Leya duduk termenung seorang diri di ruang kerjanya. Beberapa hari belakangan ini begitu banyak kejadian yang menimpa dirinya. Pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan juga Asna cukup menyita pikirannya. Satu sisi dia menyalahkan sikap Asna yang menjadi orang ketiga, tapi satu sisi dia juga tak bisa hidup berjauhan dari wanita itu. Hanya Asna yang dia punya sebagai tempat bercerita.Leya kembali fokus pada layar komputer sembari sesekali melirik ponselnya yang ada di atas meja. Dia seperti menunggu seseorang untuk menghubunginya. Hingga jam pulang tiba, panggilan yang di tunggu pun tak kunjung berdering. Leya menghela napas lesu. "Sepertinya lelaki itu jauh lebih penting daripada aku Asna."Jam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 6 lewat 30 menit. Leya memutuskan untuk pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, dia kembali dikejutkan dengan sosok perempuan yang tak ingin dilihatnya tengah berdiri di depan gerbang. Tuhan benar-benar tengah menguji kesabarannya
Nirwan duduk di bangku penumpang sedangkan Federick di samping sopir. Mereka baru saja menjemput Nirwan dari bandara. Setelah melakukan perjalanan bisnis selama 2 hari, lelaki gagah itu akan langsung ke kantor tanpa pulang ke rumah terlebih dahulu. "Anda yakin kita akan langsung ke kantor, Pak?" tanya Federick sekedar memastikan.Nirwan melihat jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Baru jam sebelas, belum masuk jam makan siang.""Bukan itu maksud saya, Pak. Anda sudah memiliki istri lagi sekarang. Apa anda tidak mau menemuinya lebih dulu? Maaf jika saya lancang, tapi apa bapak tidak belajar dari pengalaman yang terjadi di pernikahan anda sebelumnya?" ujar Federick penuh hati-hati. Dia sadar apa yang dia ucapkan bukan lagi ranahnya. Tetapi sebagai seseorang yang selalu ada untuk bosnya itu, menurut Federick tak ada salahnya jika mereka saling mengingatkan. "Apa kamu digaji untuk mengurusi kehidupan rumah tanggaku, Federick," ucap Nirwan dingin. Pandangan matany
Hari ini Leya libur dan sebagai seorang yang tak memiliki tanggung jawab mengurusi anak dan suami, tentu saja Leya bebas melakukan apa saja yang dia mau termasuk bangun siang. Setelah makan siang dan juga bersantai menonton drama Korea kesukaannya, Leya mengisi waktu kosongnya dengan melakukan olahraga di sore hari. Leya mengenakan sport bra model tali bahu dengan bagian belakang yang terhubung membentuk huruf Y pada bagian punggung. Dia berlari di atas treadmill membuat gunung kembarnya yang padat berisi bergoyang-goyang mengikuti alunan musik hingga keringat bercucuran. Merasa cukup, Leya menghentikan kegiatannya. Dia beralih ke dapur meminta pelayan untuk menyiapkan minuman untuknya. "Tolong buatkan aku jus jeruk tanpa gula.""Baik Nyonya." Pelayan itu menghentikan sejenak kegiatannya yang sedang memotong buah untuk pendamping makan siang tuannya itu. Dalam posisi berdiri, Leya menunggu dengan membaca majalah yang tergeletak di meja makan. Majalah edisi terbaru yang belum semp
Malam harinya Leya dibawa Nirwan ke rumah keluarga Anggara. Mereka berdua berjalan memasuki rumah besar yang dijaga dengan beberapa satpam. Di ruang keluarga sudah ada Lilian yang menunggu dengan wajah datarnya. Ibu dan anak itu sangat handal memasang ekspresi yang membuat orang lain tak berkutik saat bersama mereka. "Selamat malam, Tante," sapa Leya canggung."Duduklah!" balas Lilian dingin. Meski tak dapat penolakan tetapi Leya juga tak mendapatkan sahutan seperti yang diharapkan. Mereka pun duduk berhadapan di mana Nirwan duduk disebelah istrinya. Keheningan tercipta dan terasa mencekam.Tak ada percakapan selain gerakan Lilian yang menikmati secangkir teh sembari sesekali melirik ke arahnya. Sebenarnya ini bukan pengalaman pertama bagi Leya untuk bertemu dengan mertua ataupun calon mertua. Tetapi entah kenapa, tatapan mata Lilian yang dalam menyiratkan kewaspadaan sehingga membuat Leya semakin berhati-hati. "Permisi Nyonya besar, makanannya sudah disiapkan," ujar Silvia yang
Leya menggeliat pelan, lalu membuka mata. Dia menatap sekeliling ruangan, kemudian bangkit dengan cepat. Leya berdecak, dia baru sadar jika saat ini dirinya berada di kamar Nirwan. Tidur di ranjang yang sama dengan lelaki sahnya. Leya melangkah menuju kamar mandi. Setelah lima belas menit di kamar mandi, Leya keluar dengan santai hanya mengenakan handuk yang melingkar di dadanya. Sebenarnya Leya sedikit risih, tetapi tak ada bathrobe di kamar mandi Nirwan membuat wanita itu hanya bisa mengenakan handuk seadanya."Apa kamu mau menggodaku?" Terdengar suara seseorang yang membuat Leya kaget dan spontan menyilangkan kedua lengan di dada. "Ckk, kau mengagetkanku," Jawab Leya setelah tahu siapa yang menyapa. "Tidak perlu ditutup, aku juga sudah pernah melihatnya. Bahkan lebih dari sekedar melihat," ujar Nirwan dengan nada yang menggoda seraya duduk di pinggir ranjang.Leya menyeringai dan menuruni tangannya, dia beralih pada koper yang ada di sudut lemari yang belum sempat dia susun.
