Tak terkira betapa kesalnya hati Arsya tatkala seorang anak pelayan yang biasa melayani dirinya, patuh dan tunduk dalam perintahnya kini berani mengeluarkan kata-kata untuk menekannya.
Arsya terus menggerutu sepanjang perjalanan, di dalam kendaraan roda empat yang kebetulan melintasi area kantor tersebut."Fokus saja dengan kemudi setirnya, Pak! Jangan jelalatan ke belakang!" ketua Arsya saat dia tak sengaja menangkap basah si sopir taksi yang curi-curi pandang pada belahan bajunya yang rendah."Maaf Neng, saya pikir Neng kenapa bicara sendiri dari tadi," jawab si supir dengan cengengesan. Deretan giginya yang berubah warna karena nikotin dan kafein membuat Arsya memalingkan muka karena jijik."Mau bicara sendiri atau kesurupan sekalipun itu bukan urusan anda. Fokus saja ke depan! Tua-tua, matanya masih saja jelalatan!" balas Arsya menurunkan nada suaranya hingga terdengar seperti berbisik saat dirinya mengatai lelaki yang beberapa helai rambutSilvia mendapati Federick di lobby kantor tengah menggoda seorang staf di sana. Dia menolak tawaran lelaki berambut keriting itu untuk mengantarkan berkas yang dia bawa. Silvia ingin mengantarkannya langsung pada lelaki yang menjadi pujaan hatinya tersebut."Sebaiknya kamu pulang saja dan berikan map itu padaku!" perintah Federick tegas. "Tidak. Aku akan langsung mengantarkannya langsung ke Tuan muda. Ini amanah dan aku gak mau terjadi kesalahan. Bagaimana jika nanti benda ini ada yang hilang atau rusak. Pasti aku yang akan di salahkan!" debatnya. Dirinya tetap kekeuh pada tujuannya. Federick tersenyum tipis. Sebagai seorang lelaki yang cukup peka, tentu dirinya mengerti maksud dan tujuan wanita manis di hadapannya ini. "Aku asisten pribadinya dan kamu mencurigaiku. Konyol sekali!" "Tak ada yang konyol di dunia ini. Bisa saja kan kamu pura-pura setia pada tuannya tapi dibelakang bersekutu dengan musuh. Pokoknya aku akan mengantarkannya sendiri.""Terlalu banyak nonton film action
Silvia berdendang riang seraya mengatur meja makan sedemikian rupa seakan dirinyalah nyonya rumah itu. Sekuntum mawar merah dia rangkai sedemikian rupa agar terlihat cantik di antara piring-piring yang telah terisi masakannya. Bi Darmi menggelengkan kepala. Wajahnya tampak memerah karena malu mendengar bisik-bisik pekerja lain yang tengah membicarakan keponakannya itu. "Lihat ada katak yang berusaha manjat untuk menjadi bangau.""Kita lihat saja apa yang akan dia lakukan. Kasihan dia, terlalu menganggap tinggi dirinya." "Alah paling hanya mengandalkan tubuhnya naik ke atas ranjang tuan. Wajah pas-pasan seperti itu mana bisa dibandingkan dengan mantan Nyonya rumah ini."Bi Darmi berbalik menatap tajam pada dua orang rekan kerjanya yang sedari tadi masih asik membicarakan keponakannya itu. "Kenapa? Tidak terima? Apa yang kami katakan itu kenyataan. Daripada kamu menatap garang pada kami, lebih baik kamu tegur keponakanmu itu agar sadar diri!" balas perempuan dengan tahi lalat di ata
Hujan membasahi seluruh kota. Awan gelap yang menutupi seluruh langit menunjukkan alam seakan tengah berduka. Leya duduk manis di sofa panjangnya, menikmati secangkir kopi susu sembari menatap jauh keluar jendela. Jika hari minggu bagi sebagian orang di manfaatkan untuk berlibur bersama pasangan atau keluarga, Leya justru termenung seorang diri memandangi bunga-bunga yang bersusun di dalam pot. Kelopak bunga yang basah kuyup tertimpa air hujan menjadi pemandangan yang menyegarkan mata."Permisi Mbak, ada tamu yang mau bertemu Mbak Leya."Suara lembut pelayan baru mengalihkan pandangannya. Leya menoleh dengan malas."Siapa?" tanyanya memastikan. Dia tak merasa memiliki janji dengan siapa pun hari ini. "Laki-laki tapi saya tak tahu siapa namanya, Mbak," jawab polos wanita yang lebih tua tiga tahun darinya itu. Wulan nama pelayan baru itu, wanita hitam manis yang dibesarkan dipinggiran kampung kota sumatra itu memberanikan diri merantau ke kota besar hanya dengan bermodalkan tenaga
