalina? Seolah aku merindukan dirimu meski aku tahu kita baru berjumpa beberapa hari." Gavin berkomentar akan perbuatan tidak terpuji itu. Dia takut Ka
Malam itu, bulan muncul secara sempurna. Gavin keluar dari sebuah bangunan klasik megah lalu secepat kilat mengubah diri menjadi burung elang putih. Baru beberapa meter terbang menembus udara malam di bawah sana terasa tidak beres. Melalui penglihatan Gavin mencoba mencari tahu, meski bukan pada siang hari. Akan tetapi, kelebihan melihat jarak jauh cukup bisa diandalkan. Kemampuan luar biasa yang dianugerahkan pada para bangsa siluman elang. Gavin tersenyum tipis, lalu memutari dahan pohon besar kemudian seperti lenyap tidak lagi terlihat di udara. Di bawah sana, beberapa penguntit kocar-kacir lantaran buruan yang dicintai menghilang tanpa jejak. Plash! Bentuk hewan mereka kembali pada wujud manusia. Di tengah hutan belantara gulita, mereka kelimpungan. "Astaga, ke mana Gavin? Tadi aku melihat dia berada di atas pohon sana?" Suara Lamont berkomentar. "Sepertinya kita sudah ketahuan," ungkapan Elard membuat Lamont dan Raja Arsen seketika terkekeh. Yah, mereka menguntit
Gavin dan yang lain berhasil digiring Kalina ke bukit belakang istana. Keempat lelaki tersebut menatap Kalina, gadis itu berdiri di tengah-tengah mereka. "Awalnya kukira kau memang mengajak kami melihat bulan dan juga bintang," ujar Gavin. "Namun, melihatmu memilih tempat yang jarang dikunjungi—" Kalimat Lamont terhenti. "Katakan pada kami apa tujuanmu menggiring kami kemari, Kalina!" sambung Raja Arsen. Seketika tubuh Kalina bergetar hebat, dia kebingungan bagaimana harus menjawab. Wajahnya pias, beruntung suasana di sana cukup gelap, galagat aneh Kalina tidak terlihat sama sekali. Gadis itu lalu menoleh ke bawah bukit di dekat air terjun. "Itu … keramaian apa itu?" Kalina berkata bukan untuk mengalihkan perhatian. Namun, itulah tujuannya membawa mereka ke sana. Para siluman saling pandang lalu berkonsentrasi melihat dalam remang malam. Di mana api unggun terlihat menyala dekat air sungai di bawah sana. "Apa yang sedang mereka lakukan?" Elard mengernyit.
Suara burung beriringan menyambut kedatangan Raja Arsen dan yang lain. Beberapa prajurit dikerahkan masuk ke dalam danau mencari kalung milik Kalina. Gavin menggunakan kekuatan penglihatan setelah mendapatkan gambaran yang diceritakan Kalina mengenai kalung tersebut. Nihil, tidak ada satu orang pun yang mendapatkan. "Bagaimana?" tanya Raja Arsen untuk kesekian kali. Gavin menggelengkan kepala, "Kau yakin kalung tersebut jatuh di danau ini?" Kalina menatap cemas, "Aku sendiri tidak tahu persisnya. Hanya saja, seperti pengakuan kalian. Keluar dari danau aku sudah tidak mengenakannya, bukan?" Kalina mencoba mengingat, tetapi dia sama sekali tidak ingat apa pun mengenai kalung pemberian ibu mertuanya. "Dia benar," ungkap Lamont meyakinkan. "Saat itu, aku mencoba mengenakan kalung pemberian calon ibu mertuaku, lalu tiba-tiba cahaya muncul dan aku terlempar ke tempat ini," terang Kalina. "Aku semakin yakin dengan dugaanku, jika kau datang ke mari karena kalung ter
