Raja Asen melangkah lebih mendekati jendela, samar mengamati ke arah dalam. Namun, dia tidak dapat mengamati siapa lelaki yang tengah dibincangkan tersebut. Hanya terlihat samar punggung lelaki itu. 'Siapa dia?' tanyanya lagi dalam hati.
"Kalian sudah sampai, jadi bagaimana kalian menemukan permata Aurora?" tanya Zemira.
"Itu susah, sudah ada yang lebih dahulu mendahului kita," lapor kepala Klan Penyihir.
"Siapa, berani sekali mereka mau berebut dengan kita?" tanya kepala Klan Peramal. "Atau jangan-jangan klan siluman sudah mencurigai gerak-gerik kita?" tanyanya lagi.
"Itu tidak mungkin Ayah, jika mereka sudah curiga pasti mereka akan mencari keberadaan Raja Arsen untuk memberitahunya. Tidak ada hal mencurigakan," keluh Zemira.
"Aku akan coba melihat dengan mata batinku," k
Raja Arsen mengakhiri ceritanya, Sekar dan yang lain menatap iba atas apa yang terjadi. "Maaf, aku bukan raja yang baik," ujar Raja Arsen menundukkan kepala. "Semua sudah takdir, tidak ada yang bisa mengubah itu," ujar Sekar sebelum semuanya berdebat akan hal tidak penting. "Yang membuatku sakit dengan tega Zemira mengarahkan anak panah itu ke arahku. Dia tidak mencintaiku hanya memanfaatkanku untuk memuluskan rencananya. Suasana istana benar-benar kacau dan mencekam. Dengan bantuan para pengawal aku berhasil melarikan diri sampai kemari. Tapi aku melupakan permata kita dan sang Ratu aku tidak berhasil membawanya ikut serta," keluh Raja Arsen. "Dia tidak ada di kamarnya," imbuhnya. Memang sempat sebelum dia masuk ke arah perpustakaan, dia tidak mendapati Ratu Anantari. "Kami telah mengamankan permata t
Sekar menatap gamang, "Ada pengkhianat pada Bangsa Siluman yang menjadi mata-mata dari para Klan," ungkap Sekar membuat mereka terbelalak. "Kau benar, aku melihat saat aku mengendap-endap untuk menguping pembicaraan Zemira dan Klan-nya. Tetapi, aku tidak tahu siapa, dia menutup wajah dengan tudung jubah yang dikenakan, aku hanya melihat tangan berotot itu," ungkap Raja Arsen. Mendadak suasana hening, tidak ada lagi yang berkomentar. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara binatang malam yang merambah bersahutan. "Apa mereka juga tahu keberadaanmu Sekar?" keluh Gavin merasa bersalah melibatkan gadis yang dia cintai ikut terseret bahaya. "Aku rasa tidak," jawab Raja Arsen yakin. "Maksud Anda?" Lamont mendekat. "Kalian yang mengambil permata Aurora, bukan?" tanya Raja Arsen. Dijawab anggukan oleh ketiga teman dan bawaannya itu. "Lalu Sekar, sebelumnya kau telah merapalkan mantra agar keberadaan mereka tidak dapat tercium jejaknya,
"Ini gawat kita telah terkepung, dari penglihatanku aku melihat mereka berbondong-bondong di segala arah menuju kemari membawa banyak senjata dan obor," jelas Gavin. "Celaka, kita belum sampai di titik aman!" kata Raja Arsen. "Apa kita akan mati di sini?" keluh Lamont. "Tidak bisakah kita melawan mereka saja?" tanya sang Raja. "Jumlah mereka sangat banyak dari apa yang kita kira. Dan anda ingat pada ucapan ayah klan siluman harimau. Beliau bilang mereka dapat merapalkan mantra untuk menghilangkan kekuatan dan energi bangsa siluman," ucap siluman elang dengan nada tinggi. "Berapa lama mereka akan sampai ke arah kita?" tanya Sekar. "Masih cukup lama." "Sekar bisakah kau hancurkan saja permata itu? Setidaknya jika kita mati mereka juga tidak akan mendapatkan permata itu," Raja Arsen mulai putus asa. Sekar menitihkan air mata, kebingungan berkecamuk di hatinya. Mereka semua merasa putus asa, cemas, bingung dan marah. Pe
