Aku membuka mata di ruangan yang begitu sederhana. Dinding-dindingnya hanya terbuat dari papan yang sebagian sudah keropos. Entah berapa lama aku pingsan, yang jelas aku langsung tak sadarkan diri saat Ki Kusumo memercikkan air dari kendi miliknya.Angin bertiup sepoi-sepoi dari luar membuat aku sontak melirik ke arah ventilasi yang berada di atas jendela kamar.Dahiku mengernyit saat menyadari ternyata hari sudah terang.Segera kusibak selimut hendak bangkit dari ranjang. Namun begitu selimut tersibak, aku dibuat terperangah karena kini kulit tubuhku sudah sembuh. Sama sekali tak ada luka bekas gigitan hewan berbisa seperti sebelumnya, bahkan setitik pun tak lagi tersisa bekas gigitannya. Benar-benar ajaib.Dengan penuh semangat aku bangkit dari ranjang hendak keluar dari kamar. Kuakui kini memang Ki Kusumo benar-benar sakti.Begitu keluar dari kamar aku disambut oleh suasana rumah yang begitu hening, seolah tak ada kehidupan."Ki ...." Aku berusaha memanggil sembari berkeliling ke r
POV SutiniHari sudah mulai gelap, namun Bang Sutar tak juga kunjung pulang. Sedari tadi aku terus mondar-mandir gelisah, karena harusnya sore ini Bang Sutar sudah pulang. Itu yang kutahu dari Dasiman, karena katanya dukun itu begitu sakti hingga tak perlu waktu lama untuk mengobati.Berulang kali pula aku berusaha menghubungi keduanya, namun tetap saja hasilnya nihil, tak ada satu pun panggilanku yang dapat terhubung ke nomor mereka."Bu, Bu Tini!" Aku tersentak saat mendengar panggilan dari pintu dapur. Dari suaranya sepertinya itu adalah pembantu yang mengurus Ibu Bang Sutar.Gegas aku meninggalkan warung dan menuju ke belakang."Ada apa, Rin?" Tanyaku begitu membuka pintu.Terlihat wajah Rindi begitu panik, bahkan ada jejak air mata di pipinya."Bu Asih, Bu ...!" Ujarnya dengan nada panik sembari menunjuk ke rumah mertuaku itu.Perasaan khawatir makin bertambah melihat sikap Rindi. Cepat-cepat aku mengikuti langkah Rindi yang membawaku menuju rumah Ibu Bang Sutar itu.Sampai di r
Masih POV Sutini."Polisi?""Iya, Bu."Dengan semangat aku bangkit dan berlalu ke depan dengan tergesa. Pasti mereka datang membawa kabar tentang Bang Sutar. "Iya, Pak. Bagaimana? Apa ada kabar tentang suami saya?" Aku langsung bertanya begitu berhadapan dengan polisi tersebut. Tak peduli walaupun polisi yang kini datang ke rumah bukanlah polisi yang biasa membantu pencarian Bang Sutar."Maksud Ibu apa ya? Kami ke sini karena mendapat perintah untuk menggeledah rumah Ibu."Tubuhku seketika menjadi lemas setelah mengetahui maksud kedatangan mereka."Menggeledah? Untuk apa? Memangnya ada masalah apa?""Apa Ibu kenal dengan gadis bernama Siti Khotimah?"Tubuhku makin berasa tak bertulang saat pria berseragam itu menyebutkan nama Imah. Siapa pula yang telah melaporkan kehilangan Imah pada polisi? Ah, makin banyak saja masalah yang datang kepadaku. Sepertinya kesialan mulai menimpaku kini. Bagaimana jika mereka mencurigaiku? Dan bagaimana jika mereka menemukan jasad Imah? Bisa-bisa aku d
Sraaak!Aaargh!Aku terkejut saat tiba-tiba Nenek muncul, lalu melempar tubuh Kak Airin yang kini tengah dirasuki oleh Nyai Surti itu dengan bubuk berwarna coklat kehijauan.Cengkraman makhluk tersebut di leher Bi Aini pun langsung terlepas.Nenek terlihat berdiri dengan gemetaran sembari berpegangan pada tongkatnya, terlihat ia seperti memaksakan diri berdiri. Sedangkan bibirnya dengan samar terlihat komat-kamit membaca sesuatu."Kau lagi?"Dengan penuh amarah, sosok tersebut menyerbu ke arah Nenek, hingga Nenek yang memang tak bisa berdiri tegak itu jatuh terjerembab ke tanah."Neekk!" Aku berteriak khawatir lalu lekas membaringkan Ibu yang masih tertidur itu di tanah.Secepat kilat aku berlari ke arah Nenek sebelum makhluk itu menyakiti Nenek."Sedari dulu kau terus mengacaukan semuanya. Harusnya kau mati sajaa!" Teriak makhluk itu penuh amarah seraya tangannya yang pucat itu hendak menyentuh Nenek.Namun secepat kilat kutangkis, lalu dengan keras membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an b