"Kami tidak akan melakukan kekerasan, ikutlah dengan tenang!" Suara seorang lelaki yang Kalina yakini sebagai ketua dari mereka. "Aku tidak mau!" "Kita harus cepat Ketua, aku takut mereka mencium kehadiran kita!" Seorang lagi yang sedang mengintip di balik pintu berucap. "Kau benar, meski kita sudah dibekali dengan sihir dari Kepala Klan Penyihir untuk menyamarkan aura dan bau, kita tetap harus berhati-hati," ujarnya lagi. Kalina bersiap untuk berteriak, tubuhnya mulai menggigil ketakutan. 'Ini gawat.' "Berhenti melawan, atau kami akan melakukan dengan cara kasar!" berang salah seorang di antara mereka. Ketua dari mereka mengangkat tangan kanan, asap mengepul menguar dari telapak tangan tersebut. Dalam perlawanan tidak sebanding, mulut Kalina terasa kering dan suara tidak mampu keluar, pelipis terlihat mengeluarkan banyak keringat, samar, pandangan menghilang menjadi gulita. Air mata meleleh di dari kelopak lalu berbisik tanpa suara, "Sia
Malam itu Ibu Ratu Layla —ibu Raja Arsen— berniat mengunjungi kamar Putri Aurora yang diizinkan tinggal di Istana Ratu. Wanita tersebut bermaksud membujuk gadis tersebut agar menerima pinangan Raja Arsen putranya. Terlebih kekuatan Kerajaan Nigella pasti semakin kuat ketika Putri Aurora melahirkan benih sang raja. Membayangkan membuat wanita sepuh tersebut tersenyum, betapa bahagia menimang cucu. Dayang meminta izin untuk masuk, tetapi tidak ada jawaban. Ada sedikit kecurigaan melihat suasana sepi tanpa penjaga. Biasanya akan ada beberapa orang di sana. “Gawat Ibu Ratu, beberapa penjaga tertidur di lorong sana,” kata salah seorang prajurit yang kebetulan menjelajahi ruangan. “Buka pintunya dayang!” titah Ibu Ratu. Mereka terkejut tidak ada seorang pun di kamar, melihat jendela terbuka lebar perasaan ibu ratu benar-benar tidak nyaman. “Panggil putraku dan yang lain!” titahnya. “Astaga, ini akan sangat merepotkan,” keluh Ibu Ratu. Dirinya tidak mencium atau merasak
-Mengandung muatan dewasa, tidak untuk di bawah umur!- Kaki kecil yang terbalut sepatu kain itu melangkah mengikuti dayang menuju ke ruang kerja. Begitu pintu terbuka, Kalina disuguhi pemandangan yang membuat tercengang. Dua orang lelaki tampan menoleh dan menatap dirinya dengan intens. Salah seorang di antara mereka adalah lelaki yang mirip dengan ayah Reza, lelaki berusia tua, tetapi wajah masih nampak muda. ‘Astaga, kenapa banyak sekali lelaki tampan di tempat ini,’ bisiknya. Sepersekian detik gadis yang terlalu lemah pada wajah tampan tersebut terpesona. “Kau gadis yang cantik,” ujar seorang lelaki bermata teduh yang entah sejak kapan tiba-tiba ada di hadapannya. Wajah Kalina bersemu merah, gadis itu melengkungkan tubuh ke belakang saking malu, hampir dia terjungkal jika lelaki tersebut tidak menangkapnya. ‘Sadar Kalina, jangan terpancing ini perangkap yang memabukkan,’ keluh dalam hati mencoba berada di kewarasannya. “Kau akan membuatnya takut, Alex,” ujar Abraham memeperinga