Jaman Old Suara riuh teriakan dan tangis mulai samar-samar terdengar. Banyak anggota klan bangsa siluman yang disiksa di alun-alun kerajaan. Entah mantra apa yang para klan itu gunakan untuk melumpuhkan kekuatan bangsa siluman, tubuh kuat bangsa siluman berubah menjadi lemas tidak bertenaga ketika klan penyihir merapalkan mantra tersebut. Banyak klan bangsa siluman terbunuh dalam peperangan itu, hanya sebagian kecil dari mereka yang dievakuasi darurat yang masih selamat. Mereka tertangkap diikat dicambuk bahkan berkali-kali ketua klan perdukunan dan ketua klan peramal menghunuskan pedang mereka. Darah segar mengalir dimana-mana. "Katakan di mana kalian sembunyikan permata itu!" teriak ketua Klan Peramal sembari menghunuskan pedangnya pada salah seorang siluman harimau. Argh! Teriakan memilukan terdengar bersama dengan suara daging robek karena sayatan. Bau anyir darah semakin menguar. Malam tragedi yang sangat memilukan. "Sampai matipun kami tidak
Di tempat yang berbeda, Raja Arsen dan yang lain kebingungan. Ada drama pemukulan perut dan sebagainya agar Permata Aurora keluar dari mulut Gavin. Sekar hanya bisa menutup mulut yang menganga dengan kedua tangan melihat adegan kekerasan itu. Bagi bangsa siluman itu hal wajar, tidak sakit sama sekali. Namun, berbeda dengan Sekar yang baru pertama kali melihat orang dipukuli. "Astaga Sekar, kenapa kau ceroboh sekali. Aduh bagaimana ini?" cebik Lamont panik buakan main. "Astaga, apa yang kalian lakukan," keluh Gavin ketika tubuhnya menjadi bulan-bulanan temannya. "Mungkin kau pukul lagi pada bagian punggung, Lamont!" Sang Raja berucap. "Karena aku bingung harus bagaimana, maafkan aku," keluh Sekar. "Bersiaplah Elang, aku akan memukulmu dengan keras," kata Lamont. "Hentikan, astaga!" pekik Elard melerai, "kalian keterlaluan, sudah hentikan. Semua sudah terlanjur," keluh Elard membuat teman-temannya berhenti melakukan hal konyol. "Lebih b
Bukan berpikiran buruk, tetapi mengingat tidak ada lagi siluman yang menghampiri mereka. Rasanya berat mengatakan jika semua sudah mati. Hanya saja, sebisa mungkin mereka berpikir positif, mungkin mereka menyelamatkan diri. Semoga demikian. Mengingat kekejaman para Klan Peramal dan Klan Penyihir, di mana membunuh bangsa sendiri pun terlihat tanpa dosa, macam orang membunuh ayam. Miris. "Menurutku kita fokuskan penyerangan pada ketua klan mereka. Aku akan berusaha mematahkan mantra jika mereka menggunakan itu pada kalian." Sekar menghapus air matanya. Dia merapalkan sebuah mantra, kedua tangan teratun seperti menari lalu muncul cahaya putih. Sekar mengibaskan cahaya putih itu yang kemudian masuk ke tubuh masing-masing siluman. Suara riuh semakin terdengar mendekat. Dan benar tak berapa lama gerombolan orang-orang tersebut mulai terlihat satu persatu. Mereka bertiga menutup mata, seolah sesuatu telah masuk, tubuh terasa ringan dan bugar. "Mereka sud
Di gua tempat Elard dan Sekar berada. "Elard aku rasa sekarang kita harus bertindak mereka tertangkap," keluh Sekar cemas. "Baiklah apa kita harus berpencar sekarang?" tanya siluman Harimau dijawab dengan anggukan kepala Sekar. Tanpa persetujuan siluman harimau memeluk Sekar, membuat gadis itu terkejut. "Berhati-hatilah Sekar, jika aku punya pilihan. Sebenarnya aku tidak ingin kamu ikut dalam peperangan kami," kata Elard. Dia memberanikan diri untuk mencium kening Sekar dengan lembut. Kedua netra mereka kini saling menatap. "Kita akan bertemu kembali, Elard." "Apa kau melihat sesuatu dariku?" "Entahlah tapi aku merasa melihat kau berlari dengan gadis yang mirip denganku di sebuah taman," kata Sekar lalu tersenyum. "Bukankah itu lucu," imbuhnya. "Jika itu terjadi untuk saat ini atau pun entah kapan, maka aku akan sangat senang. Walaupun yang kau lihat itu hanya sebuah gambaran tanpa arti aku tetap bahagia. Karena itu sesuai seperti apa yan