Tak pernah ada yang tahu takdir mereka seperti apa dan kisah cinta berakhir dalam pelukan siapa. Seolah takdir tengah bermain-main dengan kehidupan Leya dan Nirwan. Mereka yang tengah mengalami kemelut kehidupan yang sama pun dipertemukan pada tempat yang tak terduga. Leya yang baru saja sampai di sebuah resto hotel berbintang lima untuk malan malam tanpa sadar duduk pada meja yang ada di seberang meja Nirwan. Posisi mereka saling berhadapan. Dalam diam Leya terpaku tanpa tahu harus berbuat apa saat matanya tak sengaja beradu pandang pada mata yang selalu menatapnya tajam. Di tengah keterdiamannya, di benak Leya tiba-tiba kembali terbesit bayangan Abram dan juga Arsya. Ditambah Abram yang baru saja menemuinya untuk rujuk membuat hatinya gelisah. Leya takut dirinya kembali dalam pelukan Abram, bukan karena dirinya yang goyah tetapi karena kepiawaian lelaki itu yang terus mencari kesempatan untuk mendekatinya."Selamat malam, Mbak. Mau pesan apa?" Suara waiters menarik atensi Leya.
Suasana kediaman Anggara yang biasanya tenang, pagi ini ricuh dengan kabar pernikahan kedua sang tuannya.Asih sebagai burung pembawa berita berkicau dari satu teman ke teman yang lainnya. "Yang benar kamu Asih? Nanti kamu malah bohong pula," ujar salah satu temannya menegaskan keakuratan berita tersebut. "Buat apa aku bohong. Aku dapat dari sumber terpercaya, kalian bisa taruhan denganku jika aku bohong," jawab Asih tegas. Dia begitu antusias bercerita di dapur sembari melirik ke arah Silvia yang tengah mencuci piring. Dada Silvia mulai panas bergejolak. Setiap kalimat yang Asih keluarkan bagai pisau tajam yang mengiris-iris hatinya. Kepergian Arsya membuat Silvia memiliki harapan atas impiannya menjadi nyonya rumah keluarga Anggara, tetapi harapan itu pun goyah dengan kenyataan pahit yang baru saja dia dengar. "Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang membuat Tuan kita yang dingin cepat memberikan hati?""Pastinya bukan wanita kelas rendahan yang berlagak seperti wanita ban
"Wanita sialan! J4l4ng tak tahu diri!" Selain umpatan yang cukup kencang terdengar di telinga, barang-barang di sekitar pun ikut berjatuhan dengan serampangan hingga berserakan di lantai. "Bagaimana mungkin Leya menikah dengan Mas Nirwan. Ini mustahil! Mas Nirwan bukanlah lelaki yang mudah tertarik dengan lawan jenis. Dulu saja, untuk mendapatkannya aku harus memutar otakku agar dia mau menikahiku. Arkkk!" Tangan Arsya menarik vas bunga kecil yang ada di atas meja riasnya dan langsung dia lemparkan ke arah cermin. Cermin itu ikut pecah berderai, pecahannya yang kecil-kecil sangat berbahaya telah menggores tulang kering Arsya hingga berdarah."Jadi begini permainanmu. Kamu membalasku dengan mengambil apa yang menjadi milikku. Sementara aku, kini harus terpuruk bersama lelaki miskin dan tidak berguna seperti sampah!"Arsya menatap lurus dengan tajam. Kedua tangannya terkepal erat. Dia tak terima dan merasa dibodohi. Pintu kamar kembali terbuka. Arsya tak menghiraukan siapa yang dat