"Aku tak meminta yang macam-macam. Aku hanya ingin, jika semua ini berakhir, tolong kuburkan jasadku dengan layak."Aku terenyuh mendengar permintaan jin qorin Kak Airin itu. Rasa geram seketika menyeruak pada Ayah. Tak hanya tega membunuh, ia pun sampai hati melihat jasad anaknya digunakan oleh jin jahat.Aku pun menyetujui persyaratan darinya. Kami segera mengatur siasat bagaimana supaya bisa kabur dari rumah Ayah dan membawa Ibu kepada Kyai teman Ustadz Arif.Dari hasil pembicaraanku tadi malam bersama Bi Aini, ia ingin membawaku kabur dari tembok belakang. Ia punya pintu rahasia yang selama ini selalu menjadi aksesnya keluar masuk. Tadi malam ia hendak membawa kami kabur dari sana, tapi akhirnya harus gagal karena kemunculan Nyai Surti.Setelah mengatur siasat, sosok jin qorin Kak Airin itu pun bercerita bahwa sebenarnya Ibu berhalusinasi seperti itu bukan karena gangguan darinya atau korban-korban tumbal yang lain. Memang benar setelah meninggal jin-jin qorin korban tumbal Ayah b
Walau tak paham apa rencana makhluk itu, aku tetap menurutinya.Berusaha terlihat sesantai mungkin, aku keluar dari kamar.Melihat pintu kamarku terbuka, Ayah yang sedang duduk di sofa ruang tamu menoleh. Namun, aku berusaha mengacuhkannya dan menuju ke arah belakang.Sampai di dapur, terlihat asisten tadi tengah membuat kopi untuk Ayah. Terlihat pula sosok Kak Airin sudah berdiri di dekat wastafel yang sedikit berjarak dari wanita itu.Dengan bahasa isyarat, sosok Kak Airin tersebut menyuruhku masuk ke kamar mandi. Aku pun lantas menurutinya.Penasaran aku mengintip keluar, namun sudah tak ada sosok Kak Airin. Kini hanya tinggal Asisten tersebut, ia tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Sembari berjalan menjauhi meja dapur, menuju pintu belakang."Cepaat masukkan obatnya!" Aku kembali terkejut saat sosok Kak Airin sudah ada di dalam kamar mandi bersamaku.Dengan mengendap-endap aku berjalan mendekati cangk
POV Aswin (Ayah Satria)Aku tergeragap saat mendengar suara gedoran pintu dari luar. Makin terkejut saat melihat jarum jam sudah menunjuk ke angka lima lewat tiga puluh menit.Gawat! Bagaimana aku bisa sampai kesiangan. Seharusnya jam segini aku sudah pulang belanja keperluan warung dan sudah mulai membuka warung.Cepat aku bangkit hendak membuka pintu saat mendengar Seno yang terus-menerus memanggil sembari menggedor pintu."Bapak kesiangan?" Tanya Seno begitu aku membuka pintu."Iya, No. Entah kenapa saya kok bisa tertidur sampai tak sadar apapun."Firasat tak enak mulai melintas di kepalaku. Apalagi aku belum pernah tidur senyenyak itu."Jadi sekarang bagaimana, Pak? Di luar sudah ramai orang mau belanja," tanya Seno saat melihat aku hanya tercenung."Kamu buka saja dulu warungnya. Tak apa kita tak belanja hari ini. Yang penting warung tetap buka."Seno mengangguk patuh, lalu berbalik hendak menuju warung. Tapi aku kembali menahannya."Sekalian telponkan Iwan, suruh ambil kunci kem
Masih POV AswinHatiku makin gusar menatapi layar ponsel. Hariku sudah kacau karena Satria dan Hanin kabur, ditambah lagi karyawanku sendiri menusuk dari belakang. Dan sekarang ... Masuk pesan ancaman entah dari siapa.Jemariku lekas menekan nomor tak tak dikenal tersebut, bermaksud untuk menghubungi. Namun sial, sepertinya orang tersebut memang sengaja ingin bermain-main denganku, panggilanku ditolaknya.Tlung!Dering pesan masuk kembali bergema dari ponsel. Begitu dibuka ternyata ada pesan masuk lagi dari orang tersebut.[Jangan coba-coba menghubungi atau mencari tau soal aku. Kalau tak, bukti-bukti ini akan kusebarkan.][Lalu apa maumu?] Balasku tak senang.[Sudah pasti yang kuinginkan pertama kali adalah uang.] Jawabnya cepat.Aku mendengus kesal begitu mengetahui keinginannya tak jauh-jauh dari materi semata.***Aku mengacak rambut frustasi saat melihat keadaan warung di Desa sebelah yang porak-poranda. Pelanggan yang biasa berbelanja di warungku manyampaikan simpatinya dengan m