Tidak disangka mereka berhasil menangkap Sekar. Senyuman yang sempat berpendar lenyap seketika. Mereka melupakan keberadaan sang Selir Raja, Zemira. Wanita gila itu mendekati ketiga siluman yang masih tersiksa. Bukan Zemira fokusnya, tetapi pada gadis yang diseret paksa oleh dua orang lelaki berpakaian hitam. Beberapa saat sebelumnya Sekar masih berusaha merapalkan mantra untuk melepaskan belenggu mantra dari lawan. Namun, tanpa dia sadari beberapa orang datang mengendap-endap lalu menangkapnya. Tubuh Sekar gemetar ketakutan, dia sangat takut, jantungnya hendak lepas kala tubuh mungilnya di seret paksa. Berteriak pun tiada guna. Siapa yang mau menolong, tidak ada sama sekali. "Sekar," bisik Raja Arsen menatap khawatir gadis yang meringis kesakitan itu. Rasa bersalah semakin membuat Arsen frustrasi. "Jangan melawan jika tidak ingin leher gadis itu terpisah dari tubuh!" decih Zemira menyilangkan kedua tangan di dada. Melihat ketidakberdayaa
Zaman now.Seorang wanita cantik berada di perpustakaan sebuah castle kuno yang masih terjaga sampai sekarang. Di ditemani seorang lelaki paruh baya bersama sang istri. Mereka tengah berbincang dengan serius. Perpustakaan bak lautan buku di mana banyak sekali rak-rak terisi penuh hingga menjulang tinggi hampir ke langit-langit. Lantai marmer nan bersih dan buku tanpa debu menandakan tempat tersebut terawat dengan baik.“Saya menyukai tempat ini, ini sangat luar biasa dan sangat bersih.” Suara melantun merdu dari wanita berambut panjang tergerai indah.“Nyonya Anantari terlalu memuji,” balas seorang wanita yang kemudian duduk di kursi kayu berseberangan lawan bicaranya.Anantari tersenyum kemudian kembali berkutat pada buku bacaan yang sudah dia ambil.“Aku sangat terkejut ketika Nyonya Anantari memberi kabar terkait kalung peninggalan teman Anda.” Kali ini suara seorang lelaki terdengar.Kedua wanita elegan itu menoleh ke arah sumber suara, seorang lelaki yang masih terlihat tampan mes
“Kumpulkan para sesepuh dan para pemimpin ras, panggil juga gadis bernama Sekar!” Raja Arsen berkata seraya membalikkan badan. Dia memijat kening yang berdenyut, kaki panjang itu melangkah keluar kamar meninggalkan tiga temannya yang masih diam membisu. Mereka mencoba memposisikan diri di tempat Raja Arsen. Benar-benar situasi sulit dilalui, bukan? Anantari menoleh ke arah dua lelaki yang juga sama bingungnya. “Aku akan menyusul Sekar.” Gavin mendelik menatap Anantari yang tertunduk, “Apa yang akan kau lakukan?” “Gavin, aku tahu ini tidak benar, aku juga tidak tega melihat Kalina menderita. Namun, bagaimana jika takdir itu memang membawa Kalina datang ke mari untuk suatu hal. Tidakkah kalian pikir banyak misteri tentang Nigella yang belum terungkap dan menemui titik terang? Seolah hidup kita dikendalikan sesuatu. Tidakkah kalian curiga para sesepuh menyembunyikan sesuatu?” “Curiga, tentu aku sangat curiga lebih dari yang kalian tahu. Namun, apa yang bisa kita lakukan?” Lamont ber