"Jangan berbohong padaku, Asna."Leya kembali mendesak saudarinya tersebut. Rasa yang mengganjal di dadanya belakangan ini tak dapat lagi dia biarkan. Leya tahu dan yakin, ada sesuatu yang Asna sembunyikan darinya. "Apa? Aku berbohong apa?" Asna terlihat sedikit kikuk yang membuat Leya semakin yakin.Leya menekan kedua bahu Asna hingga mata mereka berdua terkunci satu sama lain. "Aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Katakan! Jika kamu masih menganggapku!" tekan Leya yang tak bisa lagi Asna tolak. Asna memegang kedua lengan Leya agar cengkraman kuatnya terlepas dari bahu kurusnya. Raut wajah itu seketika berubah mendung layaknya awan gelap sebelum turun hujan. "Aku hamil."Satu kata yang cukup membuat Leya terhenyak. "Sama siapa? Jangan bilang kamu kembali sama lelaki br3ngsekmu itu?"Asna mengeleng pelan. Dia paham lelaki mana yang Leya maksud. Lelaki yang dulu mengikrarkan cinta dan membawanya ke hadapan penghulu. Lelaki yang membuatnya bahagia sekaligus lelaki y
Leya sampai di rumahnya setelah beberapa jam mengalami delay. Leya kini berbaring di atas ranjang setelah membersihkan tubuhnya. Dia masih menggunakan bathrobe dengan rambut yang tergerai basah. Angin malam yang berhembus dari balik jendela menyapu kepalanya hingga terasa dingin. Rasa kantuk pun menyergap, kelopak mata itu pun perlahan tertutup. Dengkuran halus pun terdengar sebagai tanda bahwa wanita itu sudah mulai terlelap mengarungi alam mimpi. Pintu kamar Leya terbuka perlahan. Di balik cahaya lampu tidur yang remang-remang, sesosok lelaki muncul dengan penampilan yang sedikit berantakan. Bau alkohol begitu menyengat dari tubuhnya, bahkan kedua kakinya saja tak bisa menopang tubuh kurus itu dengan benar. Sesekali lelaki itu berjalan miring seperti orang yang hendak jatuh. Leya membuka mata saat merasakan bibirnya basah. Dia pun merasa sesak saat tubuhnya tertimpa sesuatu yang membuatnya susah untuk bergerak. "Arkkkkk!" teriak Leya spontan. Dia terkejut setengah mati saat men
Silvia menahan sakit hati mendengarkan bentakan Liliana padanya sore ini. Semua itu disebabkan hanya karena Silvia lamban memasak makanan yang Liliana pinta dan rasanya juga tidak enak.Liliana bahkan sampai melepeh kembali makanan yang sudah masuk ke dalam mulutnya. Rasa asin yang terlalu menyengat berlomba dengan rasa getir dari bumbu yang tidak tanak saat menumis. "Sebenarnya apa saja kerjamu. Beres rumah tidak pernah rapi, masak pun juga tidak bisa." Liliana terus saja mengomel tanpa henti seakan tengah meluapkan kekesalan hati yang telah lama tersimpan. Darmi dan beberapa pelayan lainnya menyaksikan dari sudut ruangan sembari mengerjakan pekerjaan mereka. "Memang gak ada guna dia di sini. Kerjaannya cuma ngawasi seakan dirinya yang nyonya rumah," bisik seorang pelayan yang tengah memotong wortel pada temannya. "Makanya kalau ada Tuan muda dandannya menor banget," balas sebelahnya tak kalah berbisik. "Apa iya?" tanya satunya lagi yang tak pernah memperhatikan hal-hal aneh sel
Burung berkicau merdu di balik jendela mengusik ketenangan sepasang suami-istri yang baru saja terlelap saat subuh menjelang. Leya mengerjabkan matanya perlahan saat cahaya matahari merambat ke retina. Lagi-lagi Leya terbangun dengan yang terasa kram akibat aktifitas mereka semalam. Namun yang berbeda kali ini adalah Leya yang menyodorkan dirinya secara suka rela. Bukan karena cinta melainkan pasrah pada kewajiban semata. Leya tersentak kaget mendengar jam weker di atas nakas yang tiba-tiba berbunyi. Tak ingin bunyi nyaring itu membangunkan makhluk kekar yang tengah terlelap di sampingnya, Leya bergegas mematikan. Baru saja Leya hendak beranjak dari ranjang, tangan kekar Nirwan membelit pinggangnya manja. "Mau kemana?""Kerja," jawab Leya singkat. Tangannya berusaha mendorong lengan suaminya agar menyingkir dari tubuhnya. Tetapi bukannya terlepas, rangkulan tangan itu semakin erat. Nirwan membenamkan wajah ke balik punggung mulus istrinya. Menghirup aroma tubuh pendamping hidupny