Setelah berada pada jarak cukup aman seekor burung elang berbulu putih bertengger di ranting pohon yang rimbun. Plash! Burung tersebut berubah ke wujud manusia. Gavin menggunakan kekuatan penglihatan untuk melihat keadaan di sekitar. Hasilnya nihil, dia tidak mendapati sesuatu yang mencurigakan di sekitar kediaman Tuan Alex, Kepala Klan Penyihir. Srash! Kepak … kepak … daun-daun berjatuhan ketika seekor burung elang menerobos rimbun dedaunan itu. Siluman tampan Gavin telah kembali mengubah bentuk menjadi burung kemudian berlalu pergi menuju tempat selanjutnya. Hingga dirinya sampai di dekat kediaman Kepala Klan Peramal, Tuan Abraham. Srak … brak … burung elang berbulu putih seperti menabrak pembatas yang tidak terlihat. Bruk! Tubuh yang berganti menjadi manusia terjerembab ke tanah. Suara tawa terdengar bersahutan membuat pemuda itu panik.‘Gawat, aku harus segera bersembunyi,’ cicitnya kemudian bangkit tanpa mengindahkan tubuh remuk selepas jatuh dari ketinggian.Tertatih Gavin memeg
Zaman now.Seorang wanita cantik berada di perpustakaan sebuah castle kuno yang masih terjaga sampai sekarang. Di ditemani seorang lelaki paruh baya bersama sang istri. Mereka tengah berbincang dengan serius. Perpustakaan bak lautan buku di mana banyak sekali rak-rak terisi penuh hingga menjulang tinggi hampir ke langit-langit. Lantai marmer nan bersih dan buku tanpa debu menandakan tempat tersebut terawat dengan baik.“Saya menyukai tempat ini, ini sangat luar biasa dan sangat bersih.” Suara melantun merdu dari wanita berambut panjang tergerai indah.“Nyonya Anantari terlalu memuji,” balas seorang wanita yang kemudian duduk di kursi kayu berseberangan lawan bicaranya.Anantari tersenyum kemudian kembali berkutat pada buku bacaan yang sudah dia ambil.“Aku sangat terkejut ketika Nyonya Anantari memberi kabar terkait kalung peninggalan teman Anda.” Kali ini suara seorang lelaki terdengar.Kedua wanita elegan itu menoleh ke arah sumber suara, seorang lelaki yang masih terlihat tampan mes
“Kumpulkan para sesepuh dan para pemimpin ras, panggil juga gadis bernama Sekar!” Raja Arsen berkata seraya membalikkan badan. Dia memijat kening yang berdenyut, kaki panjang itu melangkah keluar kamar meninggalkan tiga temannya yang masih diam membisu. Mereka mencoba memposisikan diri di tempat Raja Arsen. Benar-benar situasi sulit dilalui, bukan? Anantari menoleh ke arah dua lelaki yang juga sama bingungnya. “Aku akan menyusul Sekar.” Gavin mendelik menatap Anantari yang tertunduk, “Apa yang akan kau lakukan?” “Gavin, aku tahu ini tidak benar, aku juga tidak tega melihat Kalina menderita. Namun, bagaimana jika takdir itu memang membawa Kalina datang ke mari untuk suatu hal. Tidakkah kalian pikir banyak misteri tentang Nigella yang belum terungkap dan menemui titik terang? Seolah hidup kita dikendalikan sesuatu. Tidakkah kalian curiga para sesepuh menyembunyikan sesuatu?” “Curiga, tentu aku sangat curiga lebih dari yang kalian tahu. Namun, apa yang bisa kita lakukan?” Lamont ber
Kalimat bak omong kosong terdengar dari bibir Elard hingga membuat Kalina merinding. Bukan karena tidak percaya, banyak yang tadinya dianggap diluar nalar terjadi begitu saja. Tidak ada hal mustahil seperti dia terlempar ke masa lalu. Maka tidak heran bilamana Elard beranggapan telah bereinkarnasi. Itu membuat sedikit khawatir, reinkarnasi terjadi ketika seseorang telah meninggal. “Jika memang bereinkarnasi, artinya Elard di Kerajaan Nigella mati.” Kalina menatap Elard sendu. Elard menyadari raut muka Kalina yang berubah, lelaki itu lalu berkata, “Aku rela mati untukmu.” Jawaban Elard membuat Kalina melebarkan mata. Gadis itu denial pada perasaan sendiri. Jika mengingat cerita yang pernah terlontar pada mulut Gavin saat siluman itu berada di dunianya sebagai Elang, maka kematian dan runtuhnya kerajaan Nigella terjadi. Namun, nasib membawa Kalina isekai ke dunia lain, Kerajaan Nigella yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Tidak ada catatan dalam sejarah tentang Kerajaan Ni