"Ini tehnya Nyonya." Silvia menyuguhkan secangkir kecil teh chamomile pada meja kecil di samping Liliana. Liliana tak menjawab dan hanya melirik sedikit kemudian memberi kode pada Silvia untuk menyingkir dari dekatnya segera. Pagi ini raut wajah Liliana begitu suram tak enak di pandang. Wanita paruh baya yang tetap modis diusia senja itu tampaknya masih kesal dengan kenyataan yang baru saja dia dengar, ditambah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan putranya pada malam itu menghadirkan kebencian yang semakin dalam untuk Leya. Sampai-sampai saat Leya pergi ke kantor Lilian tak berniat untuk menyapa dan memilih untuk diam duduk di meja makan sembari menyantap makanannya. "Maaf, Nyonya. Apa anda ingin teman ngobrol, saya bisa menjadi teman ngobrol yaang baik untuk Anda," ujar Silvia menawarkan diri. Liliana menoleh, menatap Silvia dari ujung kepala ke ujung rambut dengan sinis. "Pahami statusmu. Jangan terlalu banyak berharap atas apa yang tak sanggup kamu dapatkan. Dan aku jug
"Bukan begitu maksudku, Ma—,""Terus maksud kamu bagaimana?" Liliana menarik dagu Leya agar wajahnya terangkat dan pandangan mata mereka kembali saling bertemu. "Aku paling tidak suka melihat menantuku pulang malam-malam begini." Liliana melepaskan tangannya, dia berbalik dan kembali duduk di sofa dengan gaya nyonya angkuhnya yang tak pernah lepas dari karakter dirinya. "Ok, kamu wanita karier dan berbeda dari istri Nirwan sebelumnya. Tapi bukan berarti kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai seorang istri. Kalau kamu setiap pulang kerja malam begini, lalu fungsimu suami bagimu apa? Apa kurang anakku memberikan nafkah padamu?"Leya menggelengkan kepala. Bahkan jumlah yang diberikan Nirwan padanya cukup untuk dia berfoya-foya tanpa harus capek-cepek bekerja. Tapi bukan itu masalahnya. Pernikahan mereka yang hanya dalam hitungan bulan lagi berakhir ini tak dapat Leya jadikan pondasi keuangannya. Saat mereka berpisah nanti, bagaimana hidupnya jika tak memiliki penghasilan dan juga p
Setelah perdebatan panjang itu, selama beberapa hari Leya berusaha mengubah jadwalnya. Dia yang biasanya pulang malam terpaksa pulang lebih awal dan membawa pekerjaannya pulang untuk dikerjakan di rumah. Ditambah sifat Nirwan yang kembali ke mode awal, cuek dan dingin membuat Leya mulai merasa lelah. Hari ini Leya memutuskan kembali pulang ke rumahnya. Tapi sebelum pulang dia menyempatkan diri mampir ke sebuah air mancur yang ada di taman kota.Dulu Leya sangat suka duduk di sana, menikmati aneka jajanan yang berjejer tak jauh dari air mancur seraya menikmati gemericik air yang jatuh. Sebuah piring siomay tersodor ke arahnya. Tentu saja itu membuatnya bingung karena dia tak merasa memesan makanan itu, atau mungkin belum. "Saya tidak memesannya, apa mamang salah orang?" ucap Leya kemudiaan mendongakkan kepala menatap ke arah sang penjual. Betapa terkejut dirinya setelah tahu siapa gerangan yang memberikan makanan itu padanya. "Mas Abram? Kenapa kamu bisa ada di sini?""Sama sepert
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja
"Keluar kalian semua! Kembalikan anakku! Kalian pembunuh!" teriakan nyaring itu terdengar bergema hingga keluar ruangan. Bersamaan dengan itu suara benda-benda berjatuhan serta pecah pun ikut terdengar.Leya masuk ke ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Kaget melihat kondisi ruangan yang berantakan serta kasihan melihat saudaranya yang terlihat begitu menyedihkan.Leya memeluk tubuh Asna. Dia mendekap kuat seraya menangis membuat Asna yang tengah mengamuk menjadi diam. "Na, sadarlah! Ini aku, aku mohon hentikan ini!" bisik Leya lirih. Asna mendorong tubuh Leya kasar hingga Leya terdorong beberapa langkah ke belakang. Nirwan yang melihat itu sontak langsung menangkap tubuh istrinya agar tidak terjatuh terjerembab ke lantai. Senyum mengejek Asna terbit di bibir pucatnya. Dia menatap Leya dan Nirwan penuh benci. "Apa yang kamu lakukan?" sentak Nirwan tak terima. Tatapan matanya tajam seakan ingin membunuh membuat Asna terdiam di tempat. Nirwan paham jika wanita di hadapannya itu