Saat bias matahari baru saja muncul memudarkan warna gelap di langit. Nirwan terbangun karena terganggu oleh tangisan seseorang di sebelahnya. Lelaki itu mengucek-ngucek matanya, seraya bangkit dengan kepala yang masih terasa pusing. "Berisik!" sentaknya kasar membuat suara tangis itu terdiam sesaat. Nirwan membuka matanya, betapa terkejutnya dia mendapati wanita yang tengah menangis di sampingnya tak mengenakan busana dan hanya ditutupi selimut tebal."Silvia? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Nirwan syok. Dan lebih syok lagi dia melihat dirinya dalam keadaan yang sama dengan Silvia, tanpa pakaian yang menutupi tubuh mereka. "Apa Tuan lupa? Kalau semalam ... kalau semalam Tuan sudah merampas kehormatan saya, hik hik hik," terang Silvia seraya kembali menangis. Tangisannya terdengar pilu membuat Nirwan semakin pusing. Nirwan memijit pelipisnya kuat, kepalanya terasa berat. Dia berusaha menarik kembali memori yang tersimpan di otaknya tentang kejadian semalam. Ingatannya hanya
Nirwan meminum langsung cairan putih dari dalam botol. Wajah dan matanya telah memerah seperti kepiting rebus yang tersapu angin malam. Nirwan bersandar pada dinding balkon ruang kerjanya, matanya menatap lurus langit yang begitu terang membentuk gugus bintang Lyra.Dalam mitologi Yunani, adalah sebuah harpa emas yang dimiliki oleh Orpheus, seorang musisi legendaris. Orpheus memiliki kemampuan untuk menjinakkan binatang buas dan membuat orang menangis dengan musiknya.Orpheus sangat mencintai istrinya, Eurydice dan ketika Eurydice meninggal, Orpheus turun ke dunia bawah untuk membawanya kembali. Namun Orpheus melanggar syarat dewa dan harus kembali ke dunia atas tanpa Eurydice.Lyra sering dikaitkan dengan musik, keindahan, dan kesedihan. Kisah Orpheus dan Eurydice menjadi simbol cinta yang abadi dan kehilangan yang menyakitkan. Nirwan terkekeh getir, dia merasa hidupnya sama seperti Orpheus. Sama-sama menyedihkan tanpa orang yang disayang.Sayang? Apakah dia menyayangi istrinya atau
Sepulang dari kantor, Leya tidak membawa mobilnya pulang ke rumah. Dirinya lebih memilih ke suatu tempat untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Leya benar-benar merasa sepi seorang diri. Dia duduk termenung di sebuah taman memandangi dedaunan yang tengah bergoyang. Sebagai seorang anak yatim-piatu kehilangan Asna membuatnya hilang tumpuan bersandar dan kini hidupnya dihadapkan oleh problematik baru di tempat kerja. Berkali-kali Leya menghapus air matanya, malang terasa di badan. Di dalam hati dia terus bertanya-tanya pada Tuhan apa kesalahannya sehingga cobaan terus datang bertubi-tubi tanpa henti dalam hidupnya. Seperti estafet yang membuatnya lelah. Leya selalu bermimpi menikah sekali seumur hidup dan membangun keluarga harmonis, namun nyatanya pengkhianatan justru menjadi luka yang amat dalam di hatinya. Langit seakan mengerti perasaannya, rintik-rintik hujan pun mulai turun dan dalam sekejap menjadi lebat. Membubarkan sekelompok orang yang asik bermain menjadi koca