Kalina menggigit bibir bagian bawah menahan perasaan membuncah hingga membuat hampir gila. “Elard.” Kalina memanggil nama calon suaminya. Gadis itu melihat wajah tampan Elard dengan seksama. Mereka sama-sama telanjang, berbagi peluh untuk mengarungi samudra kenikmatan. Wajah berpeluh Elard yang terlihat dewasa dari ketika dia melihat di Kerajaan Nigella masih terlihat muda. Namun demikian, gambaran eksotis ekspresi ketegangan dan tatapan tajam masih sama membuat gelayar aneh menjalar di tubuh Kalina. Elard menggerakkan tubuhnya di atas Kalina semakin kencang. “Iya, Sayang, terus panggil namaku!” Lelaki itu mengecup telapak tangan Kalina yang menyentuh bibirnya dan menggigitnya. Kedua tangan Elard sibuk meremas dada Kalina yang terguncang-guncang. Kalina semakin berteriak lantang hingga suaranya benar-benar habis. Pertarungan panas untuk mencapai puncak kebahagiaan yang sesungguhnya dengan menyebut nama masing-masing saat ledakan dahsyat membuat lemas dan tersengal kehabisan napas.
“Mimpi ini lagi.” Suara lirih bariton terdengar. Di mana cahaya putih menyilaukan samar menghilang tergantikan tempat yang sangat asing, banyak gedung-gedung pencakar langit. Serta bunyi bising membuat lelaki itu menutup telinga beberapa kali. Alat transportasi yang belum pernah Gavin temui sebelumnya. Dia mencoba menempatkan diri dengan baik, senyuman Kalina benar-benar memabukkan hingga dirinya rela tinggal di mana saja asal dapat mendekap hangat tubuh gadis itu. Mimpi yang terasa nyata, hanya ada Gavin dan Kalina, keduanya menghabiskan waktu bersama penuh kebahagiaan, sampai kepulan asap tebal datang. Suasana berubah mencekam dan gulita, kepulan asap mengepung dan melenyapkan Kalina. Gavin mempertaruhkan hidup dengan menukar nyawa demi menyelamatkan orang yang dicinta. Saat-saat genting, seorang lelaki gagah datang menghampiri menyelamatkan Kalina, ketika Gavin terlihat sekarat rasanya ingin mengumpat bahwa lelaki yang disambut Kalina adalah Elard. Hatinya remuk bukan main, Gavin
Raja Arsen duduk di singgasana, terlihat gagah dalam balutan pakaian kerajaan dan mahkota. Tanpa rasa takut dirinya mulai memantapkan diri. Ada orang berharga yang sekarang dalam genggaman, dia tidak ingin siapa pun menyakiti atau merebutnya. Meski masa depan dari beberapa alur cerita yang pernah terjadi, tetapi hal-hal terpenting masa depan sesuai apa yang terjadi di masa lalu. Kehadiran Kalina bukan untuk mengubah masa depan, tetapi untuk mengukuhkan pondasi keberadaan Permata Aurora sebagai simbol ras siluman. “Seperti yang sudah diperintahkan, untuk sementara Elard dari ras siluman Harimau tidak diizinkan keluar rumah karena sebagai pemicu skandal. Hukuman tersebut terdengar ringan karena pada waktu itu belum disahkan secara resmi calon ratu dan pertunangan.” Gavin sebagai ketua ras siluman Elang yang baru mewakili berbicara. Alasan cukup logis, mengingat beberapa waktu lalu ada insiden tidak terduga dengan hilangnya Kalina.Tuan Fariz memperhatikan, kata mata-mata yang ditempatk