Kalimat bak omong kosong terdengar dari bibir Elard hingga membuat Kalina merinding. Bukan karena tidak percaya, banyak yang tadinya dianggap diluar nalar terjadi begitu saja. Tidak ada hal mustahil seperti dia terlempar ke masa lalu. Maka tidak heran bilamana Elard beranggapan telah bereinkarnasi. Itu membuat sedikit khawatir, reinkarnasi terjadi ketika seseorang telah meninggal. “Jika memang bereinkarnasi, artinya Elard di Kerajaan Nigella mati.” Kalina menatap Elard sendu. Elard menyadari raut muka Kalina yang berubah, lelaki itu lalu berkata, “Aku rela mati untukmu.” Jawaban Elard membuat Kalina melebarkan mata. Gadis itu denial pada perasaan sendiri. Jika mengingat cerita yang pernah terlontar pada mulut Gavin saat siluman itu berada di dunianya sebagai Elang, maka kematian dan runtuhnya kerajaan Nigella terjadi. Namun, nasib membawa Kalina isekai ke dunia lain, Kerajaan Nigella yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Tidak ada catatan dalam sejarah tentang Kerajaan Ni
Kalina menggigit bibir bagian bawah menahan perasaan membuncah hingga membuat hampir gila. “Elard.” Kalina memanggil nama calon suaminya. Gadis itu melihat wajah tampan Elard dengan seksama. Mereka sama-sama telanjang, berbagi peluh untuk mengarungi samudra kenikmatan. Wajah berpeluh Elard yang terlihat dewasa dari ketika dia melihat di Kerajaan Nigella masih terlihat muda. Namun demikian, gambaran eksotis ekspresi ketegangan dan tatapan tajam masih sama membuat gelayar aneh menjalar di tubuh Kalina. Elard menggerakkan tubuhnya di atas Kalina semakin kencang. “Iya, Sayang, terus panggil namaku!” Lelaki itu mengecup telapak tangan Kalina yang menyentuh bibirnya dan menggigitnya. Kedua tangan Elard sibuk meremas dada Kalina yang terguncang-guncang. Kalina semakin berteriak lantang hingga suaranya benar-benar habis. Pertarungan panas untuk mencapai puncak kebahagiaan yang sesungguhnya dengan menyebut nama masing-masing saat ledakan dahsyat membuat lemas dan tersengal kehabisan napas.
“Mimpi ini lagi.” Suara lirih bariton terdengar. Di mana cahaya putih menyilaukan samar menghilang tergantikan tempat yang sangat asing, banyak gedung-gedung pencakar langit. Serta bunyi bising membuat lelaki itu menutup telinga beberapa kali. Alat transportasi yang belum pernah Gavin temui sebelumnya. Dia mencoba menempatkan diri dengan baik, senyuman Kalina benar-benar memabukkan hingga dirinya rela tinggal di mana saja asal dapat mendekap hangat tubuh gadis itu. Mimpi yang terasa nyata, hanya ada Gavin dan Kalina, keduanya menghabiskan waktu bersama penuh kebahagiaan, sampai kepulan asap tebal datang. Suasana berubah mencekam dan gulita, kepulan asap mengepung dan melenyapkan Kalina. Gavin mempertaruhkan hidup dengan menukar nyawa demi menyelamatkan orang yang dicinta. Saat-saat genting, seorang lelaki gagah datang menghampiri menyelamatkan Kalina, ketika Gavin terlihat sekarat rasanya ingin mengumpat bahwa lelaki yang disambut Kalina adalah Elard. Hatinya remuk bukan main, Gavin
Raja Arsen duduk di singgasana, terlihat gagah dalam balutan pakaian kerajaan dan mahkota. Tanpa rasa takut dirinya mulai memantapkan diri. Ada orang berharga yang sekarang dalam genggaman, dia tidak ingin siapa pun menyakiti atau merebutnya. Meski masa depan dari beberapa alur cerita yang pernah terjadi, tetapi hal-hal terpenting masa depan sesuai apa yang terjadi di masa lalu. Kehadiran Kalina bukan untuk mengubah masa depan, tetapi untuk mengukuhkan pondasi keberadaan Permata Aurora sebagai simbol ras siluman. “Seperti yang sudah diperintahkan, untuk sementara Elard dari ras siluman Harimau tidak diizinkan keluar rumah karena sebagai pemicu skandal. Hukuman tersebut terdengar ringan karena pada waktu itu belum disahkan secara resmi calon ratu dan pertunangan.” Gavin sebagai ketua ras siluman Elang yang baru mewakili berbicara. Alasan cukup logis, mengingat beberapa waktu lalu ada insiden tidak terduga dengan hilangnya Kalina.Tuan Fariz memperhatikan, kata mata-mata yang ditempatk