Leya dan Nirwan kembali ke rumah dan kembali masuk ke dalam kamar mereka. Pertengkaran hebat pun terjadi di antara keduanya. "Hebat, istriku sekarang sungguh hebat. Apa aku kurang cukup memuaskanmu hingga kamu melirik lelaki lain di luaran sana, hah!" "Jaga bicaramu! Aku tidak serendah itu!" sungut Leya tak terima. Secara tidak langsung Nirwan telah menyamakan dirinya terhadap mantan istrinya dulu. "Lalu apa namanya? Pantas saja kamu kekeuh untuk terus menutupi status pernikahan kita, ternyata agar kamu bisa menggoda laki-laki lain di belakangku rupanya!" balas Nirwan tak kalah menyunggut. Nafasnya naik turun karena gelegak api amarah di hatinya. "Apa kamu lupa perjanjian kita. Kita menikah hanya karena—," "Persetan dengan perjanjian itu! Atau apa pun alasan dibalik pernikahan ini. Yang pasti saat ini kamu adalah istriku dan pernikahan kita sah secara hukum dan agama. Aku akan mengatur ulang semuanya dan aku akan mengabarkan pada publik tentang pernikahan kita agar kejadian
Ini pagi kesekian kalinya Leya bangun dalam keadaan tubuh terasa remuk. Lagi-lagi Nirwan memp3rk0s4nya, tapi dapatkah dirinya menyebut itu sebuah p3merk0saan jika nyatanya status mereka halal secara agama. Leya mencengkram ujung selimut erat seraya menahan sesak yang bergumul di dadanya. Ada rasa sakit akibat perlakuan suaminya tersebut, bukan hanya tubuhnya tetapi juga hatinya. Dirinya saat ini tak ubahnya seperti p3lacur halal yang dipaksa untuk memuaskan tanpa perlu ditanya apakah dia ridho memberikan tubuhnya. Pintu kamar mandi terbuka, Nirwan keluar dengan handuk yang melingkar di pinggang. Leya seakan tengah dejavu akan adegan yang pernah dirinya lalui. Tangannya bergerak menghapus air mata yang baru saja menetes. Dirinya tak ingin terlihat seperti manusia menyedihkan."Ada apa? Apa tubuhmu sakit?" tanya Nirwan lembut seraya mendekat. Nirwan seakan menjadi orang yang berbeda dengan Nirwan yang bersamanya semalam. Leya tak menjawab ataupun menoleh. Dia memilih untuk turun da
Malam minggu sepulang kantor Leya memutuskan untuk nongkrong di cafe. Dia butuh hiburan untuk menjernihkan pikirannya yang terus bergelut sehingga untuk bernapas saja Leya terasa sesak.Takdir sedang ingin bermain-main dengannya sampai-sampai Leya tak mampu lagi untuk tertawa. Live musik terdengar begitu merdu, suara penyanyi perempuan melantunkan tembang hit masa kini. Leya seakan terbawa suasana mudanya dulu. Dulu tempat seperti ini hampir setiap dua sampai tiga kali dalam seminggu dia datangi. Leya menikmati secangkir espresso miliknya, di tatapnya Cindy yang tengah senyum-senyum sendiri dengan gawainya. Sepertinya dia tengah berbagi pesan pada sang kekasih yang tengah tugas di luar kota.Dimana ada Cindy pasti ada Riko. Cindy yang gencar menjodohkan Leya bersama Riko sehingga selalu menyeret lelaki itu setiap mereka nongkrong bersama. "Beb, pacarku sudah pulang dan dia jemput aku di depan. Jadi sorry, aku gak bisa menemani kalian lama-lama di sini," ujar Cindy. Senyum bahagia s
Liliana uring-uringan di ruang tamu. Tangannya membolak-balik majalah fashion dengan perasaan tak menentu. Genap tiga hari putra dan menantunya tak pulang ke rumah tanpa kabar, dia ingi menelpon tetapi ada rasa gengsi di hatinya. Liliana juga marah dengan sikap putranya yang tak menghubungi dirinya seakan tak perduli dengan kondisi sang Mama yang tentunya akan baik-baik saja. "Kenapa mereka belum pulang juga?" gumam Liliana. Silvia yang mendengar itupun berceletuk."Sepertinya Nyonya tampak kesal. Ada apa, Nya?"Liliana menoleh sekilas seraya mencebikkan bibirnya. "Sok tahu kamu. Gak lihat saya sedang baca majalah," balasnya tak ramah.Silvia tersenyum tipis. "Dari raut wajah cantik Nyonya saja sudah jelas terlihat. Nyonya besar pasti lagi mikirin Tuan Nirwan kan, Nya," balas Silvia. "Aku masih gak habis pikir sampai saat ini, Via. Kenapa Nirwan bisa-bisanya menikah dengan sahabat istrinya itu. Apalagi suami wanita itu dengan mantan istrinya Nirwan selingkuh." Liliana masih saja