Sore itu, Kalina benar-benar langsung dijemput kereta kuda Istana, di mana Raja Arsen yang hadir langsung untuk membawa. Sebagai hukuman, Elard tidak diizinkan untuk pergi ke Istana apalagi sampai bersua dengan Kalina. Sebanyak apa pun Kalina merengek dan menangis, Raja Arsen hanya diam, lebih diam dari biasanya. Keluarga Elard mengingatkan jika dirinya harus berhati-hati dan waspada dengan para sesepuh. ‘Aku ingin pulang ke tempat asalku, aku lelah.’ Kalina mendongakkan kepala, punggungnya dia rebahkan di sandaran kursi kereta kuda. ‘Jangan pernah percaya siapa pun ketika kau di Istana,’ bisik Ibu Elard ketika mereka berpelukan tadi. Kalina ingat, perpisahan penuh tangis pun terjadi, ibu Elard pun berat untuk melepas kepergian Kalina, di mana sebenarnya dia sangat berharap Kalina yang akan menjadi menantunya. Satu masalah mengganjal adalah hukuman yang belum diputuskan untuk Elard. Hubungan terlarang terkuak menjadi aib luar biasa memalukan. Meski pada akhirnya para sesepuh dan
“Apa kepalamu terbentur ketika kakakku menggagahimu semalam?” Kalimat yang terlontar dari mulut Anantari membuat Kalina melongo mirip keledai, bagaimana mungkin Anantari mengucapkan hal yang sungguh diluar dugaan dan membuat malu. “Saya baik-baik saja, Nona Anantari. Elard memperlakukan saya dengan baik. Meski dia agak kasar dan sedikit memaksa.” Bayangan tubuh sexy menggairahkan Elard terpampang jelas. “Seperti yang Nona katakan, jika Raja Arsen dan para sesepuh mengharapkan saya kembali, maka saya akan kembali ke istana.” Kalina mendekat ke telinga Anantari, “Jika benar kedatangan saya berkaitan dengan kalung dan juga bulan, maka dalam waktu dekat saya akan kembali ke tempat asal. Segala hal terjadi mungkin akan menemui titik temu, Nona. Saya sumber masalah akan menghilang.”Anantari memeluk Kalina lalu ikut berbisik, “Jadi, kita akan berpisah?” Anantari menghela napas panjang lalu berucap dengan sedikit mengeraskan suara, “Tata kramamu semakin meningkat dalam berbicara. Aku lebih
Kalina menggeliatkan tubuhnya yang telanjang dari bali selimut, rasanya enggan untuk bangun meski sinar sang surya sudah memancar menyilaukan mata. Tubuh terasa lemas dan sakit seperti habis terlindas beban berat. “Aunch … sakit ….” “Kau sudah bangun?” Kalina melihat ke arah dekat jendela, di mana Elard sudah duduk mengenakan kemeja putih dan celana formal hitam. Aroma kopi menguar, tersaji dua cangkir masih mengepul panas di meja bersama roti dan selai. “Aku sudah membawakanmu air cuci muka.” Tangan berotot itu mengacungkan jari ke arah nakas dekat ranjang. “Bangunlah dan sarapan dahulu, pelayan sedang ke rumah utama mengambilkan pakaian untukmu! Atau kau mau aku bantu bangun?” ujar Elard melihat Kalina nyengir ketika beringsut duduk. “Aku bisa sendiri.” Gadis itu melilitkan selimut kemudian pelan bangun dari ranjang dan membasuh wajah. “Maafkan aku, itu pengalaman pertamamu, ini juga pertama kali untukku. Sepertinya aku kurang berpengalaman hingga membuatmu kesakitan. Tidak seh