Sore itu, Kalina benar-benar langsung dijemput kereta kuda Istana, di mana Raja Arsen yang hadir langsung untuk membawa. Sebagai hukuman, Elard tidak diizinkan untuk pergi ke Istana apalagi sampai bersua dengan Kalina. Sebanyak apa pun Kalina merengek dan menangis, Raja Arsen hanya diam, lebih diam dari biasanya. Keluarga Elard mengingatkan jika dirinya harus berhati-hati dan waspada dengan para sesepuh. ‘Aku ingin pulang ke tempat asalku, aku lelah.’ Kalina mendongakkan kepala, punggungnya dia rebahkan di sandaran kursi kereta kuda. ‘Jangan pernah percaya siapa pun ketika kau di Istana,’ bisik Ibu Elard ketika mereka berpelukan tadi. Kalina ingat, perpisahan penuh tangis pun terjadi, ibu Elard pun berat untuk melepas kepergian Kalina, di mana sebenarnya dia sangat berharap Kalina yang akan menjadi menantunya. Satu masalah mengganjal adalah hukuman yang belum diputuskan untuk Elard. Hubungan terlarang terkuak menjadi aib luar biasa memalukan. Meski pada akhirnya para sesepuh dan
“Apa kepalamu terbentur ketika kakakku menggagahimu semalam?” Kalimat yang terlontar dari mulut Anantari membuat Kalina melongo mirip keledai, bagaimana mungkin Anantari mengucapkan hal yang sungguh diluar dugaan dan membuat malu. “Saya baik-baik saja, Nona Anantari. Elard memperlakukan saya dengan baik. Meski dia agak kasar dan sedikit memaksa.” Bayangan tubuh sexy menggairahkan Elard terpampang jelas. “Seperti yang Nona katakan, jika Raja Arsen dan para sesepuh mengharapkan saya kembali, maka saya akan kembali ke istana.” Kalina mendekat ke telinga Anantari, “Jika benar kedatangan saya berkaitan dengan kalung dan juga bulan, maka dalam waktu dekat saya akan kembali ke tempat asal. Segala hal terjadi mungkin akan menemui titik temu, Nona. Saya sumber masalah akan menghilang.”Anantari memeluk Kalina lalu ikut berbisik, “Jadi, kita akan berpisah?” Anantari menghela napas panjang lalu berucap dengan sedikit mengeraskan suara, “Tata kramamu semakin meningkat dalam berbicara. Aku lebih
Kalina menggeliatkan tubuhnya yang telanjang dari bali selimut, rasanya enggan untuk bangun meski sinar sang surya sudah memancar menyilaukan mata. Tubuh terasa lemas dan sakit seperti habis terlindas beban berat. “Aunch … sakit ….” “Kau sudah bangun?” Kalina melihat ke arah dekat jendela, di mana Elard sudah duduk mengenakan kemeja putih dan celana formal hitam. Aroma kopi menguar, tersaji dua cangkir masih mengepul panas di meja bersama roti dan selai. “Aku sudah membawakanmu air cuci muka.” Tangan berotot itu mengacungkan jari ke arah nakas dekat ranjang. “Bangunlah dan sarapan dahulu, pelayan sedang ke rumah utama mengambilkan pakaian untukmu! Atau kau mau aku bantu bangun?” ujar Elard melihat Kalina nyengir ketika beringsut duduk. “Aku bisa sendiri.” Gadis itu melilitkan selimut kemudian pelan bangun dari ranjang dan membasuh wajah. “Maafkan aku, itu pengalaman pertamamu, ini juga pertama kali untukku. Sepertinya aku kurang berpengalaman hingga membuatmu kesakitan. Tidak seh