Sesampainya di rumah sakit, dari balik jendela Nirwan bisa bernapas lega melihat sosok yang terbaring di atas ranjang bukanlah istrinya.Nirwan pun melangkah masuk yang menarik atensi Leya untuk menoleh. Leya berdiri setelah menyadari siapa yang datang. Leya tak mengucapkan satu patah pun, dia merangkul tubuh Nirwan erat dan menumpahkan kembali air mataa tanpa suara. Tubuh ringkihnya bergetar hebat. Entah dapat dorongan dari mana, lelaki itu pun membalas pelukan istrinya serta membelai lembut rambut hitam terikat berantakan itu. "Tenanglah! Aku di sini!"Satu kalimat pendek yang Nirwan ucapkan seperti sihir yang langsung meredakan kegelisahan hati Leya. Tangis sesenggukan itu seketika terhenti. Leya yang lelah akhirnya pingsan di dalam dekapan suaminya. Nirwan panik memanggil perawat untuk memeriksa istrinya. ~ ~ ~Pagi yang cerah menyinari kediaman keluarga Anggara. Semua yang ada di rumah sudah sibuk dari subuh tadi dengan pekerjaan mereka masing-masing."Mereka suda
Leya tak dapat berkata apa-apa setelah melihat kondisi Asna yang menyedihkan. Lidahnya terasa kelu. Asna bahkan tak lagi sadar saat Leya sampai di sana. Setelah menandatangi berkas-berkas, Asna langsung di bawa ke ruang operasi untuk melakukan tindakan selanjutnya. Perawat mengatakan Asna di bawa dalam keadaan pendarahan hebat. Bayi di dalam kandungannya tak dapat diselamatkan dan tak hanya itu, rahimnya yang robek mengharuskan wanita itu menjalani operasi pengangkatan rahim secepatnya. Asna tentu saja menolak keras hingga menjerit histeris sehingga dokter tak dapat melakukan prosedur selanjutnya. Itu sebabnya kehadiran Leya sangat diharapkan sebagai penanggung jawab. Beruntung, Asna mau memberikan kontak Leya pada pihak rumah sakit. Lebih dari dua jam operasi itu berjalan, namun belum juga menunjukkan akan selesai. "Ya Allah, lindungi dia!" pinta Leya lirih penuh harap. Cairan bening mulai menganak sungai di sudut mata seraya menunggu pertahanan tanggul jebol dan mengalir
Cahaya matahari yang merambat masuk dari jendela terpantul ke mata Leya. Leya menggeliat dan membuka matanya perlahan.Masih terasa di tubuhnya sisa percintaan mereka hingga subuh menjelang. Percintaan? Apa yang terjadi diantara mereka bisa disebut bercint4 jika nyatanya semua itu terjadi karena pemaksaan. Leya menatap ke samping, tampak Nirwan masih terlelap dengan dengkuran halusnya. Ada amarah di dalam hatinya atas perlakuan Nirwan semalam walau sebenarnya apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah dosa. Mereka sudah menikah sah secara hukum dan agama. Tetapi apa yang terjadi tadi malam membawa penyesalan yang dalam di hati Leya. Dia mulai bergerak perlahan menuruni ranjang dengan tubuh yang terasa remuk redam. Di dalam kamar mandi, guyuran air dari shower terasa seperti pijitan lembut di tubuhnya. Lama Leya menikmati mandinya seakan tubuhnya sangat kotor dan harus dibersihkan dengan teliti agar tak ada yang terlewat.Setelah mandi, Leya hanya menggunakan handuk yang melilit dada
Leya yang berada di mobil tampak cemas. Bagaimana tidak, dirinya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana mantan suaminya itu dihajar habis-habisan oleh suaminya yang sekarang. Dalam hati Leya yang paling dalam masih terbesit perasaan tak tega. Akan tetapi ada satu hal lagi yang membuat kecemasan Leya semakin meningkat. "Berhenti! Apa kamu mau kita mati di mobil ini!" jerit Leya ketakutan. Kecepatan mobil itu sudah di atas rata-rata membelah jalanan kota di malam hari. Masih ada beberapa mobil yang berlalu lalang dan di salip Nirwan begitu saja. Leya mencengkram sabuk pengamannya erat seraya memejamkan mata. Dalam hati dia terus merapalkan mantra pada sang pencipta dan berharap hari ini bukanlah hari terakhir dia menatap dunia. Cittt!Mobil yang tiba-tiba berhenti mendorong tubuh Leya ke depan hingga keningnya tak sengaja menubruk sesuatu yang padat tapi lembut. Leya pun membuka mata, tepak tangan Nirwan tepat berada di keningnya. Belum sempat Leya menoleh, Nirwan suda
Setelah perdebatan panjang itu, selama beberapa hari Leya berusaha mengubah jadwalnya. Dia yang biasanya pulang malam terpaksa pulang lebih awal dan membawa pekerjaannya pulang untuk dikerjakan di rumah. Ditambah sifat Nirwan yang kembali ke mode awal, cuek dan dingin membuat Leya mulai merasa lelah. Hari ini Leya memutuskan kembali pulang ke rumahnya. Tapi sebelum pulang dia menyempatkan diri mampir ke sebuah air mancur yang ada di taman kota.Dulu Leya sangat suka duduk di sana, menikmati aneka jajanan yang berjejer tak jauh dari air mancur seraya menikmati gemericik air yang jatuh. Sebuah piring siomay tersodor ke arahnya. Tentu saja itu membuatnya bingung karena dia tak merasa memesan makanan itu, atau mungkin belum. "Saya tidak memesannya, apa mamang salah orang?" ucap Leya kemudiaan mendongakkan kepala menatap ke arah sang penjual. Betapa terkejut dirinya setelah tahu siapa gerangan yang memberikan makanan itu padanya. "Mas Abram? Kenapa kamu bisa ada di sini?""Sama sepert
"Bukan begitu maksudku, Ma—,""Terus maksud kamu bagaimana?" Liliana menarik dagu Leya agar wajahnya terangkat dan pandangan mata mereka kembali saling bertemu. "Aku paling tidak suka melihat menantuku pulang malam-malam begini." Liliana melepaskan tangannya, dia berbalik dan kembali duduk di sofa dengan gaya nyonya angkuhnya yang tak pernah lepas dari karakter dirinya. "Ok, kamu wanita karier dan berbeda dari istri Nirwan sebelumnya. Tapi bukan berarti kamu mengabaikan tanggung jawabmu sebagai seorang istri. Kalau kamu setiap pulang kerja malam begini, lalu fungsimu suami bagimu apa? Apa kurang anakku memberikan nafkah padamu?"Leya menggelengkan kepala. Bahkan jumlah yang diberikan Nirwan padanya cukup untuk dia berfoya-foya tanpa harus capek-cepek bekerja. Tapi bukan itu masalahnya. Pernikahan mereka yang hanya dalam hitungan bulan lagi berakhir ini tak dapat Leya jadikan pondasi keuangannya. Saat mereka berpisah nanti, bagaimana hidupnya jika tak memiliki penghasilan dan juga p
"Ini tehnya Nyonya." Silvia menyuguhkan secangkir kecil teh chamomile pada meja kecil di samping Liliana. Liliana tak menjawab dan hanya melirik sedikit kemudian memberi kode pada Silvia untuk menyingkir dari dekatnya segera. Pagi ini raut wajah Liliana begitu suram tak enak di pandang. Wanita paruh baya yang tetap modis diusia senja itu tampaknya masih kesal dengan kenyataan yang baru saja dia dengar, ditambah perdebatan yang terjadi antara dirinya dan putranya pada malam itu menghadirkan kebencian yang semakin dalam untuk Leya. Sampai-sampai saat Leya pergi ke kantor Lilian tak berniat untuk menyapa dan memilih untuk diam duduk di meja makan sembari menyantap makanannya. "Maaf, Nyonya. Apa anda ingin teman ngobrol, saya bisa menjadi teman ngobrol yaang baik untuk Anda," ujar Silvia menawarkan diri. Liliana menoleh, menatap Silvia dari ujung kepala ke ujung rambut dengan sinis. "Pahami statusmu. Jangan terlalu banyak berharap atas apa yang tak sanggup kamu dapatkan. Dan aku jug